Rabu, 20 Mei 2009

Tokoh-tokoh Pluralisme Agama

Rene Guénon
Pelopor Filsafat Abadi

Rene Guénon lahir di Blois, Perancis pada tanggal 15 November 1886. Sejak umur 18 tahun ia sudah mulai mempelajari agama-agama Timur, khususnya Hinduisme, Taoisme dan Islam. Tahun 1906 ia pergi ke Paris, di sana ia masuk ke sekolah Free School of Hermetic Scienses yang didirikan oleh Gerard Encausse, seorang tokoh freemason dan pendiri masyarakat teosofi di Perancis.

Di sekolah ini Guénon intensif mengkaji hal-hal berbau mistis. Di sekolah ini pula Guénon berkenalan denga sejumlah tokoh Freemason, Teosofi dan berbagai gerakan spiritual lainnya. Guénon sangat tertarik dengan gerakan-gerakan semacam ini, hingga ia aktif menggelar berbagai kongres, seminar, diskusi, dan aktifitas tentang mistis dan freemason. Ringkasnya freemason merupakan ketertarikan Guénon yang paling besar sepanjang hidupnya. Karena bagi Guénon freemason adalah wadah dari hikmah tradisional yang luas, dan kaya dalam simbolisme serta ritual. Guénon juga yakin bahwa freemason adalah cara terbaik untuk menjaga banyak aspek dari agama Kristen yang telah hilang dan terabaikan.

Tahun 1912 Guénon mulai tertarik dengan sufisme, dan akhirnya memeluk Islam dengan nama Abd al-Wahid Yahya. Ia tetap gandrung terhadap mistis. Tahun 1930 Guénon pergi ke Mesir untuk meneliti dan mempelajari teks –teks sufi. Sejak itu ia menetap di Mesir hingga meninggal pada tanggal 7 Januari 1951.
Pemikiran utama Guénon adalah filsafat abadi (perenialisme). Menurutnya filsafat abadi adalah ilmu spiritual yang memiliki keutamaan dibanding ilmu lainnya. Meskipun ilmu-ilmu lain harus tetap dicari, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual ini. Menurutnya substansi ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden serta bersifat universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama atau kepercayaan tertentu. Ia adalah milik bersama semua agama dan kepercayaan yang ada.

Adapun perbedaan teknis yang terjadi pada setiap agama dan kepercayaan merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan “Kebenaran yang satu”. Pebedaan tersebut menurutnya sah-sah saja, karena setiap agama memiliki cara yang unik untuk memahami Realitas Akhir. Maka sebagai hasil dari pengalaman spiritualnya dalam gerakan teosofi dan freemason, Guénon menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada level batin (esoteris), sekalipun pada level lahir (eksoteris) berbeda-beda.

Karena keyakinannya itu Guénon kemudian berusaha menghidupkan kembali filsafat abadi yang menurutnya telah banyak hilang digerus arus modernisasi. Tak heran jika Nasr menyebut Guénon bersama dengan Fritjhof Schuon dan Ananda Coomaraswamy sebagai Para Guru (The Masters) dalam bidang filsafat abadi atau biasa disebut juga filsafat perennial.
Karya-karyanya banyak ditulis dalam bahasa Perancis, sebagian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Diantaranya: the symbolism of the cross, the crisis of the modern world dan the multiple states of being.
Selanjutnya pemikiran-pemikiran agama atau kepercayaan mengenai Filsafat Abadi ini banyak diikuti oleh kaum Pluralis Agama. Salah seorang yang paling terkenal adalah Fritjhof Schuon yang dikemudian hari terkenal dengan teori Kesatuan Transenden Agama- agama. (***)

Frithjof Schuon
Pengusung ide “Kesatuan Transenden Agama-agama”

“Kesatuan Transenden Agama-agama” adalah salah satu teori besar dalam wacana Pluralisme Agama. Tokoh utamanya adalah Frithjof Schuon, seorang cendekiawan berkebangsaan Jerman yang oleh Seyyed Hossein Nasr dianggap sebagai orang yang paling otoritatif dalam masalah ini. Dengan teorinya itu Schuon yang kelahiran Basel, Swiss, tanggal 18 Juni 1907 ini berkeyakinan bahwa sekalipun pada tataran luarnya agama berbeda-beda, namun pada hakikatnya semua agama adalah sama. Dengan kata lain, kesatuan agama-agama itu terjadi pada level transenden.

