Di dalam al-Qur’an terdapat enam ayat yang membicarakan keselamatan Ahli
Kitab, yaitu Q.s. al-Baqarah: 2/62, al-Maidah: 5/69, al-Hajj: 22/ 17, Alu
Imran: 3/ 199, al-Maidah: 5/ 65, dan al-Hadid: 57/27.
Keselamatan dalam Q.s. al-Baqarah: 2/62 dan al-Maidah:
5/69.[1]
Kedua ayat ini menjadi kontroversi di kalangan Ulama dan Mufassir karena
menyebutkan kaum Shabi’un termasuk kelompok yang selamat. Ayat ini tepatnya
berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى
وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ
أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani
dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari
Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.”[2]
Menafsirkan ayat tersebut, terlebih
dahulu harus dilihat ayat-ayat sibaq dan lihaq nya. Pada
ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya, Allah mengungkap perilaku pengikut Kitab
terdahulu dengan berbagai skandal aqidah yang tidak dapat diampuni. Sebelum
Q.s. al-Baqarah: 2/62, misalnya, Allah telah banyak mengecam dan mengancam
orang-orang Yahudi yang mendurhakai ni’mat-ni’mat Allah. (Lihat Q.s.
al-Baqarah: 2/41-61). Begitu juga dengan ayat-ayat setelahnya, Allah mengungkap
seraya mengancam perilaku ingkar mereka. (Lihat Q.s. al-Baqarah: 2/63-123).
Tentu saja ancaman ini menimbulkan rasa takut. Sehingga melalui Q.s.
al-Baqarah: 2/62 ini, Allah memberi jalan keluar sekaligus ketenangan kepada
mereka yang bermaksud memperbaiki diri.
Mengenai sabab nuzul nya ayat ini, Al-Thabary (w. 310 H) mengutip
dari al-Suddy, bahwa Q.s. al-Baqarah: 2/62 ini turun terkait dengan sahabat
Salman al-Farisy.[3]
Salman bercerita kepada Nabi bahwa sahabat-sahabatnya adalah orang-orang yang
shalat, berpuasa, beriman kepada Muhammad, dan bersaksi bahwa beliau akan
diutus menjadi Nabi. Setelah Salman selesai menceritakan teman-temannya itu,
Nabi kemudian bersabda: “Mereka termasuk penghuni neraka”. Mendengar
jawaban itu, Salman sedih dan berkata, “Sekiranya mereka mengetahui engkau,
niscaya mereka akan mempercayai dan mengikuti engkau”. Maka turunlah ayat
ini.[4]
Mengutip dari al-Qasim sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Juraij dan
Mujahid, Al-Thabary kemudian melanjutkan bahwa ketika ayat ini turun,
Rasulullah memanggil Salman dan berkata: “Ayat-ayat ini turun berkenaan
dengan sahabat-sahabatmu”. Kemudian Rasulullah melanjutkan sabdanya: “Barang
siapa yang meninggal dalam keadaan memeluk agama Nabi Isa sebelum dia mendengar
kerasulanku, maka dia berada pada kebenaran. Dan barang siapa telah mendengar
kerasulanku namun dia tidak beriman, maka binasa”.[5]
Dari keterangan ini, menjadi jelas bahwa sahabat-sahabat Salman adalah
orang-orang yang beriman kepada Nabi Isa dan mengetahui akan datangnya Nabi
Muhammad. Sebagaimana diakui oleh Salman sendiri bahwa sekiranya mereka
mengetahui dan berjumpa dengan Nabi Muhammad, niscaya mereka akan mengikuti
ajaran beliau. Namun sangat disayangkan, sahabat-sahabat Salman tersebut tidak
bertemu dengan Nabi Muhammad. Sehingga mereka tidak dapat mengetahui syari’at
yang dibawa beliau. Maka dari itu, tidak berlebihan apa yang dikatakan Al-Thabary
dan Ibn Katsir bahwa ukuran keimanan seseorang adalah jika dia mengimani kenabian Muhammad dan mengikuti ajaran yang dibawanya.[6] Artinya, ketika Muhammad diutus
sebagai rasul, para pengikut Yahudi dan Nasrani wajib mengimani Muhammad dan
ajaran yang dibawanya.
Kemudian, mengartikan “al-ladzina
amanu”, setidaknya terdapat lima pendapat yang berbeda. Perbedaan ini
disebabkan firman Allah SWT pada akhir ayat ini: “man aman billahi wa
al-yaumi al-akhir”. Konsekuensinya, arti iman yang dimaksud pada kalimat “inna
al-ladzina amanu” (pada awal ayat), berbeda dengan iman yang tertera pada
kalimat “man amana billahi”.[7]
Ibn al-Jauzy (w. 597 H) dalam Zaad
al-Masir merangkum lima pendapat itu:[8]
1.
Ibn ‘Abbas mengartikan bahwa mereka
adalah orang-orang yang percaya dengan Isa sebelum Muhammad diutus.
