Al-Qur'an Kuno (tulisan tangan) |
Melihat peran penting Ilmu Tafsir dalam perkembangan peradaban
Islam ini, mayoritas Orientalis kemudian mencurahkan perhatiannya untuk terus
berusaha mendikte kaum Muslimin dalam hal cara memahami agama dan al-Qur'an.[4] Berangkat dari motif
tersebut, kemudian muncul beragam stigma negatif terhadap Tafsir al-Qur'an dari
mereka. Di antaranya datang dari Arthur Jeffery,[5] yaitu bahwa Tafsir al-Qur'an
yang sudah ada itu tidak kritis dan belum memuaskan, karena tidak memuat
pengaruh bahasa Asing.[6] Bahkan, tegasnya, sejarah al-Qur'an itu sama saja dengan
sejarah kitab-kitab suci lainnya.[7] Mereka kemudian
'memaksakan' penggunaan metode Hermeneutika dalam usaha memahami dan
menafsirkan al-Qur'an.
Ironisnya, dagangan para Orientalis ini dibeli oleh sejumlah
pemikir Muslim kontemporer. Bahkan umumnya para pemikir ini tidak hanya sekedar
'membeli', tapi juga membantu menjajakan Hermeneutika untuk dijadikan metode
memahami dan menafsirkan al-Qur'an di kalangan umat Islam. Lebih jauh, sebagian
dari intelektual Muslim bahkan telah melakukan kajian secara sistematis untuk
memasukkan Hermeneutika dalam studi kitab suci al-Qur'an.[8] 'Kelatahan'
sejumlah pemikir Muslim kontemporer ini diikuti oleh yang lain, seperti Fazlur Rahman,[9] Mohammed Arkoun,[10] Nashr Hamid Abu Zayd,[11] dan lain-lain.
Masuknya istilah Hermeneutika dalam khazanah Islam perlu disikapi
secara kritis dan hati-hati. Sebab, sebagaimana pengaruh Westernesasi secara
umum,[12] meminjam metode
Hermeneutika dalam kajian/studi al-Qur'an akan berdampak rancunya konsep
'Tafsir al-Qur'an' yang selama ini telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan
diteruskan oleh segenap umat Muslim hingga hari ini. Hal ini sangat wajar dan
memang akan senantiasa terjadi dampak seperti itu, sebab suatu ilmu, termasuk
Hermeneutika itu tidak lahir dalam ruang hampa (bebas nilai).[13] Hermeneutika adalah
istilah yang tidak netral karena bermuatan pandangan hidup (worldview) Barat.[14] Buktinya, masuknya metode
ini ke dalam kajian studi al-Qur'an telah mengakibatkan "seolah-olah"
al-Qur'an itu problematis. Misalnya saja, akhir-akhir ini tiba-tiba ada
ungkapan dari 'mulut' seorang Muslim yang meragukan dan mempertanyakan kesucian
al-Qur'an dan otentisitasnya.[15] Mereka (orang-orang
liberal) ini juga menyatakan bahwa standarisasi al-Qur'an telah mengalami
berbagai penyimpangan, sebab sangat dipengaruhi oleh rekayasa politik dan
manipulasi kekuasaan. Sampai-sampai, ada yang tanpa sungkan berkeyakinan al-Qur'an
itu hanyalah karangan Nabi Muhammad saw. Ujung-ujungnya, mereka menyimpulkan
bahwa perlu diwujudkan al-Qur'an Edisi Ktiris.[16]
Oleh
karena itu, kajian terhadap 'Konsep Tafsir' ini menjadi penting dan mendesak,
untuk kembali mendudukkan 'Konsep Tafsir al-Qur'an' yang benar. Dalam kaitan
ini, penulis akan membuktikan bahwa Metode Tafsir al-Qur'an yang selama ini
kita kenal dan gunakan merupakan 'anak kandung' dari Pandangan Hidup Islam,
yang kemudian besar dan berkembang melalui mekanisme Epistemologi Islam. Bahkan,
tulisan ini juga akan menunjukkan bahwa, Metode Tafsir 'yang hari ini ada itu tidak
serta-merta bisa digunakan secara bebas sesuka penafsir. Namun, ia tetap diikat
oleh worldview dan Epistemologi Islam. Maksudnya, worldview Islam
tidak hanya melahirkan Metode Tafsir ini, tapi juga terus mengawal dan menguji proses
penggunaan dan hasil penafsirannya terhadap kitab suci al-Qur'an. Ini
menunjukkan bahwa, Tafsir al-Qur'an dan worldview Islam adalah satu
kesatuan yang utuh, yang mana Tafsir al-Qur'an terikat kuat dan berasaskan worldview
itu sendiri. Sehingga dalam Tafsir al-Qur'an, satu saja dari 'variabel pokoknya'
tidak ada atau tidak terpenuhi, maka ia tidak lagi menjadi 'Metode Tafsir al-Qur'an'
yang benar, sehingga hasil tafsiran yang akan dihasilkan juga pasti keliru. Kajian
yang utuh terhadap Metode Tafsir tersebut dengan sendirinya mengungkapkan bahwa
'Metode Tafsir al-Qur'an' selamanya tidak bisa digeser oleh Hermeneutika yang
lahir dari 'rahim Barat' yang problematis.
