Keselamatan yang dimaksud pada kajian ini tidak lebih
adalah selamatnya manusia di akhirat dari siksa api neraka dan masuk ke dalam
surga. Ini seperti yang tertera dalam Q.s. Ghafir: 40/41, “Dan wahai kaumku! Bagaimanakah ini, aku menyerumu kepada keselamatan,
tetapi kamu menyeruku kepada neraka?”
Menanggapi ayat ini, al-Maraghi mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan keselamatan (نجاة)
adalah masuk ke dalam surga.[1]
Ayat ini sendiri berbicara mengenai seorang mu’min di antara keluarga Fir’aun
yang menyeru kepada kaumnya untuk mengikuti agamanya, yakni petunjuk ke surga.
Ada yang meriwayatkan bahwa orang ini adalah Nabi Musa a.s.[2]
Keselamatan sendiri merupakan konsekuensi dari pahala
yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang saleh yang direalisasikan dengan
masuknya seorang hamba ke dalam surga. Dalam Q.s. Alu Imran: 3/136, Allah
berfirman, “Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga
yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan
itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.”
Al-Thabary (w. 310 H) mengatakan bahwa orang-orang yang
dimaksud dalam ayat di atas adalah mereka yang bertakwa kepada Allah (muttaqun).
Mereka melakukan amal saleh, diberi pahala berupa surga dan kekal di dalamnya.[3]
Dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari
Abu Hurairah dari Nabi SAW, Allah berfirman:
“Aku telah sediakan untuk hamba-Ku yang saleh, sesuatu yang belum pernah
dilihat oleh mata atau didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati
manusia. Bukti kebenaran perkataan itu terkandung di dalam al-Qur’an: ‘Tak
seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang
sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan’.” (Q.s.
al-Sajdah: 17)[4]
Berangkat dari sini, maka maksud keselamatan yang akan
dibahas pada kajian kali ini adalah sebagaimana yang diredaksikan dalam Q.s.
Ghafir: 40/41 tersebut, yakni selamatnya manusia dari siksa neraka dan
memperoleh (masuk) surga.
1.
Keselamatan dalam Tradisi Islam
Ajaran keselamatan dipandang begitu penting pada setiap
agama. Keselamatan merupakan jaminan seseorang di akhirat kelak. Pembicaraan
mengenai keselamatan Ahli Kitab telah menarik diskursus panjang di kalangan
pemikir Muslim dan Barat. Ini muncul karena merupakan bagian terpenting dalam
doktrin pluralisme agama yang akhir-akhir ini masuk dalam pemikiran Islam. Para
pluralis menyamakan Ahli Kitab dan agama-agamanya sama dengan Islamnya kaum
muslimin. Artinya, baik Islam maupun agama lain adalah sama-sama “benar” dan
sama-sama “masuk surga”.
Sebenarnya, setiap agama memiliki ajaran, syarat, dan
bentuk keselamatannya masing-masing. Untuk membuktikannya, pertama-tama akan
diterangkan bagaimana pandangan Islam tentang keselamatan, yakni bentuk dan
syaratnya.
a.
Bentuk Keselamatan Dalam Islam
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim, dari Anas r.a bahwa Nabi SAW pernah mengajarkan kepada seseorang do’a:
“Ya Allah berikanlah kepadaku kebaikan di dunia dan di akhirat serta
peliharalah aku dari siksa api neraka.”[5]
Anas mengabarkan bahwa ini merupakan do’a yang sering diucapkan oleh Nabi
Muhammad SAW.[6]
Di dalam al-Quran terdapat ayat yang memiliki redaksi persis
seperti hadits di atas, yakni pada surat al-Baqarah: 2/201. Karena ayat itu
berhubungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya maka di sini ditulis ketiga ayat
tersebut, Q.s. al-Baqarah: 2/ 200-202:
“Apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan
menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek
moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara
manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di
dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.
