Ya, aku berbicara apa adanya. Anda hanya harus membiasakan diri dengan keterus terangan ini. Dalam suratku ini, kuajukan pertanyaan-pertanyaan yang tak lagi terhindarkan buat kita. Kenapa pikiran kita semua terpaku pada kejadian yang menimpa orang-orang Palestina dan Israel? Kenapa orang Islam begitu sulit untuk mengubah pandangannya tentang anti-Semitisme? Siapa penjajah kaum muslim yang sesungguhnya—Amerika atau bangsa Arab? Kenapa kita menyia-nyiakan potensi kaum perempuan, yang merupakan separuh dari jumlah makhluk Tuhan? Bagaimana kita bisa begitu yakin bahwa kaum homoseksual patut diasingkan—atau dibunuh—jika Al-Quran menyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan bersifat “sempurna”? Tentu saja Al-Quran menyatakan lebih dari itu, tetapi apa sebetulnya alasan kita bersikukuh untuk memahami Al-Quran secara harfiah jika cara itu begitu kontradiktif dan ambigu?
(Izinkan aku meneguhkan imanku)_Irwan Malik Marpaung
Muhammad bukanlah sosok pembaharu yang keliru memasuki rumah orang dari pintu belakang, atau melalui jendela. Muhammad bukan tipe pembaharu yang mengobati wabah masyarakat secara parsial dan hanya aspek moral saja. Muhammad bukan seperti pemimpin yang hanya mampu melakukan perubahan pada satu aspek kemanusiaan saja pada kurun waktu terbatas dan wilayah tertentu saja. Muhammad bukan seperti pelopor pembaharuan yang mati sebelum misinya tercapai. Muhammad menapaki tangga reformasi melalui arah yang tepat. Muhammad telah meletakkan kunci pada posisi yang benar sehingga “pintu” kemanusiaan yang tertutup rapat, yang selama ini gagal dibuka oleh para pembaharu yang pernah terlahir ke dunia. Muhammad memulai da’wahnya dengan memproklamirkan iman pada Allah Yang Maha Esa, anti keberhalaan, anti penghambaan diri pada tiran dalam pengertian yang seluas-luasnya. Muhammad menghadapi kaumnya dan berseru, “Wahai manusia, ikrarkanlah ‘La Ilaha Illa Allah’ Tuhan yang disembah nabi Adam AS dan seluruh nabi-nabi terdahulu.
Ironis memang, masyarakat jahiliyah tidak gagal dalam memahami hakikat da’wah Muhammad dan tujuan yang hendak dicapainya. Mereka memakluminya saat pertama kali suara Muhammad memperdengarkan bahwa seruan untuk beriman kepada Allah itu ditujukan pada mereka. Sungguh naïf, mereka masyarakat yang sudah sampai pada mereka berita gembira akan kedatangan seorang nabi penutup, justru seolah-olah mengalami kiamat. Mereka berperang membabi buta demi rasa iri dan dengki, hasut, rasa tinggi hati, ketundukan pada hawa nafsu. Pilar-pilar masyarakat jahiliyah terancam runtuh, tatanan social masyarakat jahiliyah nyaris ambruk. Dan disitulah sejarah mulai bertutur tentang rentetan peristiwa penindasan, penekanan, dan penyiksaan. Namun peristiwa-peristiwa tersebut justru merupakan apresiasi fakta atas tepatnya sasaran da’wah Muhammad sebagai rasul.
