al-Qur'an, copied from quran flash |
Sejak kodifikasi yang dilakukan oleh Ibnu
Abbas (w. 68 H),[1]
aktifitas intelektual Ulama Islam, khususnya dalam masalah penafsiran
al-Qur'an, terus mengarah kepada pematangan kodifikasi ilmu tafsir sehingga
menjadi satu disiplin ilmu yang sangat matang seperti sekarang ini. Namun yang
perlu ditegaskan, di abad pertama sampai abad ketiga Hijriah, berbagai buku
tafsir yang ada belum satupun yang memuat tafsir
al-Qur'an secara menyeluruh.
Sementara itu, ragam pendekatan
ulama-ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an sejak masa sahabat Nabi Muhammad
saw bisa kita telusuri. Dalam hal ini, pendekatan
Linguistik (bahasa) dilihat sebagai yang terlama.
Pendekatan ini terbagi
dalam tiga kategori,[2]
yaitu: pertama, pendekatan 'kosa kata bahasa'. Penafsiran dengan
pendekatan ini dilihat sangat penting, sebab sebagai bahasa wahyu, tidak semua
orang Arab, hatta para sahabat Nabi sekalipun yang memahami seluruh arti
kata dalam al-Qur'an. Ibnu Abbas misalnya, baru megetahui kata fatir setelah
beliau mendengar salah seorang dari dua orang arab Baduwi yang bertikai
mengenai sumur. Salah seorang dari mereka berkata, ana fatartuha, yang
bermakna ibtada'tuha (saya yang membuatnya, memulainya).[3] Karena
itu, dalam penafsirannya, Ibnu Abbas tidak senantiasa melalui periwayatan dari
Nabi saw dan para sahabat (tafsir bi al-Ma'tsur), namun beliau melakukan
terobosan baru, yaitu melalui pendekatan 'kosa kata bahasa'.[4] Tafsir
dengan pendekatan ini semakin berkembang di tangan para murid Ibnu Abbas,
seperti Said bin Jubair (95 H), Mujahid, Ikrimah, al-Dhahhak (w. 105 H) dan
Atha' bin Rabah (w. 114 H). Dimana karya-karya tersebut, selain memuat hal-hal
metafisik dan hikayat masa lalu, lebih terfokus pada kajian kosa kata
al-Qur'an. Hal ini menjadi pijakan bagi lahirnya banyak literatur tentang 'kosa
kata' al-Qur'an (gharib al-Qur'an) pada abad ke-2 dan 3 Hijriah, seperti
terlihat pada karya Abban bin Tighlib (w. 141 H) dan Zaid bin Ali,[5] Muhammad
ibn al-Saib al-Kalbi al-Kufi (w. 146 H), 'Ali ibn Hamzah al-Kasa'i (w. 182 H), Abu
'Ubaydah al-Qasim ibn Salam (w. 223 H), Abu Muhammad 'Abdullah ibn Muslim ibn
Qutaybah (w. 276 H), dsb.[6]
Kedua, pendekatan ilmu
nahwu dan kaedah I'rab. Dalam pendekatan ini, penafsiran al-Qur'an
cenderung didekati dari sisi gramatikanya. Kesalahan gramatika bahasa al-Qur'an
tentu berakibat pada kesalahan penafsirannya juga. Ini fatal. Penafsiran dengan
pendekatan ini telah dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Du'aly (w. 69 H), Nashr bin
Ashim (w. 89 H), Yahya bin Ya'mar (w. 129 H), Isa bin Umar al-Tsaqafiy (w. 149
H) dan Abu Amr bin al-'Ila (w. 145 H). Namun demikian, karya-karyat tafsir yang
muncul sejak masa awal sampai pada paruh pertama abad ke-2 Hijriah hilang dan
tidak sampai kepada kita, kecuali dalam bentuk kutipan di buku-buku ulama yang
muncul belakangan.[7] Kitab
tafsir tertua dan termasyhur yang sampai pada kita hari ini dengan pendekatan
tersebut di antaranya kitab Ma'ani al-Qur'an, karya Ulama nahwu, Abu
Zakariya Yahya ibn Ziyad al-Farra' al-Daylami (w. 207 H), Kitab al-Tibyan fi
I'rab al-Qur'an al-Majid, karya Abu al-Baqa' al-'Akbari (w. 616 H).[8] Dan
yang Ketiga, pendekatan ilmu al-Balaghah dan al-Bayan. Dalam
pendekatan ini, penafsiran difokuskan pada keindahan bahasa dan sastera Arab. Ada
dua sisi di dalamnya, yaitu sisi kemukjizatan al-Qur'an dan sisi teologi kalam
dan sastera yang ditulis oleh para pakar mutakallimin-balaghi. Di antara karya
tafsir dengan pendekatan ini adalah al-Kashshaf 'an Haqaiq al-Tanzil wa
'Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil oleh Zamakhsari (w. 538 H), dan Fi
Zilal al-Qur'an oleh Sayyid Qutb (w. 1386 H).
