Kamis, 16 Mei 2013

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia


          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terhadapku, kau akan menerima sepuluh patah balasannya.” Jalaluddin Rumi, yang kebetulan lewat, mendengar pertengkaran itu. Dia mendatangi mereka dan berkata, “Saudara! Persediaan makian macam apa pun yang kalian punyai tumpahkanlah atas diriku. Kalian boleh melemparkan beribu makian padaku, dan kalian tak akan menerima balasan satu pun.” Dua orang yang bertengkar itu lupa akan segala makian mereka, bersujud di kaki Rumi dan mereka pun berdamai.

          Jalaluddin Rumi, penyair Sufi terbesar yang pernah dilahirkan dunia, yang karyanya Mathnawi termasyhur, lahir di Balkh pada 1207 M.  Dia berasal dari keluarga ulama besar, keturunan Khalifah Islam pertama. Kakeknya, husain Balkhi, adalah sarjana kebatinan yang begitu dihormati, sehingga Sultan Muhammad Khwarizm Shah mengawingkan anak perempuannya dengannya. Dengan demikian, penguasa Khawarizm adalah kakek Jalaluddin Rumi dari pihak ibu.
          Syeikh Bahauddin Balki, ayah Jalaluddin Rumi, diakui sebagai ahli ilmu pengetahuan terbesar dari zamannya di dunia Islam. Muhammad Khawarizm Shah menjai murid Syikh Bahauddin, dan acap kali mengunjunginya. Dia memberikan pendidikan dan memberi kuliah tentang segala persoalan.
          Tetapi, oleh persaingan di Istana, Syikh Bahauddin meninggalkan Balkh, diikuti oleh ratusan muridnya dan para pengikutnya bermigrasi ke arah Barat. Dia melewati Nishapur, dan pada tahun1212 bertemu kepada Syeikh Fariduddin Attar. Menurut penulis-penulis kronik, Fariduddin memeluk Jalaluddin, dan meramalkan kebesarnnya, mendoakan serta memberi sebuah salinan dari sajaknya, Asrar Nama. Dari Nishapur, Syeikh Bahauddin tiba di Baghdad, tempat dia bermukim beberapa tahun, memberi kuliah tentang soal-soal agama. Duta dari penguasa dinasti Saljuk, Kaikobad, yang juga menghadiri kuliah-kuliah itu, memujikan pengetahuan Syeikh itu yang dalam kepaa rajanya. Raja Kaikobad ikut menjadi murid Syeikh Bahauddin. Dari Baghdad, Syeikh dan rombongannya pergi Hejaz, kemudian ke Zanjan, dan tinggal setahun di sana. Kemudian, syeikh berangkat ke Larinda (Kirman), tempat dia menetap tujuh tahun. Di sini dia mengawinkan anaknya Jalaluddin Rumi dengan seorang wanita bernama Gauher, yang kelak melahirkan dua putra, Sultan Veld dan Alauddin. Penguasa Saljuk, Alauddin Kaikobad, seorang pengagum Syeikh, mengundangnya untuk tinggal di ibu kota. Menyetujui undangan itu, maka Syeikh pun berangkat ke Konya (Inconium), ibu kota kerajaan Saljuk. Raja Seljuk dan orang-orang istananya menyambut Syeikh di luar kota, dan mengiringnya dengan berjalan kaki. Di kota inilah Syiekh Bahauddin ,ayah Maulana Jalaluddin, wafat pada tahun 1231 M.
          Jalaluddin mendapat pendidikan pertam adari ayahnya yang terpelajar. Di antara para murid ayahnya, ada seorang sarjana terkenal, Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq. Jalaluddin dipercayakan ke tangan sarjana ini; dia mengajarkan Maulana semua soal dunia. Setelah ayahnya meninggal, Jalaluddin Rumi, yang berusia 25 tahun, pergi ke Damaskus dan Aleppo, dua pusat ilmu pengetahuan, untuk mendapat pendidikan lebih tinggi di masa itu. Sayyid Bahauddin juga mengajari Jalaluddin adat dan pengetahuan mistik. Sesudah gurunya meniggal, Jalaluddin jatuh kedalam pengaruh – dan mendapat pendidikan – dari Shams-I-Tabriz, “tokoh aneh’ yang digambarkan Nicolson: “Mengenakan pakaian hitam yang kasar, yang melintas cepat sesaat dihadapan kita, dan menghilang secara tragis.”
