Terhadap
pengertian wahyu, bagi
Arkoun di sana terdapat dua pembagian peringkat. Pertama adalah apa yang
disebut al-Qur'an sebagai Umm al-Kitab (Induk Kitab) (QS, 13:39; 43:4).[1]
Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gospel, dan al-Qur'an. Umm
al-Kitab adalah Kitab Langit, wahyu yang sempurna, dari mana Bible dan
al-Qur'an berasal. Pada peringkat pertama (umm al-Kitab), wahyu bersifat
abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran tertinggi. Namun,
menurut Arkoun, kebenaran absolut ini diluar jangkauan manusia, karena bentuk
wahyu yang seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz (Preserved Tablet)
dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh
manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah
Arkoun dinamakan "edisi dunia" (edition terrestres).
Menurutnya, pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi dan
substitusi.[2]
Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun
membedakan tiga tingkat anggitan tentang wahyu. Pertama sebagai firman Allah
yang transenden, tak terbatas, yang tidak diketahui oleh manusia. Untuk
menunjuk realitas wahyu semacam ini
biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfuz atau Umm al-Kitab.
Tingkat kedua menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan al-Qur'an,
anggitan ini menunjukkan pada realitas Firman Allah sebagaimana diwahyukan
dalam bahasa Arab kepada Muhammad saw selama kurang lebih dua puluh tiga tahun.
Tingkat ketiga menunjuk wahyu sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf dengan
huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya.[3] Berkenaan
dengan al-Qur'an, anggitan ini menunjukkan mushaf yang dikodifikasi pada zaman
Usman bin Affan atau lebih dikenal dengan sebutan al-Mushaf al-usmani yang
dipakai orang-orang muslim sampai hari ini. Kodifikasi ini dilakukan karena
terjadi sebuah peristiwa yang tidak terpikirkan oleh seorang sahabatpun
sebelumnya. Dalam perang Yamamah, sedikitnya 1000 pasukan muslim gugur, 450
diantaranya dari kalangan sahabat. Informasi ini sampai ke telinga Umar bin
Khaththab, lalu ia memikirkan akan nasib al-Qur'an.[4]
Sedangkan dalam analisisnya, Arkoun menyebut al-mushaf ini sebagai Closed
Official Corpus (kanon resmi tertutup) atau mushaf standar yang sudah
ditentukan secara resmi dan final.[5] Sebutan
ini bukanlah tanpa mengandung resiko untuk disalah pahami. Dengan mengatakan
"kanon resmi tertutup" Arkoun hendak
mempersoalkan kanon tersebut.
Mengenai
sejarah al-Qur'an, Arkoun membaginya menjadi tiga periode: periode pertama
berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M); periode kedua, berlangsung
ketika koleksi dan penetapan mushaf (12-324 H/632-936 M) dan periode ketiga
berlangsung ketika masa ortodoks (324 H/936 M). Arkoun menamakan periode pertama
sebagai Prophetic Discourse (Diskursus Kenabian) dan periode kedua
sebagai Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup).
Berdasar pada periode tersebut, arkoun
mendefinisikan al-Qur'an sebagai "sebuah korpus yang selesai dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa
Arab, dimana kita tidak dapat mengakses kecuali melalui teks yang ditetapkan
setelah abad ke 4 H/10 M."[6]
Menurut Arkoun dalam tradisi muslim pengumpulan al-Qur'an mulai pada saat Nabi
meninggal pada tahun 632, tetapi ketika beliau hidup tampaknya ayat-ayat
tertentu sudah ditulis. Kumpulan-kumpulan parsial dibuat dengan bahan-bahan
yang agak tidak memuaskan, karena kertas belum dikenal dikalangan orang Arab
dan tersedia bagi mereka baru di akhir abad ke-8.
