Jumat, 10 Mei 2013

Wahyu dalam pandangan Muhammad Arkoun


Terhadap pengertian wahyu, bagi Arkoun di sana terdapat dua pembagian peringkat. Pertama adalah apa yang disebut al-Qur'an sebagai Umm al-Kitab (Induk Kitab) (QS, 13:39; 43:4).[1] Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gospel, dan al-Qur'an. Umm al-Kitab adalah Kitab Langit, wahyu yang sempurna, dari mana Bible dan al-Qur'an berasal. Pada peringkat pertama (umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran tertinggi. Namun, menurut Arkoun, kebenaran absolut ini diluar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz (Preserved Tablet) dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan "edisi dunia" (edition terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi dan substitusi.[2]
 Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkat anggitan tentang wahyu. Pertama sebagai firman Allah yang transenden, tak terbatas, yang tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk  realitas wahyu semacam ini biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfuz atau Umm al-Kitab. Tingkat kedua menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Qur'an, anggitan ini menunjukkan pada realitas Firman Allah sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Muhammad saw selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Tingkat ketiga menunjuk wahyu sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya.[3] Berkenaan dengan al-Qur'an, anggitan ini menunjukkan mushaf yang dikodifikasi pada zaman Usman bin Affan atau lebih dikenal dengan sebutan al-Mushaf al-usmani yang dipakai orang-orang muslim sampai hari ini. Kodifikasi ini dilakukan karena terjadi sebuah peristiwa yang tidak terpikirkan oleh seorang sahabatpun sebelumnya. Dalam perang Yamamah, sedikitnya 1000 pasukan muslim gugur, 450 diantaranya dari kalangan sahabat. Informasi ini sampai ke telinga Umar bin Khaththab, lalu ia memikirkan akan nasib al-Qur'an.[4] Sedangkan dalam analisisnya, Arkoun menyebut al-mushaf ini sebagai Closed Official Corpus (kanon resmi tertutup) atau mushaf standar yang sudah ditentukan secara resmi dan final.[5] Sebutan ini bukanlah tanpa mengandung resiko untuk disalah pahami. Dengan mengatakan "kanon resmi tertutup" Arkoun hendak  mempersoalkan kanon tersebut.
Mengenai sejarah al-Qur'an, Arkoun membaginya menjadi tiga periode: periode pertama berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M); periode kedua, berlangsung ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632-936 M) dan periode ketiga berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M). Arkoun menamakan periode pertama sebagai Prophetic Discourse (Diskursus Kenabian) dan periode kedua sebagai Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup).
 Berdasar pada periode tersebut, arkoun mendefinisikan al-Qur'an sebagai "sebuah korpus yang selesai  dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa Arab, dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui teks yang ditetapkan setelah abad ke 4 H/10 M."[6] Menurut Arkoun dalam tradisi muslim pengumpulan al-Qur'an mulai pada saat Nabi meninggal pada tahun 632, tetapi ketika beliau hidup tampaknya ayat-ayat tertentu sudah ditulis. Kumpulan-kumpulan parsial dibuat dengan bahan-bahan yang agak tidak memuaskan, karena kertas belum dikenal dikalangan orang Arab dan tersedia bagi mereka baru di akhir abad ke-8.
 Meninggalnya para sahabat Nabi, yaitu orang-orang yang ikut berhijrah bersama beliau dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622, dan perdebatan tajam dikalangan umat Islam mendorong khalifah ketiga, Usman, untuk mengumpulkan totalitas wahyu ke dalam satu kompilasi yang disebut mushaf. Kumpulan ini dinyatakan sempurna, selesai dan tertutup dan kompilasi-kompilasi parsial pun dimusnahkan untuk menghindari perbedaan yang akan timbul tentang keotentikan wahyu-wahyu yang dipilih. Dia menegaskan bahwa proses pemilihan dan pemusnahan ini mengharuskan kita bertumpu pada Corpus Resmi yang Tertutup.[7]
Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode diskursus kenabian, al-Qur'an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-Qur'an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Sedangkan ia menganggap status al-Qur'an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-Kitab al-Muha) menjadi sebuah buku biasa (kitab 'adi). Arkoun berpendapat bahwa mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status firman Tuhan.[8]
Pemikiran Mohammad Arkoun yang memberikan peringkat-peringkat dan makna tertentu telah membuat paradigma baru tentang hakekat teks al-Qur'an. Pendekatan historisitas Mohammad Arkoun justru menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar jangkauan manusia. Mohammad Arkoun mengakui kebenaran Umm al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan al-Qur'an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun justru menggiringnya sepada sesuatu yang ahistoris. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai kebenarannya oleh kaum muslimin. Padahal, sepanjang zaman fakta historis menunjukkan, kaum muslimin sejak dulu, sekarang dan akan datang, meyakini kebenaran al-Qur'an Mushaf Utsmani.