Cukup menarik, sejak masa tabi'in,
perkembangan penafsiran al-Quran ini tidak memusat di satu titik. Dimana para
mufassir tersebar di beberapa tempat yang letaknya cukup berjauhan. Tabi'in
Mekkah meriwayatkan dari 'Ibnu Abbas. Mereka itu misalnya, Sa'id ibn Jubayr (m.
95/714), Mujahid ibn Jabr (m. 104/722), 'Ikrimah Maula ibn 'Abbas (25-105 H),
Tawus ibn Kisan al-Yamani dan 'Ata' ibn Abi Ribah (m. 114/732). Sementara tabi'in
Madinah meriwayatkan dari Ubay ibn Ka'ab. Di antara para mufassir yang ada
adalah Zayd ibn Aslam, Abu al-'aliyah dan Mulammad ibn Ka'ab al-Qurazi. Jumlah
Tabi'in Iraq yang mufassir juga cukup banyak, seperti 'Ilqimah ibn Qays,
Masruq, al-Aswad ibn Yazid, Murah al-Hamzani, 'Air al-Syabi, al-Hasan al-Basri,
dan Qatadah ibn Di'amah al-Suddusi, meriwayatkan dari 'Abdullah ibn Mas'udi.[9]
Kitab-kitab tafsir ini tidak ada yang sampai ke tangan kita. Karya tafsir
paling tua yang sampai ke tangan kita sekarang dan ditulis oleh pengarangnya
langsung adalah al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Qur'an al-Karim karya
Muqatil ibn Sulayman al-Balkhiy (w. 150/763), seorang tabi' al-tabi'in.[10]
Selanjutnya, penafsiran al-Qur'an secara
utuh[11]
baru bermula pada abad ke-4 Hijriah, yang dipelopori oleh Ibnu Jarir al-Tabari
(w. 310/922), dengan karyanya Jami' al-Bayan 'an ta'wil al-Qur'an.
Selain memuat tafsir secara utuh, karya tersebut juga dilengkapi dengan sanad
periwayatannya. Beliau mengumpulkan berbagai Hadith, pernyataan para sahabat
dan tabi'in yang ada kaitannya dengan al-Qur'an. Tafsir dengan pendekatan
demikian dikenal dengan Tafsir bi al-Ma'tsur.[12] Tentu
dengan cara yang demikian ini, beliau dapat menafsirkan
al-Qur'an dengan sangat hati-hati dan tetap bersandarkan kepada penafsrian yang
otoritatif. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya tersebut sebagai puncak karya Tafsir bi al-Ma'tsur,
meskipun di dalamnya juga banyak memuat pandangan ahli bahasa. [13]
Selain itu, Tren Tafsir yang
cukup banyak dilakukan oleh para Mufassir adalah Tafsir bi al-Ra'yi. Menurut
Syeikh 'Abdurrahman al-Baghdadi, penafsiran ini dikenal juga dengan al-tafsir
al-ijtihadi.[14]
Tafsir ini dibolehkan selama dilakukan melalui pemahaman kalimat-kalimat
al-Qur'an dalam batas-batas makna yang menjadi kandungannya. Jika dilakukan
dengan memperhatikan itu, maka Tafsir menurut ijtihad dikatakan berada di dalam
batas-batas makna bahasa dan syara'. Legalisasi penggunaan ra'yu dalam
menafsirkan al-Qur'an ini adalah firman Allah swt: "Ini adalah sebuah
kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
mempehatikan ayat-ayatnya (dengan penuh tadabbur) dan supaya mendapat pelajaran
oleh orang-orang yang berfikir." (QS. Sad: 29).
