covied from jual quran kuno |
Hasil
pemahaman dan penafsiran seorang ulama sangat berpengaruh bagi kehidupan umat
Islam dan perkembangan Peradaban Islam pada umumnya. Sebab, ia berkaitan
langsung dengan upaya mengeksplorasi kalamullah yang kandungan bangunan
konsepnya sangat luas dan beragam. Artinya, 'tafsiran' mereka terhadap
al-Qur'an sangat menentukan pemahamanan dan penjelasan yang benar tentang realitas
alam semesta dan kehidupan ini, yang terkandung di dalam al-Qur'an. Untuk itu, selain
faktor-faktor dasar lainnya, seyogyanya kegiatan menafsirkan haruslah berangkat
dari sebuah kesadaran tulus karena keimanan yang benar dan kokoh, untuk
menggali dan menyampaikan pesan Ilahi yang ada dalam wahyu al-Qur'an. Atas
dasar ini, tidak heran jika kemudian al-Tabari mengatakan bahwa, syarat utama
seorang mufassir adalah kebenaran akidahnya dan komitmennya yang tinggi untuk mengikuti
sunnah.[1] Al-Suyuti juga menyampaikan
pendapat yang sama, menurutnya, seorang mufassir harus memiliki akidah yang
benar dan selalu berkomitmen dengan ajaran Islam, serta keikhlasan yang tinggi
dengan menjadikan usahanya dalam menafsirkan al-Qur'an semata-mata untuk taqarrub
kepada Allah swt.[2]
Beliau menamakan ini sebagai prasyarat amaliyah.[3]
Demikianlah,
akidah yang shahih ini menjadi syarat asasi yang tidak bisa
ditawar-tawar. Sebab untuk urusan-urusan duniawi saja, mereka yang akidahnya
cacat tidak bisa dipercaya mengemban amanah terhadapnya, apalagi urusan
keagamaan, khususnya masalah penafsiran al-Qur'an. Bisa jadi, penafsiran yang
ia lakukan berdasarkan kecenderungan dan motif tertentu, tidak tulus.[4] Singkatnya, benar atau
tidaknya akidah seorang mufassir sangat penting artinya, bahkan ia menjadi satu
tolak ukur yang sangat menentukan kejujuran dan kevalidan penafsirannya.
Syarat
akidah inilah yang 'agaknya' lepas atau mungkin sengaja dilepaskan dari
pengamatan Gadamer. Ia malah mengedepankan wacana 'selingkuh' antara seorang
mufassir dengan setting sosial-budaya dimana ia hidup. Penafsiran,
menurut Gadamer, hanyalah sebuah reinterpretation.[5]
Sehingga, lanjutnya, setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya,
ia senantiasa boleh dikritik dan ditolak.[6] Lebih jauh lagi, Habermas
dengan Hermeneutikanya menyeru untuk dilakukan pembongkaran motif-motif yang
tersembunyi dan kepentingan-kepentingan terselubung yang melatar belakangi
lahirnya sebuah teks. Sebagai sebuah kritik ideologi, terangnya, hermeneutika
harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks,
yaitu segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara
sistematis.[7]
Tentu,
pendapat para pengusung hermeneutika ini tidak dapat kita adopsi dalam studi
al-Qur'an. Sebab kita meyakini bahwa, para mufassir Muslim sama sekali tidak
terjebak dalam latar belakang sosial dan budaya di mana mereka hidup.
Penafsiran mereka melampaui itu semua. Oleh sebab itu, kita senantiasa
mendapatkan kesepakatan-kesepakatan di antara para mufassir, sekalipun keadaan
sosial-budaya mereka tidak sama. Selain itu, tidak seorangpun dari umat Islam,
terutama di kalangan para mufassir Muslim yang berfikir bahwa al-Qur'an itu
tidak otentik, bahwa di balik bahasa al-Qur'an terdapat manipulasi, dominasi,
dan propaganda, sehingga harus dibongkar dan dikritik. Hakikatnya, cara pikir
mereka yang seperti itu muncul dan berkembang dari problem Bible yang
notabenenya hanyalah sebuah produk budaya.