[1]Karena peran
sentral teks ini, Nasr Hamid Abu Zayd menamakan peradaban Islam sebagai
peradaban teks (hadlarah al-nass), yang secara tegas berbeda dengan
peradaban Yunani sebagai peradaban akal (hadlarah al-aql), dan peradaban
Mesir Kuno sebagai peradaban pasca kematian (hadharah ma ba'da mawt).
Lihat dalam Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nash: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an,
(Beirut: al-Markaz as-Saqafi al-Arabi, 1996), p. 9.
[2]Lihat Abu Ja'far
Ibn Jarir al-Tabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, diterjemahkan
dan diberi pengantar oleh J. Cooper, (Oxford: OUP, 1987), I: 8.
[3] Lihat al-Zarkashi
dalam Jalal al-Din al-Suyuti, Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, (Beirut: Dar
al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1987), 1: 383.
[4] Lihat dalam Seyyed
Hossein Nasr, A Young Muslim Guide to the Modern World, (Petaling Jaya:
Mekat Publising, 1994), p. 237-238. Pengalaman para Missionaris dalam mengkaji
dan mengkritik Bible coba diterapkan oleh para Orientalis untuk mengkaji dan
mengkritik al-Qur'an. Upaya ini mulai diterapkan secara sistematis ke dalam
studi al-Qur'an pertama kali oleh Orientalis Theodore Noldeke, dengan karyanya Sejarah
al-Qur'an (Geschichte des Qorans). Latar belakang sejarah penulisan dan
usaha bersama para orientalis Jerman menulis buku tersebut bisa dikaji lebih
jauh dalam karya Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi al-Qur'an: Kajian
Kritis, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 49-50 dan 54-57. Pendapat
Noldeke itu kemudian diulang lagi oleh para Orientalis lain, di antaranya
Arthur Jeffery. Menurutnya, Tafsir al-Qur'an yang sudah ada itu tidak kritis
dan belum memuaskan karena tidak memuat pengaruh bahasa Asing. Lihat dalam
Adnin Armas, Kritik Arthur Jeffery Terhadap al-Qur'an, ISLAMIA, Thn, I,
No. 2 (Juni-Agustus, 2004), p. 8.
[5]Arthur Jeffery
adalah seorang orientalis asal Inggris.
[6] Ia berpendapat
bahwa al-Qur'an terpengaruh berbagai bahasa asing, seperti Ethiopia, Aramaik,
Ibrani, Syriak, Yunani Kuno, Persia dan bahasa lainnya. Lihat dalam Adnin
Armas, Kritik Arthur Jeffery Terhadap al-Qur'an, p. 8.
[7] Lihat Arthur
Jeffery, The Quran as Scripture, The Moslem World 40 (1950), no. 4, p.
41-55.
[8] Di era kontemporer
ini, Hassan Hanafi dilihat sebagai pemikir Muslim yang bertanggung jawab
membawa masuk dan mengembangkan metode Hermeneutika dalam kajian al-Qur'an.
