Minggu, 28 April 2013

Perkembangan Metode dan Tren Tafsir al-Qur'an


al-Qur'an, copied from quran flash

Sejak kodifikasi yang dilakukan oleh Ibnu Abbas (w. 68 H),[1] aktifitas intelektual Ulama Islam, khususnya dalam masalah penafsiran al-Qur'an, terus mengarah kepada pematangan kodifikasi ilmu tafsir sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang sangat matang seperti sekarang ini. Namun yang perlu ditegaskan, di abad pertama sampai abad ketiga Hijriah, berbagai buku tafsir yang ada belum satupun yang memuat tafsir al-Qur'an secara menyeluruh.
Sementara itu, ragam pendekatan ulama-ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an sejak masa sahabat Nabi Muhammad saw bisa kita telusuri. Dalam hal ini, pendekatan Linguistik (bahasa) dilihat sebagai yang terlama.  Pendekatan ini terbagi dalam tiga kategori,[2] yaitu: pertama, pendekatan 'kosa kata bahasa'. Penafsiran dengan pendekatan ini dilihat sangat penting, sebab sebagai bahasa wahyu, tidak semua orang Arab, hatta para sahabat Nabi sekalipun yang memahami seluruh arti kata dalam al-Qur'an. Ibnu Abbas misalnya, baru megetahui kata fatir setelah beliau mendengar salah seorang dari dua orang arab Baduwi yang bertikai mengenai sumur. Salah seorang dari mereka berkata, ana fatartuha, yang bermakna ibtada'tuha (saya yang membuatnya, memulainya).[3] Karena itu, dalam penafsirannya, Ibnu Abbas tidak senantiasa melalui periwayatan dari Nabi saw dan para sahabat (tafsir bi al-Ma'tsur), namun beliau melakukan terobosan baru, yaitu melalui pendekatan 'kosa kata bahasa'.[4] Tafsir dengan pendekatan ini semakin berkembang di tangan para murid Ibnu Abbas, seperti Said bin Jubair (95 H), Mujahid, Ikrimah, al-Dhahhak (w. 105 H) dan Atha' bin Rabah (w. 114 H). Dimana karya-karya tersebut, selain memuat hal-hal metafisik dan hikayat masa lalu, lebih terfokus pada kajian kosa kata al-Qur'an. Hal ini menjadi pijakan bagi lahirnya banyak literatur tentang 'kosa kata' al-Qur'an (gharib al-Qur'an) pada abad ke-2 dan 3 Hijriah, seperti terlihat pada karya Abban bin Tighlib (w. 141 H) dan Zaid bin Ali,[5] Muhammad ibn al-Saib al-Kalbi al-Kufi (w. 146 H), 'Ali ibn Hamzah al-Kasa'i (w. 182 H), Abu 'Ubaydah al-Qasim ibn Salam (w. 223 H), Abu Muhammad 'Abdullah ibn Muslim ibn Qutaybah (w. 276 H), dsb.[6]
Kedua, pendekatan ilmu nahwu dan kaedah I'rab. Dalam pendekatan ini, penafsiran al-Qur'an cenderung didekati dari sisi gramatikanya. Kesalahan gramatika bahasa al-Qur'an tentu berakibat pada kesalahan penafsirannya juga. Ini fatal. Penafsiran dengan pendekatan ini telah dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Du'aly (w. 69 H), Nashr bin Ashim (w. 89 H), Yahya bin Ya'mar (w. 129 H), Isa bin Umar al-Tsaqafiy (w. 149 H) dan Abu Amr bin al-'Ila (w. 145 H). Namun demikian, karya-karyat tafsir yang muncul sejak masa awal sampai pada paruh pertama abad ke-2 Hijriah hilang dan tidak sampai kepada kita, kecuali dalam bentuk kutipan di buku-buku ulama yang muncul belakangan.[7] Kitab tafsir tertua dan termasyhur yang sampai pada kita hari ini dengan pendekatan tersebut di antaranya kitab Ma'ani al-Qur'an, karya Ulama nahwu, Abu Zakariya Yahya ibn Ziyad al-Farra' al-Daylami (w. 207 H), Kitab al-Tibyan fi I'rab al-Qur'an al-Majid, karya Abu al-Baqa' al-'Akbari (w. 616 H).[8] Dan yang Ketiga, pendekatan ilmu al-Balaghah dan al-Bayan. Dalam pendekatan ini, penafsiran difokuskan pada keindahan bahasa dan sastera Arab. Ada dua sisi di dalamnya, yaitu sisi kemukjizatan al-Qur'an dan sisi teologi kalam dan sastera yang ditulis oleh para pakar mutakallimin-balaghi. Di antara karya tafsir dengan pendekatan ini adalah al-Kashshaf 'an Haqaiq al-Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil oleh Zamakhsari (w. 538 H), dan Fi Zilal al-Qur'an oleh Sayyid Qutb (w. 1386 H).