2.
Menurut al-Suddy berdasarkan keterangan
guru-gurunya, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Musa dan
mengerjakan syari’atnya sampai datang Isa. (Setelah Isa datang) mereka beriman
kepadanya dan mengerjakan syari’atnya sampai datang Muhammad.[9]
3.
Menurut Sufyan Tsaury mereka adalah
orang-orang munafiq.[10]
4.
Mereka adalah orang-orang yang masuk ke
dalam agama Islam (dari kalangan Ahli Kitab), seperti Qus ibn Sa’adah, pendeta
Buhaira, Waraqah ibn Naufal, dan Salman al-Farisi.
5.
Mereka adalah orang-orang mu’min dari
kalangan umat Islam sendiri.[11]
Al-Thabary dan al-Baghowy mengatakan, “al-ladzina hadu” dalam ayat
di atas adalah orang-orang Yahudi. Dan “hadu” sendiri memiliki arti “tabu”
(bertaubat). Maka dari itu, dikatakan orang Yahudi karena dia melakukan taubat.
Ini seperti yang dikatakan dalam al-Qur’an Q.s. al-‘A’raf: 7/156: “inna
hudna ilaika” (sesungguhnya kami kembali bertaubat kepada-Mu).[12]
Al-Zamakhsyary mengartikan “al-ladzina hadu” adalah orang-orang yang
masuk ke dalam agama Yahudi.[13]
Menurut Qurthuby, orang Yahudi disebut demikian dinisbahkan kepada Yahudza
(Yahuda), anak sulung Ya’kub a.s.[14]
Sedangkan kata “nashara” adalah bentuk jamak dari “nashran”
atau “nashiriy”. Kata ini dinisbahkan pada Nashirah (Nazaret), yakni
tempat kelahiran Maryam. Kemudian Maryam keluar dari Nazaret menuju Betlehem,
di sanalah ia melahirkan Isa.[15]
Namun menurut Moqsith Ghazali, Isa tidak dilahirkan di Betlehem, tapi di
Nazaret.[16]
Entah dari mana referensi yang dirujuk Moqsith, padahal dalam beberapa
literatur, bahkan dalam Perjanjian Baru sendiri dikatatakan bahwa Isa lahir di
Betlehem.[17]
Adapun mengenai term “Shabiun” telah dijelaskan sebelumnya pada Bab II
pembahasan ini. Sehingga di sini tidak perlu diterangkan lagi.
Kembali pada term iman yang ada pada kedua ayat di atas, menurut Al-Thabary
(w. 310 H) iman bisa berarti al-tahsdiq (percaya), al-khasyyah
(takut), al-‘amal (perbuatan).[18]
Menurut Imam Malik, al-Syafi’i, Ahmad, al-Auza’iy, Ishaq, mayoritas Ahli
Hadits, Ahli Madinah, Ahli Dzohir, dan para Mutakallimun bahwa iman adalah
percaya dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diaplikasikan dengan
perbuatan.[19]
Ketiga aspek iman ini juga sudah dikabarkan di dalam al-Qur’an dan
al-hadits. Ayat yang menerangkan bahwa iman harus diaplikasikan dengan lisan
salah satunya Q.s. al-Baqarah: 2/136,[20]
iman dengan hati salah satunya terdapat dalam Q.s. al-Maidah: 5/41,[21]
dan iman dengan perbuatan ada pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari, “Iman itu terdiri dari 60-an macam. Yang paling tinggi
derajatnya adalah ucapan “tiada tuhan selain Allah”, dan yang paling rendah
adalah menyingkirkan hambatan dari jalan.”[22]
Dari keterangan di atas, orang yang beriman tidak cukup hanya percaya di
dalam hati atau hanya sebatas ucapan tanpa dibarengi dengan perbuatan yang dikehendaki oleh iman itu.[23]
Beriman kepada Allah artinya mempercayai secara teguh bahwa Dia adalah Tuhan
segala sesuatu sekaligus Pemiliknya, memiliki sifat yang sempurna tanpa cela
dan kekurangan, satu-satunya Pemilik ibadah tanpa mempunyai sekutu. Inilah yang
disebut tauhid.
Maka dari itu, orang disebut beriman jika ia benar-benar bertauhid kepada
Allah dengan memusatkan ibadah hanya kepada-Nya, tanpa perantara (wasilah),
bahkan tidak menyekutukan-Nya. Iman seperti inilah yang diajarkan setiap rasul
mulai dari Adam a.s. sampai Muhammad SAW.[24]
Iman dalam Islam memiliki enam rukun; iman kepada Allah, iman kepada para
malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada para rasul, iman kepada Hari
Akhir, dan iman kepada ketetapan dan takdir Allah.