Arkoun merinci mekanisme wahyu berdasarkan surat 42 (Asy-Syura) ayat 51.[9] Menurutnya kosa kata wahyu yang digunakan oleh ayat sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa manusia yang tidak sakral, itulah sebabnya dia tidak menterjemahkan kata kunci wahyu. Ia hanya berpendapat bahwa wahyu atau al-Qur'an sebagai bacaan yang diartikulasikan (diucapkan) dalam bahasa manusia dan dikomunikasikan kepada para nabi secara langsung atau dengan melalui perantaraan seorang malaikat.[10] Padahal ayat ini menerangkan tentang turunnya wahyu dalam tiga cara. Pertama, informasi wahyu dengan jalan ilham yaitu menyampaikan makna tertentu ke hati Nabi sekaligus bersama ilmu yang yakin bahwa hal itu hanya datang dari Allah, baik lewat mimpi maupun saat terjaga (sadar). Kedua, pembicaraan lewat balik hijab dimana Nabi tidak melihat Allah saat berlangsungnya pembicaraan, seperti halnya Nabi Musa saat menerima wahyu pertama kali. Ketiga, penyampaian wahyu lewat malaikat.[11]
Untuk menunjukkan bahwa wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril sama dengan al-Qur'an yang ada sekarang (mushaf usmani) marilah kita kaji dua hadits dari Fatimah dan Ibnu Abbas. Dalam memelihara ingatan Nabi Muhammad terhadap al-Qur'an, malaikat Jibril berkunjung kepadanya setiap tahun. Hal ini dapat dilihat dalam hadits yang pertama dari Fatimah, ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad memberitahukan kepadanya secara rahasia, yaitu tentang malaikat jibril yang hadir membacakan Al-Qur'an pada Nabi dan beliau membacakannya sekali setahun. Hanya pada tahun mendekati akhir usianya saja membacakan seluruh bacaan Al-Qur'an selama dua kali."[12] Sedangkan yang kedua, hadits dari Ibn ' Abbas, ia melaporkan bahwa Nabi Muhammad saw berjumpa dengan malaikat Jibril setiap malam selama bulan Ramadhan hingga akhir bulan, masing-masing membaca Al-Qur'an silih berganti.[13]
Dua hadits ini menunjukkan bahwa bacaan ayat al-Qur'an Nabi Muhammad sama dengan bacaan Jibril, artinya sama dengan yang telah Allah turunkan melalui malaikat Jibril dan tidak ada perbedaan sedikitpun. Karena malaikat jibril selalu bergantian dengan Rasulullah dalam membacakan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana hadits di atas. Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnad secara mutawattir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dan diteruskan kepada para shahabat, demikian hingga hari ini.
 Bahkan Allah menantang kepada siapa saja yang meragukan al-Qur'an sebagai kalam Allah yg diwahyukan kepada Rasulullah saw. lafdhon wa ma'nan tetapi mereka tidak ada yang mampu membuat seperti al-Quran itu walaupun satu surah saja.[14] Tantangan itu tetap berlaku karena al-Quran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat. Dan Nabi Muhammad pun diberi peringatan oleh Allah jika mengada-ngada suatu perkataan dalam al-Qur'an.[15]
 Apa yang dinyatakan oleh Arkoun bahwa al-Quran yang kita ketahui saat ini adalah bukan wahyu Allah atau dengan kata lain al-Qur'an berbeda dengan apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. dahulu, semua itu adalah tuduhan tidak berdasar fakta yang benar sebagaimana telah diungkapkan oleh orang-orang yang memusuhi Islam agar orang Islam ragu dengan agamanya sendiri dengan cara menggugat Kitab Sucinya melalui metode mereka. Dan bila kitab sucinya sendiri telah digugat dan diragukan, maka tinggal giliran berikutnya adalah ajaran-ajaran Islam yang lain pun turut gugur karena al-Qur’an sebagai prinsip utamanaya pun telah digugurkan terlebih dahulu.