          Maulana Jalaluddin Rumi menjadi seorang sarjana besar, seorang putra yang pantas dari ayah yang terpelajar, dikelilingi oleh sarjana-sarjana dan pengikut-pengikut yang tertarik dari bagian-bagian jauh dunia Islam.  Di sini, pada tahun 624 H, dia bertemu dengan Shams-I-Tabriz. Perjumpaan ini terbukti merupakan titik balik dalam kehidupannya. Dari seorang guru duniawi, Rumi menjadi pertapa. Ia melemparkan semua kemeghahan dan kesenangan duniawi, mengundurkan diri kekehidupan sembahyang dan doa, dan ketaatan kepada guru kebatinannya, Shams-I-Tabriz. Perubahan tiba-tiba dalam kehidupannya ini menimbulkan kegelisahan di antara murid-muridnya. Untuk menenangkankegelisahan mereka, Shams-I-Tabriz menhilang dari Konya pada satu malam. Perpisahan dengan guru itu membuat Maulana tidak senang sama sekali, dan memberikan reaksi terhadap kejadian ini dengan meniggalkan keduniaan. Hal ini menimbulkan kekacauan yang dalam di kalangan keluarganya. Karena itu, putranya tertua diutus untuk mencari Shams-I-abris. Dia membawanya kembali ke Koyna dari Damaskus. Guru dan murid-muridnya tetap bersama-sama untuk sementara, dan pada suatu hari, karena dijengkelkan oleh sementara murid Maulana, Shams-I-Tabriz sekali lagi menghilang dari Konya untuk selam-lamanya. Pencarian yang tuntas terhadap wali itu, seklipun Rumi sendiri ambil bagian, berakhir dengan kegagalan.
                   Menghilangnya guru kebatinan ini mebawa perubahan besar dalam hidup Rumi, dan memberi ketajaman pada sentimen-sentimannya dan naluri inspirasi puitiknya, yang selama ini terpendam. Transformasi kerohanian yang revolusioner ini mencapai klimaks dengan curahan puitik yang tak terkendalikan. Awal dari Matnawi, karya abadinya, dikerjakan dalam periode ini.     
Jalaluddin Rumi telah membukakan pintu bagi kelahiran sebarisan ahli mistik, yang kemudian disebut Jalalia. Yang termashur di antara mereka, Syeikh Bu Ali Qalander dari Panipat, tinggal bersama Rumi untuk beberapa tahun, dan banyak terpengaruh olehnya. Seorang wali terkenal lainny, Syeikh Shabuddin Suhrawardy, juga mengambil manfaat dari didikan Rumi. Syeikh Sa’di, penyair dan moralis Persia termasyhur, menururt pengarang Manaqib-ul-Aarfeen,  juga telah mengunjungi Rumi di Konya.
Jalaluddin Rumi meninggalkan dua karya yang memberi dia kemasyhuran, Diwan dan Mathnawi yang abadi. Diwan,yang berisi 50.000 bait, terutama lirik mistik, pernah dianggap sebagai gubahan guru kebatinannya Shams-I-Tabriz, karena nama guru itu berkali-kali digunakan pada bait-bait akhir. Bagian terbesar karya ini digubah Rumi sesudah menghilangnya guru kebatinan itu, sementara Rida Quli Khan menganggap bagian utama karya ini digubah dalam memperingati kematian yang sang guru. Menurut Nicholson, “Suatu bagian bari Diwan digubah ketika Shams-I-Tabriz masih hidup, kemungkinan bagian terbesarnya diguah kemudian.”
Lirik-lirik Maulana penuh dengan kejujuran dan keagungan, emosi yang dalam dan semangat melupakan, yang memberi ciri karya-karya penyair mistik Persia, termasuk Sanai dan Attar. Lirik ini bebas dari ornamentasi dan pasitivi (hiasan dan ketidakpedulian), seperti yang lazim pada lirik Salman Khakani,dan Anwari.
Itulah masa berkembangnya penyair-penyair madah (panegyrists) besar di Persia, begitu hebat hingga penyair-penyair sekaliber Sa’di dan Iraqi puin tak bisa menahan diri mencoba-coba menggubah syair-syair pujian.
Tetapi, Maulana Rumi mengelakkan diri dari keburukan sosial yang tumbuh ini. Dia membatasi puisinya pada penerjemahan jujur perasaannya yang sesungguhnya ke dalam syair. Naluri dengan kelimpahan perasaan, lirik-liriknya mempunyai pesona puitik yang kuat, yang mengangkat seseorang kedunia yang lebih tinggi. Di menggugah perasaan-perasaan manusia yang lebih tinggi dan mulia.
