Minggu, 12 Mei 2013

Keselamatan Ahlu Kitab, Kajian atas beberapa Ayat-ayat al-Qur'an


Di dalam al-Qur’an terdapat enam ayat yang membicarakan keselamatan Ahli Kitab, yaitu Q.s. al-Baqarah: 2/62, al-Maidah: 5/69, al-Hajj: 22/ 17, Alu Imran: 3/ 199, al-Maidah: 5/ 65, dan al-Hadid: 57/27.

Keselamatan dalam Q.s. al-Baqarah: 2/62 dan al-Maidah: 5/69.[1]
Kedua ayat ini menjadi kontroversi di kalangan Ulama dan Mufassir karena menyebutkan kaum Shabi’un termasuk kelompok yang selamat. Ayat ini tepatnya berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[2]

Menafsirkan ayat tersebut, terlebih dahulu harus dilihat ayat-ayat sibaq dan lihaq nya. Pada ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya, Allah mengungkap perilaku pengikut Kitab terdahulu dengan berbagai skandal aqidah yang tidak dapat diampuni. Sebelum Q.s. al-Baqarah: 2/62, misalnya, Allah telah banyak mengecam dan mengancam orang-orang Yahudi yang mendurhakai ni’mat-ni’mat Allah. (Lihat Q.s. al-Baqarah: 2/41-61). Begitu juga dengan ayat-ayat setelahnya, Allah mengungkap seraya mengancam perilaku ingkar mereka. (Lihat Q.s. al-Baqarah: 2/63-123). Tentu saja ancaman ini menimbulkan rasa takut. Sehingga melalui Q.s. al-Baqarah: 2/62 ini, Allah memberi jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri.

Mengenai sabab nuzul nya ayat ini, Al-Thabary (w. 310 H) mengutip dari al-Suddy, bahwa Q.s. al-Baqarah: 2/62 ini turun terkait dengan sahabat Salman al-Farisy.[3] Salman bercerita kepada Nabi bahwa sahabat-sahabatnya adalah orang-orang yang shalat, berpuasa, beriman kepada Muhammad, dan bersaksi bahwa beliau akan diutus menjadi Nabi. Setelah Salman selesai menceritakan teman-temannya itu, Nabi kemudian bersabda: “Mereka termasuk penghuni neraka”. Mendengar jawaban itu, Salman sedih dan berkata, “Sekiranya mereka mengetahui engkau, niscaya mereka akan mempercayai dan mengikuti engkau”. Maka turunlah ayat ini.[4]

Mengutip dari al-Qasim sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Juraij dan Mujahid, Al-Thabary kemudian melanjutkan bahwa ketika ayat ini turun, Rasulullah memanggil Salman dan berkata: “Ayat-ayat ini turun berkenaan dengan sahabat-sahabatmu”. Kemudian Rasulullah melanjutkan sabdanya: “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan memeluk agama Nabi Isa sebelum dia mendengar kerasulanku, maka dia berada pada kebenaran. Dan barang siapa telah mendengar kerasulanku namun dia tidak beriman, maka binasa”.[5]

Dari keterangan ini, menjadi jelas bahwa sahabat-sahabat Salman adalah orang-orang yang beriman kepada Nabi Isa dan mengetahui akan datangnya Nabi Muhammad. Sebagaimana diakui oleh Salman sendiri bahwa sekiranya mereka mengetahui dan berjumpa dengan Nabi Muhammad, niscaya mereka akan mengikuti ajaran beliau. Namun sangat disayangkan, sahabat-sahabat Salman tersebut tidak bertemu dengan Nabi Muhammad. Sehingga mereka tidak dapat mengetahui syari’at yang dibawa beliau. Maka dari itu, tidak berlebihan apa yang dikatakan Al-Thabary dan Ibn Katsir bahwa ukuran keimanan seseorang adalah jika dia mengimani kenabian Muhammad dan mengikuti ajaran yang dibawanya.[6] Artinya, ketika Muhammad diutus sebagai rasul, para pengikut Yahudi dan Nasrani wajib mengimani Muhammad dan ajaran yang dibawanya.