Oleh
sebab itu, umumnya, tren penafsiran ini telah ada sejak masa sahabat Rasul saw dan
tabi'in. Mereka menjadikan ijtihad mereka sendiri sebagai sandaran dalam
menafsirkan al-Qur'an. Makanya tidak heran jika kemudian kita melihat tidak
sedikit terjadi perbedaan pendapat mengenai penafsiran suatu ayat di kalangan para
sahabat, bahkan kadang-kadang ini terjadi sampai pada tingkat kata. Perbedaan
itu ada bukan karena masing-masing mereka menggunakan Hadith yang berbeda, tapi
lebih pada adanya perbedaan makna ayat dan kata-katanya. Contoh tafsir yang
seperti itu di antaranya: Tafsir Mujahid, Tafsir Ibnu 'Abbas dll.[15]
Tidak berhenti di tiga 'tren penafsiran' tersebut, masih banyak
ragam pendekatan yang digunakan para mufassir dalam memahami dan menafsirkan
al-Qur'an. Seperti, tafsir al-Kashshaf 'an haqa'iq ghawamid
al-tanzil (karya al-Zamakshari/w. 406 H); Mafatih al-Ghayb (karya
Fakhruddin al-Razi/w. 610 H); tafsir Anwar al-Tanzil wa asrar al-ta'wil (karya
al-Baydawi) adalah karya-karya tafsir yang dihasilkan
melalui pendekatan Teologis.[16]
Selanjutnya, penekanan terhadap aspek hukum dilakukan oleh al-Jassas (w.
370/981) dengan karyanya Ahkam al-Qur'an; Ibnu al-'Arabi (w. 543 H/1148
M) dalam karyanya tafsir Ahkam al-Qur'an; al-Qurtubi (w. 671 H/1272 M)
dengan karyanya tafsir Jami' ahkam al-Qur'an. Penafsiran melalui pendekatan
terhadap isyarat-isyarat al-Qur'an yang berhubungan dengan ilmu tasawuf, lahir
dari tangan Abu Muhammad Sahl ibn 'Abdullah al-Tasturi. Karya beliau disebut
sebagai tafsir al-Tasturi. Dan yang tak kalah menakjubkan, 'Alaudin ibn
Muhammad al-Baghdadi al-Thalabi (w. 741 H) adalah Mufassir yang melahirkan
karya tafsir dengan menitikberatkan kepada penyaringan dan peniadaan
cerita-cerita terdahulu yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.[17]
Sejak
abad ke-20, tepatnya ketika ditetapkan sebagai mata kuliah di fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar pada tahun 70-an, berkembang/mulai popular Tafsir
Tematik (Arab: mawdhu'iy).[18]
Bentuk penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an (tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an)
atau al-Qur'an dengan penjelasan Hadith (tafsir al-Qur'an bi al-Sunnah)
yang telah ada sejak masa Rasulullah saw disinyalir banyak pakar sebagai bentuk
awal Tafsir Tematik ini.[19]
Demikian pula beberapa karya tafsir ulama klasik yang mengelompokkan satu
permasalahan tertentu dalam al-Qur'an dipandang sebagai betnuk awal Tafsir
Tematik, seperti: Ta'wil Musykil al-Qur'an karya Ibnu Qutaibah (w. 276
H), Nuzhat al-Qulub fi Gharib al-Qur'an karya Abu Bakar al-Sijistani (w. 330
H), al-Tibyan fi Aqsam al-Qur'an karya Ibnu al-Qayyim (w. 751 H) dan
lainnya.[20]
Walaupun belum terbentuk pagar-pagar metodologis yang kuat dalam pengembangan
metode ini, namun ia menjanjikan pemunculan sisi kemukjizatan al-Qur'an dan
penyelesaian berbagai persoalan umat dengan cepat.[21]
Karena itu, metode ini terus mendapat dukungan luas di kalangan umat Islam,
tidak terkecuali di Indonesia.[22]
[1] Bisa dikaji lebih
jauh dalam Kitab Tabaqat Ibnu Sa'd (5/215), yang kemudian juga diperkuat
oleh analisis Fuat Sezgin, seorang pakar bibliografi turats Islam. Lihat dalam
Muchlis Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 1.
