Quran Flash |
Wahyu, sebagai realitas bangunan konsep yang membawa
pandangan hidup baru, penjelasan dan penafsirannya meniscayakan satu kemampuan
khusus berupa penguasaan beberapa ilmu perangkat atau ilmu alat.[1]
Dalam keadaan berilmu itulah seorang mufassir akan mampu melihat, memahami,
menafsirkan dan menunjukkan bahwa ia (al-Qur'an) itu memiliki konsep-konsep
yang bersifat universal, permanen (tsawabit) dan dinamis (mitaghayyirat),
pasti (muhkam) dan samar-samar (mutasyabihah), yang asasi (ushul)
dan yang tidak (furu'). Kemampuan ini akan menghindarkan mufassir pada pendekatan
dan pemahaman al-Qur'an yang sifatnya dikhotomis; historis-normatif,
tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif dan lain-lain.
Berkaitan dengan
prasyarat akidah yang benar (salim), maka otomatis penguasaan terhadap
ilmu tauhid (ushul al-Din) adalah satu keharusan. Apalagi, Akidah Islam (Islamic
worldview) menjadi 'muara' semua bangunan konsep dalam al-Qur'an. Sehingga,
hanya mufassir yang memiliki akidah yang benar yang dapat memahami dan
menafsirkan al-Qur'an secara tepat dan mendalam, guna menemukan dan mengeksplorasi
'pemahaman baru' yang terdapat di dalamnya, baik itu yang berkaitan dengan
alam, kehidupan dan manusia itu sendiri.
Selain itu, hal mendasar
lain yang sangat dibutuhkan dalam upaya memahami dan menafsirkan al-Qur'an adalah
penguasaan terhadap ilmu pengetahuan linguistik Bahasa Arab; lexicografi,
tatabahasa, retorika, konjugasi, pengetahuan variasi
bacaan al-Qur'an, pengetahuan hukum, pengetahuan tentang kondisi ketika wahyu
diturunkan (asbabu al-nuzul), dan pengetahuan tentang ayat-ayat nasikh
mansukh.[2]
Selanjutnya, karena sumber Epistemologi Tafsir adalah wahyu al-Qur'an,
maka ia akan senantiasa terikat dengan apa yang telah disampaikan, diterangkan
dan dijelaskan oleh Rasulullah saw.[3]
Makanya, seorang mufassir harus juga menguasai 'pengetahuan tentang hadith dan
sunnah.'[4]
Penetapan lebih terperinci tentang prasyarat ini disampaikan oleh al-Suyuti,
yaitu 15 bidang ilmu yang menjadi asas penafsiran al-Qur'an: ilmu bahasa Arab,
Nahwu, Sharaf, Isytiqaq, ilmu al-Ma'ani, ilmu al-Bayan,
ilmu al-Badi', ilmu Qira'at, Ushuluddin, Ushul Fiqh, Asbab
al-Nuzul, al-Nasikh wa al-Mansukh, Fikih, ilmu Hadith, dan ilmu Mawhibab.[5]
Menafsirkan
al-Qur'an dengan memperhatikan syarat-syarat di atas adalah satu sikap adil.