Kajian lebih lanjut terhadap metode Hermeneutika yang dikembangkan Hanafi bisa
dilacak dalam Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd:
Ana Analysis Study of His Method of Interpreting the Qur'an, (Montreal,
Canada, Disertasi Doktor di Institute of Islamic Studies, McGill University,
2001). Moch Nur Ikhwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur'an: Teori
Hermeneutika Nasr Abu Zayd, (Jakarta: Teraju, 2003), dan Ilham B. Saenong, Hermeneutika
Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur'an Menurut Hasan Hanafi, (Jakarta,
Teraju, 2002). Secara
umum, istilah Hermeneutika ia gunakan dalam tiga hal, pertama, metode
hermeneutika yang ia gunakan dalam upaya rekosntruksi ilmu ushul fikih; kedua,
Hermeneutika Fenomenologis untuk menafsirkan fenomena keagamaan dan
keberagamaan; dan ketiga, dalam kaitannya dengan kajian kritis terhadap
Hermeneutika Eksistensial dalam konteks penafsiran Perjanjian Baru. Lihat dalam
Moch. Nur Ichwan, Hermeneutika al-Qur'an: Analisa Peta Perkembangan
Metodologi Tafsir al-Qur'an Kontemporer, Skripsi Sarjana Agama,
(Yogyakarta: Perpustakaan UIN, 1995), p. 44. t.d. Dalam tulisannya yang lain, Religious
Dialogue and Revolution, Hassan Hanafi menyatakan bahwa hermeneutika itu
tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu
yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke
tingkat dunia. Maksudnya, dalam konteks al-Qur'an, hermeneutika merupakan ilmu
tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai
praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan
manusia. Lihat Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), p. 1. Ide hermeneutika al-Qur'an Hanafi dilakukan
melalui tradisi ushul fikih. Sebab ia melihat ada kaitan erat antara
Hermeneutika al-Qur'an dengan metodologi Fiqh Klasik, dimana fiqh berusaha
merumuskan hukum dalam menghadapi realitas sosial yang senantiasa berkembang.
Lihat dalam Lihat Hassan Hanafi, Manahij al-Tafsir wa Masalih al-Ummah, dalam
al-Din wa al-Saurah, (Kairo: Maktabah Madbuli, 1989), vol. VII, p. 112.
[9]Fazlur
Rahman mengharuskan pemahaman al-Qur'an dalam konteks masyarakat ketika dulu ia
diturunkan. Dari pandangannya itu kemudian lahir apa yang ia namakan dengan
teori 'Gerak Ganda' (double-movement). Dalam teori ini, untuk memahami
al-Qur'an, seorang mufassir harus kembali melihat konteks sejarah dan sosial
al-Qur'an ketika itu. Kemudian, dibuat formulasi prinsip umum dari ayat-ayat
tersebut. Selanjutnya, kita membawa formulasi itu ke masa kini untuk
diaplikasikan dalam kasus-kasus yang terjadi secara dinamis. Lihat dalam Fazlur Rahman, Islam and Modernity, (Chicago:
The University of Chicago Press, 1984), p. 5 dan 19-20.
[10]Mohammed
Arkoun mencoba menerapkan metode Hermeneutika dengan melakukan pemilahan dan
penentuan mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutis. Ini
dilakukannya karena menurutnya, penafsiran yang utuh itu baru dicapai manakala
kita melihat keterkaitan dimensi bahasa-pemikir dan sejarah. Cukup banyak karya
Arkoun yang memuat ide-denya itu, di antaranya "Rethinking Islam
Today," Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity and Change, ed.
Azim Nanji, (Berlin: Mouton de Gruyter, 1997). P. 221; al-Fikr al-Islami: Qira'ah
'Ilmaniyyah, (Beirut:
Markaz al-Inma' al-Qawmi dan al-Markaz al-Thaqafi al-'Arabi, 1996).