[2] Lihat Henry
Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, p. 27 dan 28.
[3] Lihat Jalaluddun
al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, p. 113. Contoh lain, Sahabat
Umat bin Khattab dan Abu Bakar yang tidak mengetahui makna kata abda dalam
al-Qur'an Surat 'Abasa: 31. Lihat dalam Tafsir Ibnu Kathir, vol. I, p. 5 dan
Tafsir al-Itqan, ibid. vol. I, p. 113.
[4] Disebutkan bahwa,
Nafi' Ibnu al-Azraq (w. 65 H), pemimpin Khawarij ketika itu, pernah menanyakan
sebanyak 200 kata dalam al-Qur'an yang maknanya tidak ia ketahui kepada Ibnu
Abbas. Ibnu Abbas dengan sangat fasih menjelaskan maknanya satu per satu beserta
argumentasi pendukung dari syair Arab Jahily. Lihat
dalam Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Sejarah
Tafsir Klasik dan Modern, p. 1.
[5]Lihat
dalam Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 2. Namun
demikian, ada di antara tafsir mereka yang dilihat juga melalui pendekatan
logika (tafsir bi al-Ra'yi), seperti Tafsir Ibnu Abbas dan Mujahid.
Lebih lanjut hal ini akan penulis singgung dalam pembahasan tafsir bi
al-ra'yi.
[6] Lihat
Henry Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 28.
[7]Lihat dalam
Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 2
[8] Lihat Henry
Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 28.
[9] Lihat Manna'
al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Riyadh: Manshurat al-'Ashr
al-Hadith, 1973), p. 338-339.
[10] Lihat dalam
Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 2.
[11]Tafsir al-Tabari
ini dikatakan sebagai karya utuh karena pada umumnya karya yang muncul sampai
pada akhir abad ke-4 Hijriah lebih menekankan pada suatu kajian tertentu, seperti
Gharib al-Qur'an dan Musykil al-Qur'an karya Ibnu Qutaybah (w.
276 H), Fadha'il al-Qur'an karya Abi Ubayd al-Qasim bin Salam (w. 224
H), Ma ittafaqa lafzhuhu wa ikhtalafa ma'nahu min al-Qur'an al-Majidi karya
al-Mubarrad (w. 285 H), al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu Ja'far
al-nuhas (w. 338 H), dan juga tidak menafsirkan ayat secara keseluruhan,
seperti terlihat pada karya al-Zajjaj (w. 311 H), Ma'ani al-Qur'an wa
Irabuhu dan Abu al-Laits al-Samarqandy (w. 373 H), Tafsir al-Qur'an.'
[12] Tafsir
Tafsir bi al-Ma'tsur adalah tafsir yang berpijak pada
nas (teks) dan riwayat yang sahih. Ada tiga tingkatan dalam tafsir ini, pertama,
tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an. Seperti dalam firman Allah swt, "Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…" (QS. Al-Maidah: 3),
sebagai penjelasan terhadap firman Allah swt yang lain, yaitu: "Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu"
(QS. Al-Maidah: 1). Kedua, tafsir al-Qur'an dengan Hadith Nabi saw.