Adil karena mendasarkan kajian (penafsiran) pada ilmu pengetahuan. Sehingga dapat memperlakukan al-Qur'an secara
proporsional dan meletakkannya pada tempat yang seharusnya, agar diperoleh pemahaman
dan tafsiran yang benar.[6]
Sebaliknya, penafsiran yang dilakukan tidak atas dasar ilmu pengetahuan yang memadai,
maka ia hanya akan menjadi sebuah penafsiran yang bersumber dari pendapat
pribadinya (bi al-ra'yihi faqat). Yang demikian ini adalah satu kejahilan
dalam penafsiran. Tentu, hasilnya hanya berupa terkaan
dan kepentingan-kepentingan pribadi serta kepentingan kelompok tertentu. Rasulullah
saw dengan tegas melarang penafsiran al-Qur'an berdasarkan rasio semata, tanpa
pengetahuan tentang bahasa al-Qur'an dan ketentuan-ketentuan syara' yang
terdapat di dalamnya. Baginda Nabi saw bersabda: "Barangsiapa berbicara
tentang al-Qur'an sesuai dengan pendapat pribadinya (bi al-ra'yi),
dipersilahkan untuk mengambil tempat duduknya di neraka."[7] Dalam riwayat Jundub, Nabi
saw juga bersabda, "Barangsiapa berbicara menurut pendapat pribadinya
tentang al-Qur'an dan ia benar adalah (tetap) salah."[8] Sebaliknya, orang yang
mengetahui bahasa al-Qur'an dan ketentuan-ketentuan syara' yang terdapat
di dalamnya tidak termasuk dalam larangan Hadits tersebut.[9]
Dalam keadaan
tidak memiliki ilmu yang memadai, seseorang yang mencoba untuk menafsirkan
al-Qur'an sangat mungkin tidak menjadikan teks dengan beragam aspeknya tersebut
sebagai 'pintu masuk' pemahaman dan penafsiran, tapi malah beralih pada hal-hal
yang ada di luar teks, seperti kondisi sosial, sejarah atau lainnya. Jika demikian
adanya, yang terjadi adalah liberalisasi penafsiran al-Qur'an, yang dasarnya
adalah kejahilan. Tentu, ini satu kedzaliman. Sebab, bagaimana mungkin
seseorang akan melakukan penafsiran terhadap sesuatu yang tidak ia ketahui
dengan baik. Untuk itu, setiap Muslim, terutama penafsir al-Qur'an hendaknya
menghindarinya.
Uraian tersebut menunjukkan
bahwa, persyaratan yang ketat dalam proses menafsirkan al-Qur'an itu bukanlah
satu perbuatan yang mengada-ada, apalagi dituduh untuk menjauhkan al-Qur'an
dari orang-orang Islam awam, namun sebaliknya, hal itu merupakan suatu sikap
adil terhadapnya. Dalam Tafsir al-Qur'an, langkah tersebut menjadi satu
mekanisme efektif dalam meminimalisir masuknya kesalahan dalam panafsiran itu
sendiri. Justru jika tidak demikian, atau dilakukan tanpa mekanisme yang jelas,
maka sesungguhnya perbuatan tersebut telah secara sistematis menjauhkan ummat
ini dari al-Qur'an dalam artian yang sesungghnya.
Hingga hari ini,
hampir seluruh karya ulama Islam masih menjadi pegangan umat Islam, bahkan
terus mampu dipertahankan di tengah hiruk-pikuk perkembangan sains dan
teknologi. Begitulah penafsiran yang benar akan melahirkan karya-karya tafsir
yang bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, perbedaan yang ada tidak hanya pada
rentang 'ruang dan waktu' yang cukup menganga, tapi juga meliputi kondisi
sosial-politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Tentu, ini menjadi satu
bukti real akan keotoritatifan ilmu tafsir dan karya tafsir yang
dihasilkan. Yang demikian ini telah terkodifikasikan[10]
dengan baik serta dapat diperoleh dengan mudah, sehingga perubahan-perubahan
secara fundamental terhadap ilmu tafsir menjadi tidak relevan. Untuk itu, bekal
ilmu mufassir yang memadai dapat menghindarkan mereka dari sikap ceroboh
mengikuti perubahan-perubahan sosio-historis tanpa batas, meskipun
rujukan-rujukan historis tetap dipertimbangkan. Fakta empiris menunjukkan bahwa
para mufassir yang terkemuka sepanjang masa tetap memiliki
kesepakatan-kesepakatan.[11]
Di samping itu,
Muslim yang terdidik secara Islami akan senantiasa dapat bersikap dengan tepat
ketika menghadapi berbagai macam penafsiran al-Qur'an, apakah bermutu atau
tidak. Sehingga, jika dalam sebuah tafsir misalnya, ada masuk praduga-praduga
tidak jelas dan penafsiran-penafsiran subyektif, maka dengan sendirinya dan
memang demikian kenyataannya, ia bukanlah tafsir. Mekanisme tafsir seperti ini
telah meretas ruang dan waktu, melewati batasan-batasan sosio-kultural dan
sekat-sekat lain yang berkembang seiring gerakan manusia.[12]
Namun demikian,
hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses penafsiran ini tidak lantas
menghambat kita untuk memberi tambahan pengertian yang lebih luas terhadap tafsir
otoritatif yang telah ada, terutama sekali mengenai aspek-aspek ilmu alam (natural sciences). Bahkan, pengetahuan tentang
masalah kealaman (sciences) ini dilihat sebagai sesuatu yang sangat penting.