[1]  يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ (39)
"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)." (QS, Ar Ra'd: 39)
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ (4)           
"Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah." (QS, Az Zukhruf: 4)
Berdasarkan ayat inilah, Arkoun merinci mekanisme wahyu. Lihat Arkoun, Rethingking Islam, hal.47.
[2] Lihat Abdul Kadir Hussain Salihu, Hermeneutika Al-Qur'an menurut Muhammad Arkoun: Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2, Juni-Agustus 2004, hal: 21.
[3]  Mohammad Arkoun, "exploration and responses: New Perspectives for a Jewish-Christian-Muslim Dialogue" journal of ecumenical studies, 26, 3 (Summer 1989) ", hal. 526; Mohammad Arkoun, "Gagasan tentang wahyu: Dari Ahl al-Kitab sampai Masyarakat Kitab", dalam nico J.G Kaptein dan Henri Chambert-Loir, studi Islam di perancis. Gambaran Pertama (Jakarta: INIS, 1993).
[4]  Lihat al-Bukhori, Bab: Jam'u al-Qur'an, juz: 16, hal: 467
[5]  Status Corpus Resmi yang tertutup menurut prosedur-prosedur yang dikembangkan dan dibimbing oleh sarjana-sarjana: resmi karena teks-teks ini sebagai akibat dari  seperangkat keputusan yang diambil oleh "otoritas-otoritas" yang diakui oleh komunitas; tertutup karena tidak seorangpun diperkenankan untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan dalam Corpus yang sekarang dinyatakan otentik. Lihat Arkoun, Mohammad, "Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.50.
[6] Muhammed Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1998). hal. 13
[7] Ibid, hal.55-56
[8]  Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam Studi AL-Qur'an (edisi kritis), (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). hal. 68

[9]  وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (51)
"Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana." QS. 42 (Asy-Syura) ayat 51.
[10]  Arkoun, Rethingking Islam, Op.Cit. hal.47
[11] Lihat Tafsir ath-Thabari. hal. 558.
[12]  عَنْ فَاطِمَةَ - عَلَيْهَا السَّلاَمُ - أَسَرَّ إِلَىَّ النَّبِىُّ   صلى الله عليه وسلم - « أَنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يُعَارِضُنِى بِالْقُرْآنِ كُلَّ سَنَةٍ ، وَإِنَّهُ عَارَضَنِى الْعَامَ مَرَّتَيْنِ ، وَلاَ أُرَاهُ إِلاَّ حَضَرَ أَجَلِى »
Lihat al-bukhori, sahih, fadha'il al-Qur'an, hal. 481.
[13]  أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِى رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْقُرْآنَ ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Lihat al-bukhori, sahih, Shaum, hlm. 183.
[14] وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:23)
[15]  وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ (45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46)
"Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya." (Al-Haaqqoh: 44-46)

Wahyu dalam pandangan Abu Nasr Hamid Abu Zaid


Dalam pemaparannya terhadap konsep wahyu, Nasr Hamid abu Zaid meletakkan posisi al-Qur’an yang itu adalah wahyu Ilahi telah berubah menjadi teks manusiawi sejak pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw. Pandangan seperti itu dikarenakan menurutnya pada waktu pertama kali turun dan sejak dibaca oleh Nabi Saw dalam proses panjang pewahyuan, telah berubah dari teks Ilahi menjadi teks manusiawi. Pengertian lain yang disebutkannya adalah dari tanzil kepada takwil.