Kemudian, mengartikan “al-ladzina amanu”, setidaknya terdapat lima pendapat yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan firman Allah SWT pada akhir ayat ini: “man aman billahi wa al-yaumi al-akhir”. Konsekuensinya, arti iman yang dimaksud pada kalimat “inna al-ladzina amanu” (pada awal ayat), berbeda dengan iman yang tertera pada kalimat “man amana billahi”.[7] Ibn al-Jauzy (w. 597 H)  dalam Zaad al-Masir merangkum lima pendapat itu:[8]

1.                 Ibn ‘Abbas mengartikan bahwa mereka adalah orang-orang yang percaya dengan Isa sebelum Muhammad diutus.
2.                 Menurut al-Suddy berdasarkan keterangan guru-gurunya, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Musa dan mengerjakan syari’atnya sampai datang Isa. (Setelah Isa datang) mereka beriman kepadanya dan mengerjakan syari’atnya sampai datang Muhammad.[9]
3.                 Menurut Sufyan Tsaury mereka adalah orang-orang munafiq.[10]
4.                 Mereka adalah orang-orang yang masuk ke dalam agama Islam (dari kalangan Ahli Kitab), seperti Qus ibn Sa’adah, pendeta Buhaira, Waraqah ibn Naufal, dan Salman al-Farisi.
5.                 Mereka adalah orang-orang mu’min dari kalangan umat Islam sendiri.[11]

Al-Thabary dan al-Baghowy mengatakan, “al-ladzina hadu” dalam ayat di atas adalah orang-orang Yahudi. Dan “hadu” sendiri memiliki arti “tabu” (bertaubat). Maka dari itu, dikatakan orang Yahudi karena dia melakukan taubat. Ini seperti yang dikatakan dalam al-Qur’an Q.s. al-‘A’raf: 7/156: “inna hudna ilaika” (sesungguhnya kami kembali bertaubat kepada-Mu).[12] Al-Zamakhsyary mengartikan “al-ladzina hadu” adalah orang-orang yang masuk ke dalam agama Yahudi.[13] Menurut Qurthuby, orang Yahudi disebut demikian dinisbahkan kepada Yahudza (Yahuda), anak sulung Ya’kub a.s.[14]

Sedangkan kata “nashara” adalah bentuk jamak dari “nashran” atau “nashiriy”. Kata ini dinisbahkan pada Nashirah (Nazaret), yakni tempat kelahiran Maryam. Kemudian Maryam keluar dari Nazaret menuju Betlehem, di sanalah  ia melahirkan Isa.[15] Namun menurut Moqsith Ghazali, Isa tidak dilahirkan di Betlehem, tapi di Nazaret.[16] Entah dari mana referensi yang dirujuk Moqsith, padahal dalam beberapa literatur, bahkan dalam Perjanjian Baru sendiri dikatatakan bahwa Isa lahir di Betlehem.[17] Adapun mengenai term “Shabiun” telah dijelaskan sebelumnya pada Bab II pembahasan ini. Sehingga di sini tidak perlu diterangkan lagi.

Kembali pada term iman yang ada pada kedua ayat di atas, menurut Al-Thabary (w. 310 H) iman bisa berarti al-tahsdiq (percaya), al-khasyyah (takut), al-‘amal (perbuatan).[18] Menurut Imam Malik, al-Syafi’i, Ahmad, al-Auza’iy, Ishaq, mayoritas Ahli Hadits, Ahli Madinah, Ahli Dzohir, dan para Mutakallimun bahwa iman adalah percaya dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diaplikasikan dengan perbuatan.[19]

Ketiga aspek iman ini juga sudah dikabarkan di dalam al-Qur’an dan al-hadits. Ayat yang menerangkan bahwa iman harus diaplikasikan dengan lisan salah satunya Q.s. al-Baqarah: 2/136,[20] iman dengan hati salah satunya terdapat dalam Q.s. al-Maidah: 5/41,[21] dan iman dengan perbuatan ada pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, “Iman itu terdiri dari 60-an macam. Yang paling tinggi derajatnya adalah ucapan “tiada tuhan selain Allah”, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan hambatan dari jalan.”[22]

Dari keterangan di atas, orang yang beriman tidak cukup hanya percaya di dalam hati atau hanya sebatas ucapan tanpa dibarengi dengan perbuatan yang dikehendaki oleh iman itu.[23] Beriman kepada Allah artinya mempercayai secara teguh bahwa Dia adalah Tuhan segala sesuatu sekaligus Pemiliknya, memiliki sifat yang sempurna tanpa cela dan kekurangan, satu-satunya Pemilik ibadah tanpa mempunyai sekutu. Inilah yang disebut tauhid.

Maka dari itu, orang disebut beriman jika ia benar-benar bertauhid kepada Allah dengan memusatkan ibadah hanya kepada-Nya, tanpa perantara (wasilah), bahkan tidak menyekutukan-Nya. Iman seperti inilah yang diajarkan setiap rasul mulai dari Adam a.s. sampai Muhammad SAW.[24]

Iman dalam Islam memiliki enam rukun; iman kepada Allah, iman kepada para malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada para rasul, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada ketetapan dan takdir Allah.

Seorang mu’min harus mengimani semua rukun iman itu. Karena rukun dalam istilah Ushul Fiqh adalah hal yang menyebabkan suatu pekerjaan menjadi sah.[25] Artinya, jika dikerjakan setengah-setengah maka tidak menjadi sah. Seseorang yang mengimani Allah harus taat kepada perintah-Nya. Ta’at kepada perintah-Nya berarti mengimani para Rasul, malaikat, kitab-kitab-Nya, para Rasul, Hari Akhir, serta Qadha dan Qadar-Nya. Iman kepada para Rasul harus mengimani mereka secara keseluruhan. Tidak mempercayai sebagian mereka dan mengingkari sebagian yang lain. Dan beriman kepada Rasul berarti beriman kepada ajaran yang dibawanya dengan cara mematuhinya. Begitu juga iman kepada Kitab-kitab-Nya, berarti mengimani bahwa dan mengikuti ajaran yang tertulis pada empat kitab yang telah diturunkan Allah; Zabur, Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Jika hanya mengimani sebagian dan menolak sebagian maka imannya tidak sah, batal. Inilah yang disebut Al-Thabary bahwa iman itu mencakup semua aspek.[26] Artinya tidak setengah-setengah.

Jika dikembalikan kepada Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani, bisa dikatakan mereka adalah orang-orang yang tidak beriman. Kasus Yahudi misalnya, mereka secara terang-terangan mengatakan bahwa ‘Uzair anak Allah[27] dan membunuh para nabi.[28] Pada Perjanjian Lama bahkan secara terang-terangan ditulis bahwa tuhan mereka berkelahi dengan Yakub, dan irosnisnya si tuhan kalah dalam perkelahian itu.[29] Terlebih agama Nasrani yang mengimani bahwa tuhan dikandung dan dilahirkan dari perawan Maryam,[30] dan menganggap bahwa tuhan terdiri dari tiga oknum.[31]

Menurut Imam al-Qusayri,  barang siapa yang beriman kepada Allah menurut yang tertera di dalam ayat-ayat-Nya (kitab-kitab-Nya), dan mengimani ajaran yang dikandungnya, maka perbedaan pendapat mengenai kalimat “al-ladzina amanu” tidak menjadi persoalan serius dan tidak berpengaruh apapun. Maka dari itu, apabila golongan-golongan yang disebutkan dalam ayat ini sepakat pada aspek-aspek (iman), maka bagi mereka sebaik-baik tempat kembali.[32]

Artinya, yang menjadi penekanan adalah inti dari iman itu sendiri, yaitu beriman secara keseluruhan terhadap aspek-aspek yang terkandung di dalamnya, yakni rukun-rukunnya. Keimanan seperti inilah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Sehingga mengimani kenabian Muhammad dan ajaran yang dibawanya adalah sebuah kewajiban. Maka dari itu, al-Syaukani mengartikan “man amana billahi wa al-yaumi al-akhir” adalah, barang siapa di antara mereka (keempat kelompok yang disebutkan dalam ayat ini) yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan mengerjakan amal shaleh, maka mendapatkan pahala seperti yang dijanjikan Allah. Kemudian beliau menerangkan apa yang dimaksud dengan iman pada ayat tersebut, yakni sebagaimana yang diterangkan Rasulullah SAW ketika ditanya oleh Jibril: ‘Beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan baik maupun buruknya takdir.’ Sehingga, seseorang tidak dianggap beriman kecuali masuk ke dalam agama Islam. Maka, barang siapa yang tidak beriman kepada Muhammad dan al-Qur’an, dia tidak disebut orang yang beriman (mu’min). Dan barang siapa beriman kepada keduanya, maka dia telah menjadi Muslim yang beriman, dan bukan Yahudi, Nasrani maupun Majusi.[33]
Keselamatan dalam Q.s. al-Hajj: 22/ 17.
Ayat ini secara redaksional mirip dengan kedua ayat al-Baqarah dan al-Maidah di atas, dengan tambahan orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik. Sehingga, menurut para pendukung paham pluralisme agama, ayat ini memiliki kesetaraan makna seperti dua ayat tersebut, yakni menegaskan bahwa semua golongan agama  akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal saleh.[34]

Ayat tersebut tepatnya berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabiun, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”[35]

Seperti dikatakan sebelumnya, pendapat yang mengatakan redaksi ayat ini menunjukkan bahwa semua agama akan selamat di akhirat kelak adalah keliru. Sebab, bagaimana mungkin aqidah tauhid yang Allah sempurnakan dengan Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW dapat disejajarkan dengan kepercayaan syirik dan penyembahan api yang dilakukan kaum Majusi?[36]

Yang jelas menurut Al-Thabary, ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, golongan Yahudi, Nasrani, Majusi, dan orang-orang musyrik, akan dibedakan oleh Allah SWT pada Hari Kiamat dengan ketetapan yang adil. Pembedaan ini maksudnya adalah semua golongan-golongan yang tersebut di atas dimasukkan Allah ke dalam neraka sedang golongan yang beriman dimasukkan ke dalam surga.[37]

Pemberian surga kepada orang-orang yang beriman pada ayat di atas merupakan suatu ketetapan yang mutlak. Keimanan mereka seperti yang diterangkan Al-Thabary di atas adalah mengimani Allah dan semua Rasul-rasul-Nya. Sekali lagi, bahwa iman yang sempurna adalah mengimani para Rasul-rasul Allah secara keseluruhan. Tidak mengimani sebagian dan menolak sebagian yang lain.

Menurut Ibn ‘Asyur, ayat ini menerangkan perihal orang-orang yang ragu menerima agama Islam dan memperdebatkan tentang agama yang benar, karena setiap pengikut agama mengklaim bahwa agama mereka lah yang paling benar. Ketika mereka saling berbantah-bantahan dan bukti di dunia tidak berguna, ayat ini mengabarkan bahwa keputusan ada pada Allah di Hari Kiamat. Lanjut Ibn ‘Asyur, metode yang digunakan ayat ini adalah tafwidh (penyerahan secara otoritatif). Artinya, sesudah orang-orang itu mendengar ayat-ayat dan tetap saja pada pendirian mereka, maka keputusan mereka tetap pada Allah.[38]

Penyerahan ini tidak lantas dibawa kepada paham relativisme bahwa tidak ada siapapun yang tahu kebenaran kecuali Allah. Makna penyerahan itu justru merupakan sikap toleransi bahwa jika mereka bersikeras tidak mau menerima Islam, maka umat Islam tidak perlu menghakimi mereka atau membinasakan mereka, Allah lah yang akan menghakimi.[39]

Penolakan mereka terhadap kebenaran Islam mendapat tantangan dari Allah untuk menunjukkan hujjah yang valid jika mereka memang benar. Allah berfirman:
أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آَلِهَةً قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ وَذِكْرُ مَنْ قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain Dia? Katakanlah (Muhammad): "Kemukakanlah alasan-alasanmu! (Al Quran) Ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang sebelumku". Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui yang hak, karena itu mereka berpaling.”[40]

Ayat ini menunjukkan bahwa klaim kebenaran dari agama-agama non-Islam adalah suatu yang tidak mendasar. Untuk itu Allah menantang untuk menunjukkan bukti klaim mereka yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak seperti yang didengungkan orang Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik Arab. Allah menantang mereka untuk menunjukkan bahwa ajaran tentang pengangkatan sekutu bagi-Nya memang tertera dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an.[41]

Akhirnya jelas, bahwa Islam dan agama-agama selainnya memang berbeda. Agama Islam yang mengajarkan bahwa Allah itu Esa, Allah tempat bergantung, tidak beranak dan tidak diberanakkan berbeda dengan agama Kristen dan Yahudi yang menganggap bahwa Tuhan mempunyai anak. Perbedaan itu kembali terlihat tatkala Islam mengajarkan bahwa mengimani semua rasul adalah wajib. Sedangkan Yahudi tidak mengimani Isa dan Kristen tidak mengimani Muhammad.

Perbedaan di antara agama-agama ini juga akan ditetapkan Allah di akhirat kelak. Mereka yang mengimani Allah dan rasul-Nya secara benar seperti yang diajarkan agama Islam akan memperoleh surga. Sedang agama-agama selain Islam akan ditetapkan di didalam neraka.

Keselamatan dalam Q.s. Alu Imran: 3/ 199.
Ayat lain yang mengisahkan kesalehan Ahli Kitab adalah Q.s. Alu Imran: 199:
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan sesungguhnya diantara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.”

Para Mufassir berbeda pendapat mengenai asbab nuzul-nya ayat ini. Ibn Juzay (w. 597 H) meringkas setidaknya terdapat 4 pendapat mengenai sebab turunnya ayat ini:[42]
1.                 Ayat ini turun berkenaan dengan meninggalnya Najjasyi, Raja Habasyah. Pendapat ini berasal dari Jabir ibn ‘Abdullah, Ibn ‘Abbas, Anas, Al-Hasan, dan Qatadah.
2.                 Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang mu’min dari kalangan Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini berasal dari Abu Shalih dan Mujahid.
3.                 Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdullah ibn Salam dan sahabatnya. Pendapat ini berasal dari Ibn Juraij, Ibn Zayd, dan Maqatil.
4.                 Menurut ‘Atho’, ayat ini turun berkenaan dengan Islamnya 40 orang Najran, 30 orang Habasyah, 2 orang Romawi.