Hal itu dengan baik telah dijelaskan al-Ghazali. Menurut beliau, dalam
aspek-aspek teknis/saintifik itu, orang-orang yang terlatih dalam suatu bidang
tertentu mungkin lebih baik dalam memahami keterkaitan antara satu ayat dengan
ayat lainnya dibandingkan dengan mereka yang hidup pada zaman Nabi saw. Dalam
kitab Jawahir al-Qur'an, al-Ghazali kembali menegaskan pandangannya itu.
Kejelasan kandungan al-Qur'an hanya mungkin dicapai oleh orang-orang yang telah
menguasai ilmu-ilmu yang telah dihasilkan daripadanya, ungkapnya. Misalnya,
arti yang sebenarnya dari pergantian siang dan malam,[13]
maksud dari gerak matahari dan bulan,[14]
hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh orang yang telah menguasai ilmu astronomi.
Di sinilah akan semakin jelas kesesuaian pengertian antara firman Tuhan dalam
wahyu dan karya Tuhan dalam ciptaan-Nya.[15]
Dalam kajian tentang alam, metode tafsir termasuk takwil adalah metode
pendekatan yang valid bagi ilmu pengetahuan dan metodologi ilmiah. Dimana
keduanya (al-Qur'an dan Alam) merupakan kitab yang terbuka. Karena itu,
kata-katanya harus diterjemahkan dengan mengaplikasikan simbol-simbol
linguistik dalam bahasa Arab dalam konteks Islam secara benar.[16]
Hanya saja, bagaimanapun perkembangannya, generasi mendatang tidak boleh serta-merta
mengesampingkan penjelasan-penjelasan spiritual, etik dan hukum serta hubungan
latar belakang historisnya. Mereka harus tetap mengikuti metode yang benar
seperti yang telah dijelaskan.
Secara sederhana,
ilmu-ilmu penopang tafsir al-Qur'an di atas dapat kita klasifikasikan menjadi: pertama,
ilmu Ushul al-Din (ilmu tauhid); kedua, pengetahuan mengenai al-Hadith;
ketiga, Ilmu bahasa Arab, di antaranya mengenai makna asli sebuah kata,
seluk-beluk kata yang mutaradhif (sinonim), yang mushtarak (perbedaan
makna sesuai konteks penggunaannya dalam berbagai ayat), ilmu al-bayan,
nahwu, sarf, dan lain sebagainya; Keempat, ulum al-Qur'an, seperti:
pengetahuan tentang ayat-ayat yang Makkiyah dan Madaniyyah, asbab al-nuzul,
yang muhkam dan mutashabih, serta ilmu qira'at; Kelima,
ilmu ushul fiqh, berkaitan dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar ilmu fikih;
keenam, ilmu-ilmu lainnya, seperti fisika, kedokteran, sains, logika,
psikologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Ilmu-ilmu ini berperan dalam memahami
berbagai isyarat wahyu yang berkaitan dengan ayat-ayat kauniyah.