Cukup menarik, sejak masa tabi'in, perkembangan penafsiran al-Quran ini tidak memusat di satu titik. Dimana para mufassir tersebar di beberapa tempat yang letaknya cukup berjauhan. Tabi'in Mekkah meriwayatkan dari 'Ibnu Abbas. Mereka itu misalnya, Sa'id ibn Jubayr (m. 95/714), Mujahid ibn Jabr (m. 104/722), 'Ikrimah Maula ibn 'Abbas (25-105 H), Tawus ibn Kisan al-Yamani dan 'Ata' ibn Abi Ribah (m. 114/732). Sementara tabi'in Madinah meriwayatkan dari Ubay ibn Ka'ab. Di antara para mufassir yang ada adalah Zayd ibn Aslam, Abu al-'aliyah dan Mulammad ibn Ka'ab al-Qurazi. Jumlah Tabi'in Iraq yang mufassir juga cukup banyak, seperti 'Ilqimah ibn Qays, Masruq, al-Aswad ibn Yazid, Murah al-Hamzani, 'Air al-Syabi, al-Hasan al-Basri, dan Qatadah ibn Di'amah al-Suddusi, meriwayatkan dari 'Abdullah ibn Mas'udi.[9] Kitab-kitab tafsir ini tidak ada yang sampai ke tangan kita. Karya tafsir paling tua yang sampai ke tangan kita sekarang dan ditulis oleh pengarangnya langsung adalah al-Asybah wa al-Nazhair fi al-Qur'an al-Karim karya Muqatil ibn Sulayman al-Balkhiy (w. 150/763), seorang tabi' al-tabi'in.[10]
Selanjutnya, penafsiran al-Qur'an secara utuh[11] baru bermula pada abad ke-4 Hijriah, yang dipelopori oleh Ibnu Jarir al-Tabari (w. 310/922), dengan karyanya Jami' al-Bayan 'an ta'wil al-Qur'an. Selain memuat tafsir secara utuh, karya tersebut juga dilengkapi dengan sanad periwayatannya. Beliau mengumpulkan berbagai Hadith, pernyataan para sahabat dan tabi'in yang ada kaitannya dengan al-Qur'an. Tafsir dengan pendekatan demikian dikenal dengan Tafsir bi al-Ma'tsur.[12] Tentu dengan cara yang demikian ini, beliau dapat menafsirkan al-Qur'an dengan sangat hati-hati dan tetap bersandarkan kepada penafsrian yang otoritatif. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya tersebut sebagai puncak karya Tafsir bi al-Ma'tsur, meskipun di dalamnya juga banyak memuat pandangan ahli bahasa. [13]
Selain itu, Tren Tafsir yang cukup banyak dilakukan oleh para Mufassir adalah Tafsir bi al-Ra'yi. Menurut Syeikh 'Abdurrahman al-Baghdadi, penafsiran ini dikenal juga dengan al-tafsir al-ijtihadi.[14] Tafsir ini dibolehkan selama dilakukan melalui pemahaman kalimat-kalimat al-Qur'an dalam batas-batas makna yang menjadi kandungannya. Jika dilakukan dengan memperhatikan itu, maka Tafsir menurut ijtihad dikatakan berada di dalam batas-batas makna bahasa dan syara'.  Legalisasi penggunaan ra'yu dalam menafsirkan al-Qur'an ini adalah firman Allah swt: "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mempehatikan ayat-ayatnya (dengan penuh tadabbur) dan supaya mendapat pelajaran oleh orang-orang yang berfikir." (QS. Sad: 29).
