Holy Quran book Cover |
Dalam
menafsirkan al-Qur'an, para Mufassir mendasarkan tafsirannya pada lafadz
harfiah al-Qur'an.[1]
Akidah mereka yang lurus telah dengan tepat mengantarkan mereka pada satu
keyakinan (tanpa syak) akan otentisitas al-Qur'an sebagai kalamullah.[2] Dalam kaitannya dengan
penafsiran al-Qur'an, pandangan dan keyakinan itu pada akhirnya menjadikan umat
Muslim, khususnya para Mufassir hingga hari ini tetap mempertahankan satu hirarki
vertikal yang menunjukkan satu kesatuan yang saling terkait dalam 'proses
penafsiran' al-Qur'an, yaitu Allah swt sebagai sumber wahyu, lalu Rasulullah
saw sebagai penyampai dan penjelas wahyu, dan para sahabat/tabi'in atau
ulama yang ilmunya mendalam (al-Rasikhun fi al'ilm) sebagai orang-orang kredibel
dan punya otoritas untuk memahami dan menafsirkan kalamullah itu. Ini menjadi
kajian dan pegangan mendasar dalam setiap proses menafsirkan al-Qur'an.
Selanjutnya,
sebagai kalamullah (lafdzan wa ma'nan), para mufassir
Muslim meyakini bahwa penafsiran dan penjelasan kata-kata dan konsep-konsep
yang sulit di dalam al-Qur'an terdiri dari empat kategori: pertama, yang
hanya diketahui Tuhan, seperti waktu kemunculan kembali atau turunnya Nabi Isa
as.; arti al-ahruf al-munqatti'at (huruf-huruf yang terputus), yang ada
sebagai permualaan beberapa surah; informasi tentang waktu hari kebangkitan,
dan lain sebagainya. Penafsiran terhadap hal-hal ini hanya akan menjadi dugaan
atau terkeaan belaka. Kedua, yang hanya mampu dijelaskan oleh Nabi
Muhammad saw. Biasanya, yang demikian ini melalui teks (nash) dari
beliau, atau melalui dalalah (petunjuk) yang telah diberikan kepadanya.
Contohnya masalah seputar hukum waris. Ketiga, aspek-aspek yang dapat
dipahami dan ditafsirkan oleh orang-orang khusus karena penguasaan mereka
terhadap berbagai hal seputar Bahasa Arab, seperti yang difahami oleh
orang-orang Arab. Terakhir, keempat, hal-hal yang dapat dijelaskan oleh
ulama.[3] Jadi, di sini kita melihat
bahwa metode tafsir itu benar-benar berangkat dan bersandar pada sifat dasar
wahyu itu sendiri (al-Qur'an), yaitu bersifat Ilahi yang hanya bisa dipahami
dan diurai sesuai dengan karakternya. Dimana pengertian yang terkandung di
dalamnya dibatasi oleh makna yang menjadi kandungan kata atau kalimat itu
sendiri, tidak keluar dari batas tersebut.
Berbeda
dengan itu, Hermeneutika sebagai metode untuk mencari nilai kebenaran Bibel,[4] memperlakukan teks secara
sama. Tidak ada teks yang perlu diistimewakan, baik itu kitab suci (Bible)
ataupun teks karya manusia biasa. Di sinilah teks dibebaskan dari dogma
(desakralisasi teks).[5] Bahkan yang cukup
fantastik, disebutkan bahwa Friedrich Schleiermacher[6] menyatakan bahwa di antara
tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks sebaik atau lebih baik
daripada pengarangnya sendiri.[7] Bahkan, teriakan lebih
keras datang dari Wilhem Dilthey, menurutnya, pengarang tidak mempunyai
otoritas atas makna teks, namun sejarahlah yang menentukan maknanya.[8] Sebagai wahyu Allah swt,
bagaimana mungkin seorang Muslim akan berfikir seperti itu terhadap al-Qur'an. Yang
berarti juga, tidak ada ruang untuk hermeneutika dalam studi al-Qur'an.
Sebenarnya,
pandangan-pandangan yang demikian ini muncul di kalangan para teolog Kristen
karena kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang dianggap suci itu belakangan
diragukan keasliannya. Dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru
(Gospels) ternyata didapati campur tangan manusia jauh lebih banyak
ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa
as.[9] Tentu, pandangan yang
demikian ini tidak bisa diterapkan kepada al-Qur'an, yang
mana lafadz-lafadz harfiah al-Qur'an tidak bermasalah. Jika Hermeneutika
diterapkan pada al-Qur'an, maka ia akan mengharuskan penolakan terhadap status
al-Qur'an sebagai kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, yang pada
berujung pada gugatan terhadap kemutawatiran Mushaf Ustmani.
[1] Tidak hanya dalam
masalah penafsiran, semua aktifitas umat Islam, terutama yang berkaitan
langsung dengan teks, sangat mencerminkan pengakuan dan keyakinan bahwa secara
harfiah al-Qur'an itu kalamullah. Di antaranya, mereka tidak mengatakan
hasil terjemahan dan alihbahasanya sebagai al-Qur'an; membaca al-Qur'an secara
harfiah adalah ibadah dan mendapat pahala dari Allah swt; dan membacanya secara
harfiah dalam shalat merupakan syarat.
[2] Cermati QS.
Al-Nisa: 82 dan al-Qashas: 49-50. Hal ini terus terjaga, sebab al-Qur'an
dinukil secara mutawatir; berdasarkan riwayat lewat tulisan (al-khitabah)
dan oral (al-musyafahah) dalam setiap zaman, yang tentu terjadi sejak
diturunkan oleh al-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam Qalbu Nabi Muhammad saw hingga
sekarang. Lihat Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, jilid. 1,
(Suriah: Dar al-Fikr, cet. 1, 1406 H/1986 M), p. 424. Yang demikian ini
kemudian menjadikan al-Qur'an terjaga dari qira'at syadzdzah (qira'ah
aneh). Eksplorasi lebih luas tentang qira'ah syadzdzah ini bisa
dibaca dalam Dr. al-Sayyid Rizq al-Tawil, Fi 'Ulum al-Qira'at: Madkhal wa
Dirasah wa Tahqiq, (al-Ma'abidah-Makkah al-Mukarramah: al-Maktabah
al-Fayhaliyyah, cet. I, 14505 H/1985 M), p. 57-66. Salah satu buktinya adalah
sisi balaghah al-Qur'an yang melampaui kemampuan manusia. Karena itu,
tidak ada satu orang pun yang sanggup membuat al-Qur'an, hatta satu
ayat. Dari sini kemudian, mengapa al-Qur'an itu menjadi hujjah yang
mengikat (hujjah mulzimah). Sehingga, setiap mukallaf wajib
mengikuti hukum-hukumnya. Lihat Wahbah al-Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, p.
421-422. Bukti lain, telaah serius terhadap al-Qur'an akan membuktikan bahwa ia
secara keseluruhan tersusun dari bahasa Arab. Artinya, al-Qur'an itu tidak
'sama sekali' tercampuri oleh bahasa non-arab ('ajam). Dialog panjang
mengenai ini bisa dilihat dalam Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H), al-Muhadzdzab
fima Waqa'a fi al-Qur'an min al-Mu'arrab, Tahqiq: Dr. al-Tahami al-Raji
al-Hasyimi, (Maroko dan Uni Emirat Arab: al-Lajnah al-Musytarakah li Nasyr
al-Turats al-Islami, t.t.p.). Buku ini dicetak di Maroko oleh Mahba'ah Fadalah;
lihat juga Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi'i, al-Risalah, Tahqiq dan
Ekspalanasi: Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah,
1358 H/1939 M), p. 42-53; Imam Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali (505
H/1111 M), al-Mustasfa min 'Ilm al-Ushul. Studi dan Tahqiq: Dr. Hamzah
ibn Zuhayr Hafiz, jil.II, (al-Madinah al-Munawwarah: al-Jami'ah al-Islamiyah,
1413 H), p. 27-28; lihat juga Badr al-Din Muhammad ibn Bahadur ibn 'Abd Allah
al-Zarkasyi al-Syafi'i (w. 745-794), al-Bahr al-Muhit fi Ushul al-Fiqh. Editor:
Syeikh 'Abd al-Qadir 'Abd Allah al-'Afi, jil. I, (Kuwait: Wazarah al-Awqaf wa
al-Syu'un al-Islamiyyah, cet. II, 1413 H/1992 M), p. 444-445; lihat juga
Zuhayli, Ushul al-Fiqh al-Islami, p. 422; dan al-Zuhayli, al-Wajiz fi Ushul
al-Fiqh, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr al-Mu'asir/Suriah-Damascus: Dar
al-Fikr, cet. I, 1994), p. 24-25.
