Jumat, 10 Mei 2013

Wahyu dalam pandangan Abu Nasr Hamid Abu Zaid


Dalam pemaparannya terhadap konsep wahyu, Nasr Hamid abu Zaid meletakkan posisi al-Qur’an yang itu adalah wahyu Ilahi telah berubah menjadi teks manusiawi sejak pertama kali turun kepada Nabi Muhammad saw. Pandangan seperti itu dikarenakan menurutnya pada waktu pertama kali turun dan sejak dibaca oleh Nabi Saw dalam proses panjang pewahyuan, telah berubah dari teks Ilahi menjadi teks manusiawi. Pengertian lain yang disebutkannya adalah dari tanzil kepada takwil.
Dijelaskannya bahwa pemahaman Nabi atas al-Qur’an adalah merupakan wujud dari tahap awal pergerakan teks dalam interaksinya dengan akal manusia.[1] Teks al-Qur’an telah terbentuk dalam realitas kultur dalam waktu dalam kurun waktu lebih dari 20 Tahun, maka dikarenakan hal tersebut lah al-Qur’an adalah “produk” dan tidak hanya itu saja, al-Qur’an juga merupakan “produsen” dari sebuah budaya. Alasan menyebut al-Qur’an sebagai Produk budaya adalah karena al-Qur’an itu sebagai sebuah teks sentral dan hegemonik yang dijadikan sebagai sumber rujukan dari teks-teks lain.[2]
Diketengahkan olehnya bahwa teks-teks kegamaan (dalam hal ini adalah al-Qur’an) mempunyai kedudukan yang sama sejajar dengnan teks-teks lain dalam kebudayaan manusia. Dari pengasumsian tersebut maka menurutnya mengkaji al-Quran tidak memerlukan sebuah metode khusus, dan menggunakan metode khusus merupakan sama artinya menghalangi manusia untuk memahami teks-teks agama secara mandiri.[3]
Selanjutnya diungkapkan oleh Nasr hamid bahwa al-Qur’an tidak lebih hanyalah sebagai fenomena teks bahasa biasa karena melihat realitas dan kultur yang lekat dengan bahasa manusia.[4] Bahasa, kultur dan realitas merupakan fenomena historis; serta masing-masing dari itu memiliki kondidi yang khusus. dengan pemaparan alasan yang seperti itulah menurutnya al-Qur’an juga adalah teks historis.[5] Kesimpulannya yang dengan tanpa ragu meyakinkan bahwa  al-Qur’an adalah teks manusia ditunjukkannya dengan menunjuk pada historisitas teks, realitas, kultur dan bahasa.[6]
Penafsiran para ulama Islam terhadap al-Qur’an juga menjadi sasaran kritik Nasr Hamid dengan menyalahkan mereka karena lebih mengedepankan sisi metafisik sehingga menurutnya mengalahkan sisi ilmiah dan obyektif dalam mengkaji al-Qur’an. dengan menganggap al-Qur’an sebagai teks manusia sebagaimana teks lain pada umumnya, dia berharap kajian al-Qur’an dapat dinikmati oleh siapa saja termasuk non Islam dan bahkan atheis sekalipun. Logika Abu Zayd menyatakan bahwa “keimanan terhadap wujud metafisik al-Qur’an akan menghalangi sebuah pemahaman ilmiah terhadap fenomena teks al-Qur’an.[7]
Hal pokok yang menjadi penyebab pemikiran Islam tertinggal dan berhenti dari peredaran sejarah, menurut Nasr Hamid adalah dikarenakan terlalu terpusat pada persoalan teologis (divine dimension).[8] Dijelaskan dengan tegas olehnya bahwa “al-Qur’an adalah perkataan Muhammad yang diriwayatkan ia adalah wahyu ilahi (the word of Muhammad reporting what he asserts is the word of God, this is the Quran).”[9] Serta menurutnya, firman tuhan juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia. Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang menjadi kehendak Allah. Tak ayal pernyataan seperti ini mengantarkan pada kesimpulan bahwa al-Qur’an adalah melulu bahasa manusia (The Qur’an is human language).[10]
Nasr Hamid mengkritik pembahasan yang dia sebut sebagai diskusi tradisional yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan dari Tablet terjaga (al-lawh al-Mahfudz) sampi kepada langit dunia (sama’ al-dunya), dan dari sana ia diturunkan secara gradual kepada Nabi Muhammad, berdasarkan situasi tertentu. Menurut Nasr Hamid, pendapat-pendapat ini tidak lebih adalah bagian dari diskusi mitologis dan bukan diskusi ilmiah. Dari pernyataan yang seperti ini, Nasr Hamid memposisikan proses pewahyuan dalam pembahasan tersebut tidak lebih dari bahasan mitologis belaka.
Dinyatakan juga oleh Nasr Hamid bahwa al-Qur’an hanyalah sebuah teks historis yang tunduk kepada pemahaman dan interpretasi manusia. Dalam hakikatnya sebagai kata-kata Tuhan, Ia berada di luar pengetahuan manusia.[11] Dengan demikian Nasr Hamid hendak memberi pengertian bahwa kebenaran nilai al-Qur’an hanya ada pada sisi Allah semata tanpa dapat dijangkau oleh manusia nilai kebenarannya ketika telah diwahyukan.  Dan ini menggiring pada pengertian  bertumpu pada kerelatifan semata pemahaman manusia terhadap al-Qur’an karena diasumsikan manusia tidak dapat meraih kebenaran pemahaman ketika wahyu diturunkan. Hal ini tentu saja mengarah pada pengertian manusia tidak pernah benar-benar sampai pada kebenaran karena pencapaian terjauhnya hanya sampai pada tingkatan relatif.


[1] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitab al-Diniy (Kairo: Sina’ Li al-Nasyr, 1992), hal. 93.
[2] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash, Dirosah Fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Markaz al-Shaqafi al-‘Arabi), hal. 24.
[3] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd Khithab al-Diniy, hal. 197.
[4] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, hal. 24.
[5]Nasr Hamid Abu Zaid, Tahdits al-Islam Aw Aslamat al-Hadatsah? dalam buku Cosmopolitanism: Identity and Authenticity in the Middle east, Editor; Raul Mayer, Surrey; Curzon Press, 1st Edition, 1999, p. 74.
[6] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd Khithab al-Diniy, hal. 93
[7] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash, hal. 24.
[8] Nasr Hamid Abu Zayd dan Aster R. Nilson, Voice of an Exile: Reflections on Islam (London: Wesport Connecticut, 2004), p. 95.
[9] Ibid., hal. 96.
[10] Ibid., hal. 97.
[11] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan kritis al-Qur’an, Teori Hermeneutik Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Teraju, 2003),hal. 71.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...