Senin, 14 Juni 2010

UMMAT ISLAM INDONESIA PASCA ORBA

UMMAT ISLAM INDONESIA PASCA ORBA
Renungan dan Prediksi masa depan
Oleh; Hamid Fahmy Zarkasyi

Mukaddimah
Menyoroti kondisi ummat Islam Indonesia Pasca Orba sama dengan mengkaji keadaan suatu bangsa dalam rentang waktu kurang lebih 24 bulan dengan perubahan-perubahan yang luar biasa drastis dalam berbagai bidang POLEKSOSBUD. Hasil yang diperoleh boleh jadi hanyalah sebatas asumsi-asumsi sementara atau sekedar analisa kronologis dari perubahan-perubahan itu dan hal ini seringkali sulit dipertahankan. Yang perlu dilakukan adalah mencari benang merah yang menghubungkan keadaan sekarang dan masa lalu. Untuk itu fokus pembicaraan tidak mesti di batasi era Orde Baru, meskipun ia adalah anteseden langsung dari keadaan kita sekarang. Sedangkan bidang yang menjadi perhatian kita bersama atau dalam bahasa Nurcholish Madjid “yang paling dekat dengan kehidupan nyata kita” salah satunya adalah agama dan dalam hal ini Islam dan ummatnya. Maka dari itu dalam makalah ini kita akan mencoba menganalisa perubahan dan perkembangan ummat Islam yang terjadi setelah tumbangnya Orde Baru dengan melihat kembali perkembangan yang terakumulasi sejak periode-periode sebelumnya.

Perjuangan di masa lalu
Tidak ada perubahan suatu masyarakat kecuali bermula dari perubahan dalam diri manusia, dan tidak ada perubahan dalam diri manusia kecuali melalui suatu proses pengalaman atau pembelajaran.(al-Anfal-53; al-Ra’d 11), itulah premis kita untuk wacana kita saat ini. Dalam konteks ke Indonesiaan ini berimplikasi bahwa perubahan-perubahan yang dapat dicatat dalam sejarah ummat Islam Indonesia adalah produk dari pengalaman sejarah atau yang lebih spesifik adalah hasil dari kondisi pendidikan ummat Islam secara keseluruhan termasuk situasi sosio-kultural yang melingkupinya. Faktor kualitas kependidikan dan kebudayaan adalah sine qua non bagi muncul tidaknya perubahan ummat. Artinya kualitas pengetahuan dalam diri ummat Islam adalah faktor penentu perubahan dan kemajuan ummat.

Untuk itu marilah kita merefleksi apa yang terjadi pada ummat Islam dimasa lampau. Politik etis Belanda yang memberikan pendidikan modern kepada bangsa Indonesia telah melahirkan kelas masyarakat perkotaan yang berpendidikan modern. Pada saat yang sama ummat Islam beri’tizal di pelosok-pelosok pedesaan membangun tradisi pendidikan Islam yang disebut pesantren. Kedua bentuk pendidikan ini tidak saja menghadirkan suatu paradigma keilmuan yang dichotomis yakni agama dan umum, tapi secara sosiologis juga melahirkan dua corak masyarakat yang secara frontal bersebarangan. Meskipun demikian produk kedua bentuk lembaga pendidikan ini memiliki kans yang sama untuk berperan dalam percaturan politik nasional, khususnya dalam mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Dalam peringkat akar rumput dichotomi yang direpresentasikan oleh kedua bentuk sistim pendidikan itu wujud dan bersifat antagonistik. Karena itu meski terminologi Geertz “santri-abangan” secara sosiologis cacat, merupakan kenyataan sosial yang tidak terbantah. Pertentangan yang terjadi di masyarakat disebabkan terutama oleh kurangnya pengetahuan di kedua belah pihak. Di satu pihak ummat Islam masih buta tentang pengetahuan modern dan dilain pihak kaum nasionalis modern tidak memahami ajaran Islam. Yang muncul dipermukaan adalah sikap a priori dan berakhir dengan permusuhan.

Namun dalam perjalanan sejarahnya berkat universalitas ajaran Islam dan bertambahnya pengetahuan para pemimpin Islam kelompok santri akhirnya menempuh pendidikan modern dengan tetap membawa watak kesantriannya, sehingga mereka memiliki pengetahuan yang sejajar dengan kelompok nasionalis. Contoh yang penting disebut disini adalah H.O.S Cokroaminoto, seorang tokoh santri yang berpendidikan modern. Berkat pembinaannya secara non-formal lahirlah tokoh-tokoh nasional yang diantaranya adalah Soekarno, seorang nasionalis yang mampu memahami Islam secara lebih baik dibanding tokoh-tokoh yang tidak tersentuh oleh pengetahuan agama. Jadi disamping faktor kemampuan leadershipnya yang luar biasa pengetahuan Islam Soekarno adalah modal terbesarnya dalam mempersatukan bangsa Indonesia yang mayoritas Islam, dan ia diperoleh dari hasil convergensi pengetahuan agama dan umum.