Oleh sebab itu, umumnya, tren penafsiran ini telah ada sejak masa sahabat Rasul saw dan tabi'in. Mereka menjadikan ijtihad mereka sendiri sebagai sandaran dalam menafsirkan al-Qur'an. Makanya tidak heran jika kemudian kita melihat tidak sedikit terjadi perbedaan pendapat mengenai penafsiran suatu ayat di kalangan para sahabat, bahkan kadang-kadang ini terjadi sampai pada tingkat kata. Perbedaan itu ada bukan karena masing-masing mereka menggunakan Hadith yang berbeda, tapi lebih pada adanya perbedaan makna ayat dan kata-katanya. Contoh tafsir yang seperti itu di antaranya: Tafsir Mujahid, Tafsir Ibnu 'Abbas dll.[15]
Tidak berhenti di tiga 'tren penafsiran' tersebut, masih banyak ragam pendekatan yang digunakan para mufassir dalam memahami dan menafsirkan al-Qur'an. Seperti, tafsir al-Kashshaf 'an haqa'iq ghawamid al-tanzil (karya al-Zamakshari/w. 406 H); Mafatih al-Ghayb (karya Fakhruddin al-Razi/w. 610 H); tafsir Anwar al-Tanzil wa asrar al-ta'wil (karya al-Baydawi) adalah karya-karya tafsir yang dihasilkan melalui pendekatan Teologis.[16] Selanjutnya, penekanan terhadap aspek hukum dilakukan oleh al-Jassas (w. 370/981) dengan karyanya Ahkam al-Qur'an; Ibnu al-'Arabi (w. 543 H/1148 M) dalam karyanya tafsir Ahkam al-Qur'an; al-Qurtubi (w. 671 H/1272 M) dengan karyanya tafsir Jami' ahkam al-Qur'an. Penafsiran melalui pendekatan terhadap isyarat-isyarat al-Qur'an yang berhubungan dengan ilmu tasawuf, lahir dari tangan Abu Muhammad Sahl ibn 'Abdullah al-Tasturi. Karya beliau disebut sebagai tafsir al-Tasturi. Dan yang tak kalah menakjubkan, 'Alaudin ibn Muhammad al-Baghdadi al-Thalabi (w. 741 H) adalah Mufassir yang melahirkan karya tafsir dengan menitikberatkan kepada penyaringan dan peniadaan cerita-cerita terdahulu yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.[17]
Sejak abad ke-20, tepatnya ketika ditetapkan sebagai mata kuliah di fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar pada tahun 70-an, berkembang/mulai popular Tafsir Tematik (Arab: mawdhu'iy).[18] Bentuk penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an (tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an) atau al-Qur'an dengan penjelasan Hadith (tafsir al-Qur'an bi al-Sunnah) yang telah ada sejak masa Rasulullah saw disinyalir banyak pakar sebagai bentuk awal Tafsir Tematik ini.[19] Demikian pula beberapa karya tafsir ulama klasik yang mengelompokkan satu permasalahan tertentu dalam al-Qur'an dipandang sebagai betnuk awal Tafsir Tematik, seperti: Ta'wil Musykil al-Qur'an karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H), Nuzhat al-Qulub fi Gharib al-Qur'an karya Abu Bakar al-Sijistani (w. 330 H), al-Tibyan fi Aqsam al-Qur'an karya Ibnu al-Qayyim (w. 751 H) dan lainnya.[20] Walaupun belum terbentuk pagar-pagar metodologis yang kuat dalam pengembangan metode ini, namun ia menjanjikan pemunculan sisi kemukjizatan al-Qur'an dan penyelesaian berbagai persoalan umat dengan cepat.[21] Karena itu, metode ini terus mendapat dukungan luas di kalangan umat Islam, tidak terkecuali di Indonesia.[22]



[1] Bisa dikaji lebih jauh dalam Kitab Tabaqat Ibnu Sa'd (5/215), yang kemudian juga diperkuat oleh analisis Fuat Sezgin, seorang pakar bibliografi turats Islam. Lihat dalam Muchlis Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 1.   