(200) Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka’.(201) Mereka Itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang
mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (202)”
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna “kebaikan
di dunia” dan “kebaikan di akhirat”. Ibn Jauzy merangkum ada tujuh
pendapat yang berbeda memaknai “kebaikan di dunia”: (1) menurut ‘Ali artinya
wanita shalihah, (2) menurut Sufyan ibn Husain dari al-Hasan artinya adalah
ibadah, (3) menurut Hisyam dari al-Hasan artinya ilmu dan ibadah, (4) Abu Wail,
al-Suddy dan Ibn Zaid mengartikan harta, (5) menurut Qatadah artinya
kesejahteraan, (6) Maqatil mengartikan rezeki yang luas, dan (7) menurut Ibn
Qutaibah artinya adalah kenikmatan.
Sedang “kebaikan di akhirat” memiliki tiga makna
yang berbeda: (1) ‘Ali mengartikannya sebagai bidadari yang jelita, (2)
al-Hasan, al-Suddy, dan Maqatil mengartikannya surga, (3) diriwayatkan dari
al-Hasan dan al-Tsaury artinya adalah ampunan.[7]
Menurut Al-Thabary arti yang tepat dari “kebaikan di
dunia” adalah kesejahteraan pada tubuh (sehat wal ‘afiyat), kehidupan, rezeki,
serta ilmu dan ibadah. Sedangkan “kebaikan di akhirat” tidak usah diragukan
lagi bahwa maksudnya adalah surga.[8]
Terlepas dari
perbedaan itu, dapat disimpulkan bahwa Islam mengajarkan hambanya untuk mencari
kebaikan di dunia dan di akhirat. Allah melarang hamba-Nya untuk mencari
kebaikan dunia saja. Ini seperti dikabarkan pada akhir Q.s. al-Baqarah: 2/200:
“Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah
kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang
menyenangkan) di akhirat.”
Menanggapi ayat tersebut, Ibn Katsir sebagaimana yang
dikatakan Sa’id ibn Jarir dari Ibn ‘Abbas bahwa kaum Arab Jahiliyah mendatangi
suatu tempat dan berdo’a agar menjadikan tempat tersebut setahun musim kemarau,
dan setahun musim subur, dan setahun musim semi yang indah. Namun mereka tidak
menyebut sedikitpun perihal ukhrawi (keakhiratan). Maka Allah menurunkan
ayat ini.[9]
Menurut al-Syaukani, ayat ini mengandung larangan tentang
do’a yang terbatas pada urusan dunia saja, dan juga mengandung hinaan bagi
orang yang menjadikan dunia sebagai tujuannya.[10]
Ini karena Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia bukanlah suatu yang kekal.
Kehidupan yang kekal hanyalah di akhirat. Sehingga apa yang diperbuat di dunia
hendaknya menjadi pendorong untuk meraih kehidupan yang kekal tadi. Pada Q.s.
al-Baqarah: 2/202 Allah berfirman: “Mereka Itulah orang-orang yang mendapat
bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Bagian yang dimaksud adalah pahala.[11]
Pahala inilah yang menjadi modal hamba masuk ke dalam surga.
Itu artinya, Islam menekankan bahwa segala amal perbuatan
manusia harus ditujukan pada kehidupan akhirat. Sehingga, manusia akan tetap
fokus untuk berbuat amal shaleh di dunia yang nantinya menjamin pada
keselamatannya kelak. Karena kehidupan akhirat lebih baik dan kekal.[12]
b.
Syarat Keselamatan dalam Islam
Dalam agama Islam, aspek aqidah menempati posisi yang
sangat penting. Ini dikarenakan aqidah merupakan syarat yang menyebabkan sah
dan diterimanya amal sesorang.[13]
Nabi Muhammad SAW sendiri selama tiga belas tahun di Makkah berjuang untuk
memperbaiki aqidah kaumnya. Ini diulangi lagi oleh beliau tatkala Fath
al-Makkah, yakni menghancurkan berhala-berhala dan menekankan pentingnya
ibadah kepada Allah tanpa syirik. Ini menunjukkan bahwa aqidah merupakan aspek
yang sangat ditekankan dalam Islam. Aqidah yang benar menghasilkan keselamatan
dan kesejahteraan dunia dan akhirat.[14]
Kebalikannya, aqidah yang salah menyebabkan seseorang dilarang masuk ke dalam
surga, tidak mendapat ampunan, dan konsekuensinya adalah azab dan kekal di
dalam neraka.[15]
Berbicara mengenai Aqidah Islamiyah tidak terlepas
dari Rukun Iman dan ibadah. Rukun iman merupakan sumber aqidah, yakni iman
kepada Allah, para Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Kiamat, dan beriman
kepada baik buruknya qadha dan qadar Allah.[16]
Keenam rukun ini terkait satu dengan lainnya. Artinya, beriman kepada Allah
harus mengimani lima rukun lainnya.