Usaha-usaha yang dilakukan ummat Islam terdahulu semakin hari semakin mendapat tantangan dari masyarakat, utamanya dalam bidang pengembangan sumber daya manusia yakni pendidikan. Kelompok nasionalis dibawah figur Ki Hajar Dewantoro mendirikan sekolah Taman Siswa yang bercita-cita melahirkan kader-kader yang berwawasan kebangsaan, yang secara implisit berarti tidak berwawasan agama, khususnya Islam. Sementara itu sekolah-sekolah umum warisan Belanda terus berkembang dan menghasilkan tokoh-tokohnya. Dari kelompok Islam lahir usaha untuk memajukan ilmu pengetahuan ummat Islam dengan convergensi pengetahuan agama dan umum. Usaha yang pertama kali diprakarsai KH. Ahmad Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah berbentuk lembaga pendidikan besistim sekolah yang mengetrapkan konsep convergensi pendidikan agama-umum ini. Satu dasawarsa kemudian berdiri organisasi Nahdatul Ulama, yang merupakan representasi kaum santri tradisionalis yang tetap mempertahankan sistim tradisional. Ketiga kekuatan sosial diatas kemudian berkembang dengan semangat dan intensitasnya masing-masing, sehingga pada era menjelang kemerdekaan Indonesia tiga kelompok: kaum nasionalis, kaum santri modern dan kaum santri tradisionalis adalah gambaran kekuatan sosial yang berpotensi membawa perubahan bangsa ini dimasa depan. Meskipun demikian kita tidak dapat melupakan peran penting Syarekat Islam dalam menanamkan benih-benih tumbuhnya kekuatan politik Islam, khususnya dalam pendirian partai politik Islam, Masyumi.

Dari ketiga kekuatan sosial yang berbasis pendidikan ini kelompok nasionalis memiliki peran dan dominasi yang luar biasa luasnya. Dengan figurnya Soekarno (pendiri Partai Nasional Indonesia) kelompok nasionalis berhasil mengangkat sistim pendidikan modern yang berwawasan nasional menjadi sistim pendidikan nasional. Kedua kelompok santri modern dan tradisionalis untuk sementara cukup puas dengan identitas gerakan sosial keagamaan dengan sistim pendidikannya sendiri diluar pagar sistim pendidikan nasional. Namun demikian, kedua kelompok Islam ini secara perlahan-lahan “bermain” dijajaran birokrasi dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan kependidikan nasional. Jika kelompok nasionalis berhasil menghapuskan 7 kata-kata dalam Piagam Jakarta, maka kelompok Islam 5 tahun kemudian (1950), Islam berhasil membuat Keputusan penting dalam pendidikan nasional. Dibawah Perdana Menteri Moh.Natsir, KH.Wahid Hasyim dari NU dan Bahder Johan dari Muhammadiyah (keduanya menteri kabinet) berhasil membuat suatu Keputusan penting didunia pendididikan Islam. Mereka bersepakat memasukkan pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum dan memasukkan pengetahuan umum kesekolah-sekolah agama. Untuk tidak mengklaim bahwa keputusan ini hanyalah satu-satunya variable lahirnya pemimpin Islam dimasa depan, perlu dicatat peran lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah mulai upaya convergensi sejak sebelum keputusan itu itu dibuat. Sekolah-sekolah Muhammadiyah di Yogya, Perti di Sumatera Barat, Pondok Modern Gontor di Jawa Timur, dan sebagainya telah mulai usaha convergensi pendidikan agama-umum sejak tahun 30-an. Dampak dari usaha-usaha seperti ini adalah lahirnya cendekiawan Muslim yang berpengetahuan agama dan berwawasan pengetahuan modern. Pada tahun 60’an aktifis pergerakan Mahasiswa Islam dari universitas negeri mulai marak, sama maraknya dengan perguruan tinggi Islam. Tokoh-tokoh cendekiawan yang cukup berpengaruh di era Orde Baru seperti Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Akbar Tanjung, Imaduddin Abdurrahim, Amien Rais dan lain-lain, adalah produk dari convergensi sistim pendidikan diatas. Hal ini dapat simpulkan bahwa jika upaya ummat Islam memegang kekuasaan dan mempertahankan legalitas Islam ditingkat perundang-undangan dianggap gagal, maka pada hakekatnya ia berhasil dalam menggalang kekuatan ummat secara massive yang akan membawa perubahan evolutif dimasa depan. Ini berarti bahwa kemengangan politik saja tanpa didukung oleh sumber daya manusia yang memadahi tidak menjamin keberhasilan jangka panjang, bahkan seringkali kekuatan politik dimulai dari ide-ide tokoh intelektual. Karena itu pendidikan adalah politik jangka panjang yang dapat membawa perubahan secara evolutif.