Contohnya, penafsiran Baginda Rasul saw terhadap kata "ad-dzulm" dengan
"kemusyirakan." Kata "ad-dzulm" yang dimaksud di
sini adalah yang terdapat dalam firman Allah swt: "Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am:
82). Rasulullah saw memperkuat pendapatnya itu dengan firman Allah swt: "..sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar..." (QS. Luqman: 13). Ketiga, Menafsirkan
suatu ayat dengan pendapat para sahabat dan ulama besar dari kalangan tabi'in,
baik itu yang berkaitan dengan penjelasan ayat, asbab al-nuzul, dan
sejenisnya yang tidak mungkin berasal dari pendapat mereka pribadi. Menurut
al-Hakim, tafsir sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu berstatius sebagai
Hadith Marfu'. Lihat al-Hakim, al-Mustadrak 'ala Shahihain, lihat
komentar beliau di Hadith no. 3021 (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1411 H/1990
M), cet. I, Tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, vol. 2/283. Namun demikian, Ibnu
Hajar mensyaratkan setidaknya dua hal untuk bisa menerima riwayat dari sahabat,
pertama, ia termasuk hal yang mustahil untuk berasal dari pendapat
pribadi, seperti masalah keadaan hari kiamat, akhirat, asbab al-nuzul, dan
sebagainya. Kedua, Sahabat yang bersangkutan tidak pernah mengambil
riwayat Israiliat. Sementara itu, walaupun dalam kitab tafsir bi al-ma'thur seperti al-Tabari kita
menemukan riwayat dari tabi'in, namun terdapat perbedaan pendapat ulama
tentangnya. Ada yang menilainya ma'thur, sebab umumnya para tabi'in
mendapatkan tafsir itu dari para sahabat. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa
tafsir tabi'in termasuk tafsir bi al-Ra'yi. Lihat Muhammad Abdul
Azhim az-Zarqaani, Manahi al-'Irfan fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub
al'Ilmiyyah, 1409 H/1988 M), vol 2/16.
[13] Pendekatan
al-Tabari dalam menafsirkan al-Qur'an ini (tradisi periwayatan dalam tafsir)
selanjutnya diikuti oleh sejumlah ulama/mufassir seperti Ibnu Katsir (w. 774 H)
juga melakukan hal yang sama, Tafsir al-Qur'an al-Karim; Jalaluddin
al-Suyuti (w. 911 H/1505) dengan tafsirnya al-Dhurr al-Manthur fi al-tafsir
bi al-Ma'thur.
[14] Lihat dalam Henri Shalahuddin,
Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 29.
[15] Lihat dalam Henri Shalahuddin,
Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 30.
[16] Khusus
Tafsir Mafatih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi, dari
sisi yang berbeda ada yang memasukkannya ke dalam Tafsir bi al-Ra'yi. Lihat
misalnya Henry Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA,
p. 31. Hal ini wajar sebab, beliau ini dikenal sebagai
cendikiawan Muslim yang juga ahli dalam ilmu kalam.
[17] Lihat Adnin Armas,
Tafsir al-Qur'an atau "Hermeneutika al-Qur'an", p.41.
[18] Lihat dalam
Muchlis M. Hanafi, Menggagas Tafsir Kolektif Tematis, P. 2. Kata al-Maudhu'
berarti sesuatu yang ditetapkan di sebuah tempat, dan tidak kemana-mana.
Sehingga, seorang mufassir yang menggunakan metode ini akan menjelaskan
pesan-pesan al-Qur'an terkait dengan makna dan permasalahan tertentu yang
terkait, dengan menetapkan setiap ayat pada tempatnya. Lihat dalam al-Jawhariy,
Taj al-Lughah wa Shihah al-'Arabiyyah, (Beirut: Dar Ihya al-Turats
al-Arabiyy, 2001), Bab al'Ain, Fashl al-waw, 3/1300. Para Ulama yang menggagas
metode ini berbeda pendapat dalam soal penamaannya. M. Baqir al-Shadr
menamakannya dengan metode tawhidiy (penyatuan tema pembahasan), yang tahliliy
beliau sebut tajzi'iyy. Sementara itu, Syeikh M. al-Ghazaliy menyebutnya
dengan mawdhu'iyy (berdasarkan tema), dan yang tahliliy beliau
sebut al-mawdhi'iy (berdasarkan tempat/urutan penyebutan dalam mushaf).
Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Menggagas Tafsir Kolektif Tematis, p. 1.
Kendati kata al-mawdhu' dan derivasinya sering digunakan untuk beberapa
hal negatif seperti Hadits palsu (hadith mawdhu'), atau tawadhu'
yang asalnya bermakna al-tadzallul (terhinakan), tetapi dari 24 kali
pengulangan kata ini dan derivasinya ditemukan bahwa ia juga digunakan untuk
hal-hal positif, seprti peletakan Ka'bah (QS. Ali Imran: 96), timbangan
(al-mizan) (QS. Al-Rahman: 7), dan benda-benad surga (QS. Al-Ghasyiyah: 13 dan
14). Lihat dalam M. Fuad Abdul Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras, dan
al-Raghib al-Asfahaniy, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, (Libanon: Dar
al-Ma'rifat), 1/526. Ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah tersebut (mawdhu'iy)
tidaklah memiliki hambatan psikologis sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Prof.
Dr. Abdul Sattar Fathullah. Lihat dalam Abd. Sattar Fathullah Said, al-Madkhal
ila al-Tafsir al-Mawdhu'iy, (Kairo: Dar al-Nasyr wa al-Tawzi'
al-Islamiyyah, 1991), cet. 2, p. 22.
[19] Lihat Mustafa
Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Mawdhu'iy (Damaskus: Dar al-Qalam,
2000), cet. III, p. 17.
[20] Abdul Sattar Said
memasukkan ketiga karya di atas dan lainnya yang sejenis ke dalam kelompok
Tafsir Maudhu'iy Umum (al-'amm), yaitu tematis yang hanya didasari
kesamaan tema, buka keterkaitan pembahasan; antara satu ayat dengan lainnya
menyangkut tema yang sama. Sementara itu, M. Baqir al-Shadr tidak menyebutnya
sebagai Tafsir Mawdhu'iy (tawhidiyy), sebab karya tersebut hanya
mengumpulkan beberapa persoalan Tafsir Tahlili (tajzi'iy) yang memiliki
kemiripan antara satu dengan lainnya. Kajian tematis bukan hanya sekedar
mengumpulkan yang serupa, tetapi mengetengahkan persoalan/tema-tema kehidupan
yang menyangkut masalah akidah, sosial dan alam, dan mengkaji secara mendalam
dari sudut pandang al-Qur'an untuk menemukan sebuah konsep qur'aniy
darinya. Baca dalam M. Baqir al-Shadr, al-Madrasah al-Qur'aniyyah, (Qum:
Syareat, 1426 H), cet. III, p. 27.
[21] Lihat dalam
Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 8-9.
[22] Di tahun 70-an,
mantan Sekjen Lembaga Riset Islam (Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah)
Al-Azhar, Prof. Dr. Syeikh M. Abdurrahman Bishar menyampaikan harapan
terwujudnya Tafsir Tematis Kolektif dalam kata
pengantarnya tas buku Al-Insan fi al-Qur'an karya Dr. Ahmad
Mihana. Ia (Syeikh M. Abdurrahman Bishar) mengatakan: "Sejujurnya dan
dengan hati yang tulus kami mendambakan usaha para ulama dan ahli, baik secara
individu maupun kolektif, untuk mengembangkan bentuk tafsir tematis, sehingga
dapat melengkapi khazanah kajian al-Qur'an yang ada." Dikutip dari Abdul
Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu'iyy, (Kairo: Maktabah
Jumhuriyyat Mishr, 1977), cet. II, p. 66. Di Indonesia, metode ini
diperkenalkan oleh Prof. M. Quraish Shihab melalui beberapa karyanya, baik itu
secara teoritis maupun praktis. Secara teori, beliau memperkenalkannya dalam
tulisan yang berjudul Metode Tafsir Tematik dalam bukunya Membumikan
al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1992), Cet. 1, p. 111. Sementara itu, secara
praktis beliau perkenalkan dalam bukunya Wawasan al-Qur'an, Secercah Cahaya
Ilahi, menabur Pesan Ilahi, dan lain sebagainya.