Mengimani sesuatu berarti patuh dan taat terhadap apa
yang diimaninya. Karena iman artinya percaya dengan hati, diucapkan dengan
lisan, dan diaplikasikan dengan perbuatan.[17]
Inilah yang disebut ibadah. Maka, antara aqidah, iman, dan ibadah merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Aqidah yang benar bersumber dari rukun
iman. Dan rukun iman menuntut seseorang untuk beribadah.
Ibadah merupakan keta’atan kepada Allah dengan
mengerjakan semua perintah-Nya melalui keterangan para Rasul.[18]
Ibadah yang dilakukan seseorang akan diganjar Allah dengan pahala. Pahala
inilah yang akan memasukkannya ke dalam surga.
Perlu diingat, bahwa dalam Islam terdapat ukuran (syarat)
ibadah yang diterima oleh Allah. Syarat tersebut adalah ikhlas tertuju kepada
Allah tanpa dibarengi syirik dan menurut yang diajarkan Rasulullah SAW.[19]
Ikhlas dalam ibadah merupakan ukuran amal seseorang. Maksudnya, ibadah yang dilaksanakan tanpa dasar ikhlas
adalah sesuatu yang sia-sia.[20]
Dalam Q.s. al-Bayyinah: 98/5 Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus.”
Jadi, agama yang lurus menurut redaksi ayat di atas
adalah yang menyembah hanya kepada Allah, bukan Yesus atau Yahweh, juga yang
mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Ini seperti yang diajarkan dalam agama
Islam. Kemudian kebalikannya, agama yang sesat adalah yang tidak terdapat
ajaran tentang shalat dan zakat, dan menyembah kepada selain Allah. Kriteria
seperti ini dapat dilihat pada praktek keagamaan dalam tradisi Yahudi dan
Nasrani. Kemudian, kriteria diterimanya amal seseorang juga harus berdasarkan
ajaran Rasulullah SAW. Artinya, harus sesuai dengan apa yang diperintahkan
Allah SWT kepada Rasulullah SAW tanpa ada penambahan dan pengurangan.[21]
Kedua syarat ini merupakan implementasi dari syahadatain,
yakni bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah menuntut adanya ikhlas dalam ibadah
tanpa dibarengi syirik. Sedang bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah
menuntut adanya ketaatan terhadapnya, mengikuti syari’atnya, serta
menginggalkan segala macam bid’ah.[22]
Maka, menurut kacamata Islam, ibadah yang tidak memenuhi
dua syarat tersebut tidak akan diterima oleh Allah. Sebagai contoh ibadah yang
dilakukan para Ahli Kitab. Kaum Yahudi misalnya, tidak puas menyembah patung sapi,
mereka juga mengklaim Uzair sebagai putra Allah.[23]
Atau orang Nasrani yang dengan sengaja mengangkat Nabi Isa sebagai tuhan, serta
merubah isi kitab Injil yang diturunkan kepada mereka.[24]
Ironisnya, mayoritas Ahli Kitab melakukan kemusyrikan ini, dan hanya sedikit
saja di antara mereka beriman serta benar-benar menjalankan apa yang
diperintahkan Allah.[25]
Kelompok yang sedikit ini tidak berkutik memurnikan aqidah kaumnya yang
benar-benar telah rusak. Sehingga perlu segera diutus seorang Nabi untuk
memurnikan ajaran Tuhan, yakni nabi Muhammad SAW. Maka, mengimani Muhammad
merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.[26]
Mengimani Nabi Muhammad berarti mengikuti ajaran yang
dibawanya, yakni masuk ke dalam agama Islam. Karena hanya dalam agama Islam lah
terdapat ajaran tentang aqidah, iman, dan ibadah yang benar. Ajaran-ajaran yang
terdapat dalam agama-agama selain Islam tidak mencerminkan aqidah yang benar.
