Jumat, 10 Mei 2013

Konsep Wahyu


Supaya nantinya diperoleh pemahaman yang tidak parsial, maka pendekatan yang tepat tentang sebuah konsep adalah menempatkannya pada konteks kerangka cara pandang tertentu, worldview Islam[1]. Dalam perspektif worldview Islam, sebuah konsep lahir secara epistemologis tidak dilepaskan dari analisis bahasa dan syari’ah. Oleh karena itu, agar mendapatkan pemahaman yang tepat, maka kajian tentang konsep perlu dimulai dengan analisis bahasa. Apalagi obyek yang dikaji adalah bahasa Arab, yang memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan bahasa lain. Menurut Syed M. Naquib al-Attas, peranan bahasa – terutama bahasa Arab – menduduki posisi sentral dalam konsepsi dan Islamisasi pengetahuan.  Berposisi sentral, karena bahasa Arab memiliki keunikan. Yakni, struktur katanya senantiasa merujuk pada sistem akar kata (mashdar). Selain itu struktur pemaknaan (semantic) bahasa Arab secara jelas melekat kepada kosa kata secara konsisten merujuk pada akar kata[2].  Oleh karena itu, penjelasan tentang konsep wahyu terlebih dahulu dimulai dengan analisis bahasa.
Secara lughawiy kata wahyu memiliki beragam makna. Diantaranya adalah, berbicara secara sembunyi, isyarat atau memberi tanda, memberi informasi secara cepat, memberi informasi secara tertulis atau menuliskan sesuatu dan memberi ilham[3]. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian informasi wahyu dapat disampaikan dalam tiga bentuk, yaitu melalui komunikasi oral, melalui isyarat panca indera, melaui suara dan  melalui tulisan[4]. Secara terminologis, Ibnu Mandzur mendefinisikan, wahyu adalah pemberian informasi yang tersembunyi yang khusus disampaikan kepada para nabi Allah SWT.[5] Demikian juga Manna’ al-Qaththan memberikan ta’rif  wahyu adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi dari para Nabi-Nya.[6]
Adapun  secara definisi syari’ah  dikatakan bahwasannya wahyu merupakan kalam Allah Swt. yang khusus disampaikan kepada para nabi serta Rasul-Nya. Wahyu didefinisikan sebagai pemberitahuan Allah SWT kepada para Nabi-Nya tentang pesan-pesan Ilahi berupa syari'at dan berita-berita  lain secara sembunyi  yang mana  manusia biasa tidak mengalami hal ini.[7] Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Asfahani, bahwa wahyu adalah ilmu rabbaniy yang mempunyai spesifikasi dan bersifat pasti (qat'iy). Sehubung dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam adalah sumber informasi yang benar yang otoritatif (khabar shadiq)[8]. Karena memiliki sifat rabbaniyah itu, Abu Hamid al-Ghazali menegaskan bahwa wahyu adalah sumber ilmu yang tidak dihasilkan oleh akal manusia (bahkan seorang nabi pun tidak memiliki tempat mengkreasi wahyu), dan hanya diturunkan kepada nabi[9].
Terkait dengan hal tersebut, meskipun sama-sama berisfat rabbaniyah wahyu berbeda dengan Ilham. Oleh Al-Ghazali keduanya dibedakan, Ilham termasuk kategori sumber ilmu dari Allah Swt, bentuknya seperti petunjuk yang datang ke dalam hati berupa informasi tanpa usaha atau tanpa belajar yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang dikehendaki.[10] Nabi atau manusia biasa yang dikehendaki Allah SWT bisa mengalami mendapatkan ilham. Bentuk informasi ilham berbeda jika dibandingkan dengan wahyu. Adapun jika wahyu yang diturunkan adalah berupa lafadz dan ma'nanya, maka berbeda dengan ini ilham hanyalah sebatas pemberian semacam ide atau ma'na.  Pengertian ini sesuai dengan berbagai makna wahyu dalam ayat-ayat al-Qur'an.