[11]Dengan
bahasa yang tidak kalah keras, Nashr Hamid Abu Zayd mengatakan subyektifitas dan kepentingan-kepentingan ideologis dalam
interpretasi hanya bisa diminimalisir dengan meninggalkan metode (yang
menurutnya) tradisional, dengan meletakkan "konsep teks' (mafhum
al-nash) sebagai pusat pengkajian, sehingga penggunaan teori hermeneutika
menjadi niscaya. Lihat [11] Nashr Hamid, Mafhûm al-Nâss: Dirâsah fî 'Ulûm alQur'ân, p. 12-13.
[12] Salah satu dampak
negatif yang cukup serius dari Westernisasi adalah rancunya konsep ilmu. Ia
cenderung menjadikan ilmu sebagai problematis. Dari sinilah berkembang
ilmu-ilmu yang justru merusak, khususnya spiritual kehidupan manusia, demikian
ungkap Anin Armas dalam Krisis Epistemologi dan Islamisasi Ilmu, (Ponorogo:
CIOS ISID Pondok Modern Darussalam Gontor, 2007), p. 1.
[13] Lihat
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur:
ISTAC, edisi kedua, 1993). Bahkan tidak hanya pemikir Muslim yang mengemukakan
ini, adalah Thomas S. Khun, seorang Filosof sains bidang Fisika asal Amerika
Serikat yang mengungkapkan hal yang sama, yaitu bahwa ilmu itu tidak bebas
nilai (value neutral), akan tetapi sarat nilai (value laden). Lihat
dalam Thomas S. Khun, The Strukture of Scientific Revolution, (Chicago:
The University of Chicago Press, 1970). Lebih jauh al-Attas mengatakan bahwa,
ilmu yang tidak bebas nilai itu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam
untuk menyebarluaskan cara dan pandangan hidup suatu kebudayaan. Lihat dalam
karya beliau Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001),
p. 49. Baca juga Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and
Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas-An Exposition of the Original Concept
of Islamization, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), P. 237.
[14] Sudah
banyak kajian serius yang mengungkap bahwa istilah Hermeneutika itu tidak bebas
nilai (value free), melainkan sarat nilai (value laden). Salah
satu kajian cukup serius menguak "nilai" dibalik Hermeneutika
dilakukan oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Menguak Nilai Dibalik Hermeneutika, ISLAMIA,
Thn. I, No. I (Muharram 1425/Maret 2004), p. 16-29. Lihat juga kajiannya
Dr. Syamsuddin Arif, Apa Itu Hermeneutika?, (Makalah Kuliah yang
Disampkaikan dalam Kuliah di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo pada
Program Pasca Sarjana, 2009). Baca juga Dr. Ugi Suharto, Apakah al-Qur'an
Memerlukan Hermeneutika?, ISLAMIA, Thn. I, no. I (Muharram 1425/Maret
2004), p. 46.
[15] Pemikir
Muslim asal al-Jazair, Mohammed Arkoun yang banyak menyuarakan pandangan keraguan ini.
Idenya ini dapat dibaca di beberapa bukunya, seperti Mohammad Arkoun, al-Fikr
al-Islami: Qira'ah 'Ilmaniyyah, (Beirut: Markaz al-Inma' al-Qawmi dan
al-Markaz al-Thaqafi al-'Arabi, 1996); Tarikhiyyah al-Fikr al-Islami, terj.
Hashim Saleh, (Beirut: Markaz al-Inma' al-Qawmi dan al-Markaz al-Thaqafi
al-'Arabi, 1996). Studi kritis atas ide Mohammad Arkoun bisa kita dapatkan di
beberapa karya, seperti karya Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi
al-Qur'an: Kajian Kritis, p. 63-69, dan Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist
Approach to the Qur'an: Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the
Writings of Two Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun, (Kuala
Lumpur, Disertasi Doktoral di Internasional Islamic University Malaysia (IIUM),
2003). Kajian ringkas terhadap ide-ide Arkoun ini juga bisa kita lihat dalam
Ahmad Idris al-Ta'an al-Hajj, "Intihak Qadasah al-Qur'an fi al-Khitab
al-'Ilmani, al-Muslim al-Mu'asir, no. 115, 2005, p. 103-123.
[16] Kajian
mendalam lihat dalam Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi al-Qur'an:
Kajian Kritis, (Jakarta: Geman Insani Press, 2005).