[2] Lihat Henry Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, p. 27 dan 28.  
[3] Lihat Jalaluddun al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, p. 113. Contoh lain, Sahabat Umat bin Khattab dan Abu Bakar yang tidak mengetahui makna kata abda dalam al-Qur'an Surat 'Abasa: 31. Lihat dalam Tafsir Ibnu Kathir, vol. I, p. 5 dan Tafsir al-Itqan, ibid. vol. I, p. 113. 
[4] Disebutkan bahwa, Nafi' Ibnu al-Azraq (w. 65 H), pemimpin Khawarij ketika itu, pernah menanyakan sebanyak 200 kata dalam al-Qur'an yang maknanya tidak ia ketahui kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas dengan sangat fasih menjelaskan maknanya satu per satu beserta argumentasi pendukung dari syair Arab Jahily. Lihat dalam Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 1.  
[5]Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 2. Namun demikian, ada di antara tafsir mereka yang dilihat juga melalui pendekatan logika (tafsir bi al-Ra'yi), seperti Tafsir Ibnu Abbas dan Mujahid. Lebih lanjut hal ini akan penulis singgung dalam pembahasan tafsir bi al-ra'yi.    
[6] Lihat Henry Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 28.
[7]Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 2
[8] Lihat Henry Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 28.
[9] Lihat Manna' al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Riyadh: Manshurat al-'Ashr al-Hadith, 1973), p. 338-339.
[10] Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 2.  
[11]Tafsir al-Tabari ini dikatakan sebagai karya utuh karena pada umumnya karya yang muncul sampai pada akhir abad ke-4 Hijriah lebih menekankan pada suatu kajian tertentu, seperti Gharib al-Qur'an dan Musykil al-Qur'an karya Ibnu Qutaybah (w. 276 H), Fadha'il al-Qur'an karya Abi Ubayd al-Qasim bin Salam (w. 224 H), Ma ittafaqa lafzhuhu wa ikhtalafa ma'nahu min al-Qur'an al-Majidi karya al-Mubarrad (w. 285 H), al-Nasikh wa al-Mansukh karya Abu Ja'far al-nuhas (w. 338 H), dan juga tidak menafsirkan ayat secara keseluruhan, seperti terlihat pada karya al-Zajjaj (w. 311 H), Ma'ani al-Qur'an wa Irabuhu dan Abu al-Laits al-Samarqandy (w. 373 H), Tafsir al-Qur'an.'