Wahyu juga memiliki beragam makna sesuai dengan konteksnya, hal ini telah disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an. Kata wahyu di dalam al-Qur'an beserta derivasinya disebut pada enam puluh satu tempat yang berbeda.  Dari jumlah yang sekian itu, al-Qur'an memberi makna yang berbeda-beda terhadapnya.  Seperti bermakna pemberian ilham kepada manusia, terdapat dalam QS. Al-Qashas: 7,  memberi isyarat atau kode terdapat dalam QS. Maryam: 11. Bermakna isyarat atau menuliskan  sesuatu terdapat dalam QS. Al-An'am: 112. Bahkan makna dasar wahyu juga bisa bermakna pemberian informasi yang tidak baik, seperta dalam QS. Al-An'am: 121 "Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan (yuuhuuna) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu". Dalam berbagai tempat, al-Qur'an memberi makna wahyu sebagai ilham, kode, membisikkan atau pemberian informasi biasa, apabila objeknya adalah bukan Nabi. Berbeda dengan itu, wahyu dimaknai sebagai kalam Allah SWT yang suci disampaikan secara sembunyi melalui malaikat sebagai tanda kenabian, bila objeknya adalah seorang Nabi SAW, seperti dalam QS. Al-Anbiya: 25, QS. Yunus: 109 dan lain sebagainya.[11]
Dari penjelasan singkat tersebut bisa dikatakan bahwasannya wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi, adapun selain nabi wahyu dimaknai ilham, pemberitahuan atau isyarat. Hal itu misalnya dapat dilihat bahwa kata wahyu dengan khitab-nya Nabi, maka wahyu diterjemahkan secara terminologis seperti terdapat dalam QS. Al-Syuraa: 51 atau QS. Yunus: 109. Wahyu diartikan ilham bila khitabnya adalah orang-orang shalih yang cara penyampaian informasinya tidak dalam bentuk lafadz tapi ide. Nabi juga menerima ilham, dalam arti yang turun adalah maknanya, akan tetapi al-Qur’an tidak diturunkan melalui bentuk makna saja. Wahyu dalam bentuk ilham yang diberikan kepadan Nabi lebih tepat disebut dengan hadis karena yang diberikan adalah dalam bentuk ide (makna).[12] Secara ringkas perbedaan antara wahyu dan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya, dialami oleh nabi maupun manusia biasa – yang bentuk informasinya dalam bentuk ide.
Terkait dengan hal tersebut, wahyu dibagi menjadi dua. Al-Suyuthi mengutip Imam al-Juwaini menjelaskan, kalam Allah SWT ada dua macam. Pertama, wahyu yang kemudian disebut al-Sunnah. Bentuk ini disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ide. Allah SWT menyampaikan kepada Jibril tentang sesuatu, lantas Jibril memahami kalam-Nya kemudian disampaikanlah kepada Nabi, hanya saja redaksinya diungkapkan oleh Nabi SAW. Kedua, wahyu yang disebut al-Qur’an yakni yang diturunkan adalah lafadz dan maknanya. Allah SWT mengatakan kepada Jibril, bacalahkanlah al-Kitab  ini kepada Nabi Muhammad SAW.  Kemudian Jibril turun tanpa mengubah redaksi lafadznya sedikitpun, serta kemudian diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril[13]. Mengenai hadis qudsi, pendapat yang masyhur menurut Imam al-Zarqani adalah lafadznya dari Allah SWT – seperti halnya al-Qur’an. Hanya saja tidak memiliki i’jaz, dan karakteristik seperti al-Qur’an[14].
Dapat dikatakan bahwa pengertian dari wahyu tidak dapat ditinjau dari satu sisi, yaitu sisi etimologis saja. Informasi dari keterangan ini bisa didapati dari keterangan di atas.  Hal ini disebabkan oleh karena makna literal saja belum dapat sampai mengantarkan pada memahami hakikat kata tersebut. Jadi sesuai dengan jalur epistemoligi dalam Islam, maka yang perlu untuk dipahami adalah makna Syari’ah dan makna etimologinya. Dengan melakukan langkah pemahaman terhadap makna syari’ah dan makna etimologi lah nantinya akan didapati hasil pemahaman yang tidak saling mempertentangkan (dikotomis ) dan lebih menyeluruh (komprehensif). Penjelasan mengenai hal ini dapat ditelusuri dari makna dasar dari wahyu, yang diantaranya  memiliki makna, memberikan informasi secara sembunyi dan menuliskan.