[3] Lihat
al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, p. 33-34.
[4] Teolog Yahudi dan
Kristen memerlukan Hermeneutika untuk memahami teks-teks bible, mencari nilai
kebenaran Bible. Dalam Encyclopaedia Britannica disebutkan: For both Jews
and Christians throughout their histories, the primary purpose of hermeneutics,
and of the exegetical methods employed in interpretation, has been to discover
the truths and values of the Bible. Lihat Encyclopaedia Britannica, edisi
ke 15, (1995), 5: 874, Ib.
[5] Lihat Johann
Salomo Semler, Vorbereitung Zur Theologischen Hermeneutik, zu weiterer
Beforderung des Fleisses angehender Gottesgelerten; Johann August Ernesti, Institutio
Interpretis Novi Testamenti; Manfred Frank, Das Individuelle
Allegemeine: Textstrukturierung und-interpretation nach Schleiermacher
dalam Syamsuddin Arif, Apa Itu Hermeneutika?, p. 2-3. Yang pertama kali
memperluas ranah Hermeneutika dari sebagai teknik interpretasi kitab suci
menjadi 'hermeneutika umum' yang mengkaji prasyarat atau kondisi-kondisi apa
saja yang memungkinkan terwujudnya suatu pemahaman atau penafsiran yang benar
terhadap sebuah teks adalah Friedrich Schleiermacher. Baca Friedrich
Schleiermacher dalam Syamsuddin Arif, ibid. p. 2.
[6] Seorang filosof
berkebangsaan Jerman sekaligus pendiri Teologi Protestant Modern.
[7] Lihat Friedrich D.
E. Schleirmarcher, "The Hermeneutics: Outline of the 1819 Lectures",
dalam buku Gayle L. Ormiston dan Alan D. Schrift, Hermeneutics Tradition:
From Ast to Ricour (New York: Sunny, 1990), p. 93; Baca juga E, Sumaryono, Hermeneutika:
Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), p. 41.
[8] Lihat Ilham B.
Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur'an Menurut Hassan
Hanafi, p. 36.
[9] Lihat misalnya
dalam dua buku David Norton, A History of the Bible as Literature, 2
jilid, (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), dan A Textual History
of the King James Bible, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005).
Ditemukan, ada banyak pengarang Bible, dimana masing-masing Bible yang
dihasilkan memiliki gaya dan kosakata yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, para
Teolog Kristen hampir sepakat bahwa secara harfiah, Bible itu bukan Kalam
Tuhan. Di sanalah arti penting Hermeneutika bagi mereka guna memahami Kalam
Tuhan yang sesungguhnya. Sedangkan mereka yang dengan kenyataan tersebut tetap
menganggap 'harfiah' Bible itu sebagai kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan
dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Lihat Encyclopaedia Britannica, edisi
ke 15 (1995), 5: 874, Ib. Encyclopaedia Britannica memasukkan mereka yang
percaya (berpegang teguh) pada harfiah Bible itu ke dalam kelompok 'literal
hermeneutics.' Dari kelompok yang berpandangan demikian inilah kemudian lahir
golongan 'Fundamentalis Kristen.' Kondisi Kristen Barat yang demikian itu
kemudian menjadi 'acuan' masyarakat Barat dalam melabel masyarakat
tertentu di dunia Islam sebagai golongan fundamentalis.