Dijelaskannya bahwa pemahaman Nabi atas al-Qur’an adalah merupakan wujud dari tahap awal pergerakan teks dalam interaksinya dengan akal manusia.[1] Teks al-Qur’an telah terbentuk dalam realitas kultur dalam waktu dalam kurun waktu lebih dari 20 Tahun, maka dikarenakan hal tersebut lah al-Qur’an adalah “produk” dan tidak hanya itu saja, al-Qur’an juga merupakan “produsen” dari sebuah budaya. Alasan menyebut al-Qur’an sebagai Produk budaya adalah karena al-Qur’an itu sebagai sebuah teks sentral dan hegemonik yang dijadikan sebagai sumber rujukan dari teks-teks lain.[2]
Diketengahkan olehnya bahwa teks-teks kegamaan (dalam hal ini adalah al-Qur’an) mempunyai kedudukan yang sama sejajar dengnan teks-teks lain dalam kebudayaan manusia. Dari pengasumsian tersebut maka menurutnya mengkaji al-Quran tidak memerlukan sebuah metode khusus, dan menggunakan metode khusus merupakan sama artinya menghalangi manusia untuk memahami teks-teks agama secara mandiri.[3]
Selanjutnya diungkapkan oleh Nasr hamid bahwa al-Qur’an tidak lebih hanyalah sebagai fenomena teks bahasa biasa karena melihat realitas dan kultur yang lekat dengan bahasa manusia.[4] Bahasa, kultur dan realitas merupakan fenomena historis; serta masing-masing dari itu memiliki kondidi yang khusus. dengan pemaparan alasan yang seperti itulah menurutnya al-Qur’an juga adalah teks historis.[5] Kesimpulannya yang dengan tanpa ragu meyakinkan bahwa  al-Qur’an adalah teks manusia ditunjukkannya dengan menunjuk pada historisitas teks, realitas, kultur dan bahasa.[6]
Penafsiran para ulama Islam terhadap al-Qur’an juga menjadi sasaran kritik Nasr Hamid dengan menyalahkan mereka karena lebih mengedepankan sisi metafisik sehingga menurutnya mengalahkan sisi ilmiah dan obyektif dalam mengkaji al-Qur’an. dengan menganggap al-Qur’an sebagai teks manusia sebagaimana teks lain pada umumnya, dia berharap kajian al-Qur’an dapat dinikmati oleh siapa saja termasuk non Islam dan bahkan atheis sekalipun. Logika Abu Zayd menyatakan bahwa “keimanan terhadap wujud metafisik al-Qur’an akan menghalangi sebuah pemahaman ilmiah terhadap fenomena teks al-Qur’an.[7]
Hal pokok yang menjadi penyebab pemikiran Islam tertinggal dan berhenti dari peredaran sejarah, menurut Nasr Hamid adalah dikarenakan terlalu terpusat pada persoalan teologis (divine dimension).[8] Dijelaskan dengan tegas olehnya bahwa “al-Qur’an adalah perkataan Muhammad yang diriwayatkan ia adalah wahyu ilahi (the word of Muhammad reporting what he asserts is the word of God, this is the Quran).”[9] Serta menurutnya, firman tuhan juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia. Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang menjadi kehendak Allah. Tak ayal pernyataan seperti ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah melulu bahasa manusia (The Qur’an is human language).[10]
Nasr Hamid mengkritik pembahasan yang dia sebut sebagai diskusi tradisional yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Tablet terjaga (al-lawh al-Mahfudz) sampi kepada langit dunia (sama’ al-dunya), dan dari sana ia diturunkan secara gradual kepada Nabi Muhammad, berdasarkan situasi tertentu. Menurut Nasr Hamid, pendapat-pendapat ini tidak lebih adalah bagian dari diskusi mitologis dan bukan diskusi ilmiah. Dari pernyataan yang seperti ini, Nasr Hamid memposisikan proses pewahyuan dalam pembahasan tersebut tidak lebih dari bahasan mitologis belaka.
Dinyatakan juga oleh Nasr Hamid bahwa al-Qur’an hanyalah sebuah teks historis yang tunduk kepada pemahaman dan interpretasi manusia. Dalam hakikatnya sebagai kata-kata Tuhan, Ia berada di luar pengetahuan manusia.[11] Dengan demikian Nasr Hamid hendak memberi pengertian bahwa kebenaran nilai al-Qur’an hanya ada pada sisi Allah semata tanpa dapat dijangkau oleh manusia nilai kebenarannya ketika telah diwahyukan.  Dan ini menggiring pada pengertian  bertumpu pada kerelatifan semata pemahaman manusia terhadap al-Qur’an karena diasumsikan manusia tidak dapat meraih kebenaran pemahaman ketika wahyu diturunkan. Hal ini tentu saja mengarah pada pengertian manusia tidak pernah benar-benar sampai pada kebenaran karena pencapaian terjauhnya hanya sampai pada tingkatan relatif.


[1] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Diniy (Kairo: Sina’ Li al-Nasyr, 1992), hal. 93.