Seorang mu’min harus mengimani semua rukun iman itu. Karena rukun dalam
istilah Ushul Fiqh adalah hal yang menyebabkan suatu pekerjaan menjadi sah.[25]
Artinya, jika dikerjakan setengah-setengah maka tidak menjadi sah. Seseorang yang
mengimani Allah harus taat kepada perintah-Nya. Ta’at kepada perintah-Nya
berarti mengimani para Rasul, malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul, Hari
Akhir, serta Qadha dan Qadar-Nya. Iman kepada para Rasul harus mengimani mereka
secara keseluruhan. Tidak mempercayai sebagian mereka dan mengingkari sebagian
yang lain. Dan beriman kepada Rasul berarti beriman kepada ajaran yang
dibawanya dengan cara mematuhinya. Begitu juga iman kepada Kitab-kitab-Nya,
berarti mengimani bahwa dan mengikuti ajaran yang tertulis pada empat kitab
yang telah diturunkan Allah; Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Jika hanya
mengimani sebagian dan menolak sebagian maka imannya tidak sah, batal. Inilah
yang disebut Al-Thabary bahwa iman itu mencakup semua aspek.[26]
Artinya tidak setengah-setengah.
Jika dikembalikan kepada Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, bisa dikatakan
mereka adalah orang-orang yang tidak beriman. Kasus Yahudi misalnya, mereka
secara terang-terangan mengatakan bahwa ‘Uzair anak Allah[27]
dan membunuh para nabi.[28]
Pada Perjanjian Lama bahkan secara terang-terangan ditulis bahwa tuhan mereka
berkelahi dengan Yakub, dan irosnisnya si tuhan kalah dalam perkelahian itu.[29]
Terlebih agama Nasrani yang mengimani bahwa tuhan dikandung dan dilahirkan dari
perawan Maryam,[30]
dan menganggap bahwa tuhan terdiri dari tiga oknum.[31]
Menurut Imam al-Qusayri, barang siapa yang beriman kepada Allah menurut
yang tertera di dalam ayat-ayat-Nya (kitab-kitab-Nya), dan mengimani ajaran
yang dikandungnya, maka perbedaan pendapat mengenai kalimat “al-ladzina
amanu” tidak menjadi persoalan serius dan tidak berpengaruh apapun. Maka
dari itu, apabila golongan-golongan yang disebutkan dalam ayat ini sepakat pada
aspek-aspek (iman), maka bagi mereka sebaik-baik tempat kembali.[32]
Artinya, yang menjadi penekanan adalah inti dari iman itu sendiri, yaitu
beriman secara keseluruhan terhadap aspek-aspek yang terkandung di dalamnya,
yakni rukun-rukunnya. Keimanan seperti inilah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Sehingga mengimani kenabian Muhammad dan ajaran yang dibawanya adalah sebuah
kewajiban. Maka dari itu, al-Syaukani mengartikan “man amana billahi wa
al-yaumi al-akhir” adalah, barang siapa di antara mereka (keempat kelompok
yang disebutkan dalam ayat ini) yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan
mengerjakan amal shaleh, maka mendapatkan pahala seperti yang dijanjikan Allah.
Kemudian beliau menerangkan apa yang dimaksud dengan iman pada ayat tersebut,
yakni sebagaimana yang diterangkan Rasulullah SAW ketika ditanya oleh Jibril: ‘Beriman
kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan baik maupun
buruknya takdir.’ Sehingga, seseorang tidak dianggap beriman kecuali masuk
ke dalam agama Islam. Maka, barang siapa yang tidak beriman kepada Muhammad dan
al-Qur’an, dia tidak disebut orang yang beriman (mu’min). Dan barang siapa
beriman kepada keduanya, maka dia telah menjadi Muslim yang beriman, dan bukan
Yahudi, Nasrani maupun Majusi.[33]
Keselamatan dalam Q.s. al-Hajj: 22/ 17.
Ayat ini secara redaksional mirip dengan kedua ayat al-Baqarah dan
al-Maidah di atas, dengan tambahan orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik.
Sehingga, menurut para pendukung paham pluralisme agama, ayat ini memiliki
kesetaraan makna seperti dua ayat tersebut, yakni menegaskan bahwa semua
golongan agama akan selamat selama
mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal saleh.[34]
Ayat tersebut tepatnya berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ
وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang
Shabiun, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah
akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.”[35]
Seperti dikatakan sebelumnya, pendapat yang mengatakan redaksi ayat ini
menunjukkan bahwa semua agama akan selamat di akhirat kelak adalah keliru.
Sebab, bagaimana mungkin aqidah tauhid yang Allah sempurnakan dengan Islam yang
dibawa oleh Muhammad SAW dapat disejajarkan dengan kepercayaan syirik dan
penyembahan api yang dilakukan kaum Majusi?[36]
Yang jelas menurut Al-Thabary, ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, golongan Yahudi, Nasrani, Majusi, dan
orang-orang musyrik, akan dibedakan oleh Allah SWT pada Hari Kiamat dengan
ketetapan yang adil. Pembedaan ini maksudnya adalah semua golongan-golongan
yang tersebut di atas dimasukkan Allah ke dalam neraka sedang golongan yang
beriman dimasukkan ke dalam surga.[37]
Pemberian surga kepada orang-orang yang beriman pada ayat di atas merupakan
suatu ketetapan yang mutlak. Keimanan mereka seperti yang diterangkan
Al-Thabary di atas adalah mengimani Allah dan semua Rasul-rasul-Nya. Sekali
lagi, bahwa iman yang sempurna adalah mengimani para Rasul-rasul Allah secara
keseluruhan. Tidak mengimani sebagian dan menolak sebagian yang lain.