[12] Tafsir Tafsir bi al-Ma'tsur adalah tafsir yang berpijak pada nas (teks) dan riwayat yang sahih. Ada tiga tingkatan dalam tafsir ini, pertama, tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an. Seperti dalam firman Allah swt, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…" (QS. Al-Maidah: 3), sebagai penjelasan terhadap firman Allah swt yang lain, yaitu: "Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu" (QS. Al-Maidah: 1). Kedua, tafsir al-Qur'an dengan Hadith Nabi saw. Contohnya, penafsiran Baginda Rasul saw terhadap kata "ad-dzulm" dengan "kemusyirakan." Kata "ad-dzulm" yang dimaksud di sini adalah yang terdapat dalam firman Allah swt: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-An'am: 82). Rasulullah saw memperkuat pendapatnya itu dengan firman Allah swt: "..sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar..." (QS. Luqman: 13).  Ketiga, Menafsirkan suatu ayat dengan pendapat para sahabat dan ulama besar dari kalangan tabi'in, baik itu yang berkaitan dengan penjelasan ayat, asbab al-nuzul, dan sejenisnya yang tidak mungkin berasal dari pendapat mereka pribadi. Menurut al-Hakim, tafsir sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu berstatius sebagai Hadith Marfu'. Lihat al-Hakim, al-Mustadrak 'ala Shahihain, lihat komentar beliau di Hadith no. 3021 (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1411 H/1990 M), cet. I, Tahqiq: Musthafa Abdul Qadir Atha, vol. 2/283. Namun demikian, Ibnu Hajar mensyaratkan setidaknya dua hal untuk bisa menerima riwayat dari sahabat, pertama, ia termasuk hal yang mustahil untuk berasal dari pendapat pribadi, seperti masalah keadaan hari kiamat, akhirat, asbab al-nuzul, dan sebagainya. Kedua, Sahabat yang bersangkutan tidak pernah mengambil riwayat Israiliat. Sementara itu, walaupun dalam kitab tafsir  bi al-ma'thur seperti al-Tabari kita menemukan riwayat dari tabi'in, namun terdapat perbedaan pendapat ulama tentangnya. Ada yang menilainya ma'thur, sebab umumnya para tabi'in mendapatkan tafsir itu dari para sahabat. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa tafsir tabi'in termasuk tafsir bi al-Ra'yi. Lihat Muhammad Abdul Azhim az-Zarqaani, Manahi al-'Irfan fi Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kutub al'Ilmiyyah, 1409 H/1988 M), vol 2/16.      
[13] Pendekatan al-Tabari dalam menafsirkan al-Qur'an ini (tradisi periwayatan dalam tafsir) selanjutnya diikuti oleh sejumlah ulama/mufassir seperti Ibnu Katsir (w. 774 H) juga melakukan hal yang sama, Tafsir al-Qur'an al-Karim; Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505) dengan tafsirnya al-Dhurr al-Manthur fi al-tafsir bi al-Ma'thur.
[14] Lihat dalam Henri Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 29.
[15] Lihat dalam Henri Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 30.
[16] Khusus Tafsir Mafatih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi, dari sisi yang berbeda ada yang memasukkannya ke dalam Tafsir bi al-Ra'yi. Lihat misalnya Henry Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, p. 31. Hal ini wajar sebab, beliau ini dikenal sebagai cendikiawan Muslim yang juga ahli dalam ilmu kalam.  
[17] Lihat Adnin Armas, Tafsir al-Qur'an atau "Hermeneutika al-Qur'an", p.41.
[18] Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Menggagas Tafsir Kolektif Tematis, P. 2. Kata al-Maudhu' berarti sesuatu yang ditetapkan di sebuah tempat, dan tidak kemana-mana. Sehingga, seorang mufassir yang menggunakan metode ini akan menjelaskan pesan-pesan al-Qur'an terkait dengan makna dan permasalahan tertentu yang terkait, dengan menetapkan setiap ayat pada tempatnya. Lihat dalam al-Jawhariy, Taj al-Lughah wa Shihah al-'Arabiyyah, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiyy, 2001), Bab al'Ain, Fashl al-waw, 3/1300. Para Ulama yang menggagas metode ini berbeda pendapat dalam soal penamaannya. M. Baqir al-Shadr menamakannya dengan metode tawhidiy (penyatuan tema pembahasan), yang tahliliy beliau sebut tajzi'iyy. Sementara itu, Syeikh M. al-Ghazaliy menyebutnya dengan mawdhu'iyy (berdasarkan tema), dan yang tahliliy beliau sebut al-mawdhi'iy (berdasarkan tempat/urutan penyebutan dalam mushaf). Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Menggagas Tafsir Kolektif Tematis, p. 1. Kendati kata al-mawdhu' dan derivasinya sering digunakan untuk beberapa hal negatif seperti Hadits palsu (hadith mawdhu'), atau tawadhu' yang asalnya bermakna al-tadzallul (terhinakan), tetapi dari 24 kali pengulangan kata ini dan derivasinya ditemukan bahwa ia juga digunakan untuk hal-hal positif, seprti peletakan Ka'bah (QS. Ali Imran: 96), timbangan (al-mizan) (QS. Al-Rahman: 7), dan benda-benad surga (QS. Al-Ghasyiyah: 13 dan 14). Lihat dalam M. Fuad Abdul Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras, dan al-Raghib al-Asfahaniy, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, (Libanon: Dar al-Ma'rifat), 1/526. Ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah tersebut (mawdhu'iy) tidaklah memiliki hambatan psikologis sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Prof. Dr. Abdul Sattar Fathullah. Lihat dalam Abd. Sattar Fathullah Said, al-Madkhal ila al-Tafsir al-Mawdhu'iy, (Kairo: Dar al-Nasyr wa al-Tawzi' al-Islamiyyah, 1991), cet. 2, p. 22.