Dengan keruntuhan kekuasaan Seljuk di Persia, pelindung para penyair pun lenyap. Sejak itu penyair memberi perhatian yang lebih besar kepada lirik, sebaliknya dari syair pujian. Penyair-penyir yang memperhalus lirik, dan membuana menjadi wahan perasaan-perasaan yagn tulus, adalah Rumi Sa’di, dan Iraqi. Maulana sendiri seorang mistik eremashur, maka dia secara setia menggambarkan berbagai taraf dari cinta, yang telah dialaminya dalam hidupnya.   
                   Mathnawi, karyanya yang abadi, tak diragukan lagi adalah buku yang paling popular dalam bahasa Persia. Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa Timur dan Barat, dan telah memberinya tempat terhormat di antara sedkit penyair abadi di dunia. Menurut  penul;is buku Majma-us-Safa, empat buah buku terbaik dalam bahasa Persia adalah Shahnam-I-Firdausi, Gulistan-I-Sadi, Mathnawi-I-Rumi dan Diwani-I-Hafiz tetapi karya Rumi Mathnawi dianggap paling popular dari semua. Sejak semula dia menjadi kesayangan kaum intelektual dan agamawan. Sejumlah ulasan telah ditulis tentang buku ini.
                   Karya Maulana yang terdiri dari 6 buku dan memuat 26.660 bait, dan diselesaikan dalam 10 tahun. Menurut pengarangnya, Mathnawi berisi, “Akar-akar agama dan penemuan kegaiban-kegaiban alam dan pengetahuan Ketuhanan”. (Pengantar bahasa Arab pada Buku I). “Di dalamnya terdapat sejumlah besar anekdot pengembaraan,” tulis Browne dalam Sejarah Literer Persia. “Juga mengenai banyak watak, yang agung maupun dan bermartaat, yang aneh-aneh, diselingi penyimpanagan-penyimpangan mistik dan teosofi. Bahkan watak yang paling sulit dimengerti, dalam kontras yang tajam dengan bagian-bagian penceritaan, sekalipun menampilkan beberapa gaya ucapan yang pelik, bisa ditulisnya dalam bahasa yang sederhana dan terang. “Buku itu luar biasa, dibuka dengan spontan, tanpa lagu-lagu pujian (zikir) yang lazim, hanya dengan bagian yang indah dan terkenal, diterjemahkan oleh Almarhum Profesor E.H. Palmer dengan judul Nyanyian Buluh.
                   Mathwani (sajak naratif yang panjang) sebagai bentuk persajakan memulai kelahirannya dalam perlindungan Mahmud dari Ghaszani. Firdausi kemudian menjadikan bentuk ini sebagai wahana mengisahkan sejarah lama Persia dalam karyanya yang abadi, Shah Nama. Setelah itu, Hakim Sinai menulis Hadiqa, syair mistik pertama dalam bahasa Persia, kemudian diikuti oleh Khwaja Fariduddin Attar, dengan menulis beberapa Mathwani yang penuh dengan pemikiran mistik. Tetapi, Mathnawi Jalaluddin Rumi yang menandai klimaks persajakan puitik mistik, dan termasuk dalam syair-syair abadi di dunia.
                   Di antara faktor yang mendukung popularitas karya padu yang tiada tertandingi ini adalah keagungan pikiran dan kehalusan kumpulan gagasan, yang disajakkan dengan cara sederhana luar biasa, hampir-hampir tidak ditemukan dalam bahasa lain. Nilai-nilai etik dan mistiknya dengan indah diungkapkan melalui kisah-kisah yang cerdas, dan perumpamaan-perumpamaan yang diambil dari kehidupan sehai-hari. Cara Malauna menerangkan problem-problem etik dan mistik yang berseluk-beluk itu, melalui cerita-cerita yang realistis, cukup menunjukkan bahwa ia mempunyai wawasan yang tajam kedalam rahasia-rahasia watak manusia. Bersama dia, seni mengajarkan moralitas melalui cerita, seperti dalam kehidupan sebenarnya, telah mencapai puncaknya. Dia menunjukkan sifat-sifat yang sebenarnya, telah mnecapai puncaknya. Dia menunjukkan sifat-sifat buruk manusia yang tersembunyi dengan cara sedemikian rupa, sehingga orang merasa telah mengetahui hal itu sebelumnya.