Menurut Ibn ‘Asyur, ayat ini menerangkan perihal orang-orang yang ragu
menerima agama Islam dan memperdebatkan tentang agama yang benar, karena setiap
pengikut agama mengklaim bahwa agama mereka lah yang paling benar. Ketika
mereka saling berbantah-bantahan dan bukti di dunia tidak berguna, ayat ini
mengabarkan bahwa keputusan ada pada Allah di Hari Kiamat. Lanjut Ibn ‘Asyur,
metode yang digunakan ayat ini adalah tafwidh (penyerahan secara
otoritatif). Artinya, sesudah orang-orang itu mendengar ayat-ayat dan tetap
saja pada pendirian mereka, maka keputusan mereka tetap pada Allah.[38]
Penyerahan ini tidak lantas dibawa kepada paham relativisme bahwa tidak ada
siapapun yang tahu kebenaran kecuali Allah. Makna penyerahan itu justru
merupakan sikap toleransi bahwa jika mereka bersikeras tidak mau menerima
Islam, maka umat Islam tidak perlu menghakimi mereka atau membinasakan mereka,
Allah lah yang akan menghakimi.[39]
Penolakan mereka terhadap kebenaran Islam mendapat tantangan dari Allah
untuk menunjukkan hujjah yang valid jika mereka memang benar. Allah berfirman:
أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آَلِهَةً قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ
هَذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ وَذِكْرُ مَنْ قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia?
Katakanlah (Muhammad): "Kemukakanlah alasan-alasanmu! (Al Quran) Ini
adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi
orang-orang sebelumku". Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui yang
hak, karena itu mereka berpaling.”[40]
Ayat ini menunjukkan bahwa klaim kebenaran dari agama-agama non-Islam
adalah suatu yang tidak mendasar. Untuk itu Allah menantang untuk menunjukkan
bukti klaim mereka yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak seperti yang
didengungkan orang Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik Arab. Allah menantang
mereka untuk menunjukkan bahwa ajaran tentang pengangkatan sekutu bagi-Nya
memang tertera dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an.[41]
Akhirnya jelas, bahwa Islam dan agama-agama selainnya memang berbeda. Agama
Islam yang mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Allah tempat bergantung, tidak
beranak dan tidak diberanakkan berbeda dengan agama Kristen dan Yahudi yang
menganggap bahwa Tuhan mempunyai anak. Perbedaan itu kembali terlihat tatkala
Islam mengajarkan bahwa mengimani semua rasul adalah wajib. Sedangkan Yahudi
tidak mengimani Isa dan Kristen tidak mengimani Muhammad.
Perbedaan di antara agama-agama ini juga akan ditetapkan Allah di akhirat
kelak. Mereka yang mengimani Allah dan rasul-Nya secara benar seperti yang
diajarkan agama Islam akan memperoleh surga. Sedang agama-agama selain Islam
akan ditetapkan di didalam neraka.
Keselamatan dalam Q.s. Alu Imran: 3/ 199.
Ayat lain yang mengisahkan kesalehan Ahli Kitab adalah Q.s. Alu Imran: 199:
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ
بِآَيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ
إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan sesungguhnya diantara Ahli Kitab ada orang yang
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang
diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka
tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Mereka memperoleh
pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.”
Para Mufassir berbeda pendapat mengenai asbab nuzul-nya ayat ini.
Ibn Juzay (w. 597 H) meringkas setidaknya terdapat 4 pendapat mengenai sebab
turunnya ayat ini:[42]
1.
Ayat ini turun berkenaan dengan
meninggalnya Najjasyi, Raja Habasyah. Pendapat ini berasal dari Jabir ibn
‘Abdullah, Ibn ‘Abbas, Anas, Al-Hasan, dan Qatadah.
2.
Ayat ini turun berkenaan dengan
orang-orang mu’min dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini
berasal dari Abu Shalih dan Mujahid.
3.
Ayat ini turun berkenaan dengan
‘Abdullah ibn Salam dan sahabatnya. Pendapat ini berasal dari Ibn Juraij, Ibn
Zayd, dan Maqatil.
4.
Menurut ‘Atho’, ayat ini turun
berkenaan dengan Islamnya 40 orang Najran, 30 orang Habasyah, 2 orang Romawi.