Keyakinan Schuon diatas berangkat dari pandangannya bahwa semua agama mempunyai dua realitas atau hakikat, yaitu eksoteris dan esoteris. Hakikat eksoteris adalah hakikat lahir, dimana pada level ini semua agama memiliki dogma, hukum, ritual dan keyakinan yang berbeda-beda, dan bahkan saling bertentangan. Sementara hakikat esoteris adalah hakikat batin, dimana semua agama dengan segala perbedaan dan pertentangannya tadi bertemu. Disinilah terletak titik temu agama-agama itu. Jadi level eksoteris bagaikan ‘badan’ agama sementara level esoteris adalah ‘hati’ dari agama. Level eksoteris berbeda-beda, namun level esoteris adalah sama. Karena itulah Schuon menyebut teorinya ini dengan ‘the transcendent unity of religions’ (kesatuan transenden agama-agama).

Sehingga dengan demikian, dalam pandangan Schuon, semua agama dipisahkan bukan dengan sebuah garis vertikal, tapi justru dengan sebuah garis horizontal yang membelah semua agama. Garis itu tidak memisahkan antara agama yang satu dengan agama lainnya, tapi memisahkan antara level bawah (eksoteris) semua agama dengan level atas (esoteris) nya. Semua ini menurut Schuon menunjukan bahwa yang mutlak atau absolut dalam semua agama adalah dimensi esoterisnya. Sementara dimensi eksoterisnya harus bersifat relative untuk berkoeksistensi dengan agama-agama lainnya.
Dalam konteks pandangan Schuon terhadap keberagaman agama ini, pernyataan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain secara teoritis menjadi tidak relevan. Sebab semua agama adalah orisinil dan berasal dari sumber yang sama. Namun disisi lain, keberagaman bentuk luar (eksoteris) agama-agama tadi tidak boleh dirubah-rubah atau dilebur (sinkretis), tapi harus dibiarkan apa adanya, karena titik temu agama-agama bukan berada pada level itu, tapi berada pada level batin (esoteris).

Menurut peneliti INSISTS, Adnin Armas, pemikiran Schuon tentang titik temu agama-agama pada level esoteris ini secara konseptual masih bermasalah. Sebab pada tingkat esoteris-pun terdapat perbedaan antara Islam dengan agama-agama lainnya. Ini terbukti dari adanya ajaran Islam yang menunjukan kesalahan-kesalahan agama lain, baik pada level eksoteris maupun pada level esoteris.
Masih menurut Adnin, pemikiran Schuon ini juga agak sulit untuk dimengerti karena merupakan produk dari pengalamannya ketika terlibat dalam kehidupan agama-agama. Karenanya pengalaman itu bukanlah agama itu sendiri sebab pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada manusia lainnya, ia hanya dapat diraih oleh orang-orang tertentu dari setiap agama. Jadi kesatuan transenden agama-agama seperti itu tidak dapat disebut sebagai agama, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan. Sehingga konsep Schuon itu menurut Adnin harusnya diubah menjadi ‘Kesatuan transenden pengalaman-pengalaman keagamaan’.

Pengalaman Schuon dalam beragama memang cukup panjang. Awalnya ia seorang Kristen, kemudian dikabarkan memeluk Islam dan berganti nama menjadi Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili al-Darquwi al-Alwi al-Maryami. Namun tidak terdapat banyak data mengenai kebenaran dan kapan persisnya ia masuk Islam. Yang pasti, Schuon pernah berkunjung ke Aljazair dan Afrika Utara, dan disana ia tertarik dengan sufisme, bahkan menjadi murid Syaikh al-Alwi -seorang syaikh sufi di sana-. Tiga tahun kemudian Schuon kembali berkunjung ke Aljazair dan Maroko.

Schuon yang menikah tahun 1949 dengan seorang pelukis keturunan Swiss-Jerman ini juga sempat mengunjungi India dan Mesir. Tak heran jika karya-karya klasik dari timur seperti Upanishad, Bhagavad – Gita dan Seribu Satu Malam sangat menarik perhatian dan mempengaruhi pemikirannya. Schuon juga sempat berkunjung ke Amerika Barat atas undangan teman mereka yang bersuku Indian Sioux dan Crow.
Tahun 1980 Schuon dan istrinya beremigrasi ke Indiana, Amerika Serikat. Akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1998 di Bloomington dengan meninggalkan 20-an lebih karya. Meskipun masih bermaslah, sayangnya, pemikirannya dipuji dan diikuti oleh banyak intelektual bertaraf internasional dan lintas agama. (***)


John Hick
Penggagas Teologi Global

Menurut Dr. Anis Malik Thoha, Prof. John Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam wacana Pluralisme Agama. Sebab, da adalah orang yang paling banyak menguras tenaga dan fikiran untuk mengembangkan, menjelaskan dan menginterpretasikan gagasan dan teori ini secara masif. Dengan usahanya inilah wacana pluralisme agama dapat dikenalkan kepada masyarakat secara umum. Ia memiliki banyak karya, kebanyakan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Lebih dari dua puluh buku tentangnya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Cina dan Jepang.
Professor John Harwood Hick, lahir di Yorkshire, Inggris, tahun 1922, mendapat gelar doktor dari Universitas Oxford dan Universitas Edinburgh. Ia juga mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Uppsala dan Universitas Glasgow. Pernah menjabat Wakil Presiden the British Society for the Philosophy of Religion and of the World Congress of Faiths. Kisah hidupnya ditulis dalam sebuah buku berjudul John Hick: An Autobiography (2002).