Didapati ternyata dua makna ini melekat di dalam makna syar'i wahyu al-Qur'an. Arti yang bisa didapati dari hal ini adalah bahwa al-Qur'an adalah merupakan bacaan, akan tetapi bukan berarti tidak sama dengan al-Qur'an sebagai teks. Terdapat arti “tertulis” dalam makna kata dasar wahyu. Dengan demikian maka adalah benar jika disebut bahwa al-Qur’an adalah kitab tertulis, jadi al-Qur'an disebut juga al-Kitab. Secara definitif maka pengertian wahyu tidak memberikan ruang terhadap  pemahaman yang mendikotomisasikan antara keduanya, akan tetapi tauhidi, yakni bahwa wahyu ketika disampaikan secara oral akan tetap selalu terjaga isinya ketika ditulis dalam bentuk teks.
Mengenai  penjelasan hal tersebut bisa dilihat melalui salah satu makna etimologis, ditunjukkan bahwa wahyu diartikan “mengatakan sesuatu dan  sesuatu yang tertulis” (al-maktub). Pada saat menerima wahyu, tidaklah Nabi saw  menerimanya sudah dalam bentuk tulisan ataupun buku akan tetapi ia menerima bacaan ayat. Selanjutnya sesuai dengan makna literalnya, sesudah Rasulullah saw. menerima wahyu kemudian mengajarkan kepada para sahabat secara lisan dan juga menghafalnya, maka wahyu yang sudah dihafal oleh para sahabat itu kemudian ditulis melalui beberapa media seperti di atas pelepah kurma, atau dengan menggunakan media tulang. Wahyu meskipun disampaikan secara lisan, akan tetapi secara konsisten al-Qur’an menyebut sebagai kitab tertulis (al-Kitab)[15]. Dikarenakan hal  itulah kemudian penjagaan wahyu al-Qur’an adalah melalui dua media, yaitu melalui hafalan dan dibantu dengan media tulisan. Hal ini menandaskan bahwa tidak akan ditemui perbedaan isi antara wahyu pada saat disampaikan secara oral pada masa Rasulullah saw. dan wahyu pada saat dituliskan dalam bentuk teks.
Adapun proses tanziil (penurunan wahyu)  adalah melalui beberapa cara. Cara pertama, Malaikat Jibril mendatangi Nabi, kemudian terdengar seperti suara gemerincing dan dengan sadar Nabi mendengarkan dan memahami bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu.[16] Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ini merupakan pertanda bahwa wahyu yang turun tersebut adalah berisikan ayat tentang ancaman-ancaman.[17] Adapun cara yang kedua yaitu malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad kemudian menyampaikan wahyu seperti membisiki[18]. Cara penyampaian wahyu yang ke tiga adalah malaikat Jibril mendatangi Nabi dengan rupa sebagaimana pada umumnya manusia biasa, selanjutnya malaikat menyampaikan wahyu secara talaqqiyan langsung  kepada Nabi. Cara yang ke empat, Jibril mendatangi rasulullah dalam tidurnya, dan dalam keadaan inilah wahyu disampaikan. Cara penyampaian wahyu yang ke lima adalah Allah SWT secara langsung menyampaikan wahyu-Nya baik pada waktu Nabi dalam keadaan sadar, sebagaimana pada saat nabi Muhammad SAW menerima perintah shalat pada malam Isra’ ataupun Allah swt. mendatangi Nabi ketika dalam keadaan tidur. Sebagaimana diutarakan oleh al-Suyuthi bahwa al-Qur’an tidak diturunkan melalui cara kelima ini, yaitu Allah swt langsung menyampaikannya kepada Nabi.[19] Rasulullah SAW pada setiap selesai mendapat wahyu langsung mengajarkan kepada para sahabat, mengajarkan secara lisan dan menganjurkan untuk menghafal, selanjutnya beliau juga memerintahkan untuk menulis kepada para sahabat.
