al-Quran kuno dengan harga 2, 5 juta poundsterling atau sekitar 4, 9 juta dollar pada Selasa (8/4) |
Kegiatan-kegiatan
keilmuan dalam masalah penafsiran al-Qur'an berawal dari uraian dan penjelasan
langsung Rasulullah saw terhadap kandungan al-Qur'an kepada para sahabatnya.
Dalam kaitannya dengan wahyu, yang beliau lakukan ini adalah satu kewajiban
yang Allah swt bebankan kepadanya untuk menjelaskan perintah-perintah,
larangan-larangan dan lain sebagainya yang terkandung dalam al-Qur'an itu
sendiri.[i] Jika ada di antara
para sahabat yang tidak mengerti mengenai kandungan suatu ayat, atau jika
terjadi perselisihan di antara mereka tentangnya, maka para sahabat langsung
mengembalikannya kepada Baginda Rasul saw, sehingga dapat diketahui makna dan
penjelasan yang benar tentangnya (tafsirannya). Demikianlah, para sahabat
Rasulullah saw sangat hati-hati dalam pemahaman dan penafsiran al-Qur'an.
Setidaknya ini tampak dari ungkapan
sahabat Abu Bakr al-Siddiq misalnya, "bumi mana yang membawaku dan
langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan di dalam Kitab Allah apa yang tidak diketahui."[ii]
Tafsir,
setelah masa sahabat (tabi'in), perkembangannya masih sangat terkait
dengan masa sebelumnya (masa Rasulullah saw dan sahabat). Dimana pada masa tabi'in
ini, tafsir belum berupa disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Tapi pada saat
itu, ia masih merupakan bagian dari Hadith. Para tabi'in menafsirkan
al-Qur'an
dengan al-Qur'an, Hadith Nabi, dan pendapat para sahabat. Setelah itu, baru
mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Ini artinya, sejak zaman Rasulullah saw, akal tidak dibiarkan liar kesana-kemari
tanpa ikatan yang jelas. Ia senantiasa terkait dengan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah saw dan para sahabat beliau. Ini penting, sebab akal yang liberal
hanya akan dengan mudah menghakimi "salah" metode Tafsir al-Qur'an.
Jadi, kendati telah lahir sekian banyak kitab tafsir dalam khasanah Islam,
namun pernyataan bahwa tafsir itu relatif sangatlah keliru. Interaksi intens
para sahabat semenjak masa Rasulullah saw dengan al-Qur'an telah secara cermat
dan tepat mengungkap 'Struktur Metode Tafsir' yang sesuai dengan karakteristik
wahyu dengan segala mukjizatnya.
Berbeda
dengan tafsir, Hermeneutika yang 'dipaksakan' Barat ke dalam
dunia Islam hanyalah sebuah metode pemahaman teks, yang pada awalnya
diasosiasikan kepada Hermes, yang dalam mitologi Yunani dipandang sebagai dewa yang
diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan dan menerjemahkan pesan dan berita
yang masih samara-samar ke dalam bahasa yang dipahami manusia di bumi.[iii] Tugas
Hermes ini dianggap identik dengan tugas Rasulullah saw yang menyampaikan pesan
Allah swt kepada umat Manusia.[iv] Ini satu
lompatan analogi yang terburu-buru dan tidak tidak logis.
Berdasarkan
latar belakang 'lahir dan berkembangnya' ini, tidak heran jika kemudian Metode
Tafsir dalam Islam sangat khas, berkarakter Pandangan Hidup Islam (worldview
Islam).[v] Secara mendasar, ia
menjadi satu metode pemahaman kalamullah, dimana kajian dan keyakinan
atas konsep Ketuhanan menjadi dasar utama dan pertamanya. Seluruh aspeknya
terikat menjadi satu kesatuan, membentuk satu konsep tafsir yang mapan. Dasar
konsep Ketuhanan dalam ranah tafsir ini secara rinci dan mendalam akan penulis
ulas lebih lanjut berikut ini.
a.Kredibilitas Mufassirb.Otentisitas al-Qur'an dan Metodologi Tafsirc.Ilmu-ilmu yang menopang Tafsir al-Qur'and.Perkembangan Metode dan Tren Tafsir al-Qur'an
[i] Cermati QS.
Al-Nahl: 44.
[ii] Lihat Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-'Adzim, (Kairo: Maktabah Dar al-Turath), jil. I, p. 5.
[iii] Secara etimologi,
istilah Hermeneutika berasal dari kata Yunani Kuno, yang berarti hal-hal yang
berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Lihat dalam The
Catholic Encyclopedia, dalam Dr. Syamsuddin Arif, Apa Itu Hermeneutika?,
p. 2. Menurut para ahli, pembakuan Hermeneutika sebagai suatu ilmu, metode
dan teknik memahami suatu pesan atau teks, sesungguhnya baru terjadi di
kemudian hari, yaitu menyusul adanya gerakan Reformasi yang dicetuskan oleh
Martin Luther di Jerman, sekitar abad ke-18 Masehi. Dimana pada saat itu, para
teolog Protestan menolak klaim otoritas Gereja Khatolik dalam pemaknaan dan
penjabaran kitab suci. Alasannya, mereka (kaum Protestan) meyakini bahwa setiap
orang berhak menafsrikan Bibel, asalkan tahu bahasa dan konteks sejarahnya.
Selanjutnya, berdasarkan prinsip kegamblangan (perspicuitas) dan sola
scriptura (cukup kitab suci saja, tak perlu 'tradisi'), dibangunlah metode
ilmiah bernama hermeneutika. Ulasan pengantar
lihat dalam Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique (London: Routledge & Kegan Paul, 1980);
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher,
Dilthey, Heideger, and Gadamer (Evanston, Illinois: Northwestern University
Press, 1969).
[iv] Seyyed Husein Nasr
mengidentifikasikan Hermes dengan Nabi Idris yang disebut-sebut sebagai bapak
dari para filosof (Abu al-hukama'). Lihat dalam Seyyed Husein Nasr, Pengetahuan
dan Kesucian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), cet. Ke-I, p. 81.
[v]Menurut al-Attas,
elemen asas bagi 'Pandangan Hidup Islam' sangat banyak, dimana semuanya
merupakan jalinan konsep-konsep yang tak terpisahkan. Di antara yang paling
utama dan pertama adalah konsep tentang hakekat Tuhan, konsep tentang wahyu
(al-Qur'an), konsep tentang penciptaan, konsep tentang hakekat kejiwaan
manusia, konsep tentang ilmu, konsep tentang agama, tentang kebebasan, tentang
nilai dan kabajikan, tentang kebahagiaan dan lain sebagainya. Lihat S.M.N.
al-Attas, "The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress," dalam
Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding
of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical
and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala
Lumpur, 1996, p. 29.