Teori pluralisme agama Hick bermula dari pandangannya terhadap globalisasi. Menurutnya, seiring dengan arus globalisasi, maka secara gradual akan terjadi proses penyatuan (konvergensi) cara-cara beragama, sehingga pada suatu ketika agama-agama akan lebih menyerupai sekte daripada entitas-entitas yang eksklusif secara radikal. Hick kemudian menamakan agama yang telah bersatu itu dengan global theology (teologi global).

Untuk mencapai hal itu Hick menawarkan sebuah gagasan yang ia sebuat dengan, “Transformasi orientasi dari pemusatan ‘agama’ menuju pemusatan ‘Tuhan’ /The transformation from self-centredness to Reality – centredness”. Teori Hick ini mengatakan bahwa agama-agama hanyalah bentuk-bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di seluruh dunia. Ini semua terbentuk sebagai akibat dari pengalaman spiritual manusia dalam merespon Realitas yang absolut.

Realitas yang absolute itu menurut Hick adalah Tuhan yang sesungguhnya yang ia sebut dengan istilah ”The Real Yang Absolut”. Sementara Tuhan-tuhan yang ada pada setiap agama dan kepercayaan, dianggap Hick sebagai Tuhan-tuhan realtif karena hanya merupakan imej masing-masing pemeluk agama terhadap The Real Yang Absolut tadi. Jadi The Real itu pada dasarnya satu dan sama. Hanya saja ditangkap oleh pengalaman manusia dengan berbagai konsep dan image menurut konteks-konteks tradisional yang berbeda sehingga menghasilkan imej Tuhan yang berbeda-beda pula.
Dengan teori Hick ini maka terjadilah perubahan besar dalam semua agama. Islam misalnya, yang sebelumnya merupakan satu-satunya jalan keselamatan yang absolute, telah mengalami perubahan yang sangat besar menjadi hanya satu dari sekian banyak jalan-jalan keselamatan yang ada.

Dengan demikian upaya mempermasalahkan benar (haq) dan salah (bathil) terhadap agama-agama menjadi tidak lagi relevan dan tepat. Karena dengan teorinya ini Hick hendak menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang ada. Hick sering menggambarkan teorinya ini dengan menukil secara bebas perkataan Jalaluddin Rumi, “The lamps are different, but the Light is the same.” (Walaupun lampu-lampunya berbeda tapi Cahayanya sama). Dalam kitab suci Hindu, Bhagavad Gita, Hick juga menemukan kalimat “Whatever path men choose is mine” (Jalan apapun yang dipilih manusia adalah milik-Ku).

Teori Hick ini menurut Anis Malik Thoha sebetulnya sangatlah lemah. Sebab jika Hick mengatakan bahwa Tuhan yang diyakini umat Islam dan Tuhan yang diyakini pemeluk agama lain adalah sama relatifnya karena merupakan respon yang berbeda-beda terhadap The Real, maka siapakah yang menentukan bahwa Tuhan-tuhan itu relative?. Jika yang menentukan itu adalah Hick sendiri, bukankah pemikiran Hick itu juga adalah relative?. Jika kemudian Hick bersikeras mengatakan bahwa pandangannya sendirilah yang benar secara absolute sementara pandangan lainnya salah, maka runtuhlah teori Hick ini dengan sendirinya. Karena jika Hick beranggapan demikian, maka orang lain pun berhak mengatakan pendapatnya yang benar.

Selain itu menurut Anis, Hick telah melakukan kebohongan intelektual dengan mengutip perkataan Rumi sepotong-sepotong, sehingga seolah-olah mendukung gagasannya itu. Padahal jika dibaca secara utuh, perkataan Rumi itu justru menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara orang beriman dan pemeluk agama lain. Sebab tulisan Rumi selanjutnya adalah, “Dari pemandangan yang objektif, Wahai Yang Maha Wujud, lahirlah perbedaan antara orang beriman yang sebenarnya dan orang Zoroaster dan Yahudi.” (Lihat, Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, 2006). (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...