Semua orang merasa menjadi pengikut Muhammad merupakan pekerjaan yang berat. Dan hanya orang-orang yang ikhlas dan rela mengorbankan diri dan bertekat bulat menceburkan diri ke dalam kobaran api yang membara, menguatkan jiwa untuk mendatangi Muhammad, meskipun jalan penuh onak dan duri. Seperti yang telah kita dengar dari kisah-kisah alim shaleh baik dari kaum Ibrahim AS sampai Isa AS. Kita tentu sudah mendengar betapa hanya demi mempertahankan prinsif risalah nabi, semisal sunat dan tidak makan babi jutaan bangsa yang masih taat pada ajaran Nuh AS, Musa AS, rela dibakar hidup-hidup oleh penguasa tiran, baik di Mesir maupun Jerussalem semasa kekuasaan Roma maupun Persia. Sungguh ceminan sikap setia dan penyerahan jiwa dan raga pada Allah, tanpa mempetimbangkan bahaya yang pasti mengancam hidup, serta malapetaka dan cobaan yang menjelang. Allah berfirman: Alif Lam Mim. Apakah manusia itu mnengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yng sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang dusta (al-Ankabut 1-3). Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surge padahal belum dating kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehigga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (al-Baqarah: 114) . Tidak ada hasil yang bisa dicapai oleh orang-orang yang mengingkari Allah dan Rasulnya atas hamba-hamba-Nya selain menambah kekuatan iman dan keyakinan. Inilah yang dijanjikakn Allah dan Rasul-Nya. Dan demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan (al-Ahzab: 22).
Abad jahiliyah atau abad gelap merupakan panggung-panggung kekuasaan bagi praktek kekuasaan tiranik dan kesewenang-wenangan. Kehidupan politik dilaksanakan berdasarkan kekuasaan monarki absolute, yang kadang kala berlandaskan pada pengkultusan penguasa dan kelas masyarakat tertinggi seperti yang dilaksanakan di Roma, Persia, China dan India. Dimana wanita sebagai bagian dari manusia sangat terhinakan, mereka bebas untuk dihinakan karena dogma masa itu, bahkan sampai abad kebangkitan kaum aklesianis. Sedangkan Arab tidak lebih baik dari itu, Muhammad justru menyaksikan sebuah masyarakat kecil yang menjadi prototype masyarakat dunia global. Semua yang ada tidak berada pada tempatnya, serigala menjadi pengembala, musuh yang kejam menjadi hakim, yang berbuat jahat dijunjung tinggi, sebuah masyarakat yang memandang perbuatan baik sebagai perbuatan yang paling mungkar dan kemungkaran sebagai perbuatan yang patut dipuja. Kekejaman dan kesewenang-wenangan telah mencapai tingkat pembunuhan darah daging sendiri dengan cara menguburnya hidup-hidup. Potensi akal budi lenyap atau diselewengkan dari dan untuk merendahkan derajat manusia. Perbudakan tidak terelakkan karena bangsa-bangsa tiada henti melakukan pertempuran, walau hanya sekedar memuaskan hawa nafsu. Harkat derajat manusia pupus dan nyaris pudar. Setiap aspek kehidupan mengalami distorsi dan mengundang perhatian sang pembaharu. Akan tetapi aspek kejiwaan manusia sungguh teramat pelik dan rumit. Tuntutan hawa nafsu jauh lebih banyak dibandingkan dengan jalan keselamatan. Apabila jiwa menyeleweng, maka upaya-upaya perbaikan tidak akan mampu mengubah aib atau tradisi buruk yang melekat. Selama orientasi jiwa tidak bergeser dari kiblat keburukan kea rah ke bajikan. Keadaan jiwa tidak akan dapat berubah terkecuali apabila virus-virus kejahatan dapat dilenyapkan dari jiwa yang lahir dan tumbuh sebagai akibat dari hancurnya system nilai dalam timpangnya falsafah masyarakat.
Virus-virus dalam jiwa yang tumbuh bagai rumput-rumput liar di padang tak dapat disembuhkan sebelum biang penyakit dilumpuhkan kemudian diobati dengan menanamkan kecintaan pada kebaikan dan nilai-nilai keutamaan dan rasa takut pada Allah. Allah berfirman: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan Ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (al-Baqarah: 26)
Islam Adalah Sebuah Peradaban. Yang artinya tanpa adanya adab, maka seorang muslim belumlah sempurna dalam menjalankan Islam itu sendiri.
