Supaya
nantinya diperoleh pemahaman yang tidak parsial, maka pendekatan yang tepat
tentang sebuah konsep adalah menempatkannya pada konteks kerangka cara pandang
tertentu, worldview Islam[1]. Dalam
perspektif worldview Islam, sebuah konsep lahir secara epistemologis
tidak dilepaskan dari analisis bahasa dan syari’ah. Oleh karena itu, agar
mendapatkan pemahaman yang tepat, maka kajian tentang konsep perlu dimulai
dengan analisis bahasa. Apalagi obyek yang dikaji adalah bahasa Arab, yang
memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan bahasa lain. Menurut
Syed M. Naquib al-Attas, peranan bahasa – terutama bahasa Arab – menduduki
posisi sentral dalam konsepsi dan Islamisasi pengetahuan. Berposisi sentral, karena bahasa Arab
memiliki keunikan. Yakni, struktur katanya senantiasa merujuk pada sistem akar
kata (mashdar). Selain itu struktur pemaknaan (semantic) bahasa
Arab secara jelas melekat kepada kosa kata secara konsisten merujuk pada akar
kata[2]. Oleh karena itu, penjelasan tentang konsep
wahyu terlebih dahulu dimulai dengan analisis bahasa.
Secara
lughawiy kata wahyu memiliki beragam makna. Diantaranya adalah,
berbicara secara sembunyi, isyarat atau memberi tanda, memberi informasi secara
cepat, memberi informasi secara tertulis atau menuliskan sesuatu dan memberi
ilham[3]. Dari
definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian informasi wahyu dapat
disampaikan dalam tiga bentuk, yaitu melalui komunikasi oral, melalui isyarat
panca indera, melaui suara dan melalui
tulisan[4].
Secara terminologis, Ibnu Mandzur mendefinisikan, wahyu adalah pemberian
informasi yang tersembunyi yang khusus disampaikan kepada para nabi Allah SWT.[5]
Demikian juga Manna’ al-Qaththan memberikan ta’rif wahyu adalah kalamullah yang diturunkan
kepada Nabi dari para Nabi-Nya.[6]
Adapun secara definisi syari’ah dikatakan bahwasannya wahyu merupakan kalam
Allah Swt. yang khusus disampaikan kepada para nabi serta Rasul-Nya. Wahyu
didefinisikan sebagai pemberitahuan Allah SWT kepada para Nabi-Nya tentang
pesan-pesan Ilahi berupa syari'at dan berita-berita lain secara sembunyi yang mana
manusia biasa tidak mengalami hal ini.[7]
Sebagaimana diungkapkan oleh Al-Asfahani, bahwa wahyu adalah ilmu rabbaniy
yang mempunyai spesifikasi dan bersifat pasti (qat'iy). Sehubung
dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam adalah sumber informasi yang benar
yang otoritatif (khabar shadiq)[8].
Karena memiliki sifat rabbaniyah itu, Abu Hamid al-Ghazali menegaskan
bahwa wahyu adalah sumber ilmu yang tidak dihasilkan oleh akal manusia (bahkan
seorang nabi pun tidak memiliki tempat mengkreasi wahyu), dan hanya diturunkan
kepada nabi[9].
Terkait
dengan hal tersebut, meskipun sama-sama berisfat rabbaniyah wahyu
berbeda dengan Ilham. Oleh Al-Ghazali keduanya dibedakan, Ilham termasuk
kategori sumber ilmu dari Allah Swt, bentuknya seperti petunjuk yang datang ke
dalam hati berupa informasi tanpa usaha atau tanpa belajar yang diberikan Allah
SWT kepada hamba-Nya yang dikehendaki.[10] Nabi
atau manusia biasa yang dikehendaki Allah SWT bisa mengalami mendapatkan ilham.
Bentuk informasi ilham berbeda jika dibandingkan dengan wahyu. Adapun jika
wahyu yang diturunkan adalah berupa lafadz dan ma'nanya, maka
berbeda dengan ini ilham hanyalah sebatas pemberian semacam ide atau ma'na. Pengertian ini sesuai dengan berbagai makna
wahyu dalam ayat-ayat al-Qur'an.
Wahyu
juga memiliki beragam makna sesuai dengan konteksnya, hal ini telah disebutkan
dalam beberapa ayat al-Qur’an. Kata wahyu di dalam al-Qur'an beserta
derivasinya disebut pada enam puluh satu tempat yang berbeda. Dari jumlah yang sekian itu, al-Qur'an
memberi makna yang berbeda-beda terhadapnya.
