Minggu, 05 Mei 2013

Tentang Kebenaran dan Muhammad Arkoun


Kebenaran adalah obsesi manusia sepanjang sejarah. Selama manusia hidup, selama itu pula ia mencari-cari kebenaran. Sejarah menampilkan kepada kita betapa para filosof Yunani Kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, benar-benar telah menggunakan nalarnya secara optimal untuk mencari kebenaran sejati, meski waktu itu ada penentangan dari kaum sofis yang menyatakan bahwa kebenaran itu relatif.[1] Sebagaimana Plato yang mengaitkan kebenaran dengan teori korespondensi (kebenaran berkorespondensi atau sepadan dengan kenyataan) dan koherensi (kesesuaian dengan proposisi yang telah ada), atau Aristoteles yang kemudian menyediakan ungkapan definitif tentang teori korespondensi, dan masih banyak lagi para filosof yang mencari hakikat dari kebenaran dan kebenaran yang hakiki itu seperti apa.[2]
Kebenaran memang dapat diraih dengan berfilsafat (berpikir dan beretorika), di samping melalui wahyu, intuisi, dan pengalaman inderawi. Dengan berfilsafat seseorang lebih menggunakan nalar logis dengan aturan-aturan retorika untuk mengatur bahasa akal sehingga menghasilkan interpretasi yang benar tentang realitas. Namun tidak semua kebenaran bisa diraih hanya dengan berfilsafat, karena ada kebenaran-kebenaran yang bersifat sprirituAl-yang tidak terjangkau oleh nalar manusia yang terbatas. Maka manusia membutuhkan bimbingan wahyu. Dengan diutusnya para Rasul ke dunia, Tuhan telah menunjukkan jalan-jalan wahyu untuk mencapai sebuah kebenaran hakiki. Menurut Arkoun, Kedua sumber kebenaran ini sama-sama menuju pada satu tujuan, yakni kebenaran realitas. Oleh karena itulah, ia ingin meramu kedua bentuk nalar tersebut (nalar filosofis dan nalar religius yang berdasarkan wahyu) ke dalam sebuah formulasi nalar baru yang bisa dibuktikan dalam realitas sejarah. Misi Arkoun dengan begitu, ialah melampaui berbagai aliran yang saling berselisih paham tentang kebenaran dalam Islam. Dalam pandangannya, pertentangan tersebut oleh karena masing-masing aliran sangat memegang teguh eksklusivitas kebenaran masing-masing yang pada akhirnya terjadi sikap saling menyalahkan satu sama lain. Maka Arkoun ingin menemukan titik temu dari pertentangan aliran tersebut.[3] Namun sebetulnya maksud Arkoun bukanlah mempertemukan kebenaran antar-aliran, –karena masing-masing aliran memiliki manhaj tersendiri yang sepintas tampak bertentangan, tapi sebetulnya bukan bertentangan, melainkan metode mengistinbatkan sumber kebenaran Islamnya memang berbeda– ia lebih bertujuan pada dekonstruksi kebenaran itu sendiri. Ia ingin membongkar kemapanan kebenaran yang diyakini oleh umat muslim, sehingga tidak ada lagi superioritas kebenaran satu aliran atas lainnya. Dekonstruksi yang dilakukannya sebetulnya tidak melahirkan solusi, melainkan mendatangkan persoalan baru baginya dan memerangkapnya dalam pola pikir dekonstruktif.
Paparan di atas setidaknya menggambarkan sifat-sifat umum yang terdapat dalam diri manusia. Dengan sifat-sifat itu dapat dipahami kompleksitas manusia sebagai sumber, subjek, dan objek. Dia tersusun dari unsur-unsur jasmani dan rohani yang menjadikannya sebagai makhluk unggulan. Ia tidak saja diberi obsesi untuk mencapai sesuatu, tapi juga dibekali bimbingan-bimbingan guna mencapai tujuan-tujuan seperti kebebasan, kebahagiaan, dan kebenaran. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, Arkoun menuangkannya dalam proyek humanisme.



[1] Lorens, Kamus Filsafat, h. 412. Baca juga: Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, terj: Ilzamunddin Ma’mur dan Mufi Ali, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 21, 23, 27, 32
[2] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj: Sigit Jatmiko, dkk., cet. 3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)), h. 123, 219
[3] Arkoun, Naz’ah..., h. 603-604

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...