Kamis, 21 Mei 2009
Pernyataan Irshad Manji, Muslimah Yang Lesbian
Rabu, 20 Mei 2009
Tokoh-tokoh Pluralisme Agama
Rene Guénon
Pelopor Filsafat Abadi
Rene Guénon lahir di Blois, Perancis pada tanggal 15 November 1886. Sejak umur 18 tahun ia sudah mulai mempelajari agama-agama Timur, khususnya Hinduisme, Taoisme dan Islam. Tahun 1906 ia pergi ke Paris, di sana ia masuk ke sekolah Free School of Hermetic Scienses yang didirikan oleh Gerard Encausse, seorang tokoh freemason dan pendiri masyarakat teosofi di Perancis.
Di sekolah ini Guénon intensif mengkaji hal-hal berbau mistis. Di sekolah ini pula Guénon berkenalan denga sejumlah tokoh Freemason, Teosofi dan berbagai gerakan spiritual lainnya. Guénon sangat tertarik dengan gerakan-gerakan semacam ini, hingga ia aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi, dan aktifitas tentang mistis dan freemason. Ringkasnya freemason merupakan ketertarikan Guénon yang paling besar sepanjang hidupnya. Karena bagi Guénon freemason adalah wadah dari hikmah tradisional yang luas, dan kaya dalam simbolisme serta ritual. Guénon juga yakin bahwa freemason adalah cara terbaik untuk menjaga banyak aspek dari agama Kristen yang telah hilang dan terabaikan.
Tahun 1912 Guénon mulai tertarik dengan sufisme, dan akhirnya memeluk Islam dengan nama Abd al-Wahid Yahya. Ia tetap gandrung terhadap mistis. Tahun 1930 Guénon pergi ke Mesir untuk meneliti dan mempelajari teks –teks sufi. Sejak itu ia menetap di Mesir hingga meninggal pada tanggal 7 Januari 1951.
Pemikiran utama Guénon adalah filsafat abadi (perenialisme). Menurutnya filsafat abadi adalah ilmu spiritual yang memiliki keutamaan dibanding ilmu lainnya. Meskipun ilmu-ilmu lain harus tetap dicari, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual ini. Menurutnya substansi ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden serta bersifat universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama atau kepercayaan tertentu. Ia adalah milik bersama semua agama dan kepercayaan yang ada.
Adapun perbedaan teknis yang terjadi pada setiap agama dan kepercayaan merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan “Kebenaran yang satu”. Pebedaan tersebut menurutnya sah-sah saja, karena setiap agama memiliki cara yang unik untuk memahami Realitas Akhir. Maka sebagai hasil dari pengalaman spiritualnya dalam gerakan teosofi dan freemason, Guénon menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada level batin (esoteris), sekalipun pada level lahir (eksoteris) berbeda-beda.
Karena keyakinannya itu Guénon kemudian berusaha menghidupkan kembali filsafat abadi yang menurutnya telah banyak hilang digerus arus modernisasi. Tak heran jika Nasr menyebut Guénon bersama dengan Fritjhof Schuon dan Ananda Coomaraswamy sebagai Para Guru (The Masters) dalam bidang filsafat abadi atau biasa disebut juga filsafat perennial.
Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Perancis, sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Diantaranya: the symbolism of the cross, the crisis of the modern world dan the multiple states of being.
Selanjutnya pemikiran-pemikiran agama atau kepercayaan mengenai Filsafat Abadi ini banyak diikuti oleh kaum Pluralis Agama. Salah seorang yang paling terkenal adalah Fritjhof Schuon yang dikemudian hari terkenal dengan teori Kesatuan Transenden Agama- agama. (***)
Frithjof Schuon
Pengusung ide “Kesatuan Transenden Agama-agama”
“Kesatuan Transenden Agama-agama” adalah salah satu teori besar dalam wacana Pluralisme Agama. Tokoh utamanya adalah Frithjof Schuon, seorang cendekiawan berkebangsaan Jerman yang oleh Seyyed Hossein Nasr dianggap sebagai orang yang paling otoritatif dalam masalah ini. Dengan teorinya itu Schuon yang kelahiran Basel, Swiss, tanggal 18 Juni 1907 ini berkeyakinan bahwa sekalipun pada tataran luarnya agama berbeda-beda, namun pada hakikatnya semua agama adalah sama. Dengan kata lain, kesatuan agama-agama itu terjadi pada level transenden.
