Oleh: Irwan Malik Marpaung
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qurân. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qurân. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qurân. Al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qurân itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qurân yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah.
Setidaknya Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadits, yaitu tentang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW dan metode pengklasifikasian hadits. Dalam aspek Perawi Hadits, Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. Seperti yang kita ketahui bersama, para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun justru sahabat yang paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadits, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadits dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW juga mereka pertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga, sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Kita mengenal hadits sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau. Namun menurut mereka, semua itu perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, dan selain itu tidak layak untuk disebut sebagai hadits, dengan alasan bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat menurut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt, salah seorang orientalis ternama:
"Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadits adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Selanjutnya Joseph Schacht yang juga sarjana barat keturunan yahudi, menyimpulkan dan meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadits yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Penelitian inipun ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul (The origins of Muhammadan jurisprudence). Kedua orientalis ini kemudian menjadi nabi bagi para orientalis dan kedua buku mereka sebagai kitab sucinya.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadits sebagai sumber hukum dalam Islam. Keduanya telah sepakat bahwa Hadits tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, keduanya bahkan membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadits, bukanlah sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad. Mendistorsi teks-teks sejarah, Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadits, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadits. Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahaditst (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadits). kata 'ahaditst' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan "al" (al-ahaditst) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahaditst' yang berarti Hadits-hadits yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadits-hadits yang berasal dari Nabi Muhammad.
Demi memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan rekayasa ilmiyah para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadits. teori ini kemudian dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadits-hadits tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
Dan tidak lua dengan melecehkan kredibilitas ulama Hadits, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Contohnya: sahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.). Kita mengenal bahwa ketiga imam ini menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadits; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadits. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qurân, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih. Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa dibayangkan. Nantinya syariah Islam akan berubah 180% derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para orientalis. Bukankah metode ini adalah keculasan ilmiyah?
Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qurân. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qurân. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Qurân. Al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qurân itu sendiri. Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qurân yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah.
Setidaknya Ada tiga hal yang sering dikemukakan orientalis dalam penelitian mereka terhadap al-Hadits, yaitu tentang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW dan metode pengklasifikasian hadits. Dalam aspek Perawi Hadits, Para orientalis sering mempertanyakan tentang para perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari rasulullah. Seperti yang kita ketahui bersama, para sahabat yang terkenal sebagai perawi bukanlah para sahabat yang banyak menghabiskan waktunya bersama rasullah seperti Abu bakar, Umar, Usman dan Ali. Namun justru sahabat yang paling lama 10 tahun berkumpul dengan Nabi, seperti Abu hurairah, Sayyidah Aisyah, Anas bin malik, Abdullah ibn Umar dll. Abu hurairah selama masa 3 tahun berkumpul dengan Nabi telah berhasil meriwayatkan lebih dari 5800 hadits, Sayyidah Aisyah mengumpulkan lebih dari 3000 hadits dan demikian juga dengan Abdullah ibn Umar, Anas.
Tidak cukup dengan menyerang para perawi hadits, kepribadian Nabi Muhammad SAW juga mereka pertanyakan. Mereka membagi status nabi menjadi tiga, sebagai rasul, kepala negara, dan pribadi biasa sebagaimana orang kebanyakan. Kita mengenal hadits sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad baik perbuatan, perkataan dan ketetapan beliau. Namun menurut mereka, semua itu perlu direkontruksi ulang. Sesuatu yang berdasarkan dari Nabi baru disebut hadits jika sesuatu tersebut berkaitan dengan hal-hal praktis keagamaan, dan selain itu tidak layak untuk disebut sebagai hadits, dengan alasan bisa saja hal itu hanya timbul dari status lain seorang Muhammad.
Sejarah penulisan hadits juga tidak lepas dari kritikan mereka. Penulisan hadits yang baru dilakukan beberapa dekade setelah Nabi Muhammad wafat menurut mereka, membuka peluang terhadap kesalahan dalam penyampaian hadits secara verbal, sebagaimana yang dikatakan oleh Montgomerywatt, salah seorang orientalis ternama:
"Semua perkataan dan perbuatan Muhammad tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan semasa Ia hidup atau sepeninggalnya. Pastinya hal tersebut disampaikan secara lisan ke lisan, setidak-tidaknya pada awal mulanya. Hal itu diakui ataupun tidak sedikit banyak akan mengakibatkan distorsi makna, seperti halnya dalam permainan telpon-telponan anak kecil".
Sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian Hadits adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hongaria yang hidup antara tahun 1850 - 1921 M. pada tahun 1890, ia mempublikasikan hasil penelitiannya tentang Hadits dalam sebuah buku yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam). Selanjutnya Joseph Schacht yang juga sarjana barat keturunan yahudi, menyimpulkan dan meyakinkan bahwa tidak ada satupun Hadits yang otentik dari Nabi Muhammad, khususnya Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum Islam. Penelitian inipun ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul (The origins of Muhammadan jurisprudence). Kedua orientalis ini kemudian menjadi nabi bagi para orientalis dan kedua buku mereka sebagai kitab sucinya.
Baik Ignaz maupun Schacht, keduanya tidak berbicara tentang otoritas Hadits sebagai sumber hukum dalam Islam. Keduanya telah sepakat bahwa Hadits tidak memiliki otentitas sebagai sebuah ajaran yang bersumber dari Nabi Muhammad, keduanya bahkan membuat kiat-kiat yang dapat dipergunakan sebagai pendukung hasil penelitian mereka; Bahwa apa yang disebut sebagai Hadits, bukanlah sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad. Mendistorsi teks-teks sejarah, Semisal tuduhan Goldziher terhadap Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.). menurutnya Imam al-Zuhri telah melakukan pemalsuan Hadits, dan ia juga mengubah teks-teks sejarah yang berkaitan dengan Ibn Syihab al-Zuhri, sehingga menimbulkan kesan bahwa Imam al-Zuhri memang mengakui dirinya sebagai pemalsu Hadits. Menurut Goldziher, al-Zuhri pernah berkata, inna haula'I al-umara akrahuna 'ala kitabah ahaditst (para penguasa itu memaksa kami untuk menulis Hadits). kata 'ahaditst' dalam kutipan Goldizer tidak menggunakan "al" (al-ahaditst) yang dalam bahasa Arab memiliki makna definitif (ma'rifah), sementara dalam teks yang asli, yang merupakan ucapan Imam Ibn Syihab yang sebenarnya, seperti yang terdapat dalam kitab Ibn Sa'ad dan Ibn 'Asakir, adalah 'al-ahaditst' yang berarti Hadits-hadits yang telah dimaklumi secara definitif, yaitu Hadits-hadits yang berasal dari Nabi Muhammad.
Demi memperkuat tuduhannya yang menyatakan bahwa apa yang disebut Hadits adalah bukan sesuatu yang otentik dari nabi Muhammad, melainkan hanya merupakan rekayasa ilmiyah para ulama abad pertama dan kedua, Schacht membuat teori tentang 'rekonstruksi' terjadinya sanad Hadits. teori ini kemudian dikenal sebagai teori Projecting Back (proyeksi ke belakang). Menurut Schacht, jurisprudensi Islam belum eksis dan permanen pada masa al-Sya'by (w. 110 H.). Hal ini artinya bahwa apabila terdapat Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka sejatinya Hadits-hadits tersebut merupakan buatan orang-orang yang lahir dan hidup sesudah al-Sya'bi. Schacht berpendapat bahwa jurisprudensi Islam baru dikenal sejak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama), yang baru diadakan pada dinasti bani Umayah.
Dan tidak lua dengan melecehkan kredibilitas ulama Hadits, sembari menuduh mereka sebagai pemalsu. Contohnya: sahabat Abu Hurairah (w. 57 H.), Imam Ibn Syihab al-Zuhri (w. 123 H.), dan Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H.). Kita mengenal bahwa ketiga imam ini menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadits; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadits. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Qurân, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
Kalau ada diantara orientalis yang pernah berusaha menciptakan metode kritik hadits, maka sudah bisa dipastikan arahnya, yaitu untuk menjegal metodologi yang selama ini ada. Dengan demikian akan terjadi perubahan besar dalam hukum-hukum Islam akibat dari berubahnya hadits shahih menjadi maudhu` atau yang maudhu` malah menjadi shahih. Dan akibat yang akan ditimbulkan sudah bisa dibayangkan. Nantinya syariah Islam akan berubah 180% derajat. Sesuatu yang haram bisa jadi halal dan yang halal bisa jadi haram. Bahkan zina, khamar, judi, mut`ah, mencuri dan segala kemungkaran menjadi halal. Dan sebaliknya, jilbab, qishash, hudud dan menegakkan hukum Islam menjadi terlarang. Karena haditsnya telah berubah status. Dan perubahannya itu ditentukan oleh para orientalis. Bukankah metode ini adalah keculasan ilmiyah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar