Dalam pemaparannya terhadap konsep wahyu, Nasr Hamid abu
Zaid meletakkan posisi al-Qur’an yang itu adalah wahyu Ilahi telah berubah
menjadi teks manusiawi sejak pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw.
Pandangan seperti itu dikarenakan menurutnya pada waktu pertama kali turun dan
sejak dibaca oleh Nabi Saw dalam proses panjang pewahyuan, telah berubah dari
teks Ilahi menjadi teks manusiawi. Pengertian lain yang disebutkannya adalah
dari tanzil kepada takwil.
Dijelaskannya bahwa pemahaman Nabi atas al-Qur’an adalah
merupakan wujud dari tahap awal pergerakan teks dalam interaksinya dengan akal
manusia.[1]
Teks al-Qur’an telah terbentuk dalam realitas kultur dalam waktu dalam kurun
waktu lebih dari 20 Tahun, maka dikarenakan hal tersebut lah al-Qur’an adalah
“produk” dan tidak hanya itu saja, al-Qur’an juga merupakan “produsen” dari
sebuah budaya. Alasan menyebut al-Qur’an sebagai Produk budaya adalah karena
al-Qur’an itu sebagai sebuah teks sentral dan hegemonik yang dijadikan sebagai
sumber rujukan dari teks-teks lain.[2]
Diketengahkan olehnya bahwa teks-teks kegamaan (dalam hal
ini adalah al-Qur’an) mempunyai kedudukan yang sama sejajar dengnan teks-teks
lain dalam kebudayaan manusia. Dari pengasumsian tersebut maka menurutnya
mengkaji al-Quran tidak memerlukan sebuah metode khusus, dan menggunakan metode
khusus merupakan sama artinya menghalangi manusia untuk memahami teks-teks
agama secara mandiri.[3]
Selanjutnya diungkapkan oleh Nasr hamid bahwa al-Qur’an
tidak lebih hanyalah sebagai fenomena teks bahasa biasa karena melihat realitas
dan kultur yang lekat dengan bahasa manusia.[4]
Bahasa, kultur dan realitas merupakan fenomena historis; serta masing-masing
dari itu memiliki kondidi yang khusus. dengan pemaparan alasan yang seperti
itulah menurutnya al-Qur’an juga adalah teks historis.[5]
Kesimpulannya yang dengan tanpa ragu meyakinkan bahwa al-Qur’an adalah teks manusia ditunjukkannya
dengan menunjuk pada historisitas teks, realitas, kultur dan bahasa.[6]
Penafsiran para ulama Islam terhadap al-Qur’an juga menjadi
sasaran kritik Nasr Hamid dengan menyalahkan mereka karena lebih mengedepankan
sisi metafisik sehingga menurutnya mengalahkan sisi ilmiah dan obyektif dalam
mengkaji al-Qur’an. dengan menganggap al-Qur’an sebagai teks manusia
sebagaimana teks lain pada umumnya, dia berharap kajian al-Qur’an dapat
dinikmati oleh siapa saja termasuk non Islam dan bahkan atheis sekalipun.
Logika Abu Zayd menyatakan bahwa “keimanan terhadap wujud metafisik al-Qur’an
akan menghalangi sebuah pemahaman ilmiah terhadap fenomena teks al-Qur’an.[7]
Hal pokok yang menjadi penyebab pemikiran Islam tertinggal
dan berhenti dari peredaran sejarah, menurut Nasr Hamid adalah dikarenakan
terlalu terpusat pada persoalan teologis (divine dimension).[8]
Dijelaskan dengan tegas olehnya bahwa “al-Qur’an adalah perkataan Muhammad yang
diriwayatkan ia adalah wahyu ilahi (the word of Muhammad reporting what he
asserts is the word of God, this is the Quran).”[9]
Serta menurutnya, firman tuhan juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia.
Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang menjadi kehendak Allah.
Tak ayal pernyataan seperti ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa al-Qur’an
adalah melulu bahasa manusia (The Qur’an is human language).[10]
Nasr Hamid mengkritik pembahasan yang dia sebut sebagai
diskusi tradisional yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Tablet
terjaga (al-lawh al-Mahfudz) sampi kepada langit dunia (sama’
al-dunya), dan dari sana ia diturunkan secara gradual kepada Nabi Muhammad,
berdasarkan situasi tertentu. Menurut Nasr Hamid, pendapat-pendapat ini tidak
lebih adalah bagian dari diskusi mitologis dan bukan diskusi ilmiah. Dari
pernyataan yang seperti ini, Nasr Hamid memposisikan proses pewahyuan dalam
pembahasan tersebut tidak lebih dari bahasan mitologis belaka.
Dinyatakan juga oleh Nasr Hamid bahwa
al-Qur’an hanyalah sebuah teks historis yang tunduk kepada pemahaman dan
interpretasi manusia. Dalam hakikatnya sebagai kata-kata Tuhan, Ia berada di
luar pengetahuan manusia.[11]
Dengan demikian Nasr Hamid hendak memberi pengertian bahwa kebenaran nilai
al-Qur’an hanya ada pada sisi Allah semata tanpa dapat dijangkau oleh manusia nilai
kebenarannya ketika telah diwahyukan. Dan
ini menggiring pada pengertian bertumpu
pada kerelatifan semata pemahaman manusia terhadap al-Qur’an karena diasumsikan
manusia tidak dapat meraih kebenaran pemahaman ketika wahyu diturunkan. Hal ini
tentu saja mengarah pada pengertian manusia tidak pernah benar-benar sampai
pada kebenaran karena pencapaian terjauhnya hanya sampai pada tingkatan relatif.
[1] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd
al-Khitab al-Diniy (Kairo: Sina’ Li al-Nasyr, 1992), hal. 93.
[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum
al-Nash, Dirosah Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Markaz al-Shaqafi al-‘Arabi),
hal. 24.
[3] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd
Khithab al-Diniy, hal. 197.
[4] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum
al-Nash, hal. 24.
[5]Nasr Hamid Abu Zaid, Tahdits
al-Islam Aw Aslamat al-Hadatsah? dalam buku Cosmopolitanism: Identity and
Authenticity in the Middle east, Editor; Raul Mayer, Surrey; Curzon Press, 1st
Edition, 1999, p. 74.
[6] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd
Khithab al-Diniy, hal. 93
[7] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum
al-Nash, hal. 24.
[8] Nasr Hamid Abu Zayd dan
Aster R. Nilson, Voice of an Exile: Reflections on Islam (London:
Wesport Connecticut, 2004), p. 95.
[9] Ibid., hal. 96.
[10] Ibid., hal. 97.
[11] Moch. Nur Ichwan,
Meretas Kesarjanaan kritis al-Qur’an, Teori Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta:
Teraju, 2003),hal. 71.