Keyakinan Schuon diatas berangkat dari pandangannya bahwa semua agama mempunyai dua realitas atau hakikat, yaitu eksoteris dan esoteris. Hakikat eksoteris adalah hakikat lahir, dimana pada level ini semua agama memiliki dogma, hukum, ritual dan keyakinan yang berbeda-beda, dan bahkan saling bertentangan. Sementara hakikat esoteris adalah hakikat batin, dimana semua agama dengan segala perbedaan dan pertentangannya tadi bertemu. Disinilah terletak titik temu agama-agama itu. Jadi level eksoteris bagaikan ‘badan’ agama sementara level esoteris adalah ‘hati’ dari agama. Level eksoteris berbeda-beda, namun level esoteris adalah sama. Karena itulah Schuon menyebut teorinya ini dengan ‘the transcendent unity of religions’ (kesatuan transenden agama-agama).
Sehingga dengan demikian, dalam pandangan Schuon, semua agama dipisahkan bukan dengan sebuah garis vertikal, tapi justru dengan sebuah garis horizontal yang membelah semua agama. Garis itu tidak memisahkan antara agama yang satu dengan agama lainnya, tapi memisahkan antara level bawah (eksoteris) semua agama dengan level atas (esoteris) nya. Semua ini menurut Schuon menunjukan bahwa yang mutlak atau absolut dalam semua agama adalah dimensi esoterisnya. Sementara dimensi eksoterisnya harus bersifat relative untuk berkoeksistensi dengan agama-agama lainnya.
Dalam konteks pandangan Schuon terhadap keberagaman agama ini, pernyataan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain secara teoritis menjadi tidak relevan. Sebab semua agama adalah orisinil dan berasal dari sumber yang sama. Namun disisi lain, keberagaman bentuk luar (eksoteris) agama-agama tadi tidak boleh dirubah-rubah atau dilebur (sinkretis), tapi harus dibiarkan apa adanya, karena titik temu agama-agama bukan berada pada level itu, tapi berada pada level batin (esoteris).
Menurut peneliti INSISTS, Adnin Armas, pemikiran Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esoteris ini secara konseptual masih bermasalah. Sebab pada tingkat esoteris-pun terdapat perbedaan antara Islam dengan agama-agama lainnya. Ini terbukti dari adanya ajaran Islam yang menunjukan kesalahan-kesalahan agama lain, baik pada level eksoteris maupun pada level esoteris.
Masih menurut Adnin, pemikiran Schuon ini juga agak sulit untuk dimengerti karena merupakan produk dari pengalamannya ketika terlibat dalam kehidupan agama-agama. Karenanya pengalaman itu bukanlah agama itu sendiri sebab pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada manusia lainnya, ia hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu dari setiap agama. Jadi kesatuan transenden agama-agama seperti itu tidak dapat disebut sebagai agama, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan. Sehingga konsep Schuon itu menurut Adnin harusnya diubah menjadi ‘Kesatuan transenden pengalaman-pengalaman keagamaan’.
Pengalaman Schuon dalam beragama memang cukup panjang. Awalnya ia seorang Kristen, kemudian dikabarkan memeluk Islam dan berganti nama menjadi Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alwi al-Maryami. Namun tidak terdapat banyak data mengenai kebenaran dan kapan persisnya ia masuk Islam. Yang pasti, Schuon pernah berkunjung ke Aljazair dan Afrika Utara, dan disana ia tertarik dengan sufisme, bahkan menjadi murid Syaikh al-Alwi -seorang syaikh sufi di sana-. Tiga tahun kemudian Schuon kembali berkunjung ke Aljazair dan Maroko.