[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash, Dirosah Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Markaz al-Shaqafi al-‘Arabi), hal. 24.
[3] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd Khithab al-Diniy, hal. 197.
[4] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, hal. 24.
[5]Nasr Hamid Abu Zaid, Tahdits al-Islam Aw Aslamat al-Hadatsah? dalam buku Cosmopolitanism: Identity and Authenticity in the Middle east, Editor; Raul Mayer, Surrey; Curzon Press, 1st Edition, 1999, p. 74.
[6] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd Khithab al-Diniy, hal. 93
[7] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, hal. 24.
[8] Nasr Hamid Abu Zayd dan Aster R. Nilson, Voice of an Exile: Reflections on Islam (London: Wesport Connecticut, 2004), p. 95.
[9] Ibid., hal. 96.
[10] Ibid., hal. 97.
[11] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan kritis al-Qur’an, Teori Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003),hal. 71.

Konsep Wahyu


Supaya nantinya diperoleh pemahaman yang tidak parsial, maka pendekatan yang tepat tentang sebuah konsep adalah menempatkannya pada konteks kerangka cara pandang tertentu, worldview Islam[1]. Dalam perspektif worldview Islam, sebuah konsep lahir secara epistemologis tidak dilepaskan dari analisis bahasa dan syari’ah. Oleh karena itu, agar mendapatkan pemahaman yang tepat, maka kajian tentang konsep perlu dimulai dengan analisis bahasa. Apalagi obyek yang dikaji adalah bahasa Arab, yang memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan bahasa lain. Menurut Syed M. Naquib al-Attas, peranan bahasa – terutama bahasa Arab – menduduki posisi sentral dalam konsepsi dan Islamisasi pengetahuan.  Berposisi sentral, karena bahasa Arab memiliki keunikan. Yakni, struktur katanya senantiasa merujuk pada sistem akar kata (mashdar). Selain itu struktur pemaknaan (semantic) bahasa Arab secara jelas melekat kepada kosa kata secara konsisten merujuk pada akar kata[2].  Oleh karena itu, penjelasan tentang konsep wahyu terlebih dahulu dimulai dengan analisis bahasa.
Secara lughawiy kata wahyu memiliki beragam makna. Diantaranya adalah, berbicara secara sembunyi, isyarat atau memberi tanda, memberi informasi secara cepat, memberi informasi secara tertulis atau menuliskan sesuatu dan memberi ilham[3]. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian informasi wahyu dapat disampaikan dalam tiga bentuk, yaitu melalui komunikasi oral, melalui isyarat panca indera, melaui suara dan  melalui tulisan[4]. Secara terminologis, Ibnu Mandzur mendefinisikan, wahyu adalah pemberian informasi yang tersembunyi yang khusus disampaikan kepada para nabi Allah SWT.[5] Demikian juga Manna’ al-Qaththan memberikan ta’rif  wahyu adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi dari para Nabi-Nya.[6]
Adapun  secara definisi syari’ah  dikatakan bahwasannya wahyu merupakan kalam Allah Swt. yang khusus disampaikan kepada para nabi serta Rasul-Nya. Wahyu didefinisikan sebagai pemberitahuan Allah SWT kepada para Nabi-Nya tentang pesan-pesan Ilahi berupa syari'at dan berita-berita  lain secara sembunyi  yang mana  manusia biasa tidak mengalami hal ini.[7] Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Asfahani, bahwa wahyu adalah ilmu rabbaniy yang mempunyai spesifikasi dan bersifat pasti (qat'iy). Sehubung dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam adalah sumber informasi yang benar yang otoritatif (khabar shadiq)[8]. Karena memiliki sifat rabbaniyah itu, Abu Hamid al-Ghazali menegaskan bahwa wahyu adalah sumber ilmu yang tidak dihasilkan oleh akal manusia (bahkan seorang nabi pun tidak memiliki tempat mengkreasi wahyu), dan hanya diturunkan kepada nabi[9].