Artinya, dengan memeluk Islam maka seseorang akan selamat.
Nabi SAW ketika mengirimkan surat dakwah kepada
Heraklius, Kaisar Romawi, mengatakan:
فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتك الله أجرك مرتين
فإن توليت فإن عليك إثم الأريسيين
“...Sesungguhnya aku mengajakmu dengan seruan Islam. Masuklah ke dalam
agama Islam, niscaya engkau akan selamat; dan Allah akan memberimu pahala dua
kali lipat. Namun, jika engkau berpaling, engkau akan menanggung dosa kaum
Arisiyyin...” [27]
Ajakan Nabi SAW kepada Heraklius ini sangat jelas, yakni
memeluk agama Islam. Jika menolak ajakan tersebut, Nabi SAW mengancam bahwa
Heraklius akan menanggung dosa sebanyak dosa kaum Arisyyin.[28] Heraklius
tidak akan selamat di akhirat kelak. Namun jika Heraklius menerima ajakan ini,
dipastikan dia akan selamat dan mendapat pahala dua kali.
Pemberian pahala ini tidak serta merta melegitimasi
keyakinan kaum Nasrani yang mempertuhankan Nabi Isa a.s. Namun, sebagaimana
keterangan Ibn Hajar (w. 852 H), Heraklius akan mendapatkan dua pahala jika dia
tidak mengimani Nabi Isa sebagai Tuhan sebagaimana keyakinan orang-orang
Nasrani, dan kedua dia harus memeluk Islam. Pahala pertama karena beriman
terhadap kerasulan Isa a.s dan mengikuti ajarannya, dan pahala kedua karena
beriman kepada kerasulan Muhammad SAW. Mengimani kerasulan Muhammad berarti
masuk ke dalam agama Islam.[29]
Masuk ke dalam agama Islam berarti melaksanakan
rukun-rukun yang ada di dalamnya, yakni bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa
Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu.[30]
Dari sini dipahami bahwa ber-Islam tidak cukup hanya berserah diri kepada Allah
sebagaimana anggapan para pluralis.[31]
Ber-Islam menuntut seseorang untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
berserah diri kepada-Nya. Kemudian, bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah
dan bersedia mengikuti ajarannya, seperti mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan, dan berhaji bagi yang mampu.
Kelima ajaran ini merupakan ciri Islam dan merupakan
rukun-Nya. Ini pula lah yang disampaikan Nabi SAW ketika mengutus Muadz ke
Yaman di mana di sana terdapat Ahli Kitab. Kepada mereka, Muadz diperintah
untuk mendakwahkan syahadatain, kewajiban shalat lima waktu, dan
menunaikan zakat.[32]
Kesimpulannya, syarat keselamatan dalam agama Islam
adalah ber-aqidah secara benar dengan tidak menyekutukan Allah dengan
makhluk-Nya. Aqidah yang benar mendorong manusia untuk melepaskan diri dari
menjadi hamba manusia lainnya, dan menjadi hamba Allah semata.[33]
Aqidah ini menuntut adanya ibadah secara ikhlas kepada Allah dan sebagaimana
yang diajarkan Rasulullah SAW. Ibadah yang benar dan hanya tertuju kepada Allah
semata hanya ada dalam ajaran Islam. Jadi, masuk ke dalam agama Islam merupakan
syarat mutlak bagi agama lain untuk selamat.
2.
Keselamatan dalam Agama-Agama non-Islam
Setelah dikemukakan konsep Islam tentang keselamatan,
maka ada baiknya dipaparkan konsep keselamatan yang ada dalam agama-agama
non-Islam. Ini diharapkan menjadi perbandingan bahwa memang dalam setiap agama
memiliki ajaran, cara, bentuk, dan syarat keselamatan yang berbeda-beda.
