Minggu, 28 April 2013

Definisi dan Cakupan Ilmu Tafsir

Qur'an dituis diatas kulit kambing
Kata tafsir ini disebutkan secara eksplisit di dalam surat al-Furqan: 33, "Wala ya'tunaka bimathalin illa ji'naka bi al-haqqi wa ahsana tafsiran" (Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya).  
Secara etimologis, kata tafsir adalah masdar (bentuk isim) dari kata kerja fassara (bahasa Arab), yang berarti penjelasan.[i] Sedangkan al-Jurjani mendefinisikan tafsir dengan 'penyingkapan dan penampakan.'[ii] Mahmud 'Abdurrahman 'Abdul Mun'im juga mengungkapkan definisi yang tidak berbeda, menurutnya, istilah 'tafsir' bermakna penjelasan dan penyingkapan dari lafaldz-lafaldz yang asalnya sulit kepada lafaldz-lafadz yang lebih mudah.[iii] Ada juga yang mendefinisikan 'tafsir' sebagai penyingkapan yang tidak disertai dengan keragu-raguan sedikitpun (qath'i).[iv] Definisi lain yang cukup rinci adalah, bahwa tafsir itu (menurut leksikolog Arab klasik) bermakna menemukan, mendeteksi, mengungkapkan, memunculkan atau membuka sesuatu yang tersembunyi; atau membuat sesuatu menjadi jelas, nyata, atau gamblang; menerangkan, menjelaskan atau menafsirkan.[v]   
Sementara itu, secara terminologi, tafsir bermakna memperluas, menjelaskan, atau menginterpretasikan cerita yang ada dalam al-Qur'an, dan mengurai pengertian kata-kata atau ekspresi yang janggal, serta menjelaskan keadan ketika ayat-ayat itu diwahyukan.[vi] Mahmud 'Abdurrahman 'Abdul Mun'im juga berpendapat, bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas segala hal yang berkaitan dengan al-Qur'an, bersandarkan pada lafadz-nya untuk menemukan maksud Allah swt yang terkandung di dalamnya, berdasarkan kemampuan yang dimiliki manusia.[vii] Definisi lain yang lebih rinci adalah, bahwa tafsir itu merupakan ilmu yang dengannya dicapai pemahaman terhadap Kitab Allah (al-Qur'an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, mengetahui penjelasan makna-makannya, bisa menyimpulkan hukum-hukum darinya, serta menangkap hikmah-hikmah yang dikandungnya.[viii] Definisi tafsir yang lebih konkrit dan praktis, serta mencakup seluruh definisi-definisi sebelumnya adalah seperti yang  disampaikan oleh Syeikh Abdurrahman al-Baghdadi, yaitu:
"Ilmu yang membantu memahami kitabullah (al-Qur'an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan metode tafsir tertentu, dan berlandasakan pada 'ulum al-lughah al-'arabiyah (ilmu-ilmu bahasa arab) yang menjadi bahasa firman Allah swt al-Qur'an; serta merinci hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an, seperti asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat), i'rab al-Qur'an (gramatikal), hubungan ayat dengan ayat sebelumnya atau surah dengan surah sebelumnya (tanasuq al-suwar wa l-ayat), kosakata, makna secara literal dan makna ijmal (umum), dengan memperhatikan susunan ayat-ayatnya yang berkaitan dengan soal-soal akidah, hukum, adab (etika) dsb; kemudian menarik kesimpulan dari ayat-ayat tersebut untuk menjawab berbagai tantangan dan memecah berbagai persoalan hidup yang timbul di setiap masa dan tempat."[ix]    
Yang perlu ditegaskan dalam masalah tafsir ini adalah, bahwa ia senantiasa berdiri di atas lafadz harfiah al-Qur'an. Jadi, proses penafsiran itu tidak malah terfokus pada apa yang berada di luar teks (al-Qur'an), tapi pada teks itu sendiri.[x] Sebagaimana al-Attas menegaskannya, yaitu walaupun tetap menekankan pada perlunya pertimbangan latar belakang sosio-historis, penafsiran al-Qur'an tetap harus berasaskan pada kajian analisa semantik. Sehingga, tidaklah tepat jika dikatakan bahwa kebenaran tentang ayat-ayat al-Qur'an tentang metafisika, hukum-hukum sosial dan sains hanya berhenti pada kondisi sosial historis ketika diturunkannya. Hal ini juga yang membedakan kitab suci al-Qur'an dengan kitab-kitab suci agama lain, dimana kita umat Islam, meyakini akan otentisitas al-Qur'an. Kita telah menerima kebenaran harfiah al-Qur'an sebagai kalamullah.
Sementara itu, untuk ayat-ayat tertentu yang memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, seperti ayat-ayat mutasyabihah, yang kita gunakan adalah ta'wil. Namun demikian, ta'wil itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan tafsir. Bahkan ia harus berdasarkan tafsir. Sehingga, ia tidak boleh bertentangan dengan pengertian linguistik dan ajaran-ajaran umum al-Qur'an dan Sunnah.[xi] Inilah mengapa ada yang melihat ta'wil sebagai pendalaman makna dari tafsir.[xii] Atau dengan kata lain, tafsir itu sifatnya lebih umum dari pada ta'wil (al-tafsir a'ammu min al-ta'wil).[xiii] Hal ini telah dengan sangat jelas disampaikan oleh Al-Jurjani (w. 816/1413), dimana menurutnya, ta'wil itu asalnya bermakna kembali. Namun secara syara', ia berarti memalingkan lafadz dari maknanya yang dzahir kepada makna yang mungkin terkandung di dalamnya, tentu apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan (semangat) Kitab dan Sunnah.[xiv]