Terkait dengan hal tersebut, meskipun sama-sama berisfat rabbaniyah wahyu berbeda dengan Ilham. Oleh Al-Ghazali keduanya dibedakan, Ilham termasuk kategori sumber ilmu dari Allah Swt, bentuknya seperti petunjuk yang datang ke dalam hati berupa informasi tanpa usaha atau tanpa belajar yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang dikehendaki.[10] Nabi atau manusia biasa yang dikehendaki Allah SWT bisa mengalami mendapatkan ilham. Bentuk informasi ilham berbeda jika dibandingkan dengan wahyu. Adapun jika wahyu yang diturunkan adalah berupa lafadz dan ma'nanya, maka berbeda dengan ini ilham hanyalah sebatas pemberian semacam ide atau ma'na.  Pengertian ini sesuai dengan berbagai makna wahyu dalam ayat-ayat al-Qur'an.
Wahyu juga memiliki beragam makna sesuai dengan konteksnya, hal ini telah disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an. Kata wahyu di dalam al-Qur'an beserta derivasinya disebut pada enam puluh satu tempat yang berbeda.  Dari jumlah yang sekian itu, al-Qur'an memberi makna yang berbeda-beda terhadapnya.  Seperti bermakna pemberian ilham kepada manusia, terdapat dalam QS. Al-Qashas: 7,  memberi isyarat atau kode terdapat dalam QS. Maryam: 11. Bermakna isyarat atau menuliskan  sesuatu terdapat dalam QS. Al-An'am: 112. Bahkan makna dasar wahyu juga bisa bermakna pemberian informasi yang tidak baik, seperta dalam QS. Al-An'am: 121 "Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan (yuuhuuna) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu". Dalam berbagai tempat, al-Qur'an memberi makna wahyu sebagai ilham, kode, membisikkan atau pemberian informasi biasa, apabila objeknya adalah bukan Nabi. Berbeda dengan itu, wahyu dimaknai sebagai kalam Allah SWT yang suci disampaikan secara sembunyi melalui malaikat sebagai tanda kenabian, bila objeknya adalah seorang Nabi SAW, seperti dalam QS. Al-Anbiya: 25, QS. Yunus: 109 dan lain sebagainya.[11]
Dari penjelasan singkat tersebut bisa dikatakan bahwasannya wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi, adapun selain nabi wahyu dimaknai ilham, pemberitahuan atau isyarat. Hal itu misalnya dapat dilihat bahwa kata wahyu dengan khitab-nya Nabi, maka wahyu diterjemahkan secara terminologis seperti terdapat dalam QS. Al-Syuraa: 51 atau QS. Yunus: 109. Wahyu diartikan ilham bila khitabnya adalah orang-orang shalih yang cara penyampaian informasinya tidak dalam bentuk lafadz tapi ide. Nabi juga menerima ilham, dalam arti yang turun adalah maknanya, akan tetapi al-Qur’an tidak diturunkan melalui bentuk makna saja. Wahyu dalam bentuk ilham yang diberikan kepadan Nabi lebih tepat disebut dengan hadis karena yang diberikan adalah dalam bentuk ide (makna).[12] Secara ringkas perbedaan antara wahyu dan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya, dialami oleh nabi maupun manusia biasa – yang bentuk informasinya dalam bentuk ide.
Terkait dengan hal tersebut, wahyu dibagi menjadi dua. Al-Suyuthi mengutip Imam al-Juwaini menjelaskan, kalam Allah SWT ada dua macam. Pertama, wahyu yang kemudian disebut al-Sunnah. Bentuk ini disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ide. Allah SWT menyampaikan kepada Jibril tentang sesuatu, lantas Jibril memahami kalam-Nya kemudian disampaikanlah kepada Nabi, hanya saja redaksinya diungkapkan oleh Nabi SAW. Kedua, wahyu yang disebut al-Qur’an yakni yang diturunkan adalah lafadz dan maknanya. Allah SWT mengatakan kepada Jibril, bacalahkanlah al-Kitab  ini kepada Nabi Muhammad SAW.  Kemudian Jibril turun tanpa mengubah redaksi lafadznya sedikitpun, serta kemudian diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril[13]. Mengenai hadis qudsi, pendapat yang masyhur menurut Imam al-Zarqani adalah lafadznya dari Allah SWT – seperti halnya al-Qur’an. Hanya saja tidak memiliki i’jaz, dan karakteristik seperti al-Qur’an[14].