Al-Thabary lebih condong ke pendapat Mujahid, bahwa ayat ini secara umum
turun berkenaan dengan orang-orang yang beriman di antara Ahli Kitab, Yahudi
dan Nasrani. Walaupun terjadi pengkhususan turunnya ayat ini kepada Najjasyi,
ini maksudnya bahwa hukum yang ditujukan kepadanya ditujukan juga untuk semua
hamba-bamba-Nya (Ahli Kitab) yang memiliki sifat seperti dia (Najjasyi), yakni,
mengikuti Nabi Muhammad SAW dan mempercayai bahwa ajaran yang dibawanya berasal
dari Allah sebagaimana yang telah dikabarkan dalam Taurat dan Injil.[43]
Pendapat Al-Thabary di atas menguatkan bahwa sebelum meninggal Najjasyi
telah menerima ajaran Nabi Muhammad SAW, masuk Islam. Ini diperkuat dengan
jawaban Najjasyi terhadap surat dakwah Nabi SAW yang ditujukan kepadanya. Dalam
surat itu Najjasyi bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yang jujur dan
terpercaya, dan memeluk Islam.[44]
Dari ayat-ayat yang menceritakan kesalehan Ahli Kitab, mayoritas Mufassir
berpandangan bahwa ukuran keimanan dan kesalehan mereka adalah pegakuan mereka
terhadap kenabian Muhammad. Tidak hanya sampai di situ, pengakuan ini juga
menuntut mereka untuk menerima risalahnya dan memeluk agama Islam. Ini
sebagaimana ditujukan oleh ‘Abdullah ibn Salam, Najjasyi dan yang lainnya yang
mengganti agama mereka dengan memeluk Islam. Mereka inilah yang disebut
al-Qur’an sebagai “ummah qoimah” yang beriman kepada Allah, beriman kepada
kitab suci mereka dan kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Karena
memang demikianlah anjuran yang terdapat dalam kitab sucinya.[45]
Keselamatan dalam Q.s. al-Hadid: 57/ 27.
Secara eksplisit ayat ini menginformasikan bahwa di antara pengikut Nabi
Isa a.s. (Nasrani) terdapat orang-orang yang beriman kepada Allah, dan diganjar
pahala oleh-Nya. Ayat ini tepatnya berbunyi:
ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى آَثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا
بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآَتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ
اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا
عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
فَآَتَيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami
iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan
kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih
sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya
kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari
keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya. Maka kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka
pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.”[46]
Para Mufassir berbeda pendapat tentang siapa golongan yang beriman yang
diberi pahala oleh Allah pada ayat ini. Ada yang mengartikan mereka adalah yang
mengimani Muhammad, ada juga yang mengartikan mereka yang beriman kepada Isa
a.s, atau orang-orang yang membuat bid’ah kependetaan.[47] Menurut
al-Baghowy (w. 516 H), orang-orang beriman tersebut adalah para pengikut nabi
Isa a.s dan tahu akan kedatangan Muhammad, dan kemudian mengimaninya.[48] Orang-orang
yang beriman ini memiliki sifat seperti yang dikabarkan al-Qur’an, yakni
meng-Esakan Allah, beriman kepada para Rasulullah di setiap zaman. Keimanan ini
tidak dicampur adukkan dengan sesuatu yang merusak, seperti meyakini bahwa Isa
a.s. adalah tuhan ataupun anak-Nya.[49]
Senada dengan al-Baghowy, al-Syaukani mengatakan bahwa mereka adalah
pengikut Nabi Isa a.s. dan tetap pada agamanya sampai diutus Nabi Muhammad.[50]
Mereka inilah orang-orang yang diberi pahala dua kali. Ini dikarenakan mereka
mula-mula mengimani Isa a.s dan selanjutnya mengimani Muhammad SAW. Ini
sebagaimana dikatakan Allah SWT dalam Q.s. al-Qashas: 28/54: “Mereka itu
diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak
kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah kami rezkikan
kepada mereka, mereka nafkahkan.”[51]
Dari keterangan ini disimpulkan bahwa mengimani semua Rasul adalah suatu
kewajiban. Karena para Rasul memiliki satu silsilah ajaran yang sama. Ini
sebagaimana diungkap dalam kalimat pertama Q.s. al-Hadid: 57/ 27 di atas: “Kemudian kami iringi di belakang mereka
dengan rasul-rasul kami..” Artinya, Allah mengutus seorang Rasul setelah
Rasul lain.[52]
Ajaran yang dibawa Adam sampai dengan Muhammad adalah satu kesinambungan yang
datang dari Allah. Maka dari itu, umat Nabi Isa harus tetap dalam keimanannya
sampai datangnya Muhammad SAW. Dan ketika Muhammad telah diutus, maka tidak ada
alasan lagi bagi mereka untuk tidak mengikuti ajarannya.
