Minggu, 28 April 2013

Kredibilitas Mufassir

covied from jual quran kuno
Hasil pemahaman dan penafsiran seorang ulama sangat berpengaruh bagi kehidupan umat Islam dan perkembangan Peradaban Islam pada umumnya. Sebab, ia berkaitan langsung dengan upaya mengeksplorasi kalamullah yang kandungan bangunan konsepnya sangat luas dan beragam. Artinya, 'tafsiran' mereka terhadap al-Qur'an sangat menentukan pemahamanan dan penjelasan yang benar tentang realitas alam semesta dan kehidupan ini, yang terkandung di dalam al-Qur'an. Untuk itu, selain faktor-faktor dasar lainnya, seyogyanya kegiatan menafsirkan haruslah berangkat dari sebuah kesadaran tulus karena keimanan yang benar dan kokoh, untuk menggali dan menyampaikan pesan Ilahi yang ada dalam wahyu al-Qur'an. Atas dasar ini, tidak heran jika kemudian al-Tabari mengatakan bahwa, syarat utama seorang mufassir adalah kebenaran akidahnya dan komitmennya yang tinggi untuk mengikuti sunnah.[1] Al-Suyuti juga menyampaikan pendapat yang sama, menurutnya, seorang mufassir harus memiliki akidah yang benar dan selalu berkomitmen dengan ajaran Islam, serta keikhlasan yang tinggi dengan menjadikan usahanya dalam menafsirkan al-Qur'an semata-mata untuk taqarrub kepada Allah swt.[2] Beliau menamakan ini sebagai prasyarat amaliyah.[3]
Demikianlah, akidah yang shahih ini menjadi syarat asasi yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab untuk urusan-urusan duniawi saja, mereka yang akidahnya cacat tidak bisa dipercaya mengemban amanah terhadapnya, apalagi urusan keagamaan, khususnya masalah penafsiran al-Qur'an. Bisa jadi, penafsiran yang ia lakukan berdasarkan kecenderungan dan motif tertentu, tidak tulus.[4] Singkatnya, benar atau tidaknya akidah seorang mufassir sangat penting artinya, bahkan ia menjadi satu tolak ukur yang sangat menentukan kejujuran dan kevalidan penafsirannya.
Syarat akidah inilah yang 'agaknya' lepas atau mungkin sengaja dilepaskan dari pengamatan Gadamer. Ia malah mengedepankan wacana 'selingkuh' antara seorang mufassir dengan setting sosial-budaya dimana ia hidup. Penafsiran, menurut Gadamer, hanyalah sebuah reinterpretation.[5] Sehingga, lanjutnya, setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, ia senantiasa boleh dikritik dan ditolak.[6] Lebih jauh lagi, Habermas dengan Hermeneutikanya menyeru untuk dilakukan pembongkaran motif-motif yang tersembunyi dan kepentingan-kepentingan terselubung yang melatar belakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai sebuah kritik ideologi, terangnya, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, yaitu segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.[7]
Tentu, pendapat para pengusung hermeneutika ini tidak dapat kita adopsi dalam studi al-Qur'an. Sebab kita meyakini bahwa, para mufassir Muslim sama sekali tidak terjebak dalam latar belakang sosial dan budaya di mana mereka hidup. Penafsiran mereka melampaui itu semua. Oleh sebab itu, kita senantiasa mendapatkan kesepakatan-kesepakatan di antara para mufassir, sekalipun keadaan sosial-budaya mereka tidak sama. Selain itu, tidak seorangpun dari umat Islam, terutama di kalangan para mufassir Muslim yang berfikir bahwa al-Qur'an itu tidak otentik, bahwa di balik bahasa al-Qur'an terdapat manipulasi, dominasi, dan propaganda, sehingga harus dibongkar dan dikritik. Hakikatnya, cara pikir mereka yang seperti itu muncul dan berkembang dari problem Bible yang notabenenya hanyalah sebuah produk budaya.
Melihat itu semua, tepat kiranya yang disampaikan para ulama kita di atas, yaitu bahwa tidak semua orang dengan latar belakang agama yang beragam boleh menafsirkan al-Qur'an. Makanya, saat ini, penegasan kredibilitas Mufassir dilihat sebagai sesuatu yang sangat penting, yaitu untuk menghindari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi dalam penafsiran al-Qur'an, baik penyimpangan karena kesengajaan atau tidak. Terlebih, akhir-akhir ini berkembang fenomena adanya sejumlah kelompok di luar Islam (para orientalis) yang berusaha menafsirkan al-Qur'an dengan cara mereka sendiri, yaitu memasukkan Metode Hermeneutika sebagaimana yang mereka lakukan dalam kajian Bible.
Tentu, kondisi tersebut perlu kita sikapi secara hati-hati. Sebab kenyataannya, ditemukan banyak sekali penafsiran yang memuat kepentingan mereka. Apalagi sedari awal, mereka tidak mendasarkan kajian dan penafsiran al-Qur'an pada Framework Islam, tapi lebih pada pengalaman pahit Barat Kristen. Pendeta Alphonse Mingana (m. 1937) misalnya berkata: "sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur'an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bible Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani."[8] Kepentingan terselubung mereka (para Orientalis) semakin tampak dalam 'kekesalan' Arthur Jeffery terhadap para mufassir Muslim yang belum satu pun menafsirkan al-Qur'an secara kritis. Karena itu, ia menawarkan Metode Kritis Ilmiah (biblical criticism). Menurutnya, "kita membutuhkan Tafsir Kritis dengan mencontoh karya yang telah dilakukan oleh Orientalis Modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk Tafsir al-Qur'an."[9]