Dapat dikatakan bahwa pengertian dari wahyu tidak dapat ditinjau dari satu sisi, yaitu sisi etimologis saja. Informasi dari keterangan ini bisa didapati dari keterangan di atas.  Hal ini disebabkan oleh karena makna literal saja belum dapat sampai mengantarkan pada memahami hakikat kata tersebut. Jadi sesuai dengan jalur epistemoligi dalam Islam, maka yang perlu untuk dipahami adalah makna Syari’ah dan makna etimologinya. Dengan melakukan langkah pemahaman terhadap makna syari’ah dan makna etimologi lah nantinya akan didapati hasil pemahaman yang tidak saling mempertentangkan (dikotomis ) dan lebih menyeluruh (komprehensif). Penjelasan mengenai hal ini dapat ditelusuri dari makna dasar dari wahyu, yang diantaranya  memiliki makna, memberikan informasi secara sembunyi dan menuliskan.
Didapati ternyata dua makna ini melekat di dalam makna syar'i wahyu al-Qur'an. Arti yang bisa didapati dari hal ini adalah bahwa al-Qur'an adalah merupakan bacaan, akan tetapi bukan berarti tidak sama dengan al-Qur'an sebagai teks. Terdapat arti “tertulis” dalam makna kata dasar wahyu. Dengan demikian maka adalah benar jika disebut bahwa al-Qur’an adalah kitab tertulis, jadi al-Qur'an disebut juga al-Kitab. Secara definitif maka pengertian wahyu tidak memberikan ruang terhadap  pemahaman yang mendikotomisasikan antara keduanya, akan tetapi tauhidi, yakni bahwa wahyu ketika disampaikan secara oral akan tetap selalu terjaga isinya ketika ditulis dalam bentuk teks.
Mengenai  penjelasan hal tersebut bisa dilihat melalui salah satu makna etimologis, ditunjukkan bahwa wahyu diartikan “mengatakan sesuatu dan  sesuatu yang tertulis” (al-maktub). Pada saat menerima wahyu, tidaklah Nabi saw  menerimanya sudah dalam bentuk tulisan ataupun buku akan tetapi ia menerima bacaan ayat. Selanjutnya sesuai dengan makna literalnya, sesudah Rasulullah saw. menerima wahyu kemudian mengajarkan kepada para sahabat secara lisan dan juga menghafalnya, maka wahyu yang sudah dihafal oleh para sahabat itu kemudian ditulis melalui beberapa media seperti di atas pelepah kurma, atau dengan menggunakan media tulang. Wahyu meskipun disampaikan secara lisan, akan tetapi secara konsisten al-Qur’an menyebut sebagai kitab tertulis (al-Kitab)[15]. Dikarenakan hal  itulah kemudian penjagaan wahyu al-Qur’an adalah melalui dua media, yaitu melalui hafalan dan dibantu dengan media tulisan. Hal ini menandaskan bahwa tidak akan ditemui perbedaan isi antara wahyu pada saat disampaikan secara oral pada masa Rasulullah saw. dan wahyu pada saat dituliskan dalam bentuk teks.
Adapun proses tanziil (penurunan wahyu)  adalah melalui beberapa cara. Cara pertama, Malaikat Jibril mendatangi Nabi, kemudian terdengar seperti suara gemerincing dan dengan sadar Nabi mendengarkan dan memahami bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu.[16] Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ini merupakan pertanda bahwa wahyu yang turun tersebut adalah berisikan ayat tentang ancaman-ancaman.[17] Adapun cara yang kedua yaitu malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad kemudian menyampaikan wahyu seperti membisiki[18]. Cara penyampaian wahyu yang ke tiga adalah malaikat Jibril mendatangi Nabi dengan rupa sebagaimana pada umumnya manusia biasa, selanjutnya malaikat menyampaikan wahyu secara talaqqiyan langsung  kepada Nabi. Cara yang ke empat, Jibril mendatangi rasulullah dalam tidurnya, dan dalam keadaan inilah wahyu disampaikan. Cara penyampaian wahyu yang ke lima adalah Allah SWT secara langsung menyampaikan wahyu-Nya baik pada waktu Nabi dalam keadaan sadar, sebagaimana pada saat nabi Muhammad SAW menerima perintah shalat pada malam Isra’ ataupun Allah swt. mendatangi Nabi ketika dalam keadaan tidur. Sebagaimana diutarakan oleh al-Suyuthi bahwa al-Qur’an tidak diturunkan melalui cara kelima ini, yaitu Allah swt langsung menyampaikannya kepada Nabi.[19] Rasulullah SAW pada setiap selesai mendapat wahyu langsung mengajarkan kepada para sahabat, mengajarkan secara lisan dan menganjurkan untuk menghafal, selanjutnya beliau juga memerintahkan untuk menulis kepada para sahabat.