Orde Baru
Dalam proses perubahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru posisi ummat Islam masih tetap tidak sentral dan secara tidak disadari harus tetap berhadapan dengan kelompok nasionalis. Kekuatan politik Islam yang telah ditampilkan Masyumi masih menghantui kelompok nasionalis dan mendorong mereka membuat strategi-startegi yang menumpulkan. Kelompok nasionalis saat itu telah berkembang dalam berbagai identitas: nasionalis Jawa, nasionalis-sosialis, nasionalis Islam, nasionalis Kristen dan lain-lain, sehingga menyulitkan ummat Islam untuk mengidentifikasi siapa lawan-siapa kawan. Orde Baru yang tetap nasionalis berhasil merangkul ummat Islam dengan menjadikan PKI sebagai musuh bersama. Disamping itu Orba dengan komponen barisan nasionalis-nya bergandengan tangan dan menjadikan ummat Islam sebagai ancaman bersama.

Karena apa yang kemudian berlaku bukanlah kebersamaan Orba dan ummat Islam dalam memerangi ideologi komunis, akan tetapi adalah de politisasi ummat Islam. Rekayasa penyatuan (fusi) partai-partai Islam ke dalam satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), strategi floating mass, dan pembatasan gerak parpol, adalah langkah-langkah effektif untuk itu. Dengan ini kemungkinan bangkitnya kekuatan Masyumi untuk kembali berperan di pentas nasional berhasil tutup. Akibatnya renegerasi di berbagai bidang utamanya politik di zaman Orde Lama yang relatif natural terkendala. Kader-kader pemimpin ummat dari lembaga organisasi Islam tidak dapat mudah menapaki jenjang karir politik mereka kecuali melalui seleksi birokratis politis. Sejarah seakan berulang kembali, bahwa ketika ummat Islam gagal menggapai kekuasaan politik, jalur non-politis dan non-birokratis menjadi alternatif yang menguntungkan. Untuk jalur politik harapan hanya bergantung pada anak-anak Masyumi yang sedang dan telah menempuh jalur pendidikan sekuler dan bersosialisasi dengan kelompok nasionalis dalam birokrasi dengan tanpa saling curiga.

Seperti juga dizaman Orde Lama dan pra-kemerdekaan, jalur non-politis yang ditempuh ummat Islam adalah pendidikan. Jalur ini memiliki spektrum yang sangat luas meliputi pendidikan formal, non-formal dan informal. Para ulama bekas aktifis Masyumi tidak saja membenahi lembaga pendidikan dan dakwahnya, tapi juga mengirimkan anak-anaknya ke perguruan tinggi umum. Untuk lingkungan lembaga pendidikan negeri keputusan yang mewajibkan dimasukkannya mata pelajaran atau mata kuliah agama merupakan asset berharga. Di lingkungan universitas negeri hasrat para dosen dan mahasiswa Islam untuk lebih mendalami esensi ajaran Islam meningkat. Hasrat yang didorong oleh lingkungan akademis yang bebas menemukan medan geraknya dalam apa yang disebut sebagai Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Dalam hal ini peran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai pelopor pergerakan mahasiswa Islam yang aktif dalam wacana pemikiran keislaman tidak dapat diabaikan. Di lingkungan sekolah menengah program pesantren kilat, training pelajar dan program keagamaan lainnya mulai marak, meskipun masih dalam tingkat seremonial. Akan tetapi langkah ini bukan tanpa resiko, karena kyai-kyai mengirimkan anak-anaknya kesekolah negeri, banyak pesantren yang kekurangan kader kyainya. Program kaderisasi ulama oleh Munawir Sadzali (Menag Orba), hanyalah therapi klinis yang tidak menyelesaikan masalah.