Sesudah mengetahui terhadap informasi tentang bagaimana cara tanziil tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwasannya wahyu al-Qur’an pada dasarnya adalah merupakan bacaan yang disampaikan dan  bukanlah tulisan. Jadi apa yang dimaksudkan dengan membaca al-Qur’an adalah membaca dari ingatan, adapun tulisan adalah menempati posisinya sebagai peneguh dari apa yang ada di ingatan tersebut.[20] Dalam memelihara hafalan al-Qur’an bagi para sahabat, Nabi Muhammad saw. sangat menaruh perhatiannya, beliau bahkan bersemangat untuk menggerakkan lidahnya guna melatih bacaan para sahabat dan menyegerakan penghafalannya karena khawatir akan kemungkinan terdapat satu huruf yang terlewatkan.[21] Selanjutnya lebih dari itu, guna menjaga hafalan, malaikat Jibril datang dalam bulan Ramadlan pada setiap tahunnya untuk mengecek bacaan Nabi saw. Terlebih lagi pada saat tahun menjelang wafatnya Nabi, malaikat Jibril menyampaikan bacaan al-Qur’an  sebanyak dua kali, dan dari ini sehingga beliau pada waktu menjelang akhir hayatnya dapat memahaminya  dengan sangat baik. [22]


[1] Worldview secara umum dimaknai sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup.
[2]Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas (terj), (Bandung: Mizan, 2003), hal. 352-355 dan  Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education In Islam: a Framework for an Islamic Phlilosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999)
[3]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab(Beirut: Dar Shadir, jilid 15) bab wahyu; Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur'an, terj. (Bogor: Litera Antar Nusa, 2009),  hal. 36
[4]Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu'jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur'an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), p. 747 lihat juga Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradaat fi Gharibi al-Qur'an, tanpa tahun dan tempat, bab wahyu
[5]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, bab wahyu.
[6] Manna' al-Qaththan, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, Riyadl : Mansyurat al-'Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M, hal. 33.
[7]Al-Raghib al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M), hal. 55.
[8]Khabar shadiq adalah sumber ilmu dalam Islam. Ia adalah informasi benar yang memiliki otoritas. Imam al-Nasafi menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dan oleh Karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan Rasul SAW yang diperkuat dengan mu'jizat. Informasi jenis ini bersifat istidlaliy. Lihat Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia Thn. II No 5 April-Juni 2005
[9]Abu Hamim al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal (Kairo: Silsilah Tsaqafat Islamiyah, 1961), hal. 13-14.
[10]Ibid.
[11]Lihat Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu'jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur'an al-Karim, hal. 745 dan Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur'an, hal. 36-37.
[12]Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan fii Ulum al-Qur’an, terj, (Jakarta: Pustaka Amani, 1422 H/2001 M), hal. 70. Dalam al-Qur’an Allah SWT berfirman: “Dia (Nabi) tidak berkata dari hawa nafsunya, tidak ialah wahyu yang diwahyukan (Allah) kepadanya”. QS.al-Najm: 30
[13]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, jilid I, 1429 H/2008 M), hal. 63.
[14]Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an (Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1995 M/1415 H Jilid I), hal. 45.
[15]M.M. Al-A’zami, The History the Qur’anic text From Revelation to Compilation, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, terj, (Jakarta: GIP, 2005), hal. 71.
[16]Hadis shahih riwayat Imam Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab Bada’a al-wahyi hadis no.2, Imam Muslim dalam Shahih Muslim Kitab al-Fadlail hadis no.4303, Imama Turmudzi dalam  Sunan Turmudzi hadis no. 3567, dan Imam Ahmad dalam Musnadnya hadis no. 24092
[17]Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, hal. 64.
[18]HR. Shahih riwayat Hakim dalam Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an.
[19]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, hal. 64; dan Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur’an, hal. 55.
[20] Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: GIP, 2008), hal. 10.
[21]Karena terlalu bersemangat dan tekesan terburu-buru Allah SWT akhirnya mengingatkan agar pelan-pelan melafalkan disesuaikan dengan kemampuan sahabat, hal ini dapat disimak dalam QS. Al-Qiyamah: 16-19
[22]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’an al-Karim, terjemah oleh Taufiqurrahman Studi Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka setia,1992), hal. 11.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...