Melihat
Ilmu Tafsir yang begitu matang itu, tepat kiranya apa yang disampaikan oleh al-Attas
bahwa dalam Tafsir al-Qur'an tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang
gegabah, atau ruang bagi interpretasi-interpretasi yang berdasarkan pada
penafsiran atau pemahaman yang subyektif atau yang berdasarkan hanya pada ide
tentang relativisme historis, dimana seakan-akan telah terjadi perubahan semantik
dalam sturktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk
kosa-kata kitab suci ini.[17] Artinya, penafsiran yang
benar itu dilakukan berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan tentang
'bidang-bidang' makna seperti yang disusun dalam bahasa Arab, diatur dan
diaplikasikan di dalam al-Qur'an serta tercermin dalam Hadith dan Sunnah.[18]
Tidak
demikian halnya dengan Hermeneutika, yang meniscayakan pelakunya untuk berpaham
Relativisme Epistemologis. Maksudnya, tidak ada tafsir yang mutlak benar,
semuanya relatif. Benar menurut seseorang belum tentu benar menurut orang lain.
Sebab dalam hermeneutika, kebenaran terikat dan bergantung pada zaman dan
tempat tertentu. Akibatnya, mereka itu senantiasa meragukan kebenaran dari
manapun datangnya. Mereka terperangkap dalam apa yang disebut sebagai
'lingkaran hermeneutis', dimana makna senantiasa berubah dan berkembang liar
sesuai perkembangan dan kemauan manusia.[19] Sebenarnya, hermeneutika
yang seperti ini bersumber dari masalah yang dialami Bible, yang telah
mengalami perubahan bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin).
Selain itu, Bible juga mengalami banyak perubahan dan kesalahan redaksi.
Sebaliknya, al-Qur'an sangat jelas keshahihan proses transmisinya dari
zaman ke zaman.[20]
Prinsip
hermeneutika itu jelas bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic
weltanschatuung). Makanya, Paham Relativisme tidak mempunyai tempat dalam
Islam. Aqidah al-Nasafi misalnya, pada paragraph pertamanya menyebutkan,
haqa'iq al-asya' thabitatun wa al-'ilmu biha utahaqqiqun, khilafan li
al-sufasta'iyyah [semua hakikat segala perkara itu tetap (tsabit)
adanya, dan pengetahuan akan dia (adalah yang) sebenarnya, bertolakbelakang
dengan pendapat kaum sufasta'iyyah].[21]
[1] Rasulullah saw telah
mengungkapkan akan luas dan dalamnya wahyu Allah swt itu, beliau bersabda: "al-Qur'an
adalah mudah, mengandung banyak segi (arti), maka hendaklah kalian membwanya
(menafsirkannya) menurut seginya yang terbaik (HR. Abu Nu'aim dengan sanad da'if).
Tentu, Hadith ini menegaskan kepada kita bahwa, yang dapat membawa
(menafsirkan) al-Qur'an menurut seginya yang terbaik hanya bisa dilakukan oleh
mereka yang berilmu luas, khususnya menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
penafsiran al-Qur'an, sebagaimana yang telah banyak ditetapkan oleh para ulama
kita. Tidak malah menafsirkan al-Qur'an menurut keinginan orang yang
manfsirkannya (syahwat duniawi penafsir). Sebab hakikatnya, mufassir yang
ilmunya memadai akan dapat menemukan bahwa, segi-segi makna suatu lafadz
atau kalimat dibatasi oleh makna yang terkandung di dalam kata atau kalimat itu
sendiri.
[2] Lihat Jalal al-Din
al-Suyuti, Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, p. 383. Kajian terbaru
tentang masalah ini bisa dilihat dalam M. H. Kamali, Principles of Islamic
Jurisprudence, edisi revisi, (Oxford: Clarendon Press, 1991), bab 4 dan 5.
Mengenai prasyarat penguasaan ilmu bahasa ini, Mujahid berkata: "Tidak
dihalalkan bagi bagi seorang yang beriman kepada Allah swt dan hari Akhir,
berbicara tentang kandungan Kitabullah dengan tanpa penguasaan ragam
bahasa orang Arab. Lihat Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan,
vol. II, p. 81. Sementara itu, mengenai asbabu al-nuzul, pengetahuan
dan perhatian sahabat Nabi saw begitu besar. 'Abdullah ibn Mas'ud misalnya
mengatakan, Demi Tuhan yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada ayat dari
Kitab Allah yang diturunkan melainkan aku lebih mengetahui kepada siapa
diturunkan dan dimana diturunkan. Seandainya aku tahu seseorang yang lebih
mengetahui daripadaku tentang cara-cara yang diterimanya Kitab Allah, niscaya
aku mendatanginya. Lihat dalam Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azim, p.
3.
[3] Cermati QS.
Al-Nahl: 44 dan 64, dan juga al-Nisa: 105.
[4]Lihat analisa
lebih lanjut tentang ini di R Marston Speight, The Function of Hadith as
Commentary on the Qur'an," dalam A. Rippin, ed., Approaches to the
History of the Interpretation of the Qur'an (Oxford: Clarendon: Press,
1988), selanjutnya disingkat Approaches, p. 63-81.
[5] Jalal al-Din
al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, p. 4/185.
[6] Imam al-Maturidi mendifinisikan al-'Adl
dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Lihat dalam Kitab at-Tauhid, Tahqiq
oleh D. Fathullah Halif, (Bairut: Dar al-Masyriq, 1970). P. 125; Lihat juga
dalam Abu al-Futuh Muhammad 'Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,
(PDF: www.al-mostafa.com). Bandingkan dengan penjelasan Ibn
al-Qayyim al-Jauzi dalam Syifa al-'alil, (Mesir: al-Hasiniyah, 1323 H).
p. 179.
[7] HR. Abu Daud,
Tirmidhi dan Nasa'i.
[8] Lihat Abu Ja'far
Ibn Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, p. 34-35.
[9] Lihat
Ibu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir, (Beirut: Dar Ibnu Hazm,
1997), cet. II, p. 20-21. Tafsir yang demikian ini dikenal dengan Tafsir bi
al-Ra'yi. Penulis membahas lebih lanjut masalah tafsir ini dalam sub bab
'ragam tafsir,' khususnya yang membahas masalah Tafsir bi al-Ra'yi.
[10] Walaupun
pada mulanya berkembang secara lisan, tapi kodifikasi ilmu tafsir telah dimulai sejak dini. Dalam
kitab Thabaqat Ibnu Sa'd (5/216) disinyalir, sejarawan Musa bin Uqbah
dititipi oleh Kurayb bin Muslim (w. 97 H) 'sepikulan' onta karangan gurunya, Tarjuman
al-Qur'an, Ibnu Abbas (w. 68 H). Disebutkan, Ali bin Abdullah bin Abbas (w.
118 H) berkali-kali berkirim surat kepada Musa bin 'Uqbah untuk mendapatkan
kumpulan karya ayahnya guna ditulis ulang. Fuat Sezgin, pakar bibliografi
turats Islam, mengomentari, "tidak ada yang menghalangi untuk mengatakan
Ibnu Abbas telah menulis sendiri karya tafsirnya yang sekarang banyak
berserakan dalam bentuk kutipan di buku-buku tafsir." Lihat Muchlis
Hanafi, Dosen Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Qur'an di Sekolah-sekolah Pascasarjana
UIN Syahid, Institute Ilmu al-Qur'an (IIQ), Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an
(PTIQ), SERTA Manajer Program Pusat Studi al-Qur'an (PSQ) Jakarta, dalam Sejarah
Tafsir Klasik dan Modern, Makalah disampaikan pada acara Reorientasi
Pengajar Tafsir pada Madrasah dan Pondok Pesantren di Wilayah Jawa Tengah,
Yogyakarta dan Jawa Timur, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Al-Qur'an
(PSQ) Jakarta bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Surakarta, di Asrama Haji Donohudan, 13-14 Juli 2007. p. 1.