Sementara pengkajian Islam marak di kampus-kampus perkotaan, pesantren-pesantren di pedesaan dengan tradisinya mulai kekurangan daya tariknya dikalangan ummat Islam. Meskipun prediksi Amin Rais di awal tahun 80 bahwa pengkajian Islam akan berpindah dari pesantren ke perguruan tinggi tidak terbukti, namun maraknya gerakan pengkajian Islam pada masyarakat perkotaan benar-benar merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Gejala ini nampaknya tidak hanya berlaku di Indonesia saja, tapi pada hampir seluruh dunia Islam. Oleh sebab itu Ernest Gellner dalam bukunya Postmodernism, Reason and Religion, meramalkan bahwa kebangkitan Islam akan bermula dari Islam perkotaan yang berasal dari kalangan intelektual dan olehnya disebut High Islam, dan bukan Islam pedesaan (Folk Islam atau Low Islam). Ciri-ciri Islam High Islam ini menurutnya cenderung puritan dan skripturalis. (hal 11). Koentowidjojo dalam bukunya Paradigma Islam, juga melihat perkembangan Islam dari mitos kepada politik dan berakhir dengan Islam Ilmu. Artinya Islam dapat hadir dan hanya akan diterima apabila ia dalam bentuk Ilmu dan memerlukan kajian ilmiah. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa untuk kasus Indonesia membicarakan kebangkitan Islam melalui “high Islam”-nya Gellner masih terlalu dini. Masalahnya, kajian Islam di kampus-kampus barulah pada tahap intensifikasi pemahaman atau pemahaman kembali Islam murni dan belum mencapai tahapan Islam dalam bentuk tamaddun yang konseptual dalam suatu paradigma keilmuan yang integral.

Perkembangan Islam jalur non-politik ini ditandai oleh lahirnya ICMI, dimana intelektual Islam dari kalangan birokrat, ormas dan akademisi bersatu tanpa hambatan politis seperti di awal Orde Baru. Pengorganisasian kaum terpelajar Islam ini menurut Nurcholish Madjid merupakan pertumbuhan nasional dan gejala historis yang wajar, artinya tanpa ICMI pun gejala itu akan tetap muncul. Azyumardi Azra bahkan mengamati perkembangan Islam sejak awal tahun 1990 sebagai gelombang yang sulit dibendung. (Panjimas, 40, th.III, Edisi Khusus thn.200). Namun penyataun kekuatan Islam yang demikian ini mengingatkan orang pada penyatuan kekuatan politik Islam dimasa lalu dalam wadah Masyumi, sehingga kelompok nasionalis menerimanya dengan penuh curiga. Penolakan Habibie sebagai Presiden keempat RI bukan saja karena kedekatannya dengan Soeharto, akan tetapi lebih sebagai penolakan kelompok nasionalis terhadap lokomotif kekuatan cendekiawan Islam ini.

Pasca Orde Baru
Dengan tumbagnya kekuasaan Orba kelompok modern dan tradisionalis Islam bangkit kembali. Muhammadiyah dengan figurnya Amien Rais, dan NU dengan figur utamanya Abdurrahman al-Dakhili Wahid bangkit dengan parpol masing-masing. Sementara itu sisa-sisa aktifis Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang, disertai dengan partai gurem lainnya. Kekuatan Islam perkotaan yang puritan nampaknya tidak tahan untuk tidak ikut menikmati euphoria kebebasan berpolitik di Indonesia ini dan karena itu lahirlah partai Islam baru yang berbasis mahasiswa perkotaan yaitu Partai Keadilan. Kekuatan kelompok nasionalis nampaknya berhimpun dalam PDI-P dibawah figurnya Megawati Soekarnoputri.

Dalam pergolakan politik pasca Orba ini kelompok nasionalis nampak lebih siap dibandingkan Islam, karena tokoh-tokohnya yang selama Orba berteduh dibawah “pohon beringin” segera meninggalkannya setelah pohon itu tidak lagi teduh untuk kepentingan mereka. Pengalaman mereka dalam berpolitk dan lobi mereka dengan kekuatan asing sangat mendukung bagi kemenangan mereka dalam Pemilu 1999. Sedangkan kelompok Islam masih terpecah-pecah kedalam berbagai partai sehingga perolehan suaranya diungguli oleh kelompok nasionalis. Hal ini dapat ditelusur dari berbagai faktor. Pertama faktor psikologis yang berasal dari trauma perpecahan antar golongan / organisasi Islam dimasa lalu. Kedua, terhambatnya kaderisasi politik selama kurang lebih 30 tahun telah mengakibatkan kurangnya tokoh-tokoh politik Islam yang berpengalaman. Ketiga, rentang waktu antara pendirian partai dan kerja mobilisasi massa terlalu singkat sehingga proses sosialisasi parpol belum maksimal. Keempat, kurangnya dana untuk kegiatan politik di negeri yang secara geografis cukup luas merupakan faktor kekalahan parpol Islam.