Sesudah mengetahui terhadap informasi tentang bagaimana cara tanziil tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwasannya wahyu al-Qur’an pada dasarnya adalah merupakan bacaan yang disampaikan dan  bukanlah tulisan. Jadi apa yang dimaksudkan dengan membaca al-Qur’an adalah membaca dari ingatan, adapun tulisan adalah menempati posisinya sebagai peneguh dari apa yang ada di ingatan tersebut.[20] Dalam memelihara hafalan al-Qur’an bagi para sahabat, Nabi Muhammad saw. sangat menaruh perhatiannya, beliau bahkan bersemangat untuk menggerakkan lidahnya guna melatih bacaan para sahabat dan menyegerakan penghafalannya karena khawatir akan kemungkinan terdapat satu huruf yang terlewatkan.[21] Selanjutnya lebih dari itu, guna menjaga hafalan, malaikat Jibril datang dalam bulan Ramadlan pada setiap tahunnya untuk mengecek bacaan Nabi saw. Terlebih lagi pada saat tahun menjelang wafatnya Nabi, malaikat Jibril menyampaikan bacaan al-Qur’an  sebanyak dua kali, dan dari ini sehingga beliau pada waktu menjelang akhir hayatnya dapat memahaminya  dengan sangat baik. [22]


[1] Worldview secara umum dimaknai sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup.
[2]Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (terj), (Bandung: Mizan, 2003), hal. 352-355 dan  Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education In Islam: a Framework for an Islamic Phlilosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999)
[3]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab(Beirut: Dar Shadir, jilid 15) bab wahyu; Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur'an, terj. (Bogor: Litera Antar Nusa, 2009),  hal. 36
[4]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu'jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur'an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), p. 747 lihat juga Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradaat fi Gharibi al-Qur'an, tanpa tahun dan tempat, bab wahyu
[5]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, bab wahyu.
[6] Manna' al-Qaththan, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, Riyadl : Mansyurat al-'Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M, hal. 33.
[7]Al-Raghib al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M), hal. 55.
[8]Khabar shadiq adalah sumber ilmu dalam Islam. Ia adalah informasi benar yang memiliki otoritas. Imam al-Nasafi menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dan oleh Karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan Rasul SAW yang diperkuat dengan mu'jizat. Informasi jenis ini bersifat istidlaliy. Lihat Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia Thn. II No 5 April-Juni 2005
[9]Abu Hamim al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal (Kairo: Silsilah Tsaqafat Islamiyah, 1961), hal. 13-14.
[10]Ibid.
[11]Lihat Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu'jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur'an al-Karim, hal. 745 dan Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur'an, hal. 36-37.
[12]Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan fii Ulum al-Qur’an, terj, (Jakarta: Pustaka Amani, 1422 H/2001 M), hal. 70. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Dia (Nabi) tidak berkata dari hawa nafsunya, tidak ialah wahyu yang diwahyukan (Allah) kepadanya”. QS.al-Najm: 30
[13]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, jilid I, 1429 H/2008 M), hal. 63.
[14]Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an (Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1995 M/1415 H Jilid I), hal. 45.
[15]M.M. Al-A’zami, The History the Qur’anic text From Revelation to Compilation, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, terj, (Jakarta: GIP, 2005), hal. 71.
[16]Hadis shahih riwayat Imam Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab Bada’a al-wahyi hadis no.2, Imam Muslim dalam Shahih Muslim Kitab al-Fadlail hadis no.4303, Imama Turmudzi dalam  Sunan Turmudzi hadis no. 3567, dan Imam Ahmad dalam Musnadnya hadis no. 24092
[17]Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, hal. 64.
[18]HR. Shahih riwayat Hakim dalam Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an.
[19]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, hal. 64; dan Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur’an, hal. 55.
[20] Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 2008), hal. 10.
[21]Karena terlalu bersemangat dan tekesan terburu-buru Allah SWT akhirnya mengingatkan agar pelan-pelan melafalkan disesuaikan dengan kemampuan sahabat, hal ini dapat disimak dalam QS. Al-Qiyamah: 16-19
[22]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’an al-Karim, terjemah oleh Taufiqurrahman Studi Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka setia,1992), hal. 11.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...