Seperti bermakna pemberian ilham kepada manusia, terdapat dalam QS.
Al-Qashas: 7, memberi isyarat atau kode
terdapat dalam QS. Maryam: 11. Bermakna isyarat atau menuliskan sesuatu terdapat dalam QS. Al-An'am: 112.
Bahkan makna dasar wahyu juga bisa bermakna pemberian informasi yang tidak
baik, seperta dalam QS. Al-An'am: 121 "Sesungguhnya syaitan-syaitan itu
membisikkan (yuuhuuna) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu".
Dalam berbagai tempat, al-Qur'an memberi makna wahyu sebagai ilham, kode,
membisikkan atau pemberian informasi biasa, apabila objeknya adalah bukan Nabi.
Berbeda dengan itu, wahyu dimaknai sebagai kalam Allah SWT yang suci
disampaikan secara sembunyi melalui malaikat sebagai tanda kenabian, bila
objeknya adalah seorang Nabi SAW, seperti dalam QS. Al-Anbiya: 25, QS. Yunus:
109 dan lain sebagainya.[11]
Dari penjelasan singkat tersebut
bisa dikatakan bahwasannya wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi, adapun
selain nabi wahyu dimaknai ilham, pemberitahuan atau isyarat. Hal itu misalnya
dapat dilihat bahwa kata wahyu dengan khitab-nya
Nabi, maka wahyu diterjemahkan secara terminologis seperti terdapat dalam QS.
Al-Syuraa: 51 atau QS. Yunus: 109. Wahyu diartikan ilham bila khitabnya adalah orang-orang shalih yang
cara penyampaian informasinya tidak dalam bentuk lafadz tapi ide. Nabi juga
menerima ilham, dalam arti yang turun adalah maknanya, akan tetapi al-Qur’an
tidak diturunkan melalui bentuk makna saja. Wahyu dalam bentuk ilham yang
diberikan kepadan Nabi lebih tepat disebut dengan hadis karena yang diberikan
adalah dalam bentuk ide (makna).[12]
Secara ringkas perbedaan antara wahyu dan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi
yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa
mengetahui dari mana datangnya, dialami oleh nabi maupun manusia biasa – yang
bentuk informasinya dalam bentuk ide.
Terkait dengan hal tersebut, wahyu
dibagi menjadi dua. Al-Suyuthi mengutip Imam al-Juwaini menjelaskan, kalam
Allah SWT ada dua macam. Pertama, wahyu yang kemudian disebut al-Sunnah. Bentuk
ini disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk ide.
Allah SWT menyampaikan kepada Jibril tentang sesuatu, lantas Jibril memahami
kalam-Nya kemudian disampaikanlah kepada Nabi, hanya saja redaksinya
diungkapkan oleh Nabi SAW. Kedua, wahyu yang disebut al-Qur’an yakni yang diturunkan
adalah lafadz dan maknanya. Allah SWT mengatakan kepada Jibril, bacalahkanlah al-Kitab ini kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Jibril turun tanpa mengubah redaksi
lafadznya sedikitpun, serta kemudian diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Jibril[13].
Mengenai hadis qudsi, pendapat yang masyhur menurut Imam al-Zarqani adalah
lafadznya dari Allah SWT – seperti halnya al-Qur’an. Hanya saja tidak memiliki
i’jaz, dan karakteristik seperti al-Qur’an[14].
Dapat
dikatakan bahwa pengertian dari wahyu tidak dapat ditinjau dari satu sisi,
yaitu sisi etimologis saja. Informasi dari keterangan ini bisa didapati dari
keterangan di atas. Hal ini disebabkan
oleh karena makna literal saja belum dapat sampai mengantarkan pada memahami
hakikat kata tersebut. Jadi sesuai dengan jalur epistemoligi dalam Islam, maka
yang perlu untuk dipahami adalah makna Syari’ah dan makna etimologinya. Dengan
melakukan langkah pemahaman terhadap makna syari’ah dan makna etimologi lah
nantinya akan didapati hasil pemahaman yang tidak saling mempertentangkan
(dikotomis ) dan lebih menyeluruh (komprehensif). Penjelasan mengenai hal ini
dapat ditelusuri dari makna dasar dari wahyu, yang diantaranya memiliki makna, memberikan informasi secara
sembunyi dan menuliskan.