Al-Thabary lebih condong ke pendapat Mujahid, bahwa ayat ini secara umum turun berkenaan dengan orang-orang yang beriman di antara Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani. Walaupun terjadi pengkhususan turunnya ayat ini kepada Najjasyi, ini maksudnya bahwa hukum yang ditujukan kepadanya ditujukan juga untuk semua hamba-bamba-Nya (Ahli Kitab) yang memiliki sifat seperti dia (Najjasyi), yakni, mengikuti Nabi Muhammad SAW dan mempercayai bahwa ajaran yang dibawanya berasal dari Allah sebagaimana yang telah dikabarkan dalam Taurat dan Injil.[43]

Pendapat Al-Thabary di atas menguatkan bahwa sebelum meninggal Najjasyi telah menerima ajaran Nabi Muhammad SAW, masuk Islam. Ini diperkuat dengan jawaban Najjasyi terhadap surat dakwah Nabi SAW yang ditujukan kepadanya. Dalam surat itu Najjasyi bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yang jujur dan terpercaya, dan memeluk Islam.[44]

Dari ayat-ayat yang menceritakan kesalehan Ahli Kitab, mayoritas Mufassir berpandangan bahwa ukuran keimanan dan kesalehan mereka adalah pegakuan mereka terhadap kenabian Muhammad. Tidak hanya sampai di situ, pengakuan ini juga menuntut mereka untuk menerima risalahnya dan memeluk agama Islam. Ini sebagaimana ditujukan oleh ‘Abdullah ibn Salam, Najjasyi dan yang lainnya yang mengganti agama mereka dengan memeluk Islam. Mereka inilah yang disebut al-Qur’an sebagai “ummah qoimah” yang beriman kepada Allah, beriman kepada kitab suci mereka dan kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Karena memang demikianlah anjuran yang terdapat dalam kitab sucinya.[45]

Keselamatan dalam Q.s. al-Hadid: 57/ 27.
Secara eksplisit ayat ini menginformasikan bahwa di antara pengikut Nabi Isa a.s. (Nasrani) terdapat orang-orang yang beriman kepada Allah, dan diganjar pahala oleh-Nya. Ayat ini tepatnya berbunyi:
ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى آَثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآَتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآَتَيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami dan kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan kami berikan kepadanya Injil dan kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.”[46]

Para Mufassir berbeda pendapat tentang siapa golongan yang beriman yang diberi pahala oleh Allah pada ayat ini. Ada yang mengartikan mereka adalah yang mengimani Muhammad, ada juga yang mengartikan mereka yang beriman kepada Isa a.s, atau orang-orang yang membuat bid’ah kependetaan.[47] Menurut al-Baghowy (w. 516 H), orang-orang beriman tersebut adalah para pengikut nabi Isa a.s dan tahu akan kedatangan Muhammad, dan kemudian mengimaninya.[48] Orang-orang yang beriman ini memiliki sifat seperti yang dikabarkan al-Qur’an, yakni meng-Esakan Allah, beriman kepada para Rasulullah di setiap zaman. Keimanan ini tidak dicampur adukkan dengan sesuatu yang merusak, seperti meyakini bahwa Isa a.s. adalah tuhan ataupun anak-Nya.[49]

Senada dengan al-Baghowy, al-Syaukani mengatakan bahwa mereka adalah pengikut Nabi Isa a.s. dan tetap pada agamanya sampai diutus Nabi Muhammad.[50] Mereka inilah orang-orang yang diberi pahala dua kali. Ini dikarenakan mereka mula-mula mengimani Isa a.s dan selanjutnya mengimani Muhammad SAW. Ini sebagaimana dikatakan Allah SWT dalam Q.s. al-Qashas: 28/54: “Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah kami rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan.”[51]

Dari keterangan ini disimpulkan bahwa mengimani semua Rasul adalah suatu kewajiban. Karena para Rasul memiliki satu silsilah ajaran yang sama. Ini sebagaimana diungkap dalam kalimat pertama Q.s. al-Hadid: 57/ 27 di atas:  “Kemudian kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul kami..” Artinya, Allah mengutus seorang Rasul setelah Rasul lain.[52] Ajaran yang dibawa Adam sampai dengan Muhammad adalah satu kesinambungan yang datang dari Allah. Maka dari itu, umat Nabi Isa harus tetap dalam keimanannya sampai datangnya Muhammad SAW. Dan ketika Muhammad telah diutus, maka tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk tidak mengikuti ajarannya.