                    Ciri pokok syairnya adalah keagungan pikiran dan kesederhanaan serta spontanitas penyajiaannya. Sebaliknya dari pesimisme dan kehidupan pasrah, seperti yang diperaktekkan dan dikhotbahkan oleh kaum mistik secara umum, Maulana mengajarkan optimiseme yang sehat, dan suatu kehidupan yang penuh denagan ekegiatan. Dalam salah satu ceritanya, di  mempertahankan, bahwa kepercayaan diri sendirilah yang dimaksud oleh majikan ketika memberikan pacul ke tangan seorang buruh. Dengan cara yang sama pula Tuhan memberi kita tangan dan kaki, dan ingin agar kita menggunakan pemberian Tuhan itu. Sebab itu, hidup menolak dunia dan pasrah sesungguhnya bertentangan dengan kemauan Tuhan. Islam mengajarkan, seseorang harus berusaha sebaik-baiknya dan menyerahkan keputusannya kepada-Nya.
                   Sebelum bertemu dengan Shams-I-Tabriz, Maulana menjalani kehidupan semarak dan penuh kemegahan. Kemana saja ia pergi, dia diiringi oleh sejumlah besar pengikut dan murid. Sesudah itu dia menghabiskan waktunya dalam doa dan renungan. Biasanya di menghabiskan seluruh malam dengan shalat.
                   Dia sangat berprikemanusiaan dan pemurah. Penguasa-penguasa negeri tetangga dan orang-orang istananya mengirimkan hadiah-hadiah berharga, yang biasanya disedekahkan secara merata oleh Rumi di antara kaum miskin. Jika tidak ada makanan di rumhahnya, dia malah senang sekali malah berkata, “Hari ini rumah kita serupa dengan rumah para wali.” Dia begitu pemurah, sehingga bisa menawarkan apa yang lekat di badannya kepada seseorang yang memerlukan.
                   Dia menjauhi pergaulan dengan para penguasa dan orang istana. Para penguasa dan para mentri saling bersaing untuk menjadi orang yang disenangi oleh Rumi. Mereka sewaktu-waktu mengunjungi Maulana, tapi dia selalu mengelak sedapat mungkin.
                   Jalaluddin konon diberkahi dengan kekuatan ghaib sejak masa kanaknya. Tentang hal itu,  ada anekdot sebagai beriktu:
                   Sebagai anak kecil berumur 11 tahun, pada suatu hari Rumi bermain-main dengan teman-temannya di atas atap rumahnya. Rumi menganjurkan mereka sebaiknya pindah ke rumah depan, dan meneruskan bermain di sana. Tapi, dia sendiri tak mau turun  bersama merea, dan mengatakan bahwa dia akan melompat kerumah depan, sekalipun ada jalan yang lebar di antara kedua rumah itu. Itu lebih baik dari pada menuruni tangga. “Bagaimana hal itu mugkin? Kalau bukan jin, dan kau pun tak mempunyai lampu Aladdin untuk membawa kau keseberang melalui atap,” teriak teman-temannya. Ketika mereka sampai ke atap di seberang jalan itu, teman-temannya tercengang menemui Rumi sudah di sana.
                   Jalaluddin wafat pada 1273 M, dan dimakamkan dalam makam besar yang dibangun melingkupi kuburan ayanya di Konya, oleh Alauddin Kaikobad, penguasa Seljuk. Rakyat dari segala golongan dan lapisan mengantarkan jenazahnya, menangis dan meratap. Orang-orang Kristen dan Yahudi membacakan kitab-kitab mereka. Raja Seljuk, yang ikut mengantarkan jenazahnya, bertanya kepada orang-orang ini, apa hubungan mereka dengan Maulana yang shaleh itu. Mereka menjawab, “Jika yang meniggal ini sekiranya sama dengan Muhammad saw bagi Anda, maka dia bagi kami seumpama Kristus dan Musa.” Seluruh penduduk keluar untuk memberikan penghormatan terakhir pada orang suci yang berangkat itu.
                   Jalaluddin Rumi adalah seorang penyair penting, seorang sufi  termasyhur, dan atas segalanya, seorang besar. “Dia tak diragukan lagi adalah penyair Sufi yang paling ulung, yang telah dilahirkan Persia,” tulis Browne, “sementara karya mistiknya Mathawani pantas mendapat tempat di antara puisi besar segala zaman.”
         