Meninggalnya para sahabat Nabi, yaitu
orang-orang yang ikut berhijrah bersama beliau dari Mekkah ke Madinah pada
tahun 622, dan perdebatan tajam dikalangan umat Islam mendorong khalifah
ketiga, Usman, untuk mengumpulkan totalitas wahyu ke dalam satu kompilasi yang
disebut mushaf. Kumpulan ini dinyatakan sempurna, selesai dan tertutup dan
kompilasi-kompilasi parsial pun dimusnahkan untuk menghindari perbedaan yang
akan timbul tentang keotentikan wahyu-wahyu yang dipilih. Dia menegaskan bahwa
proses pemilihan dan pemusnahan ini mengharuskan kita bertumpu pada Corpus
Resmi yang Tertutup.[7]
Arkoun
membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam
periode diskursus kenabian, al-Qur'an lebih suci, lebih autentik, dan lebih
dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya, al-Qur'an
terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk
tulisan. Sedangkan ia menganggap status al-Qur'an dalam bentuk tulisan telah
berkurang dari kitab yang diwahyukan (al-Kitab al-Muha) menjadi sebuah
buku biasa (kitab 'adi). Arkoun berpendapat bahwa mushaf itu tidak layak
untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus
ini ke dalam sebuah status firman Tuhan.[8]
Pemikiran
Mohammad Arkoun yang
memberikan peringkat-peringkat dan makna tertentu telah
membuat paradigma baru tentang hakekat teks al-Qur'an. Pendekatan historisitas
Mohammad Arkoun justru menggiringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang ahistoris,
yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level di luar
jangkauan manusia. Mohammad Arkoun mengakui kebenaran Umm al-Kitab,
hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredibilitas
bentuk lisan al-Qur'an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak
mungkin ditemukan kembali. Jadi, pendekatan historisitas yang diterapkan Arkoun
justru menggiringnya sepada sesuatu yang ahistoris. Sesuatu yang tidak mungkin
dicapai kebenarannya oleh kaum muslimin. Padahal, sepanjang zaman fakta
historis menunjukkan, kaum muslimin sejak dulu, sekarang dan akan datang,
meyakini kebenaran al-Qur'an Mushaf Utsmani.
Arkoun
merinci mekanisme wahyu berdasarkan surat 42 (Asy-Syura) ayat 51.[9]
Menurutnya kosa kata wahyu yang digunakan oleh ayat sulit untuk diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa manusia yang tidak sakral, itulah sebabnya dia tidak
menterjemahkan kata kunci wahyu. Ia hanya berpendapat bahwa wahyu atau
al-Qur'an sebagai bacaan yang diartikulasikan (diucapkan) dalam bahasa manusia
dan dikomunikasikan kepada para nabi secara langsung atau dengan melalui
perantaraan seorang malaikat.[10] Padahal
ayat ini menerangkan tentang turunnya wahyu dalam tiga cara. Pertama, informasi
wahyu dengan jalan ilham yaitu menyampaikan makna tertentu ke hati Nabi
sekaligus bersama ilmu yang yakin bahwa hal itu hanya datang dari Allah, baik
lewat mimpi maupun saat terjaga (sadar). Kedua, pembicaraan lewat balik hijab
dimana Nabi tidak melihat Allah saat berlangsungnya pembicaraan, seperti halnya
Nabi Musa saat menerima wahyu pertama kali. Ketiga, penyampaian wahyu lewat
malaikat.[11]
Untuk
menunjukkan bahwa wahyu yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad saw.
melalui malaikat Jibril sama dengan al-Qur'an yang ada sekarang (mushaf
usmani) marilah kita kaji dua hadits dari Fatimah dan Ibnu Abbas. Dalam
memelihara ingatan Nabi Muhammad terhadap al-Qur'an, malaikat Jibril berkunjung
kepadanya setiap tahun. Hal ini dapat dilihat dalam hadits yang pertama dari
Fatimah, ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad memberitahukan kepadanya secara
rahasia, yaitu tentang malaikat jibril yang hadir membacakan Al-Qur'an pada
Nabi dan beliau membacakannya sekali setahun. Hanya pada tahun mendekati akhir usianya saja membacakan
seluruh bacaan
Al-Qur'an selama dua kali."[12]
Sedangkan yang kedua, hadits dari Ibn ' Abbas, ia melaporkan bahwa Nabi
Muhammad saw berjumpa dengan malaikat Jibril setiap malam selama bulan Ramadhan
hingga akhir bulan, masing-masing membaca Al-Qur'an silih berganti.[13]
Dua
hadits ini menunjukkan bahwa bacaan ayat al-Qur'an Nabi Muhammad sama dengan
bacaan Jibril, artinya sama dengan yang telah Allah turunkan melalui malaikat
Jibril dan tidak ada perbedaan sedikitpun. Karena malaikat jibril selalu
bergantian dengan Rasulullah dalam membacakan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana
hadits di atas. Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnad secara
mutawattir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan
keaslian al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Allah melalui malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad saw. dan diteruskan kepada para shahabat, demikian hingga
hari ini.