Sebagai Nabi terakhir, Muhammad telah menyeru kepada semua manusia agar
mengikuti ajarannya, tidak terlepas penganut Yahudi dan Nasrani. Ini
sebagaimana dilakukan beliau ketika menyeru kepada Raja Habsyah, Najjasyi, dan
Raja Romawi, Heraklius. Seruan ini menunjukkan bahwa dalam agama yang
dibawanya, terdapat ajaran tentang keselamatan. Dalam surat itu beliau menulis,
“Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya engkau akan selamat; dan Allah
memberimu pahala dua kali lipat. Namun jika engkau berpaling, maka engkau akan
menanggung dosa kaum Assyiriyin.”[53]
Keselamatan dalam Q.s. al-Maidah: 5/65.
Ayat ini menginformasikan janji Allah bagi Ahli Kitab yang beriman dan
bertakwa kepada-Nya akan surga-surga serta kenikmatan di dalamnya. Redaksi ayat
ini tepatnya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا
عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأَدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ
“Dan sekiranya ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah kami tutup
(hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah kami masukkan mereka kedalam
surga-surga yang penuh kenikmatan.”[54]
Al-Thabary (w. 310 H) mengatakan bahwa kriteria beriman pada ayat ini
adalah iman kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW. Beriman kepada Muhammad adalah
dengan mempercayainya dan juga mengikuti ajaran yang dibawanya.[55]
Ini berarti hanya mempercayai Muhammad sebagai Nabi tidak dikatakan beriman
sampai mengikuti ajaran yang dibawanya. Kemudian beliau melanjutkan bahwa
orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi larangan Allah.[56]
Sedang Ibn Abi Hatim (w. 327 H) meriwayatkan dari Qatadah bahwa yang
dimaksud beriman di sini adalah beriman kepada apa yang telah diturunkan Allah,
yakni Kitab-kitab-Nya. Sedang orang yang bertakwa adalah yang menjauhi larangan
Allah.[57]
Menurut Imam al-Razy Ahli Kitab yang beriman dan bertakwa inilah yang
niscaya mendapat kemuliaan dunia dan akhirat. Kemuliaan di akhirat yang
dijanjikan terdiri dari dua macam bentuk: terbebas dari azab dan mendapat pahala.
Terbebas dari azab maksudnya sebagaimana yang dikatakan Allah, “tentulah
kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka”, sedang mendapat pahala
adalah masuk ke dalam surga-Nya, “tentulah kami masukkan mereka kedalam
surga-surga yang penuh kenikmatan.” Imam al-Razy selanjutnya menjelaskan,
sebenarnya iman pada seseorang menuntut adanya takwa dan keta’atan terhadap apa
yang diimaninya.[58]
Dari sini disimpulkan bahwa Ahli Kitab akan dimasukkan ke dalam surga oleh
Allah sekirannya mereka beriman kepada-Nya. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa iman adalah sesuatu yang utuh, tidak setengah-setengah. Iman
kepada Allah berarti mencakup semua yang diperintahkan-Nya, yakni beriman
kepada adanya Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhir, dan qadha
serta qadar-Nya. Iman seperti inilah yang dituntut dari semua hamba-Nya, tidak
terkecuali Yahudi dan Nasrani. Maksudnya, tidak ada perlakuan khusus bagi
mereka berupa keringanan hanya cukup beriman kepada Musa atau Isa saja. Mereka
harus mengimani dan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Artinya
masuk ke dalam Islam. Jika demikian, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak lagi
disebut Yahudi atau Nasrani, melainkan disebut Muslim. Inilah yang disebut
beriman secara kamil yang akan diberi pahala oleh Allah dan diampuni
dosanya.
Diberi pahala artinya masuk ke dalam surga, dan diampuni dosanya berarti
terbebas dari api neraka. Kesimpulannya, hanya dengan memeluk Islam lah para
Ahli Kitab akan selamat. Dan ketika mereka memeluk Islam, mereka tidak lagi
disebut Yahudi atau Nasrani, melainkan Muslim. Maka dari itu, di akhir masa
kenabian Muhammad SAW, Allah SWT menurunkan ayat al-Qur’an terakhir: “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”[59]
Menurut redaksi ayat di atas, agama yang disempurnakan dan diridhoi oleh
Allah hanyalah Islam, bukan agama yang lain. Sehingga, umat Islam tidak
memerlukan lagi adanya agama selain Islam.[60]
Dikarenakan, pada hari itu Allah telah menyempurnakan iman kaum mu’minin,
sehingga selamanya tidak diperlukan lagi penambahan, Allah juga telah
menyempurnakan agama mereka, sehingga tidak kurang selamanya, dan Allah juga
telah meridhoi Islam dan tak akan mencelanya selamanya.[61]
Menurut redaksi ayat di atas juga, Allah telah mencukupkan ni’mat-Nya bagi
umat Islam. Menurut Ibn Qoyyim, orang-orang yang diberi ni’mat pada ayat ini
berhubungan dengan mereka yang tertera pada Q.s. al-Nisa: 4/ 69, yakni mereka
yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya. Artinya, umat Islam diberi ni’mat oleh
Allah karena keta’atan mereka terhadap Dia dan Rasul-Nya. Ni’mat ini jelas Ibn
Qoyyim adalah sa’adah al-abad, yakni surga.[62]
Kesimpulannya, surga hanya diberikan kepada umat Islam karena keta’atan
mereka terhadap Allah dan Rasul-rasul-Nya. Begitu juga dengan para Ahli Kitab.