Peranan Universitas Islam dalam Membangun Tradisi Keilmuan


Allah swt. memerintahkan kaum Muslimin untuk selalu menuntut ilmu, demikian pula dengan Rasulullah saw. yang menganjurkan para pengikutnya untuk menuntut ilmu walau sampai ke negeri Cina. Hal inilah yang melandasi Institut Studi Islam Darussalam pada khususnya, dan dunia Islam pada umumnya untuk memberikan perhatian yang besar pada bidang keilmuan dan pengajaran. Namun demikian, sejak permulaan abad kesembilan belas, universitas-universitas di dunia Islam mulai mengalihkan perhatian mereka ke Barat dan berusaha mentransfer ilmu pengetahuan modern dari mereka. Kita, dalam masa yang cukup lama, seakan menjadi tamu di perjamuan pendidikan dan riset Barat. Bahkan sampai saat ini Barat masih membuktikan diri sebagai yang terbaik dalam bidang ini.
Pada akhir-akhir ini, universitas-universitas yang didirikan di Timur telah mencapai kemajuan yang cukup pesat sehingga dapat memajukan negaranya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Lembaga-lembaga pendidikan dan Universitas-universitas Islam dalam sejarahnya memiliki peran sentral dalam membangun peradaban dan berdialog dengan peradaban lain. Dari aktifitas sederhana memahami (tafaqquh) wahyu al-Qur’an di lembaga al-Suffah di Madinah Islam berkembang menjadi peradaban besar yang memberi rahmat bagi peradaban dunia. Tidak berlebihan jika George F Kneller menyatakan bahwa “Bala tentara Islam…tidak berbekalkan apa-apa secara kultural selain dari Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Tapi karena inner-dynamic-nya, maka ajaran Islam itu telah menjadi landasan pandangan hidup yang dinamis yang kelak…memberi manfaat untuk seluruh umat manusia.” George F Kneller, Science as a Human Endeavor, New York: Columbia University Press, 1978, hal. 3-4).
Dibalik pernyataan itu sejatinya terdapat fakta-fakta sejarah bahwa peradaban Islam  berkembang diiringi oleh aktifitas keilmuan. Masjid-masjid di zaman dinasti Umayyah, Madrasah Nizamiyah di Baghdad, Zaitunah di Tunis, Qarawiyun di Maroko, al-Azhar di Mesir merupakan contoh yang hidup yang diantaranya masih terus memberi kontribusi terhadap pembangunan peradaban. Meski peran yang dimainkan lembaga-lembaga pendidikan dan unviersitas Islam tersebut berbeda antara satu dengan lainnya, namun semua berorientasi sama yaitu membangun peradaban Islam dan menjadi rahmat bagi alam semesta. 
Kini universitas dan lembaga pendidikan Islam menghadapi tantangan internal dan eksternal yang tidak ringan. Secara internal, universitas dan lembaga pendidikan Islam menghadapi problem penurunan kualitas keilmuan dan kekurangan innovasi sains dan teknologi, inefisiensi manajemen dan kelembagaan, kelemahan mekanisme penyebaran ilmu pengetahuan yang kesemuanya mengakibatkan lemahnya peran alumninya dalam mengembangkan potensi umat Islam. Secara eksternal universitas dan lembaga pendidikan Islam menghadapi tantangan dan tuntutan yang diakibatkan oleh arus globalisasi yang membawa serta paham-paham yang justru melemahkan atau bahkan menghilangkan identitas, visi dan misi universitas dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Paham-paham seperti materialism, sekularisme, liberalism, dekonstruksionisme, relativisme dan lain sebagainya mulai memasuki wacana studi Islam.
Untuk menghadapi tantangan internal dan eksternal, kerjasama di antara lembaga pendidikan dan universitas Islam dalam berbagai bidang studi harus dikembangkan dan diperkuat. Serta reorientasi dan revitalisasi Universtias Islam dengan penekanan khusus pada peningkatan kerjasama demi membangun tradisi keilmuan dalam Islam dikalangan universitas Islam sangat diperlukan.

