Sophist berasal dari kata yunani Sophistikos,
Sophistes berarti
“bijaksana, pintar, halus”,[1] dari
kata ini Sophist diartikan sebagai seorang yang mencintai kebijaksanaan. Kata Sophist
dalam budaya yunani pra-socrates digunakan untuk sinonim dari filosof,
professor ataupun guru.[2] Mereka
yang memiliki ketrampilan khusus sebagai pembuat kereta perang, senjata dan
alat-alat pertempuran disebut sebagai Sophist. Istilah Sophist sudah dikenal
bahkan sebelum thales (550 SM) abad ke-6 SM, dengan makna ini Thales bisa
disebut juga sebagi seorang Sophist (filosof).
Kata Sophist mengalami perubahan makna ketika memasuki Athena
pada pertengahan abad ke-5 SM.[3] Sophist
menjadi hanya sebagai nama sebuah gerakan guru keliling yang mengajar untuk
mendapatkan uang.[4]
Mereka mengajari anak-anak bangsawan Athena, dan mereka yang mampu membayar; cara
berdebat, retorika dan orator.[5] Ketrampilan
tersebut dibutuhkan oleh masyarakat Athena untuk membela diri dalam persidangan
dihadapan dewan mahkamah Athena yang berjumlah 1505 orang dalam arena yang luas
sehingga membutuhkan cara mengartikulasikan suara dalam ketrampilan orasi[6]. Athena
sejak awal dikenal sebagai negara yang demokratis , meskipun demokrasi Athena
belum menyentuh kelompok budak dan wanita, namun dibandingkan Sparta yang
menganut pemerintahan oligarki, Athena lebih demokratis.[7]
Perang antara orang-orang Athena dari kota-kota Ionia dengan
orang-orang Persia pada permulaan abad ke-5 SM, yang dimenangkan Athena pada pertempuran
di Marathon pada tahun 409 SM[8], memberikan
kepercayaan yang luar biasa kepada seluruh masyarakat Athena saat itu. Kemenangan
itu memberikan pelajaran bagi penduduk negara-kota Athena, bahwa negara kecil
dengan peradaban yang lebih tinggi akan mampu mengalahkan negara besar dengan kebudayaan
barbaric atau tradisional.[9] Hal itu
mendorong masyarakat Athena untuk mengembangkan diri dengan keilmuan dan
ketrampilan. Peluang demikian diambil oleh kelompok Sophist untuk mengajari apa
yang mereka butuhkan dengan meminta bayaran. Dari sinilah makna Sophist berubah
menjadi kelompok guru keliling yang mengajarkan ketrampilan pidato, retorika,
berdebat dan berargumentasi dalam rangka mencari uang.[10]
Kekalahan Athena oleh Sparta pada tahun
404 SM, menyebabkan perubahan landasan nilai-nilai moral yang diyakini selama
ini oleh masyarakat Athena. Athena menemukan padanan bagi landasan nilai-nilai
masyarakat dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat yang lain. Hal tersebut
mengundang perdebatan dalam rangka menemukan nilai hidup yang dianggap paling
baik. Jika zaman thales abad ke-6 SM filosof menanyakan; “Terbuat dari apakah
dunia?”, “Apa yang membuat dunia bisa bertahan?” maka pada paruh abad ke 5 SM,
setelah peristiwa ini, pertanyaan-pertanyaannya adalah; “Bagaimana seharusnya kita
hidup?” pertanyaan dasarnya adalah “Apakah kebenaran itu?”. Inilah pertanyaan
Socrates; filosof yang hidup saat itu, dengan itulah Socrates dikenal sebagia
filosof moral pertama. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang diajarkan Sophist
kepada murid-muridnya dalam rangka menguasai wacana. [11]
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Sophism diakses pada tanggal 08 Agustus 2008
[2] The word
‘Sophist’ had originally no bad connotation; it meant, as nearly as may be,
what we mean by ‘professor
[3] http://www.historyguide.org/ancient/lecture8b.html
kamis 010109,
15; 13
[4] Ibid
[5] http://www.cyberspacei.com/jesusi/inlight/philosophy/western/Sophists.htm#_Toc504873057 kamis, 010109, 23:16
[6] Bertrand Russell,
History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social
Circumstances from The Earliest Times to
the Present Day, Terjemahan Indonesi “Sejarah Filasafat Barat, Kaitannya
dengan kondisi-sosio Politik Zaman Kuno hingga sekarang” (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, Cet. III, 2007)hlm: 101
[7] Blackwell,
Christopher, Demos; Clasical Athenian Democracy 28 February 2003. The
Stoa: a Consortium for Scholarly Publication in the Humanities. 25 April 2007
[8] Bertrand Russell,
Op.cit hlm: 108
[9] The causes which
determined the above passage were many, and the most important of these were
the following: (1) The Greek victory over the Persian army, which showed how
much a small but cultured people can do against a numberless but disordered
multitude of barbarians; (2) Contact with other populations living in different
countries and practicing different customs, and the resultant investigation of
the real value of morality and justice; (3) The democratic constitution of
Athens, by virtue of which every citizen could aspire to some position in
public administration and, with this end in view, the necessity of everyone's
developing his personality through culture and education. http://www.radicalacademy.com/philSophists.htm 010109 kamis, 13; 0
[10] http://atheism.about.com/library/glossary/general/bldef_Sophists.htm wandering around the
country teaching people how to think, reason and argue. Their work was
considered especially valuable because in the developing Athenian democracy,
people needed the skill to discuss issues, reason about issues, and persuade
others to adopt new views.
[11] Brayan Magee, Story
of Philosophy, Copyright © 1998, 2001 Dorling Kindersley Limited, London
Text Copyright © 1998, 2001. Edisi Indonesia, The Story Of Philosophy (Yogyakarta,
Kanisius, Cet. 5 2008)Hlm; 11-13