Di dalam agama Kristen, walaupun semenjak diadakannya
Konsili Vatican II telah mendengungkan bahwa “di luar Gereja ada keselamatan”,
namun faktanya bahwa misi Kristenisasi terus berjalan. Seruan untuk membaptis
terus didengungkan. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku
dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” (Mat. 28:
19). Intinya, dalam agama Kristen sendiri, seruan bahwa terdapat keselamatan di
luar Gereja adalah omong kosong.
Seorang Teolog Kristen, Alex Buchanan, bahkan membantah
hal tersebut. Ia mengatakan bahwa mereka yang melakukan perbuatan baik, tetapi
menolak ketuhanan Kristus tidak akan pernah sampai ke surga.[34]
Hal ini juga dipertegas oleh Browning bahwa berdasarkan Perjanjian Baru,
percaya kepada kematian dan kebangkitan Yesus merupakan hal yang menentukan dalam
keselamatan seseorang.[35]
Konsekuensi dari keselamatan ini adalah masuknya manusia
ke dalam surga. Alex Buchanan menggambarkan secara gamblang tentang hakikat
surga versi Kristiani. Dalam bukunya Heaven and Hell dia menulis bahwa
surga merupakan tempat Tuhan berada, rumah bagi keluarga Kristen, di dalamnya
tidak ada kesedihan, dan bersifat kekal.[36]
Artinya, surga khusus diperuntukkan bagi keluarga yang menganut agama Kristen
saja.
Sebenarnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan
Kristiani sendiri tentang syarat keselamatan. Di satu pihak, Roma: 10:9
mengajarkan bahwa hanya dengan percaya bahwa Yesus adalah tuhan yang
dibangkitkan, maka manusia akan selamat. Namun dalam Yakobus 2: 14 diajarakan
bahwa iman tanpa amal tidak menjamin keselamatan manusia. Terlepas dari itu,
sebenarnya inti ajaran keselamatan dalam agama Kristen adalah beriman kepada
ketuhanan Yesus dengan meyakini kematian dan kebangkitannya.[37]
Dalam agama Hindu, manusia selamat jika dapat keluar dari
karma dan samsara. Keselamatan itu dinamakan Moksha
(Pembebasan Mutlak). Pada saat itulah manusia dapat menyatukan diri dengan
Brahma.[38] Moksha
merupakan tujuan akhir penganut Hindu[39]
yang tidak diperoleh dengan
amalan-amalan, karena amal baik seseorang itu dibalas dengan jalan kelahiran
kembali, sama dengan amalan-amalan jahat.[40]
Namun, moksha hanya dapat diperoleh dengan melepaskan diri dari
penghambaan kepada hawa nafsu,[41]
dengan cara meditasi (yoga).[42]
Artinya, dalam ajaran Hindu amal kebajikan tidak berarti apa-apa dan tidak
dapat menyelamatkan manusia dari karma dan samsara sebelum dia
terbebas dari hawa nafsunya. Dari sini dipahami bahwa dalam Hindu, keselamatan
adalah menyatunya manusia dengan Tuhan setelah ia terbebas dari hawa nafsu.
Dalam pengertian lebih lanjut, tidak dikenal adanya surga dalam tradisi Hindu.
Dalam pandangan agama Budha, keselamatan bukan suatu yang
spekulatif yang didapat di akhirat. Keselamatan harus didasarkan pada akal dan
pengalaman. Untuk itu, keselamatan dapat dicapai pada masa kehidupan duniawi
sebagai manusia.[43]
Adapun cara mencapai keselamatan itu hampir sama dengan
ajaran Hindu, yakni keselamatan hanya
dapat dicapai jika manusia telah keluar dari karma dan siklus samsara.