Sebagai Nabi terakhir, Muhammad telah menyeru kepada semua manusia agar mengikuti ajarannya, tidak terlepas penganut Yahudi dan Nasrani. Ini sebagaimana dilakukan beliau ketika menyeru kepada Raja Habsyah, Najjasyi, dan Raja Romawi, Heraklius. Seruan ini menunjukkan bahwa dalam agama yang dibawanya, terdapat ajaran tentang keselamatan. Dalam surat itu beliau menulis, “Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya engkau akan selamat; dan Allah memberimu pahala dua kali lipat. Namun jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa kaum Assyiriyin.[53]

Keselamatan dalam Q.s. al-Maidah: 5/65.
Ayat ini menginformasikan janji Allah bagi Ahli Kitab yang beriman dan bertakwa kepada-Nya akan surga-surga serta kenikmatan di dalamnya. Redaksi ayat ini tepatnya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأَدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ
Dan sekiranya ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan.”[54]

Al-Thabary (w. 310 H) mengatakan bahwa kriteria beriman pada ayat ini adalah iman kepada Allah dan Nabi Muhammad SAW. Beriman kepada Muhammad adalah dengan mempercayainya dan juga mengikuti ajaran yang dibawanya.[55] Ini berarti hanya mempercayai Muhammad sebagai Nabi tidak dikatakan beriman sampai mengikuti ajaran yang dibawanya. Kemudian beliau melanjutkan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi larangan Allah.[56]

Sedang Ibn Abi Hatim (w. 327 H) meriwayatkan dari Qatadah bahwa yang dimaksud beriman di sini adalah beriman kepada apa yang telah diturunkan Allah, yakni Kitab-kitab-Nya. Sedang orang yang bertakwa adalah yang menjauhi larangan Allah.[57]

Menurut Imam al-Razy Ahli Kitab yang beriman dan bertakwa inilah yang niscaya mendapat kemuliaan dunia dan akhirat. Kemuliaan di akhirat yang dijanjikan terdiri dari dua macam bentuk: terbebas dari azab dan mendapat pahala. Terbebas dari azab maksudnya sebagaimana yang dikatakan Allah, “tentulah kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka”, sedang mendapat pahala adalah masuk ke dalam surga-Nya, “tentulah kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan.” Imam al-Razy selanjutnya menjelaskan, sebenarnya iman pada seseorang menuntut adanya takwa dan keta’atan terhadap apa yang diimaninya.[58]

Dari sini disimpulkan bahwa Ahli Kitab akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah sekirannya mereka beriman kepada-Nya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa iman adalah sesuatu yang utuh, tidak setengah-setengah. Iman kepada Allah berarti mencakup semua yang diperintahkan-Nya, yakni beriman kepada adanya Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhir, dan qadha serta qadar-Nya. Iman seperti inilah yang dituntut dari semua hamba-Nya, tidak terkecuali Yahudi dan Nasrani. Maksudnya, tidak ada perlakuan khusus bagi mereka berupa keringanan hanya cukup beriman kepada Musa atau Isa saja. Mereka harus mengimani dan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Artinya masuk ke dalam Islam. Jika demikian, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak lagi disebut Yahudi atau Nasrani, melainkan disebut Muslim. Inilah yang disebut beriman secara kamil yang akan diberi pahala oleh Allah dan diampuni dosanya.

Diberi pahala artinya masuk ke dalam surga, dan diampuni dosanya berarti terbebas dari api neraka. Kesimpulannya, hanya dengan memeluk Islam lah para Ahli Kitab akan selamat. Dan ketika mereka memeluk Islam, mereka tidak lagi disebut Yahudi atau Nasrani, melainkan Muslim. Maka dari itu, di akhir masa kenabian Muhammad SAW, Allah SWT menurunkan ayat al-Qur’an terakhir: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”[59] Menurut redaksi ayat di atas, agama yang disempurnakan dan diridhoi oleh Allah hanyalah Islam, bukan agama yang lain. Sehingga, umat Islam tidak memerlukan lagi adanya agama selain Islam.[60] Dikarenakan, pada hari itu Allah telah menyempurnakan iman kaum mu’minin, sehingga selamanya tidak diperlukan lagi penambahan, Allah juga telah menyempurnakan agama mereka, sehingga tidak kurang selamanya, dan Allah juga telah meridhoi Islam dan tak akan mencelanya selamanya.[61]

Menurut redaksi ayat di atas juga, Allah telah mencukupkan ni’mat-Nya bagi umat Islam. Menurut Ibn Qoyyim, orang-orang yang diberi ni’mat pada ayat ini berhubungan dengan mereka yang tertera pada Q.s. al-Nisa: 4/ 69, yakni mereka yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya. Artinya, umat Islam diberi ni’mat oleh Allah karena keta’atan mereka terhadap Dia dan Rasul-Nya. Ni’mat ini jelas Ibn Qoyyim adalah sa’adah al-abad, yakni surga.[62]

Kesimpulannya, surga hanya diberikan kepada umat Islam karena keta’atan mereka terhadap Allah dan Rasul-rasul-Nya. Begitu juga dengan para Ahli Kitab. Mereka akan selamat, diberi ni’mat oleh Allah dan dimasukkan ke dalam surga sekiranya mereka ta’at kepada-Nya dan kepada para Rasul-Nya. Artinya, mereka juga harus mengimani Muhammad sebagai rasul dan mengikuti ajarannya, yakni masuk agama Islam. Ketika mereka masuk ke dalam agama Islam, mereka tidak lagi disebut Yahudi maupun Nasrani.