[1] Lihat dalam Adnin Armas, Tafsir al-Qur'an atau "Hermeneutika al-Qur'an," ISLAMIA, (Thn. I, No. I, Muharram, 1425/Maret 2004), p. 44.
[2] Demikian antara lain yang dikemukakan oleh al-Suyuti dalam kitab al-Itqan, p. 4/174-175. Bandingkan juga dengan pendapatnya al-Nawawi dalam al-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur'an, (Damaskus: al-Wakalah al-Amah li al-Tawzi, 1983), cet. I.
[3] Demikian antara lain yang dikemukakan oleh al-Suyuti dalam kitab al-Itqan, p. 4/174-175. Bandingkan juga dengan pendapatnya al-Nawawi dalam al-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur'an, (Damaskus: al-Wakalah al-Amah li al-Tawzi, 1983), cet. I. Bandingkan juga dengan pendapatnya Dr. Muhammad Nabil Ghanaim, Dirasat fi at-Tafsir, (Kairo: Darul Hidayah, 1407 H/1987 M), cet. 1, p. 20.
[4] Al-Qurtubi telah memperingatkan bahwa seseorang yang mempunyai suatu pendapat tersendiri serta mempunyai kecenderungan dan motif tertentu tidak boleh menafsirkan al-Qur'an. Sebab, penafsirannya hanya untuk mencari justifikasi tujuannya. Lihat Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Kairo: Dar Saya'b, 1372 H), cet. II, Tahqiq: Ahmad Abdul Alim al-Barduni, vol. 1/33.
[5] Lihat Ellman Crasnow, "Hermeneutics" dalam Roger Flower, A Dictionary of Modern Critical Terms (New York: Routledge and Paul Kegan, 1987), p. 110.
[6] Lihat Hans-Georg Gadamer dalam Syamsuddin Arif, p. 3.
[7] Lihat Jurgen Habermas dalam dalam Syamsuddin Arif, p. 3.
[8] Lihat Alphonse Mingana dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis (Ponorogo: CIOS ISID Pondok Modern Darussalam Gontor, 2008), p. 96.
[9] Lihat Arthur Jeffery, Progress in the Study of the Qur'an Text, The Moslem World 25 (1935), p. 4. 

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...