Namun cara terlepas dari kedua unsur tersebut nampak berbeda. Dalam Budha,
pembebasan dari keduanya ditempuh dengan melaksakan Empat Kebenaran Utama dan
Delapan Jalan Kebajikan,[44]
plus meditasi.[45]
Jika semua ini sudah teraplikasi dalam kehidupan, maka selamat dan mencapai
surga atau Nibbana. Nibbana inilah tujuan akhir ajaran Budha.[46]
Namun, menurut Sri Dhammananda antara surga dan Nibbana
adalah dua hal yang berbeda. Jika surga sama dengan Nibbana, maka masih
terdapat unsur samsara di sana. Karena surga yang dibayangkan banyak
orang masih terdapat unsur kesenangan dan kemewahan. Akan tetapi, derajat Nibbana
lebih tinggi dari surga yang dikenal.[47]
Pernyataan ini seakan ditolak oleh penjelasan Ryuho Okawa yang menurutnya bahwa
pembicaraan mengenai hukum sebab-akibat (karma) akan menggiring kepada
konsep surga dan neraka.[48]
Ini berarti, dalam agama Budha terdapat konsep surga yang dicapai ketika
manusia terlepas dari karmanya. Walaupun berbeda, namun seperti lainnya, mereka
sepakat bahwa baik surga ataupun Nibbana dapat dicapai di alam dunia
ini.[49]
Artinya, Nibbana tidak harus dicapai ketika manusia sudah meninggal.[50]
Berbeda dengan agama-agama yang telah disebut sebelumnya,
agama Yahudi yang merupakan dan diperuntukkan hanya untuk orang-orang Israel
saja,[51]
tidak dijelaskan secara mendetail mengenai konsep keselamatannya. Ini
dikarenakan agama Yahudi lebih menekankan ajarannya pada aspek amalan dan bukan
keimanan. Menurut Ahmad Shalaby, agama bagi Yahudi adalah suatu tata cara hidup
dan bukan suatu akidah atau suatu kepercayaan. Sehingga, lanjutnya, tidak ada
pembicaraan mengenai Akhirat, Kebangkitan, dan Hisab; karena semua itu
merupakan perkara-perkara yang berkaitan dengan akidah dan kepercayaan.[52]
Namun, bukan berarti dalam tradisi Yahudi tidak dibicarakan masalah
keselamatan. Seorang Yahudi yang berdosa, harus menebus dosanya tersebut dengan
korban dari seekor lembu atau kambing.[53]
Hampir mirip dengan agama Yahudi, dalam tradisi Konghucu
tidak dipercayai adanya surga, neraka, dan tidak ada Hari Kebangkitan. Menurut
ajaran mereka, perbuatan baik-buruk manusia diganjar di dunia ini. Apabila
dunia ini dipenuhi perbuatan dosa dan maksiat, maka konsekuensinya adalah
muncul gempa, letusan gunung berapi, dan penyakit menular.[54]
Kesimpulannya, klaim para pluralis bahwa semua umat beragama jika beriman
dan beramal shaleh memiliki kesempatan selamat di akhirat kelak ternyata tidak
berdasarkan fakta yang ada dalam agama-agama itu sendiri. Setiap agama memiliki
syarat yang berbeda untuk mencapai keselamatannya. Begitu juga dengan tujuan
dan maksud keselamatan itu. Agama Islam mengajarkan pentingnya aqidah Islamiyah
yang benar sebagai syarat untuk selamat, sedang Kristen mengajarkan hanya
dengan mempercayai Yesus sebagai Juru Selamat yang disalib lah manusia akan
selamat. Bahkan agama Yahudi tidak mengenal adanya keabadian. Sehingga mereka
sangat mempercayai bahwa pahala dan siksaan hanya terjadi di dunia, bukan di
akhirat. Atau agama Hindu dan Budha yang mengartikan selamat ketika manusia
terlepas dari hal-hal yang bersifat keduniawian. Ketentuan selamat atau
tidaknya seseorang bukan dengan amal baik buruknya, melainkan dengan proses
pelepasan. Kontradiksi tentang konsep keselamatan ini adalah suatu yang tidak
dapat ditarik garis temunya. Sehingga, semua agama adalah benar-benar memiliki
konsep keselamatan yang berbeda-beda.
[1] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. XXIV, Op. Cit, hlm. 74.
[2] al-Qurthuby, al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, jil. XVIII, Op. Cit,
hlm. 360.
[3] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Juz II, Op. Cit, hlm. 38;
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Jil. VI, Op. Cit, hlm. 69.
[4] H.R. Muttafaq ‘Alaihi, Shahih Bukhari dan Muslim, Kitab tentang surga,
kenikmatan, dan penghuninya, hadits no. 1641, (Bandung: Jabal, 2008), hlm. 507.