Melihat
itu semua, tepat kiranya yang disampaikan para ulama kita di atas, yaitu bahwa tidak
semua orang dengan latar belakang agama yang beragam boleh menafsirkan
al-Qur'an. Makanya, saat ini, penegasan kredibilitas Mufassir dilihat sebagai
sesuatu yang sangat penting, yaitu untuk menghindari berbagai penyimpangan yang
mungkin terjadi dalam penafsiran al-Qur'an, baik penyimpangan karena
kesengajaan atau tidak. Terlebih, akhir-akhir ini berkembang fenomena adanya
sejumlah kelompok di luar Islam (para orientalis) yang berusaha menafsirkan
al-Qur'an dengan cara mereka sendiri, yaitu memasukkan Metode Hermeneutika sebagaimana
yang mereka lakukan dalam kajian Bible.
Tentu,
kondisi tersebut perlu kita sikapi secara hati-hati. Sebab kenyataannya,
ditemukan banyak sekali penafsiran yang memuat kepentingan mereka. Apalagi sedari
awal, mereka tidak mendasarkan kajian dan penafsiran al-Qur'an pada Framework Islam,
tapi lebih pada pengalaman pahit Barat Kristen. Pendeta Alphonse Mingana (m.
1937) misalnya berkata: "sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks
terhadap al-Qur'an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bible Yahudi yang
berbahasa Ibrani-Aramik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani."[8] Kepentingan
terselubung mereka (para Orientalis) semakin tampak dalam 'kekesalan' Arthur
Jeffery terhadap para mufassir Muslim yang belum satu pun menafsirkan al-Qur'an
secara kritis. Karena itu, ia menawarkan Metode Kritis Ilmiah (biblical
criticism). Menurutnya, "kita membutuhkan Tafsir Kritis dengan
mencontoh karya yang telah dilakukan oleh Orientalis Modern sekaligus menggunakan
metode-metode penelitian kritis modern untuk Tafsir al-Qur'an."[9]
[1] Lihat dalam Adnin
Armas, Tafsir al-Qur'an atau "Hermeneutika al-Qur'an," ISLAMIA, (Thn.
I, No. I, Muharram, 1425/Maret 2004), p. 44.
[2] Demikian
antara lain yang dikemukakan oleh al-Suyuti dalam kitab al-Itqan, p.
4/174-175. Bandingkan juga dengan pendapatnya al-Nawawi dalam al-Tibyan fi
Adab Hamalatil Qur'an, (Damaskus: al-Wakalah al-Amah li al-Tawzi, 1983),
cet. I.
[3] Demikian
antara lain yang dikemukakan oleh al-Suyuti dalam kitab al-Itqan, p.
4/174-175. Bandingkan juga dengan pendapatnya al-Nawawi dalam al-Tibyan fi
Adab Hamalatil Qur'an, (Damaskus: al-Wakalah al-Amah li al-Tawzi, 1983),
cet. I. Bandingkan juga dengan pendapatnya Dr. Muhammad Nabil Ghanaim, Dirasat
fi at-Tafsir, (Kairo: Darul Hidayah, 1407 H/1987 M), cet. 1, p. 20.
[4] Al-Qurtubi telah
memperingatkan bahwa seseorang yang mempunyai suatu pendapat tersendiri serta
mempunyai kecenderungan dan motif tertentu tidak boleh menafsirkan al-Qur'an.
Sebab, penafsirannya hanya untuk mencari justifikasi tujuannya. Lihat Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Kairo: Dar
Saya'b, 1372 H), cet. II, Tahqiq: Ahmad Abdul Alim al-Barduni, vol. 1/33.
[5] Lihat Ellman
Crasnow, "Hermeneutics" dalam Roger Flower, A Dictionary of Modern
Critical Terms (New York: Routledge and Paul Kegan, 1987), p. 110.
[6] Lihat
Hans-Georg Gadamer dalam Syamsuddin Arif, p. 3.
[7] Lihat Jurgen
Habermas dalam dalam Syamsuddin Arif, p. 3.
[8] Lihat Alphonse
Mingana dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan
Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis (Ponorogo: CIOS ISID Pondok
Modern Darussalam Gontor, 2008), p. 96.
[9] Lihat Arthur
Jeffery, Progress in the Study of the Qur'an Text, The Moslem World 25 (1935),
p. 4.