Terlepas dari faktor-faktor penyebab kekalahan parpol Islam, kekuatan kelompok Islam telah benar-benar bangkit dari dua kawasan: perkotaan dan pedesaan. Dan ketika dua kekuatan ini bersatu dengan didukung oleh kelompok Islam dalam Golkar dan PPP, berhasil menolak figur calon presiden dari kelompok nasionalis dan memenangkan calon dari kelompok Islam. Akan tetapi benarkah ini suatu kemenangan ? dan benarkah ia disebabkan oleh kekuatan yang kokoh? Ternyata jawabannya adalah tidak, sebab peroleh suara parpol Islam telah diungguli oleh partai nasionalis, PDI-P, dan terpilihnya Gus Dur hanyalah sebuah political expediency (kebijaksanaan politik). Kemenangan dan kekuatan yang sesungguhnya berada pada performance Gus Dur sebagai penguasa dari kelompok Islam pertama dalam sejarah politik Indonesia. Gus Dur harus dapat meyakinkan semua pihak bahwa kelompok Islam lebih baik dari kelompok nasionalis. Oleh sebab itu tugas Gus Dur dalam periode pasca politik Orba yang diwarnai oleh keterpurukan ekonomi adalah memulihkan ekonomi nasional, menghapuskan KKN dan menghadirkan pemerintahan yang bersih, menyelesaikan kasus-kasus HAM peninggalan Orba dan di era reformasi dan lain sebagainya. Untuk internal ummat Islam ia juga dapat dianggap tokoh pemersatu ummat Islam dan karena itu ia diharapkan dapat mempresentasikan dirinya sebagai pemimpin ummat dan bukan sebagai orang NU dan PKB. Oleh sebab itu ia perlu mengutamakan kepentingan ummat Islam secara keseluruhan dari pada kepentingan golongannya.

Stigma yang melekat pada dirinya sebagai figur pemersatu bangsa adalah tantangan yang menyulitkan dirinya. Disatu sisi ia adalah figur hasil dari persatuan dan kesepakatan kelompok Islam dan tentunya harus akomodatif terhadap aspirasi ummat Islam, disisi lain sebagai pemimpin bangsa ia harus menghadirkan dirinya sebagai nasionalis sejati dan menghapuskan kesan sektarian dan mengutamakan kepentingan nasional. Dalam kondisi dimana kelompok Islam secara vis a vis berhadapan dengan kelompok nasionalis kepemimpinan Gus Dur menjadi dillematis. Akan tetapi dalam kapasitasnya sebagai Ulama ia dapat mengatasi dillema ini dengan tampil sebagai pemimpin yang bersifat adil, bersih dan transparan.

Kesimpulan
Dari hingar perpolitikan Indonesia ummat Islam masih belum dapat sepenuhnya dikatakan siap. Ketidaksiapannya dapat ditelusur dari kualitas dan kuantitas pemimpin kita saat ini yang secara introspektif dapat dikembalikan kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam mempersiapkan kader-kader pemimpin ummat dimasa lalu. Saat ini kita seakan tidak memiliki banyak pilihan, tidak ada pemimpin yang diterima semua pihak selain Gus Dur, tidak ada pemimpin yang sekritis Amien Rais dan seterusnya. Jika presiden Gus Dur yang ulama dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan ummat dan bangsa, kita perlu bertanya pada diri kita apakah yang salah dalam pendidikan kita dimasa lalu. Jika kelompok-kelompok dalam Islam tidak dapat bersatu, kita perlu berintrospeksi, apakah yang salah dalam pergerakan Islam selama ini. Jika perubahan suatu masyarakat bermula dari perubahan dalam diri manusia adalah premis minor dalam wacana ini, sedangkan perubahan ummat Islam Indonesia berasal dari perkembangan pemikiran tokoh-tokoh pemimpinnya yang berasal dari sistim pendidikan ummat Islam dimasa lalu, maka kesimpulannya adalah bahwa untuk merubah kondisi ummat Islam Indonesia dimasa datang adalah merubah atau mengembangkan sistim pendidikannya. Wallahu a’lam.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...