[5] H.R. Muttafaq ‘Alaihi.
[6] Ibn Hajar al-‘Asqolany, Fath al-Bary, Kitab Da’awat, Bab Qoulu
al-Nabi SAW Rabbana Atina fi al-Dunya Hasanah wa fi al-Akhirat al-Hasanah, juz.
XI, (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd, cet. I, 1421), hlm. 195.
[7] Ibn al-Jauzy, Zaad al-Masir fi ‘Ilmi al-Tafsir, Op.
Cit, hlm. 216.
[8] Ibn Jarir
Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. III, Op. Cit, hlm. 547.
[9] Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim, jil. II, Op. Cit, hlm. 262.
[10] Al-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. I, Op. Cit, hlm. 284.
[11] Ibn ‘Asyur, Tafsir
al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. II, hlm. 249.
[12] Q.s. al-‘Ankabut: 29/64. Juga Q.s. al-A’la: 87/17.
[13] Shalih ibn Fauzan ibn ‘Abdullah al-Fauzan ibn ‘Abdullah al-Fauzan,
al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad wa al-Rad ‘Ala Ahli al-Syirki wa al-Ilhad,
(al-Riyadh: Daar al-‘Ashimah, cet. IV, 2001), hlm. 6.
[14] Ibid, hlm. 10.
[15] Ibid, hlm. 11-12.
[16] Ibid, hlm. 27.
[17] ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Damasyqy, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah,
(Riyahd: Daar ‘Alam al-Kutub, cet. III, 1997), hlm. 459. Juga lihat: Shalih ibn
Fauzan ibn ‘Abdullah al-Fauzan, Syarh al-‘Aqidah al-Wasathiyah li Syaikh
al-Islam Ahmad ibn Taimiyah, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet. VI, 1993), hlm.
11.
[18] Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, jil. X, hlm. 149, dikutip oleh
Sholah al-Din ‘Abd al-Maujud, Al-Ibadah wa Ijtihad al-Salaf fiha, (T.Tnp:
Daar Ibn Rajab, cet. I, 2005), hlm. 23.
[19] Sholah al-Din ‘Abd al-Maujud, Ibid, p. 27. Juga lihat: Shalih ibn
Fauzan ibn ‘Abdullah al-Fauzan, Muqarrar al-Tauhid li al-Shaf al-Awwal
al-‘Aly fi al-Ma’ahid al-Islamiyah, (t. Tempat, percetakan dan tahun), hlm.
70.
[20] Sholah al-Din ‘Abd al-Maujud, Ibid, hlm. 29.
[21] Sholah al-Din ‘Abd al-Maujud, Ibid, hlm. 37.
[22] Shalih ibn Fauzan ibn ‘Abdullah al-Fauzan, Muqarrar al-Tauhid li
al-Shaf al-Awwal al-‘Aly fi al-Ma’ahid al-Islamiyah, Op. Cit, hlm.
70.
[23] Q.s. al-Taubah: 9/30.
[24] Seorang pakar Perjanjian Baru, Bart D. Ehrman telah
melakukan penelitian terhadap teks Perjanjian Baru dan menyimpulkan bahwa
memang telah terjadi pengubahan teks Bible. Pengubahan ini menyebabkan
makna-makna yang terkandung di dalamnya juga berubah. Lihat: Bart D. Ehrman, Misquoting
Jesus: Kesalahan Penyalinan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, (Jakarta:
Gramedia, 2006).
[25] Q.s. al-Syu’ara’: 26/67.
[26] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Op. Cit, hlm. 38;
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jil. I, Op. Cit, hlm. 431.
[27] H.R. Muttafaq ‘Alaihi.
[28] Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bary Syarh Shahih al-Bukhari, Kitab
Tafsir al-Qur’an, Bab. Qul Ya Ahl al-Kitab Ta’alau Ila Kalimatin Sawa’ Bainana
wa Bainakum, Juz. VIII, Op. Cit, hlm. 72.
[29] Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bary Syarh Shahih al-Bukhari, Kitab
Tafsir al-Qur’an, Bab. Qul Ya Ahl al-Kitab Ta’alau Ila Kalimatin Sawa’ Bainana
wa Bainakum, Juz. VIII, Op. Cit, hlm. 72.