[1] Penulis sengaja menggabungkan kedua ayat ini karena kesamaan redaksi yang ada pada keduanya.
[2] Q.s. al-Baqarah: 2/62. Lihat juga: Q.s. al-Maidah: 5/69.
[3] Perlu dicatat di sini bahwa sahabat-sahabat Salman yang dimaksud adalah para penganut agama Nasrani yang mengikuti ajaran Nabi Isa. Dan bukan penganut Majusi, agama yang menyembah api yang dianut Salman pertama kali. Lihat: al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Jil. I, Op. Cit, hlm. 394.
[4] Lihat kisah Salman ini secara lengkap pada Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Op. Cit, hlm. 40-44. Juga: al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Jil. I, Ibid, hlm. 394.
[5] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Ibid, hlm. 45; Lihat juga: al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Jil. I, Ibid, hlm. 394.
[6] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Ibid, hlm. 38; Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, jil. I, Op. Cit, hlm. 431.
[7] Imam al-Razy, Mafatih al-Ghoib, Jil. III, Op. Cit, p. 111.
[8] Ibn al-Jauzy, Zaad al-Masir.., jil. I, Op. Cit, p. 91.
[9] Mufassir yang berpendapat seperti ini di antaranya adalah Al-Thabary (w. 310 H), al-Syaukani (w. 1255 H), al-Maraghy, dan Muhammad Sayyid Thanthawy. Lihat: Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Op. Cit, hlm. 32; Al-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. I, Op. Cit, hlm. 141; Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. I, Op. Cit, hlm. 128; Muhammad Sayyid Thanthawy, al-Tafsir al-Wasith, Tafsir Q.s. al-Baqarah ayat 62, pada Maktabah Syamilah, www.altafsir.com.
[10] Pendapat ini dilontarkan oleh al-Zamakhsyari. Lihat: al-Zamakhsyari, al-Kasyyaf, jil. I, Op. Cit, hlm. 285.
[11] Pendapat ini diantaranya dikemukakan Ibn ‘Asyur, Sayyid Quthb dan Muhammad Sayyid al-Thanthawi. Lihat: Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. I, Op. Cit, p. 532; Sayyid Quthb, Fi Dzilal al-Qur’an, jil. I, (Tnp. Tmpt: Daar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, cet. II, Tnp. Thn), hlm. 95; Muhammad Sayyid al-Thanthawi, al-Tafsir al-Wasith li al-Qur’an al-Karim, juz. I, (Kairo: Daar al-Ma’arif, 1412/1996), hlm. 186.
[12] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. II, Op. Cit, hlm. 32.
[13] Al-Zamakhsyary, al-Kassyaf, juz. I, Op. Cit, hlm. 285.
[14] al-Qurthuby, al-Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an, jil. II, Op. Cit, hlm. 158
[15] Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. I, Op. Cit, hlm. 533.
[16] Abd. Muqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, Op. Cit, hlm. 245.
[17] Lihat: Matius: 2: 1. Juga lihat: Ahmad Deedat, The Real Truth; Meruntuhkan Pilar-Pilar Kristiani, (Surakarta: Kahfi Publishing, cet. I, 2008), hlm. 108; Joesoef Sou’yb, Op. Cit, hlm. 321-322.
[18] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. I, Op. Cit, hlm. 240; Al-Baghowy, Ma’alim al-Tanzil, jil. I,  (Riyadh: Daar Thoyyibah, 1412 H), hlm. 102.
[19] ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Damasyqy, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah, (Riyahd: Daar ‘Alam al-Kutub, cet. III, 1997), p. 459. Juga lihat: Shalih ibn Fauzan ibn ‘Abdullah al-Fauzan, Syarh al-‘Aqidah al-Wasathiyah li Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah, Op. Cit, hlm. 11.
[20] “Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". Lihat juga Q.s. al-‘Ankabut: 46.
[21] “Hari rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman.” Lihat juga Q.s. al-Hujurat: 14 dan al-Mujadalah: 22.
[22] H.R. Muttafaq ‘Alaihi. al-Bukhari, Kitab al-Iman, Bab Umur al-Iman, dan Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Amru bi al-Iman bi Allah.
