Kebenaran adalah obsesi
manusia sepanjang sejarah. Selama manusia hidup, selama itu pula ia
mencari-cari kebenaran. Sejarah menampilkan kepada kita betapa para filosof
Yunani Kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, benar-benar telah menggunakan
nalarnya secara optimal untuk mencari kebenaran sejati, meski waktu itu
ada penentangan dari kaum sofis yang menyatakan bahwa kebenaran itu relatif.[1] Sebagaimana Plato yang
mengaitkan kebenaran dengan teori korespondensi (kebenaran berkorespondensi
atau sepadan dengan kenyataan) dan koherensi (kesesuaian dengan proposisi yang
telah ada), atau Aristoteles yang kemudian menyediakan ungkapan definitif
tentang teori korespondensi, dan masih banyak lagi para filosof yang mencari
hakikat dari kebenaran dan kebenaran yang hakiki itu seperti apa.[2]
Kebenaran memang dapat diraih
dengan berfilsafat (berpikir dan beretorika), di samping melalui wahyu,
intuisi, dan pengalaman inderawi. Dengan berfilsafat seseorang lebih
menggunakan nalar logis dengan aturan-aturan retorika untuk mengatur bahasa akal
sehingga menghasilkan interpretasi yang benar tentang realitas. Namun tidak
semua kebenaran bisa diraih hanya dengan berfilsafat, karena ada
kebenaran-kebenaran yang bersifat sprirituAl-yang tidak terjangkau oleh nalar
manusia yang terbatas. Maka manusia membutuhkan bimbingan wahyu. Dengan
diutusnya para Rasul ke dunia, Tuhan telah menunjukkan jalan-jalan wahyu untuk
mencapai sebuah kebenaran hakiki. Menurut Arkoun, Kedua sumber kebenaran ini
sama-sama menuju pada satu tujuan, yakni kebenaran realitas. Oleh karena
itulah, ia ingin meramu kedua bentuk nalar tersebut (nalar filosofis dan nalar
religius yang berdasarkan wahyu) ke dalam sebuah formulasi nalar baru yang bisa
dibuktikan dalam realitas sejarah. Misi Arkoun dengan begitu, ialah melampaui
berbagai aliran yang saling berselisih paham tentang kebenaran dalam Islam.
Dalam pandangannya, pertentangan tersebut oleh karena masing-masing aliran
sangat memegang teguh eksklusivitas kebenaran masing-masing yang pada akhirnya
terjadi sikap saling menyalahkan satu sama lain. Maka Arkoun ingin menemukan
titik temu dari pertentangan aliran tersebut.[3] Namun sebetulnya maksud
Arkoun bukanlah mempertemukan kebenaran antar-aliran, –karena masing-masing
aliran memiliki manhaj tersendiri yang sepintas tampak bertentangan,
tapi sebetulnya bukan bertentangan, melainkan metode mengistinbatkan sumber
kebenaran Islamnya memang berbeda– ia lebih bertujuan pada dekonstruksi
kebenaran itu sendiri. Ia ingin membongkar kemapanan kebenaran yang diyakini oleh
umat muslim, sehingga tidak ada lagi superioritas kebenaran satu aliran atas
lainnya. Dekonstruksi yang dilakukannya sebetulnya tidak melahirkan solusi,
melainkan mendatangkan persoalan baru baginya dan memerangkapnya dalam pola
pikir dekonstruktif.
Paparan di atas setidaknya
menggambarkan sifat-sifat umum yang terdapat dalam diri manusia. Dengan
sifat-sifat itu dapat dipahami kompleksitas manusia sebagai sumber, subjek, dan
objek. Dia tersusun dari unsur-unsur jasmani dan rohani yang menjadikannya sebagai
makhluk unggulan. Ia tidak saja diberi obsesi untuk mencapai sesuatu, tapi juga
dibekali bimbingan-bimbingan guna mencapai tujuan-tujuan seperti kebebasan,
kebahagiaan, dan kebenaran. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, Arkoun
menuangkannya dalam proyek humanisme.
[1] Lorens, Kamus Filsafat,
h. 412. Baca juga: Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan,
terj: Ilzamunddin Ma’mur dan Mufi Ali, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), h. 21, 23, 27, 32
[2] Bertrand Russell, Sejarah
Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga
Sekarang, terj: Sigit Jatmiko, dkk., cet. 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007)), h. 123, 219
[3] Arkoun, Naz’ah..., h.
603-604