Mereka akan selamat, diberi ni’mat oleh Allah dan dimasukkan ke dalam surga
sekiranya mereka ta’at kepada-Nya dan kepada para Rasul-Nya. Artinya, mereka
juga harus mengimani Muhammad sebagai rasul dan mengikuti ajarannya, yakni
masuk agama Islam. Ketika mereka masuk ke dalam agama Islam, mereka tidak lagi
disebut Yahudi maupun Nasrani.
[1] Penulis sengaja menggabungkan kedua ayat ini karena kesamaan redaksi yang
ada pada keduanya.
[2] Q.s. al-Baqarah: 2/62. Lihat juga: Q.s. al-Maidah: 5/69.
[3] Perlu dicatat di sini bahwa sahabat-sahabat Salman yang dimaksud adalah
para penganut agama Nasrani yang mengikuti ajaran Nabi Isa. Dan bukan penganut
Majusi, agama yang menyembah api yang dianut Salman pertama kali. Lihat:
al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Jil. I, Op.
Cit, hlm. 394.
[4] Lihat kisah Salman ini secara lengkap pada Ibn
Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Op. Cit, hlm. 40-44. Juga: al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Jil. I, Ibid,
hlm. 394.
[5] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Ibid, hlm. 45; Lihat juga: al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Jil. I, Ibid,
hlm. 394.
[6] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Ibid, hlm. 38; Ibn
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jil. I,
Op. Cit, hlm. 431.
[7] Imam al-Razy, Mafatih al-Ghoib, Jil. III, Op. Cit, p. 111.
[8] Ibn al-Jauzy, Zaad al-Masir.., jil. I, Op. Cit, p. 91.
[9] Mufassir yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Al-Thabary (w.
310 H), al-Syaukani (w. 1255 H), al-Maraghy, dan Muhammad Sayyid Thanthawy.
Lihat: Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Op. Cit, hlm. 32;
Al-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. I, Op. Cit, hlm. 141; Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. I, Op. Cit,
hlm. 128; Muhammad Sayyid Thanthawy, al-Tafsir al-Wasith, Tafsir Q.s.
al-Baqarah ayat 62, pada Maktabah Syamilah, www.altafsir.com.
[10] Pendapat ini dilontarkan oleh al-Zamakhsyari. Lihat:
al-Zamakhsyari, al-Kasyyaf, jil. I, Op. Cit, hlm. 285.
[11] Pendapat ini diantaranya dikemukakan Ibn ‘Asyur, Sayyid Quthb dan Muhammad
Sayyid al-Thanthawi. Lihat: Ibn ‘Asyur, Tafsir
al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. I, Op. Cit, p. 532; Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, jil. I, (Tnp. Tmpt:
Daar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, cet. II, Tnp. Thn), hlm. 95; Muhammad Sayyid
al-Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, juz. I, (Kairo:
Daar al-Ma’arif, 1412/1996), hlm. 186.
[12] Ibn Jarir
Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Op. Cit, hlm. 32.
[13] Al-Zamakhsyary, al-Kassyaf, juz. I, Op. Cit, hlm. 285.
[14] al-Qurthuby, al-Jami’
li al-Ahkam al-Qur’an, jil. II, Op. Cit, hlm. 158
[15] Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. I, Op. Cit,
hlm. 533.
[16] Abd. Muqsith Ghazali, Argumen
Pluralisme Agama, Op. Cit, hlm. 245.
[17] Lihat: Matius: 2: 1. Juga lihat: Ahmad Deedat, The Real Truth;
Meruntuhkan Pilar-Pilar Kristiani, (Surakarta: Kahfi Publishing, cet. I,
2008), hlm. 108; Joesoef Sou’yb, Op. Cit, hlm. 321-322.
[18] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. I, Op. Cit, hlm. 240; Al-Baghowy, Ma’alim al-Tanzil, jil. I, (Riyadh: Daar Thoyyibah, 1412 H), hlm. 102.
[19] ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Damasyqy, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah,
(Riyahd: Daar ‘Alam al-Kutub, cet. III, 1997), p. 459. Juga lihat: Shalih ibn
Fauzan ibn ‘Abdullah al-Fauzan, Syarh al-‘Aqidah al-Wasathiyah li Syaikh
al-Islam Ahmad ibn Taimiyah, Op. Cit, hlm. 11.
[20] “Katakanlah (hai
orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan
anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan
seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". Lihat juga Q.s. al-‘Ankabut: 46.
[21] “Hari rasul,
janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera
(memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan
dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum
beriman.” Lihat juga Q.s. al-Hujurat: 14 dan al-Mujadalah: 22.