Schuon yang menikah tahun 1949 dengan seorang pelukis keturunan Swiss-Jerman ini juga sempat mengunjungi India dan Mesir. Tak heran jika karya-karya klasik dari timur seperti Upanishad, Bhagavad – Gita dan Seribu Satu Malam sangat menarik perhatian dan mempengaruhi pemikirannya. Schuon juga sempat berkunjung ke Amerika Barat atas undangan teman mereka yang bersuku Indian Sioux dan Crow.
Tahun 1980 Schuon dan istrinya beremigrasi ke Indiana, Amerika Serikat. Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1998 di Bloomington dengan meninggalkan 20-an lebih karya. Meskipun masih bermaslah, sayangnya, pemikirannya dipuji dan diikuti oleh banyak intelektual bertaraf internasional dan lintas agama. (***)
John Hick
Penggagas Teologi Global
Menurut Dr. Anis Malik Thoha, Prof. John Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam wacana Pluralisme Agama. Sebab, da adalah orang yang paling banyak menguras tenaga dan fikiran untuk mengembangkan, menjelaskan dan menginterpretasikan gagasan dan teori ini secara masif. Dengan usahanya inilah wacana pluralisme agama dapat dikenalkan kepada masyarakat secara umum. Ia memiliki banyak karya, kebanyakan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Lebih dari dua puluh buku tentangnya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Cina dan Jepang.
Professor John Harwood Hick, lahir di Yorkshire, Inggris, tahun 1922, mendapat gelar doktor dari Universitas Oxford dan Universitas Edinburgh. Ia juga mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Uppsala dan Universitas Glasgow. Pernah menjabat Wakil Presiden the British Society for the Philosophy of Religion and of the World Congress of Faiths. Kisah hidupnya ditulis dalam sebuah buku berjudul John Hick: An Autobiography (2002).
Teori pluralisme agama Hick bermula dari pandangannya terhadap globalisasi. Menurutnya, seiring dengan arus globalisasi, maka secara gradual akan terjadi proses penyatuan (konvergensi) cara-cara beragama, sehingga pada suatu ketika agama-agama akan lebih menyerupai sekte daripada entitas-entitas yang eksklusif secara radikal. Hick kemudian menamakan agama yang telah bersatu itu dengan global theology (teologi global).
Untuk mencapai hal itu Hick menawarkan sebuah gagasan yang ia sebuat dengan, “Transformasi orientasi dari pemusatan ‘agama’ menuju pemusatan ‘Tuhan’ /The transformation from self-centredness to Reality – centredness”. Teori Hick ini mengatakan bahwa agama-agama hanyalah bentuk-bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di seluruh dunia. Ini semua terbentuk sebagai akibat dari pengalaman spiritual manusia dalam merespon Realitas yang absolut.
Realitas yang absolute itu menurut Hick adalah Tuhan yang sesungguhnya yang ia sebut dengan istilah ”The Real Yang Absolut”. Sementara Tuhan-tuhan yang ada pada setiap agama dan kepercayaan, dianggap Hick sebagai Tuhan-tuhan realtif karena hanya merupakan imej masing-masing pemeluk agama terhadap The Real Yang Absolut tadi. Jadi The Real itu pada dasarnya satu dan sama. Hanya saja ditangkap oleh pengalaman manusia dengan berbagai konsep dan image menurut konteks-konteks tradisional yang berbeda sehingga menghasilkan imej Tuhan yang berbeda-beda pula.
Dengan teori Hick ini maka terjadilah perubahan besar dalam semua agama. Islam misalnya, yang sebelumnya merupakan satu-satunya jalan keselamatan yang absolute, telah mengalami perubahan yang sangat besar menjadi hanya satu dari sekian banyak jalan-jalan keselamatan yang ada.
Dengan demikian upaya mempermasalahkan benar (haq) dan salah (bathil) terhadap agama-agama menjadi tidak lagi relevan dan tepat. Karena dengan teorinya ini Hick hendak menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang ada. Hick sering menggambarkan teorinya ini dengan menukil secara bebas perkataan Jalaluddin Rumi, “The lamps are different, but the Light is the same.” (Walaupun lampu-lampunya berbeda tapi Cahayanya sama). Dalam kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, Hick juga menemukan kalimat “Whatever path men choose is mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah milik-Ku).