Didapati
ternyata dua makna ini melekat di dalam makna syar'i wahyu al-Qur'an. Arti yang
bisa didapati dari hal ini adalah bahwa al-Qur'an adalah merupakan bacaan, akan
tetapi bukan berarti tidak sama dengan al-Qur'an sebagai teks. Terdapat arti
“tertulis” dalam makna kata dasar wahyu. Dengan demikian maka adalah benar jika
disebut bahwa al-Qur’an adalah kitab tertulis, jadi al-Qur'an disebut juga al-Kitab.
Secara definitif maka pengertian wahyu tidak memberikan ruang terhadap pemahaman yang mendikotomisasikan antara
keduanya, akan tetapi tauhidi, yakni bahwa wahyu ketika disampaikan
secara oral akan tetap selalu terjaga isinya ketika ditulis dalam bentuk teks.
Mengenai penjelasan hal tersebut bisa dilihat melalui
salah satu makna etimologis, ditunjukkan bahwa wahyu diartikan “mengatakan
sesuatu dan sesuatu yang tertulis” (al-maktub). Pada saat menerima wahyu,
tidaklah Nabi saw menerimanya sudah
dalam bentuk tulisan ataupun buku akan tetapi ia menerima bacaan ayat.
Selanjutnya sesuai dengan makna literalnya, sesudah Rasulullah saw. menerima
wahyu kemudian mengajarkan kepada para sahabat secara lisan dan juga
menghafalnya, maka wahyu yang sudah dihafal oleh para sahabat itu kemudian
ditulis melalui beberapa media seperti di atas pelepah kurma, atau dengan
menggunakan media tulang. Wahyu meskipun disampaikan secara lisan, akan tetapi
secara konsisten al-Qur’an menyebut sebagai kitab tertulis (al-Kitab)[15].
Dikarenakan hal itulah kemudian
penjagaan wahyu al-Qur’an adalah melalui dua media, yaitu melalui hafalan dan
dibantu dengan media tulisan. Hal ini menandaskan bahwa tidak akan ditemui
perbedaan isi antara wahyu pada saat disampaikan secara oral pada masa
Rasulullah saw. dan wahyu pada saat dituliskan dalam bentuk teks.
Adapun proses tanziil (penurunan wahyu)
adalah melalui beberapa cara. Cara pertama, Malaikat Jibril mendatangi
Nabi, kemudian terdengar seperti suara gemerincing dan dengan sadar Nabi
mendengarkan dan memahami bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu.[16]
Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa ini merupakan pertanda bahwa
wahyu yang turun tersebut adalah berisikan ayat tentang ancaman-ancaman.[17]
Adapun cara yang kedua yaitu malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad kemudian
menyampaikan wahyu seperti membisiki[18].
Cara penyampaian wahyu yang ke tiga adalah malaikat Jibril mendatangi Nabi
dengan rupa sebagaimana pada umumnya manusia biasa, selanjutnya malaikat
menyampaikan wahyu secara talaqqiyan
langsung kepada Nabi. Cara yang ke
empat, Jibril mendatangi rasulullah dalam tidurnya, dan dalam keadaan inilah
wahyu disampaikan. Cara penyampaian wahyu yang ke lima adalah Allah SWT secara
langsung menyampaikan wahyu-Nya baik pada waktu Nabi dalam keadaan sadar,
sebagaimana pada saat nabi Muhammad SAW menerima perintah shalat pada malam
Isra’ ataupun Allah swt. mendatangi Nabi ketika dalam keadaan tidur.
Sebagaimana diutarakan oleh al-Suyuthi bahwa al-Qur’an tidak diturunkan melalui
cara kelima ini, yaitu Allah swt langsung menyampaikannya kepada Nabi.[19]
Rasulullah SAW pada setiap selesai mendapat wahyu langsung mengajarkan kepada
para sahabat, mengajarkan secara lisan dan menganjurkan untuk menghafal,
selanjutnya beliau juga memerintahkan untuk menulis kepada para sahabat.
Sesudah
mengetahui terhadap informasi tentang bagaimana cara tanziil tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwasannya wahyu
al-Qur’an pada dasarnya adalah merupakan bacaan yang disampaikan dan bukanlah tulisan. Jadi apa yang dimaksudkan
dengan membaca al-Qur’an adalah membaca dari ingatan, adapun tulisan adalah
menempati posisinya sebagai peneguh dari apa yang ada di ingatan tersebut.[20]
Dalam memelihara hafalan al-Qur’an bagi para sahabat, Nabi Muhammad saw. sangat
menaruh perhatiannya, beliau bahkan bersemangat untuk menggerakkan lidahnya
guna melatih bacaan para sahabat dan menyegerakan penghafalannya karena khawatir
akan kemungkinan terdapat satu huruf yang terlewatkan.[21]
Selanjutnya lebih dari itu, guna menjaga hafalan, malaikat Jibril datang dalam
bulan Ramadlan pada setiap tahunnya untuk mengecek bacaan Nabi saw. Terlebih
lagi pada saat tahun menjelang wafatnya Nabi, malaikat Jibril menyampaikan
bacaan al-Qur’an sebanyak dua kali, dan
dari ini sehingga beliau pada waktu menjelang akhir hayatnya dapat memahaminya dengan sangat baik. [22]
[1] Worldview secara umum
dimaknai sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk
aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya
dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat
direduksi kedalam pandangan hidup.