Selasa, 14 Mei 2013

Sekilas tentang penulisan Hadits


Al-Hadits merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah yang melekat pada diri Nabi. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah al-Hadits. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. Dengan kata lain, al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur'an. 
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teori yang mengarah pada keraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien dengan mantab mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Beberapa penulis muslim seperti halnya Ahmad Amin, juga Isma'il Ad'ham sebagaimana dikutip Mustafa al-Siba'i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan dengan otentisitas al-Hadits ini. Selain proses kodifikasi al-Hadits, ada pula masalah lain yang menjadi faktor bagi mereka yang ragu akan otentisitas al-Hadits, yaitu tentang adanya larangan penulisan al-Hadits. 

Perintah Penulisan Hadits
Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.
Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan al-Hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya; "Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain)", Mungkin saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih? (Sunan Abi Dawud Juz III: hal 321) Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: "Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak". (Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32 hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39)
Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr, diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: "Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: 'Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; 'apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, 'Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak" (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162)
Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: "Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw".(Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127)
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain yang ditulis Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Sa'ad bin Ubaddah. Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: "Bersabda Rasulullah saw, 'tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah" (Shahih Bukhari Juz 1, hal 31) 

Larangan Penulisan Hadits
Selain hadits diatas, ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana dari Abu Sa'id Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya" (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21)
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir tentu kontradiktif dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut muncul beberapa pendapat ulama. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.
Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.
Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya 'illat khusus. Ketika 'illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. 'Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: 'Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya"
Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.

Penutup
Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan hanya kegiatan penulisan al-Hadits semata, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih hidup. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan penulisan Hadits yang kemudian dikaitkan dengan ke-bid'ah-an penulisannya, hal ini patut dimaknai bahwa larangan tersebut sebenarnya adalah larangan secara khusus yaitu larangan untuk menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau larangan yang dapat menyebabkan para sahabat menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.  Hal ini berdasarkan fakta bahwa penulisan hadits sebenarnya telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw yang diperintahkan sendiri oleh Rasulullah saw kepada sahabat tertentu.


Ref:
·        Azami, Muhammad Musthafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994
·        Al-Siba'i, Musthafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islam (terjemahan Nurcholis Madjid), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993
·        Abu Dawud, al-Imam, Sunan Abi Dawud, Maktabah Dahlan, Indonesia

Contoh Surat Syarikah Mudharabah


بسم الله الرحمن الرحيم
SURAT AQAD SYARIKAT MUDHARABAH
PENYEDIAAN HEWAN QURBAN 1431 H BERUPA KAMBING


Allah SWT berfirman (dalam hadits Qudsi):
“Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang
yang melakukan syirkah, selama salah seorang di antara mereka
tidak berkhianat kepada kawan syarikatnya.
Apabila diantara mereka ada yang berkhianat, maka
Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi).”
(HR. Imam Daruquthni dari Abu Hurairah ra.)

FATIHAH
Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, pada hari ini, Senin tanggal 11 bulan Oktober tahun 2010, di Ponorogo, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama                                : Farida Marpaung     
Nomor KTP                     :
Pendidikan/pekerjaan       : Dosen
Alamat                             :
Yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama

Nama
                                :  Sulaiman Dalimunthe         
Nomor KTP                     :  
Pendidikan/pekerjaan       :  Mahasiswa Program Pasca Sarjana
Alamat                             : Ds. Gontor, kec. Mlarak Pondok Modern            Darussalam Gontor 03/01 Ponorogo 63472
Yang selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua

Secara bersama-sama kedua pihak bersepakat untuk mengadakan perjanjian bersyarikat (aqad syarikat) dengan jenis syarikat mudharabah dalam suatu usaha Ternak kambing untuk stok Iedul Adha 1431 H. Dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 1
Ketentuan Umum
1. Pihak Pertama, selaku pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan sejumlah uang/diuangkan tertentu kepada Pihak Kedua untuk dipergunakan sebagai modal usaha dalam suatu usaha Penyediaan Hewan Qurban Berupa Kambing Untuk Iedul Adha 1431 H di kota Ponorogo dan sekitarnya.
2. Pihak Kedua, selaku pengelola modal (mudharib) dari Pihak Pertama, mengelola suatu usaha tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 1.
3. Pihak Kedua menerima sejumlah modal dalam bentuk uang/diuangkan tunai dari Pihak Pertama, yang diserahkan pada saat aqad ini disepakati dan ditandatangani.
4. Kedua Pihak akan mendapatkan keuntungan hasil usaha menurut persentase keuntungan yang disepakati bersama dan menanggung kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
5. Masing-masing pihak memiliki andil dalam usaha ini, baik modal/tenaga, besar maupun pembagiannya sebagaimana tercantum pada pasal 2 dan 3.