Teori Hick ini menurut Anis Malik Thoha sebetulnya sangatlah lemah. Sebab jika Hick mengatakan bahwa Tuhan yang diyakini umat Islam dan Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain adalah sama relatifnya karena merupakan respon yang berbeda-beda terhadap The Real, maka siapakah yang menentukan bahwa Tuhan-tuhan itu relative?. Jika yang menentukan itu adalah Hick sendiri, bukankah pemikiran Hick itu juga adalah relative?. Jika kemudian Hick bersikeras mengatakan bahwa pandangannya sendirilah yang benar secara absolute sementara pandangan lainnya salah, maka runtuhlah teori Hick ini dengan sendirinya. Karena jika Hick beranggapan demikian, maka orang lain pun berhak mengatakan pendapatnya yang benar.
Selain itu menurut Anis, Hick telah melakukan kebohongan intelektual dengan mengutip perkataan Rumi sepotong-sepotong, sehingga seolah-olah mendukung gagasannya itu. Padahal jika dibaca secara utuh, perkataan Rumi itu justru menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara orang beriman dan pemeluk agama lain. Sebab tulisan Rumi selanjutnya adalah, “Dari pemandangan yang objektif, Wahai Yang Maha Wujud, lahirlah perbedaan antara orang beriman yang sebenarnya dan orang Zoroaster dan Yahudi.” (Lihat, Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, 2006). (***)
Selasa, 19 Mei 2009
kesimpulan orientalis terhadap kajian Islam sangat mencurigakan
Validitas Teori dan kesimpulan orientalis terhadap kajian Islam sangat mencurigakan. Kajian al-Hadits misalnya, setidaknya ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis, yaitu tentang para perawi hadits, kepribadian nabi Muhammad SAW dan metode pengklasifikasian hadits. Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria contohnya, dalam bukunya yang berjudul Muhammedanische Studien, memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Begitu juga dengan Joseph Schacht yang juga sarjana barat keturunan yahudi, Schacht menyimpulkan dan meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadits yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam.
Penelitian inipun ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul (The origins of Muhammadan jurisprudence). Keduanya telah sepakat bahwa Hadits tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, keduanya bahkan membuat kiat-kiat mendistorsi teks-teks sejarah, membuat teori-teori rekayasa dan melecehkan ulama Hadits. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahaditst (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadits). kata 'ahaditst' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan "al" (al-ahaditst) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahaditst' yang berarti Hadits-hadits yang telah dimaklumi secara definitif.
Dan demi menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad hadits. Teori ini kemudian dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah. Tentu saja ini tidak lepas dari melecehkan kredibilitas ulama hadits, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Contohnya: sahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Kita mengenal bahwa ketiga imam ini menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu hadits. Abu Hurairah adalah shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan hadits. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qurân, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
Penelitian inipun ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul (The origins of Muhammadan jurisprudence). Keduanya telah sepakat bahwa Hadits tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, keduanya bahkan membuat kiat-kiat mendistorsi teks-teks sejarah, membuat teori-teori rekayasa dan melecehkan ulama Hadits. Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahaditst (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadits). kata 'ahaditst' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan "al" (al-ahaditst) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahaditst' yang berarti Hadits-hadits yang telah dimaklumi secara definitif.
Dan demi menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad hadits. Teori ini kemudian dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah. Tentu saja ini tidak lepas dari melecehkan kredibilitas ulama hadits, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Contohnya: sahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.).
Kita mengenal bahwa ketiga imam ini menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu hadits. Abu Hurairah adalah shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan hadits. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qurân, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
Metode Culasisasi Ilmiyah Terhadap Kajian Hadits
Oleh: Irwan Malik Marpaung
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qurân. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qurân. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qurân. Al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qurân itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qurân yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah.