[2]Lihat
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
al-Attas (terj), (Bandung: Mizan, 2003), hal. 352-355 dan Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept
of Education In Islam: a Framework for an Islamic Phlilosophy of Education
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1999)
[3]Ibnu Mandzur, Lisanul Arab(Beirut:
Dar Shadir, jilid 15) bab wahyu; Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum
al-Qur'an, terj. (Bogor: Litera Antar Nusa, 2009), hal. 36
[4]Muhammad Fuad Abdul Baqi,
Mu'jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur'an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr,
1401 H/1981 M), p. 747 lihat juga Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradaat fi
Gharibi al-Qur'an, tanpa tahun dan tempat, bab wahyu
[5]Ibnu Mandzur, Lisanul
Arab, bab wahyu.
[6] Manna' al-Qaththan, Mabâhits
fî 'Ulûm al-Qur`ân, Riyadl : Mansyurat al-'Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M,
hal. 33.
[7]Al-Raghib al-Asfahani, bab
wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur'an
(Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M), hal. 55.
[8]Khabar shadiq adalah sumber ilmu dalam
Islam. Ia adalah informasi benar yang memiliki otoritas. Imam al-Nasafi
menjelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, yaitu
informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dan oleh Karena itu merupakan sumber
ilmu yang pasti kebenarannya. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan
Rasul SAW yang diperkuat dengan mu'jizat. Informasi jenis ini bersifat istidlaliy.
Lihat Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia Thn. II No 5 April-Juni
2005
[9]Abu Hamim al-Ghazali,
Al-Munqidz min al-Dlalal (Kairo: Silsilah Tsaqafat Islamiyah, 1961), hal.
13-14.
[10]Ibid.
[11]Lihat Muhammad Fuad Abdul
Baqi, Mu'jam al-Mufradat Li al-Faadzi al-Qur'an al-Karim, hal. 745 dan
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur'an, hal. 36-37.
[12]Muhammad Ali Al-Shabuni, Al-Tibyan fii Ulum al-Qur’an, terj,
(Jakarta: Pustaka Amani, 1422 H/2001 M), hal. 70. Dalam al-Qur’an Allah SWT
berfirman: “Dia (Nabi) tidak berkata dari
hawa nafsunya, tidak ialah wahyu yang diwahyukan (Allah) kepadanya”. QS.al-Najm:
30
[13]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an
(Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, jilid I, 1429 H/2008 M), hal. 63.
[14]Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an
(Beirut-Libanon: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1995 M/1415 H Jilid I), hal. 45.
[15]M.M. Al-A’zami, The History the Qur’anic text From
Revelation to Compilation, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi,
terj, (Jakarta: GIP, 2005), hal. 71.
[16]Hadis shahih riwayat Imam
Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab Bada’a al-wahyi hadis no.2, Imam
Muslim dalam Shahih Muslim Kitab al-Fadlail hadis no.4303, Imama
Turmudzi dalam Sunan Turmudzi hadis
no. 3567, dan Imam Ahmad dalam Musnadnya hadis no. 24092
[17]Al-Suyuti, Al-Itqan fi
Ulum al-Qur’an, hal. 64.
[18]HR. Shahih riwayat Hakim
dalam Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an.
[19]Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an, hal. 64;
dan Muhammad Abdul ‘Adzim al-Zarqani,
Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur’an, hal. 55.
[20] Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran
(Jakarta: GIP, 2008), hal. 10.
[21]Karena terlalu bersemangat
dan tekesan terburu-buru Allah SWT akhirnya mengingatkan agar pelan-pelan
melafalkan disesuaikan dengan kemampuan sahabat, hal ini dapat disimak dalam
QS. Al-Qiyamah: 16-19
[22]Muhammad bin Muhammad Abu
Syuhbah, Al-Madkhal Li Dirasah al-Qur’an
al-Karim, terjemah oleh Taufiqurrahman Studi Ulumul Qur’an (Bandung:
Pustaka setia,1992), hal. 11.