Qur'an dituis diatas kulit kambing |
Secara
etimologis, kata tafsir adalah masdar (bentuk isim) dari kata
kerja fassara (bahasa Arab), yang berarti penjelasan.[i]
Sedangkan al-Jurjani mendefinisikan tafsir dengan 'penyingkapan dan
penampakan.'[ii]
Mahmud 'Abdurrahman 'Abdul Mun'im juga mengungkapkan definisi yang tidak
berbeda, menurutnya, istilah 'tafsir' bermakna penjelasan dan penyingkapan dari
lafaldz-lafaldz yang asalnya sulit kepada lafaldz-lafadz yang
lebih mudah.[iii]
Ada juga yang mendefinisikan 'tafsir' sebagai penyingkapan yang tidak disertai
dengan keragu-raguan sedikitpun (qath'i).[iv]
Definisi lain yang cukup rinci adalah, bahwa tafsir itu (menurut leksikolog
Arab klasik) bermakna menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan atau
membuka sesuatu yang tersembunyi; atau membuat sesuatu menjadi jelas, nyata,
atau gamblang; menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan.[v]
Sementara itu, secara terminologi, tafsir bermakna
memperluas, menjelaskan, atau menginterpretasikan cerita yang ada dalam
al-Qur'an, dan mengurai pengertian kata-kata atau ekspresi yang janggal, serta
menjelaskan keadan ketika ayat-ayat itu diwahyukan.[vi] Mahmud
'Abdurrahman 'Abdul Mun'im juga berpendapat, bahwa tafsir adalah ilmu yang
membahas segala hal yang berkaitan dengan al-Qur'an, bersandarkan pada lafadz-nya
untuk menemukan maksud Allah swt yang terkandung di dalamnya, berdasarkan
kemampuan yang dimiliki manusia.[vii]
Definisi lain yang lebih rinci adalah, bahwa tafsir itu merupakan ilmu yang dengannya dicapai pemahaman terhadap Kitab Allah
(al-Qur'an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, mengetahui penjelasan
makna-makannya, bisa menyimpulkan hukum-hukum darinya, serta menangkap
hikmah-hikmah yang dikandungnya.[viii] Definisi tafsir yang lebih konkrit dan praktis, serta mencakup
seluruh definisi-definisi sebelumnya adalah seperti yang disampaikan oleh Syeikh Abdurrahman
al-Baghdadi, yaitu:
"Ilmu yang
membantu memahami kitabullah (al-Qur'an) yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw, dengan metode tafsir tertentu, dan berlandasakan pada 'ulum
al-lughah al-'arabiyah (ilmu-ilmu bahasa arab) yang menjadi bahasa firman
Allah swt al-Qur'an; serta merinci hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat
al-Qur'an, seperti asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat), i'rab
al-Qur'an (gramatikal), hubungan ayat dengan ayat sebelumnya atau surah
dengan surah sebelumnya (tanasuq al-suwar wa l-ayat), kosakata, makna
secara literal dan makna ijmal (umum), dengan memperhatikan susunan
ayat-ayatnya yang berkaitan dengan soal-soal akidah, hukum, adab (etika) dsb;
kemudian menarik kesimpulan dari ayat-ayat tersebut untuk menjawab berbagai
tantangan dan memecah berbagai persoalan hidup yang
timbul di setiap masa dan tempat."[ix]
Yang perlu ditegaskan dalam
masalah tafsir ini adalah, bahwa ia senantiasa berdiri di atas lafadz harfiah
al-Qur'an. Jadi, proses penafsiran itu tidak malah terfokus pada apa yang
berada di luar teks (al-Qur'an), tapi pada teks itu sendiri.[x] Sebagaimana
al-Attas menegaskannya, yaitu walaupun tetap menekankan pada
perlunya pertimbangan latar belakang sosio-historis, penafsiran al-Qur'an tetap
harus berasaskan pada kajian analisa semantik. Sehingga, tidaklah tepat jika
dikatakan bahwa kebenaran tentang ayat-ayat al-Qur'an tentang metafisika,
hukum-hukum sosial dan sains hanya berhenti pada kondisi sosial historis ketika
diturunkannya. Hal ini juga yang membedakan kitab suci
al-Qur'an dengan kitab-kitab suci agama lain, dimana kita umat Islam, meyakini
akan otentisitas al-Qur'an. Kita telah menerima kebenaran harfiah al-Qur'an
sebagai kalamullah.
Sementara itu, untuk ayat-ayat
tertentu yang memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, seperti ayat-ayat mutasyabihah,
yang kita gunakan adalah ta'wil. Namun demikian, ta'wil itu
sendiri tidak boleh bertentangan dengan tafsir. Bahkan ia harus berdasarkan
tafsir. Sehingga, ia tidak boleh bertentangan dengan pengertian linguistik dan
ajaran-ajaran umum al-Qur'an dan Sunnah.[xi] Inilah
mengapa ada yang melihat ta'wil sebagai pendalaman makna dari tafsir.[xii] Atau
dengan kata lain, tafsir itu sifatnya lebih umum dari pada ta'wil (al-tafsir
a'ammu min al-ta'wil).[xiii] Hal ini telah dengan sangat
jelas disampaikan oleh Al-Jurjani (w. 816/1413), dimana menurutnya, ta'wil
itu asalnya bermakna kembali. Namun secara syara', ia berarti
memalingkan lafadz dari maknanya yang dzahir kepada makna yang
mungkin terkandung di dalamnya, tentu apabila makna yang mungkin itu sesuai
dengan (semangat) Kitab dan Sunnah.[xiv]
[i] Lihat Abu Muhammad
'Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm (457 H), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq:
Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, yang diberi pengantar oleh Dr. Ihsan 'Abbas,
(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1400 H/1980 M), (2, 45).