[23] ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Damasyqy, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah, Op. Cit, hlm. 513. Lihat juga: Shalih ibn Fauzan ibn ‘Abdullah al-Fauzan, Syarh al-‘Aqidah al-Wasathiyah..., Op. Cit, hlm. 11.
[24] ‘Ali ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Damasyqy, Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyah, Op. Cit, hlm. 21.
[25] ‘Abd al-Hamid al-Hakim, Mabadi’ Awaliyah, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.thn), hlm. 7.
[26] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. I, Op. Cit, hlm. 241.
[27] Q.s. al-Taubah: 9/30.
[28] Q.s. al-Nisa’: 4/155.
[29] Perjanjian Lama, Kitab Kejadian 32: 22-28.
[30] Lukas: 2: 6-7.
[31] Q.s. Al-Maidah: 5/166.
[32] Al-Qusayri, Tafsir al-Qusayri, Tafsir Q.s. al-Baqarah ayat 62, pada Maktabah Syamilah, www.altafsir.com.
[33] Al-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. I, Op. Cit, hlm. 141.
[34] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Op. Cit, hlm. 22-23.
[35] Q.s. al-Hajj: 22/17
[36] Fahmi Salim, Tafsir Ayat-Ayat Ahl al-Kitab, dalam Islamia, Loc. Cit, hlm. 87.
[37] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. XVI, Op. Cit, hlm. 485.
[38] Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. XVII, Op. Cit, hlm. 222
[39] Fahmi Salim, Islamia, Loc. Cit, hlm. 87.
[40] Q.s. al-Anbiya’: 21/ 24.
[41] Ibn al-Jauzy, Zaad al-Masir..., jil. V,  Op. Cit, hlm. 345-346.
[42] Ibid, juz. VI, hlm. 532-533.
[43] Al-Thabari, Tafsir al-Thabary, juz. VI, Op. Cit,  hlm. 330.
[44] Lihat surat no. 23. Muhammad Hamidullah, Majmu’ah Watsaiq, Op. Cit, hlm. 87-88. Lihat juga: Muhammad Husain Haekal, Hayat Muhammad, dalam Ali Audah (Penj.), Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera AntarNusa, cet. 32, 2006), hlm. 436-437.
[45] Di antara ayat dalam Bible sekarang yang dipercayai masih mengabarkan kenabian Muhammad adalah Yohanes: 14: 16 dan Yohanes: 16: 4b-14. Alkitab (Perjanjian Baru), Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, cet. 8, 2006, hlm. 178 dan 180. Lihat juga: Muhammad al-Husainy al-Rais, Bisyaroh Ahmad fi al-Injil, (Giza: al-Maktabah al-Nafidzah, cet. I, 2007), hlm. 11-12.
[46] Q.s. al-Hadid: 57/ 27.
[47] Ibn al-Jauzy, Zaad al-Masir..., jil. VIII,  Op. Cit, hlm. 177.
[48] Al-Baghowy, Ma’alim al-Tanzil, juz. VIII, Op. Cit, hlm. 42.
[49] Ibn ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, jil. XXVII, Op. Cit, hlm. 426.
[50] Al-Syaukani, Fath al-Qadir, jil. V, Op. Cit, hlm. 213.
[51] Imam al-Razy, Mafatih al-Ghoib, Jil. XXIX, Op. Cit, hlm. 248.
[52] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. XXVII, Op. Cit, hlm. 184.
[53] Muhammad Hamidullah, Majmu’ah Watsaiq..., terj. Oleh Syamsuddin Ramadlan, Faisal Abdullah Basaqil, Kumpulan Surat-surat Nabi Saw dan Khulafa ar-Rasyidin, Op. Cit, surat no. 26,  hlm. 90.
[54] Q.s. al-Maidah: 5/ 65.
[55] Ibn Jarir Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, juz. VIII, Op. Cit, hlm. 561.
[56] Ibid, hlm. 561.
[57] Ibn Abi Hatim, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim, jil. IV, (Riyadh: Maktabah Nazar Musthofa al-Baz, cet. I, 1997), hlm. 1169.
[58] Imam al-Razy, Mafatih al-Ghoib, Jil. XII, Op. Cit, hlm. 49.
[59] Q.s. al-Maidah: 5/3.
[60] Ibn Katsir, Op. Cit, Jil. V, hlm. 46.
[61] ‘Ali ibn Abi Thalhah dari Ibn ‘Abbas dalam Ibn Katsir, Ibid, Jil. V, hlm. 46.
[62] Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Badai’ al-Tafsir, jil. I, (Riyadh-Beirut-Kairo: Daar Ibn al-Jauzy, cet. I, 1427 H), hlm. 312.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...