[30] HR. Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab Bayan al-Iman wa al-Islam.
[31] Menafikan term Islam sebagai agama adalah ciri khas kaum pluralis. Mereka
beranggapan bahwa ayat-ayat yang memiliki redaksi al-Islam seperti Q.s. Alu
Imran: 3/ 19 dan 85 memiliki arti kepasrahan total. Jadi, semua pengikut agama
yang pasrah secara total kepada setiap tuhan mereka dianggap telah ber-Islam.
Untuk itu, tidak diperlukan adanya keimanan terhadap kerasulan Muhammad dan
ajaran yang dibawanya. Lihat misalnya: Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,
Op. Cit, hlm. 41-42; Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Op. Cit, hlm.
41-42.
[32] HR. Muttafaq ‘Alaihi.
[33] Herry Nurdi, Kolom Opini, dalam Republika, Edisi Selasa 4 Agustus 2009.
[34] Alex Buchanan, Heaven and Hell, terj. Ruth Suryani, (Yogyakarta:
Andi, cet. I, 2008), hlm. 11.
[35] W.R.F. Browning, A Dictionary of the Bible, dalam Liem Khiem Yang
dan Bambang Subandrijo (Penj), Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, cet. III, 2008), hlm. 199.
[36] Dalam bukunya ini, Alex Buchanan menerangkan tentang surga serta keadaannya
ke dalam 14 BAB. Lihat: Alex Buchanan, Heaven and Hell, terj. Ruth
Suryani, Op. Cit, hlm. 1-181.
[37] Perjanjian Baru Kitab Yohanes: 14:6, Kisah Para Rasul: 4:12.
[38] Joesoef Sou’yb, Op. Cit, hlm. 55.
[39] Michael Keene, World Religions, dalam F.A. Soeprapto (penj.), Agama-Agama
Dunia, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 19.
[40] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Adyan al-Hind al-Kubra, Op. Cit, hlm.
66.
[41] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Adyan al-Hind al-Kubra, Ibid, hlm.
66.
[42] Joesoef Sou’yb, Op. Cit, hlm. 55.
[43] Corneles Wowor, Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Agama Buddha, (Jakarta:
Akademi Buddhis Nalanda, 1984), hlm. 10.
[44] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Adyan al-Hind al-Kubra, Op.
Cit, hlm. 165.
[45] Michael Keene, World Religions, Op. Cit, hlm. 81.
[46] Sri Dhammananda, What Buddists Believe, dalam Ida Kurniati (Penj.), Keyakinan
Umat Budha, (T. Temp: Yayasan Penerbit Karaniya, cet. 3, 2005), hlm. 152.
[47] Sri Dhammananda, Ibid, hlm. 152.
[48] Ryuho Okawa, Shaka-no-Hoshin, Op. Cit, hlm. 169.
[49] Ryuho Okawa, Shaka-no-Hoshin,Ibid, hlm. 173. Juga Sri Dhammananda, Op.
Cit, hlm. 155.
[50] Kumpulan Ceramah Bhikku Uttamo Thera, hlm. 116.
[51]Lihat di dalam Perjanjian Lama bagaimana Tuhan Yahudi (Yahweh)
memerintah kepada Musa dan Harun. Keduanya diperintah menyebarkan ajaran Tuhan
hanya untuk bangsa Israel saja. Lihat misalnya: Imamat 1: 2, 7: 29, atau 27:
34.
[52] Ahmad Syalaby, Muqaranah al-Adyan: Al-Yahudiyah, (Kairo: Maktabah
al-Nahdhoh al-Mishriyyah, cet. III, 1973), hlm. 194. Lihat juga: Muh. Ahmad
Diyab Abdul Hafidz, Menguak Tabir dan Konspirasi Yahudi, (Bandung:
Pustaka Setia, cet. I, 2005), hlm. 102.
[53] Perjanjian Lama: Kitab Imamat Bab IV-V.
[54] Qism Manhaj Dirosy, Al-Adyan, (Ponorogo: Darussalam Press, T. Thn),
hlm. 24.