[ii] Lihat 'Ali Ibn
Muhammad 'Ali al-Syarif al-Hasana al-Jurjani, at-Ta'rifat, ed. Ibrahim
al-Abyari, (Dar al-Diyan al-Turath, n.d.), p. 55.
[iii] Lihat Mahmud
'Abdurrahman 'Abdul Mun'im, Mu'jam al-Mushtalahat wa al-Fadz al-Fiqhiyyah, (al-Qahirah:
Dar al-Fadhilah), p. 479.
[iv] Lihat Sa'duddin
Mas'ud Ibn 'Umar at-Taftazi (793 H), Syarhu al-Talwih 'Ala at-Taudih Limatan
at-Tanqih fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Majhul),
(7, 125). At-Tanqih li 'Ubaidillah al-Mahbubi al-Bukhari al-Hanafi.
[v]Lihat dalam Lane, Arabic-English
Lexixon, s.v. "fassara."
[vi] Lihat dalam Lane, Arabic-English
Lexixon, s.v. "fassara."
[vii]Lihat Mahmud
'Abdurrahman 'Abdul Mun'im, p. 479.
[viii]Lihat Muhammad Badruddin 'Abdullah al-Zarkashi, al-Burhan fi 'Ulum
al-Qur'an. Editor: Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya' al-Turath
al-'Arabiyyah, 1957), cet. 1, p. 13. Lihat juga dalam
wesite berbahasa Arab http://www.quransite.com/ tafser.htm
[ix] Lihat Syeikh
Abdurrahman al-Baghdadi dalam Henri Shalahuddin, Menimbang Framework Studi
Tafsir, ISLAMIA, (Vol. V, no. I, 2009), p. 26.
[x] Umumnya, orang-orang liberal
memiliki 'interpretasi' sendiri dalam memahami al-Qur'an. Tentunya,
interpretasi yang mereka maksud berbeda dengan Tafsir atau Ta'wil. Interpretasi
itu mementingkan sejarah teks; dikait-kaitkan dengan situasi politik, sosial,
psikologi, ideologi tertentu dan lain sebagainya. Sebab khusus ayat itu
diturunkan (khusus al-sabab) lebih penting daripada arti eksplisit
(perintah) ayat itu sendiri (umum al-lafadz). Konsekuensinya, al-Qur'an
tidak lagi suci (sakral), tapi hanya sebuah produk budaya Arab. Sehingga,
'tafsir' mereka tidak lagi berkaitan dengan teks, namun dengan budaya di
sekitar teks. Cara pikir liberal seperti ini misalnya kita temukan dalam
karya-karya Abdullahi Ahmed an-Na'im, yaitu: "Toward
an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International
Law" (1990). New York: Syracuse University Press dan "Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syari'ah (Ttp.)," Diterjemahkan oleh Sri Murniati, 2007, Bandung: Mizan.
Melalui karya-karyanya itu, Na'im membuat rancangan 'Syari'ah Modern.'
[xi] Lihat al-Baghawi dan al-Kuwashi dalam al-Suyuti, al-Itqan,
p. 382-383.
[xii] Lihat
al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta'wil sebagai Metode Ilmiah, ISLAMIA,
p. 63.
[xiii] Sejak
dulu, para cendikiawan Muslim menganggap ta'wil sebagai tafsir dalam
bentuk khusus, seperti yang disampaikan oleh al-Raghib al-Isfahani dalam
al-Suyuti, Itqan, p. 381. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makna istilah tafsir dan ta'wil.
Di antara mereka ada yang menyamakan keduanya, ada yang membedakannya, adapula
yang memahami tafsir lebih umum, dan sebagainya. Secara sepintas, hal ini bias
dilihat lebih lanjut dalam kajiannya Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir
wa al-Mufassirun, vol. I: 19-22 (lengkapi..!!!); lihat juga kajian Wan Mohd
Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta'wil sebagai Metode Ilmiah, p. 54-69. Lebih lanjut,
menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, kadang-kadang, tafsir, ta'wil dan juga ma'ani
dianggap sama bukan karena metodenya yang persis sama, tapi lebih disebabkan oleh
kesamaan dalam makna. Makna yang dicapai oleh tafsir tidak dapat diperluas
dengan ta'wil, khususnya dalam penafsiran hukum. Sebab dalam masalah hukum,
penafsiran haruslah jelas (muhkam) dan tidak ambigu (mutashabih).
Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid, p. 63. Yang perlu digarisbawahi dari
semua ini, perbedaan para ulama itu tidak sampai meruncing pada mempersoalkan
teks al-Qur'an sebagai kalamullah.
[xiv] Contohnya firman
Allah swt dalam QS. Al-An'am: 95: "Dia mengeluarkan
yang hidup dari yang mati." Jika yang dimaksud
di situ adalah mengeluarkan burung dari telur, maka yang demikian itu tafsir,
namun jika yang dimaksudkan adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir,
atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta'wil. Lihat 'Ali
Ibn Muhammad 'Ali al-Syarif al-Hasana al-Jurjani, at-Ta'rifat, p.
72.