[19] Lihat Mustafa Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Mawdhu'iy (Damaskus: Dar al-Qalam, 2000), cet. III, p. 17.
[20] Abdul Sattar Said memasukkan ketiga karya di atas dan lainnya yang sejenis ke dalam kelompok Tafsir Maudhu'iy Umum (al-'amm), yaitu tematis yang hanya didasari kesamaan tema, buka keterkaitan pembahasan; antara satu ayat dengan lainnya menyangkut tema yang sama. Sementara itu, M. Baqir al-Shadr tidak menyebutnya sebagai Tafsir Mawdhu'iy (tawhidiyy), sebab karya tersebut hanya mengumpulkan beberapa persoalan Tafsir Tahlili (tajzi'iy) yang memiliki kemiripan antara satu dengan lainnya. Kajian tematis bukan hanya sekedar mengumpulkan yang serupa, tetapi mengetengahkan persoalan/tema-tema kehidupan yang menyangkut masalah akidah, sosial dan alam, dan mengkaji secara mendalam dari sudut pandang al-Qur'an untuk menemukan sebuah konsep qur'aniy darinya. Baca dalam M. Baqir al-Shadr, al-Madrasah al-Qur'aniyyah, (Qum: Syareat, 1426 H), cet. III, p. 27.
[21] Lihat dalam Muchlis M. Hanafi, Sejarah Tafsir Klasik dan Modern, p. 8-9.
[22] Di tahun 70-an, mantan Sekjen Lembaga Riset Islam (Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah) Al-Azhar, Prof. Dr. Syeikh M. Abdurrahman Bishar menyampaikan harapan terwujudnya Tafsir Tematis Kolektif dalam kata pengantarnya tas buku Al-Insan fi al-Qur'an karya Dr. Ahmad Mihana. Ia (Syeikh M. Abdurrahman Bishar) mengatakan: "Sejujurnya dan dengan hati yang tulus kami mendambakan usaha para ulama dan ahli, baik secara individu maupun kolektif, untuk mengembangkan bentuk tafsir tematis, sehingga dapat melengkapi khazanah kajian al-Qur'an yang ada." Dikutip dari Abdul Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu'iyy, (Kairo: Maktabah Jumhuriyyat Mishr, 1977), cet. II, p. 66. Di Indonesia, metode ini diperkenalkan oleh Prof. M. Quraish Shihab melalui beberapa karyanya, baik itu secara teoritis maupun praktis. Secara teori, beliau memperkenalkannya dalam tulisan yang berjudul Metode Tafsir Tematik dalam bukunya Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1992), Cet. 1, p. 111. Sementara itu, secara praktis beliau perkenalkan dalam bukunya Wawasan al-Qur'an, Secercah Cahaya Ilahi, menabur Pesan Ilahi, dan lain sebagainya.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...