[i] Lihat Abu Muhammad 'Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm (457 H), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, yang diberi pengantar oleh Dr. Ihsan 'Abbas, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1400 H/1980 M), (2, 45).
[ii] Lihat 'Ali Ibn Muhammad 'Ali al-Syarif al-Hasana al-Jurjani, at-Ta'rifat, ed. Ibrahim al-Abyari, (Dar al-Diyan al-Turath, n.d.), p. 55.
[iii] Lihat Mahmud 'Abdurrahman 'Abdul Mun'im, Mu'jam al-Mushtalahat wa al-Fadz al-Fiqhiyyah, (al-Qahirah: Dar al-Fadhilah), p. 479.
[iv] Lihat Sa'duddin Mas'ud Ibn 'Umar at-Taftazi (793 H), Syarhu al-Talwih 'Ala at-Taudih Limatan at-Tanqih fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Majhul), (7, 125). At-Tanqih li 'Ubaidillah al-Mahbubi al-Bukhari al-Hanafi.
[v]Lihat dalam Lane, Arabic-English Lexixon, s.v. "fassara."   
[vi] Lihat dalam Lane, Arabic-English Lexixon, s.v. "fassara." 
[vii]Lihat Mahmud 'Abdurrahman 'Abdul Mun'im, p. 479.  
[viii]Lihat Muhammad Badruddin 'Abdullah al-Zarkashi, al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an. Editor: Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim (Kairo: Dar Ihya' al-Turath al-'Arabiyyah, 1957), cet. 1, p. 13. Lihat juga dalam wesite berbahasa Arab http://www.quransite.com/ tafser.htm
[ix] Lihat Syeikh Abdurrahman al-Baghdadi dalam Henri Shalahuddin, Menimbang Framework Studi Tafsir, ISLAMIA, (Vol. V, no. I, 2009), p. 26.
[x] Umumnya, orang-orang liberal memiliki 'interpretasi' sendiri dalam memahami al-Qur'an. Tentunya, interpretasi yang mereka maksud berbeda dengan Tafsir atau Ta'wil. Interpretasi itu mementingkan sejarah teks; dikait-kaitkan dengan situasi politik, sosial, psikologi, ideologi tertentu dan lain sebagainya. Sebab khusus ayat itu diturunkan (khusus al-sabab) lebih penting daripada arti eksplisit (perintah) ayat itu sendiri (umum al-lafadz). Konsekuensinya, al-Qur'an tidak lagi suci (sakral), tapi hanya sebuah produk budaya Arab. Sehingga, 'tafsir' mereka tidak lagi berkaitan dengan teks, namun dengan budaya di sekitar teks. Cara pikir liberal seperti ini misalnya kita temukan dalam karya-karya Abdullahi Ahmed an-Na'im, yaitu: "Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law" (1990). New York: Syracuse University Press dan "Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syari'ah (Ttp.)," Diterjemahkan oleh Sri Murniati, 2007, Bandung: Mizan. Melalui karya-karyanya itu, Na'im membuat rancangan 'Syari'ah Modern.'      
[xi] Lihat al-Baghawi dan al-Kuwashi dalam al-Suyuti, al-Itqan, p. 382-383.
[xii] Lihat al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta'wil sebagai Metode Ilmiah, ISLAMIA, p. 63.
[xiii] Sejak dulu, para cendikiawan Muslim menganggap ta'wil sebagai tafsir dalam bentuk khusus, seperti yang disampaikan oleh al-Raghib al-Isfahani dalam al-Suyuti, Itqan, p. 381. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makna istilah tafsir dan ta'wil. Di antara mereka ada yang menyamakan keduanya, ada yang membedakannya, adapula yang memahami tafsir lebih umum, dan sebagainya. Secara sepintas, hal ini bias dilihat lebih lanjut dalam kajiannya Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, vol. I: 19-22 (lengkapi..!!!); lihat juga kajian Wan Mohd Nor Wan Daud, Tafsir dan Ta'wil sebagai Metode Ilmiah, p. 54-69. Lebih lanjut, menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, kadang-kadang, tafsir, ta'wil dan juga ma'ani dianggap sama bukan karena metodenya yang persis sama, tapi lebih disebabkan oleh kesamaan dalam makna. Makna yang dicapai oleh tafsir tidak dapat diperluas dengan ta'wil, khususnya dalam penafsiran hukum. Sebab dalam masalah hukum, penafsiran haruslah jelas (muhkam) dan tidak ambigu (mutashabih). Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid, p. 63. Yang perlu digarisbawahi dari semua ini, perbedaan para ulama itu tidak sampai meruncing pada mempersoalkan teks al-Qur'an sebagai kalamullah.    
[xiv] Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-An'am: 95: "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati." Jika yang dimaksud di situ adalah mengeluarkan burung dari telur, maka yang demikian itu tafsir, namun jika yang dimaksudkan adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta'wil. Lihat 'Ali Ibn Muhammad 'Ali al-Syarif al-Hasana al-Jurjani, at-Ta'rifat, p. 72.   

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...