Bahkan Allah menantang kepada siapa saja yang
meragukan al-Qur'an sebagai kalam Allah yg diwahyukan kepada Rasulullah saw. lafdhon
wa ma'nan tetapi mereka tidak ada yang mampu membuat seperti al-Quran itu
walaupun satu surah saja.[14]
Tantangan itu tetap berlaku karena al-Quran adalah mukjizat yang abadi
hingga hari kiamat. Dan Nabi Muhammad pun diberi peringatan oleh
Allah jika mengada-ngada suatu perkataan dalam al-Qur'an.[15]
Apa yang
dinyatakan oleh Arkoun bahwa al-Quran yang kita ketahui saat ini adalah bukan
wahyu Allah atau dengan kata lain al-Qur'an berbeda dengan apa yang telah
diturunkan kepada Rasulullah saw. dahulu, semua itu adalah tuduhan tidak
berdasar fakta yang benar sebagaimana telah diungkapkan oleh orang-orang yang
memusuhi Islam agar orang Islam ragu dengan agamanya sendiri dengan cara
menggugat Kitab Sucinya melalui metode mereka. Dan bila kitab sucinya sendiri
telah digugat dan diragukan, maka tinggal giliran berikutnya adalah
ajaran-ajaran Islam yang lain pun turut gugur karena al-Qur’an sebagai prinsip
utamanaya pun telah digugurkan terlebih dahulu.
[1] يَمْحُوا
اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ (39)
"Allah
menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki),
dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)." (QS, Ar Ra'd: 39)
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا
لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ (4)
"Dan
sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami,
adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah." (QS, Az Zukhruf: 4)
Berdasarkan ayat inilah,
Arkoun merinci mekanisme wahyu. Lihat Arkoun, Rethingking Islam, hal.47.
[2] Lihat Abdul Kadir Hussain
Salihu, Hermeneutika Al-Qur'an menurut Muhammad Arkoun: Sebuah Kritik,
dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2,
Juni-Agustus 2004, hal: 21.
[3] Mohammad Arkoun, "exploration and
responses: New Perspectives for a Jewish-Christian-Muslim Dialogue"
journal of ecumenical studies, 26, 3 (Summer 1989) ", hal. 526; Mohammad
Arkoun, "Gagasan tentang wahyu: Dari Ahl al-Kitab sampai Masyarakat
Kitab", dalam nico J.G Kaptein dan Henri Chambert-Loir, studi Islam di
perancis. Gambaran Pertama (Jakarta: INIS, 1993).
[4] Lihat al-Bukhori, Bab: Jam'u
al-Qur'an, juz: 16, hal: 467
[5] Status Corpus Resmi yang
tertutup menurut prosedur-prosedur yang dikembangkan dan dibimbing oleh
sarjana-sarjana: resmi karena teks-teks ini sebagai akibat dari seperangkat keputusan yang diambil oleh
"otoritas-otoritas" yang diakui oleh komunitas; tertutup
karena tidak seorangpun diperkenankan untuk menambah atau mengurangi kata-kata,
memodifikasi suatu bacaan dalam Corpus yang sekarang dinyatakan otentik. Lihat Arkoun, Mohammad, "Rethinking
Islam: Common Questions, Uncommon Answers, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hal.50.
[6] Muhammed Arkoun, Kajian
Kontemporer Al-Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1998). hal. 13
[7] Ibid,
hal.55-56
[8] Adnin Armas, Metodologi Bibel Dalam
Studi AL-Qur'an (edisi kritis), (Jakarta: Gema Insani Press, 2005). hal. 68
[9] وَمَا
كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ
حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ
حَكِيمٌ (51)
"Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun
bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana." QS. 42 (Asy-Syura) ayat 51.
[10] Arkoun, Rethingking Islam, Op.Cit. hal.47
[11] Lihat Tafsir ath-Thabari.
hal. 558.
[12] عَنْ
فَاطِمَةَ - عَلَيْهَا السَّلاَمُ - أَسَرَّ إِلَىَّ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم - « أَنَّ جِبْرِيلَ كَانَ
يُعَارِضُنِى بِالْقُرْآنِ كُلَّ سَنَةٍ ، وَإِنَّهُ عَارَضَنِى الْعَامَ
مَرَّتَيْنِ ، وَلاَ أُرَاهُ إِلاَّ حَضَرَ أَجَلِى »
Lihat al-bukhori, sahih, fadha'il al-Qur'an,
hal. 481.
[13] أَنَّ
ابْنَ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم -
أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ،
حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - يَلْقَاهُ
كُلَّ لَيْلَةٍ فِى رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم - الْقُرْآنَ ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ - عَلَيْهِ
السَّلاَمُ - كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
Lihat al-bukhori, sahih,
Shaum, hlm. 183.
[14] وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
(البقرة:23)
[15] وَلَوْ
تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ (44) لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ
(45) ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ (46)
"Seandainya
dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya
benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami
potong urat tali jantungnya." (Al-Haaqqoh:
44-46)