Setidaknya Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadits, yaitu tentang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW dan metode pengklasifikasian hadits. Dalam aspek Perawi Hadits, Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. Seperti yang kita ketahui bersama, para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun justru sahabat yang paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadits, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadits dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW juga mereka pertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga, sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Kita mengenal hadits sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau. Namun menurut mereka, semua itu perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, dan selain itu tidak layak untuk disebut sebagai hadits, dengan alasan bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat menurut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt, salah seorang orientalis ternama:
"Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadits adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Selanjutnya Joseph Schacht yang juga sarjana barat keturunan yahudi, menyimpulkan dan meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadits yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Penelitian inipun ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul (The origins of Muhammadan jurisprudence). Kedua orientalis ini kemudian menjadi nabi bagi para orientalis dan kedua buku mereka sebagai kitab sucinya.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadits sebagai sumber hukum dalam Islam. Keduanya telah sepakat bahwa Hadits tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, keduanya bahkan membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadits, bukanlah sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad. Mendistorsi teks-teks sejarah, Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadits, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadits. Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahaditst (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadits). kata 'ahaditst' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan "al" (al-ahaditst) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahaditst' yang berarti Hadits-hadits yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadits-hadits yang berasal dari Nabi Muhammad.
Demi memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan rekayasa ilmiyah para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadits. teori ini kemudian dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadits-hadits tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
Dan tidak lua dengan melecehkan kredibilitas ulama Hadits, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Contohnya: sahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.). Kita mengenal bahwa ketiga imam ini menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadits; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadits. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qurân, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih. Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa dibayangkan. Nantinya syariah Islam akan berubah 180% derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para orientalis. Bukankah metode ini adalah keculasan ilmiyah?
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qurân. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qurân. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qurân. Al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qurân itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qurân yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah.
Setidaknya Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadits, yaitu tentang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW dan metode pengklasifikasian hadits. Dalam aspek Perawi Hadits, Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. Seperti yang kita ketahui bersama, para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun justru sahabat yang paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadits, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadits dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW juga mereka pertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga, sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Kita mengenal hadits sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau. Namun menurut mereka, semua itu perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, dan selain itu tidak layak untuk disebut sebagai hadits, dengan alasan bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat menurut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt, salah seorang orientalis ternama:
"Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadits adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Selanjutnya Joseph Schacht yang juga sarjana barat keturunan yahudi, menyimpulkan dan meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadits yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Penelitian inipun ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul (The origins of Muhammadan jurisprudence). Kedua orientalis ini kemudian menjadi nabi bagi para orientalis dan kedua buku mereka sebagai kitab sucinya.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadits sebagai sumber hukum dalam Islam. Keduanya telah sepakat bahwa Hadits tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, keduanya bahkan membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadits, bukanlah sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad. Mendistorsi teks-teks sejarah, Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadits, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadits. Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahaditst (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadits). kata 'ahaditst' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan "al" (al-ahaditst) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahaditst' yang berarti Hadits-hadits yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadits-hadits yang berasal dari Nabi Muhammad.
Demi memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan rekayasa ilmiyah para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadits. teori ini kemudian dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadits-hadits tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
Dan tidak lua dengan melecehkan kredibilitas ulama Hadits, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Contohnya: sahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.). Kita mengenal bahwa ketiga imam ini menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadits; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadits. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qurân, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih. Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa dibayangkan. Nantinya syariah Islam akan berubah 180% derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para orientalis. Bukankah metode ini adalah keculasan ilmiyah?
Langganan:
Postingan (Atom)
Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia
Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...
-
by: Arvan Harvat The purpose of the present essay is to clear a heap of misunderstanding that has accrued around the Sufi concept of ...
-
On the creation of the universe Anyone who tries to understand Ibn Taymiyyah ’ s doctrine of creation throughout his works will b...
-
Ibn Taymiyyah ’ s major criticism of logic is focused on the logic of Aristotle and of those Muslim philosophers and theologians who fol...