[11] Dalam
masalah penyaliban Nabi Isa as. misalnya, tidak ada seorang mufassir pun, dari
dulu sampai sekarang yang berpendapat bahwa Nabi Isa as. mati di tiang salib,
sebagaimana yang diyakini dalam Agama Kristen hari ini. Begitu juga dalam
masalah-masalah lainnya, para mufassir Muslim yang kredibel bersepakat dalam
berbagai perkara, seperti: bahwa Allah swt itu Maha Esa, surga, neraka, hari
Kiamat itu ada dan pasti.
[12] Lihat
Wan Daud, Op.Cit., p. 59-60 dan 68.
[13] Lihat
QS. Al-Fajr: 4.
[14] Lihat
QS. Al-Rahman: 5.
[15] Lihat
Muhammad Abul Quasem, The Jewels of the Qur'an: al-Ghazali's Theory,
(Bangi: University Kebangsaan Malaysia, 1777), p. 46-47. Sebenarnya,
kecenderungan menafsirkan al-Qur'an dengan terori-teori ilmu pengetahuan telah
lama dikenal. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa
pemerintahan Khalifah al-Ma'mun (w. 853 M) sebagai akibat penerjemahan
kitab-kitab ilmiah. Kecenderungan ini muncul sebagai upaya kompromi dalam
polemik hubungan antara al-Qur'an dan ilmu pengetahuan. Karya al-Ghazali, Jawahir
al-Qur'an seringkali dikutip dalam membela keabsahan Tafsir Ilmiah. Baca
dalam Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 6. Bahkan
secara lebih mendalam, melalului karyanya Kitab al-Hayawan, Abu 'Uthman
Amr b. Bahr al-Basri (w. 868/869 M) atau popular dengan sebuta al-Jahiz,
seorang ahli bahasa terkenal dan seorang teolog Mu'tazilah, menekankan bahwa
kajian mendalam tentang Alam akan mengantarkan kita pada pembuktian akan Wujud-Nya.
Baca al-Jahiz dalam Wan Daud, Op.Cit, p. 67. Senada dengan al-Ghazali,
Muchlis M. Hanafi juga mengatakan bahwa prasyarat keilmuan seorang mufassir
tidak terbatas pada 15 macam sebagaimana yang disampaikan oleh al-Suyuti di atas,
namun juga mencaklup ilmu-ilu lain yang berkembang kemudian, dan dapat membantu
proses penafsiran (terutama di masa kini), seperti sosiologi, antropologi,
psikologi, kedokteran, dan lain-lain. Baca dalam Muchlis Hanafi, Menggagas
Tafsir Kolektif Tematis, (Makalah Disampaikan dalam Musyawarah Kerja Ulama
al-Qur'an se-Kalimantan dan Sulawesi di Gorontalo, 21-23 Mei 2007). p. 4.
[16] Lihat al-Attas, The
Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of
Education. An Address to the Second World Conference on Muslim Education, Islamabad,
Pakistan, 1980. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia (ABIM), 1080;
Cet. II oleh International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), 1991. Selanjutnya
disingkat CEII, p. 7. Lihat juga dalam bukunya yang lain, Comments
on the Re-Examination of al-Raniri's Hujjat al-Siddiq: A Refutation, (Kuala
Lumpur: Muzium Negara, 1975). p. 121.
[17] Al-Attas, CEII, p. 4.
[18] Baca Prof. Dr. Wan
Moh Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta'wil sebagai Metode Ilmiah, ISLAMIA, p.
58.
[19] Lihat Jurgen
Bolten dalam Dr. Syamsuddin Arif, Apa Itu
Hermeneutika? , p. 4.
[20] Lebih lanjut, baca
Prof. Muhammad Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur'an: Dari Wahyu sampai
Kompilasi (Jakarta: Gema Insani Press, 2005).
[21] Lihat al-Attas, The
Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of
the Aqa'id of al-Nasafi (Kuala Lumpur: Departmen of Publicatrions
University of Malaya, 1988), p. 101.