[22] H.R. Muttafaq ‘Alaihi. al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Umur
al-Iman, dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Amru bi al-Iman bi Allah.
[23] ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Damasyqy, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah,
Op. Cit, hlm. 513. Lihat juga: Shalih ibn Fauzan ibn ‘Abdullah
al-Fauzan, Syarh al-‘Aqidah al-Wasathiyah..., Op. Cit, hlm. 11.
[24] ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Damasyqy, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah,
Op. Cit, hlm. 21.
[25] ‘Abd al-Hamid al-Hakim, Mabadi’ Awaliyah, (Jakarta:
Sa’adiyah Putra, t.thn), hlm. 7.
[26] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. I, Op. Cit, hlm. 241.
[27] Q.s. al-Taubah: 9/30.
[28] Q.s. al-Nisa’: 4/155.
[29] Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 32: 22-28.
[30] Lukas: 2: 6-7.
[31] Q.s. Al-Maidah: 5/166.
[32] Al-Qusayri, Tafsir al-Qusayri, Tafsir Q.s. al-Baqarah ayat 62, pada
Maktabah Syamilah, www.altafsir.com.
[33] Al-Syaukani, Fath al-Qadir,
jil. I, Op. Cit, hlm. 141.
[34] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Op. Cit, hlm. 22-23.
[35] Q.s. al-Hajj:
22/17
[36] Fahmi Salim, Tafsir Ayat-Ayat Ahl al-Kitab, dalam Islamia,
Loc. Cit, hlm. 87.
[37] Ibn Jarir
Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. XVI, Op. Cit, hlm. 485.
[38] Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. XVII,
Op. Cit, hlm. 222
[39] Fahmi Salim, Islamia, Loc. Cit, hlm. 87.
[40] Q.s. al-Anbiya’: 21/ 24.
[41] Ibn al-Jauzy, Zaad al-Masir..., jil. V, Op. Cit, hlm. 345-346.
[42] Ibid, juz. VI, hlm. 532-533.
[43] Al-Thabari, Tafsir al-Thabary,
juz. VI, Op. Cit, hlm. 330.
[44] Lihat surat no. 23. Muhammad
Hamidullah, Majmu’ah Watsaiq, Op. Cit, hlm. 87-88. Lihat juga: Muhammad
Husain Haekal, Hayat Muhammad, dalam Ali Audah (Penj.), Sejarah Hidup
Muhammad, (Jakarta: Litera AntarNusa, cet. 32, 2006), hlm. 436-437.
[45] Di antara ayat dalam Bible sekarang yang dipercayai masih mengabarkan
kenabian Muhammad adalah Yohanes: 14: 16 dan Yohanes: 16: 4b-14. Alkitab
(Perjanjian Baru), Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, cet. 8, 2006, hlm. 178
dan 180. Lihat juga: Muhammad al-Husainy al-Rais, Bisyaroh Ahmad fi al-Injil,
(Giza: al-Maktabah al-Nafidzah, cet. I, 2007), hlm. 11-12.
[46] Q.s. al-Hadid: 57/ 27.
[47] Ibn al-Jauzy, Zaad al-Masir..., jil. VIII, Op. Cit, hlm. 177.
[48] Al-Baghowy, Ma’alim al-Tanzil, juz. VIII, Op. Cit, hlm. 42.
[49] Ibn ‘Asyur, Tafsir
al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. XXVII, Op.
Cit, hlm. 426.
[50] Al-Syaukani, Fath al-Qadir,
jil. V, Op. Cit, hlm. 213.
[51] Imam al-Razy, Mafatih al-Ghoib, Jil. XXIX, Op. Cit, hlm. 248.
[52] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. XXVII, Op. Cit,
hlm. 184.
[53] Muhammad Hamidullah, Majmu’ah Watsaiq..., terj. Oleh Syamsuddin
Ramadlan, Faisal Abdullah Basaqil, Kumpulan Surat-surat Nabi Saw dan Khulafa
ar-Rasyidin, Op. Cit, surat no. 26,
hlm. 90.
[54] Q.s. al-Maidah: 5/ 65.
[55] Ibn Jarir
Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. VIII, Op. Cit, hlm. 561.
[56] Ibid, hlm. 561.
[57] Ibn Abi Hatim, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, jil. IV, (Riyadh:
Maktabah Nazar Musthofa al-Baz, cet. I, 1997), hlm. 1169.
[58] Imam al-Razy, Mafatih al-Ghoib, Jil. XII, Op. Cit, hlm. 49.
[59] Q.s. al-Maidah: 5/3.
[60] Ibn Katsir, Op. Cit, Jil. V, hlm. 46.
[61] ‘Ali ibn Abi Thalhah dari Ibn ‘Abbas dalam Ibn Katsir, Ibid, Jil. V,
hlm. 46.
[62] Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Badai’ al-Tafsir, jil. I,
(Riyadh-Beirut-Kairo: Daar Ibn al-Jauzy, cet. I, 1427 H), hlm. 312.