Pasal 2
Modal Usaha
1. Besar uang/diuangkan modal usaha, sebagaimana disebut pada Pasal 1 ayat 1 adalah sebesar Rp 7.000.000,00 (terbilang tujuh juta rupiah).
2. Modal Pihak Pertama tersebut diserahkan pada saat aqad ini ditandatangani.

Pasal 3
Pengelola Usaha
1. Dalam mengelola usahanya, pengelola bisa dibantu oleh seorang sejumlah staf yang kesemuanya berstatus sebagai karyawan (ajiir).

Pasal 4
Keuntungan
1. Keuntungan hasil usaha adalah keuntungan bersih, berupa keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usaha dikurangi biaya operasional (Rp. 400,00 /ekor/hari dan pajak usaha (bila dipungut).
2. Impas adalah kegiatan usaha yang tidak memperoleh keuntungan usaha dan tidak menderita kerugian usaha.
3. Keuntungan hasil usaha dibagi menurut hasil musyawarah kedua Pihak berdasarkan besar kecilnya hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pembagian keuntungan hasil usaha yang disepakati kedua pihak adalah: Pihak Pertama sebagai shahibul maal mendapat 50 % dari seluruh keuntungan bersih hasil usaha, sedangkan Pihak Kedua memperoleh 40 % dari seluruh keuntungan bersih hasil usaha.
4. Sisa 10 % dari jumlah seluruh keuntungan bersih hasil usaha oleh pihak kedua diberikan kepada pihak ketiga sebagai infaq fi sabilillah.

Pasal 5
Kerugian
1. Kerugian usaha adalah hasil usaha dikurangi pengeluaran usaha bernilai negatif atau besar modal usaha menjadi berkurang atau musnah dalam suatu kegiatan usaha.
2. Apabila terjadi impas pada akhir kegiatan usaha, maka kedua Pihak tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatan usaha.
3. Kerugian usaha pada hakikatnya ditanggung kedua Pihak. Sesuai dengan hukum Islam tentang Syirkah mudharabah.
4. Apabila kerugian usaha disebabkan oleh kesengajaan Pihak Kedua melakukan penyimpangan, maka seluruh kerugian usaha ditanggung oleh pihak kedua.

Pasal 6
Penghitungan Untung-Rugi
1. Penghitungan untung rugi dilakukan 3 hari setelah laporan terinci dibuat oleh pihak Kedua.
2. Penyerahan hasil keuntungan sebagaimana pasal 4 ayat 3 (bila memperoleh keuntungan) dilaksanakan selambat-lambatnya 2 hari setelah penghitungan untung-rugi.

Pasal 7
Jangka Waktu Syarikat
1. Jangka waktu syarikat yang tersebut pada pasal 1 adalah terhitung dari tanggal 7 oktober 2010 sampai dengan tanggal 22 nopember 2010.
2. Penyerahan kembali seluruh modal usaha (milik Pihak Pertama) dari Pihak Kedua kepada Pihak Pertama serta pembagian hasil usaha dilakukan pada saat berakhirnya syarikat dan/atau setelah disetujui oleh kedua pihak.
3. Akad syarikat dapat di perpanjang sesuai kesepakatan bersama kedua pihak.

Pasal 8
Hak dan Kewajiban
1. Selama jangka waktu bersyarikat, Pihak Pertama:
a. Berkewajiban untuk tidak mencampuri kebiijakan usaha yang sedang dijalankan Pihak Kedua.
b. Berkewajiban untuk tidak melakukan pemaksaan kepada Pihak Kedua menjalankan usul, saran ataupun keinginannya dalam menjalankan usaha ini.
c. Berkewajiban untuk tidak melakukan kegiatan teknis di tempat usaha tanpa seizin dan sepengetahuan Pihak Kedua
d. Berkewajiban untuk tidak mengambil atau menambah sejumlah modal usaha, kecuali dalam keadaan istimewa (menyelamatkan usaha dan atau memanfaatkan situasi) dan merupakan kesepakatan kedua Pihak.
e. Berkewajiban membayar kerugian pengelolaan usaha kepada Pihak Kedua sehubungan dengan pembatalan aqad syarikat yang disebabkan oleh pelanggaran Pihak Pertama terhadap isi aqad syarikat.
f. Berhak melakukan kontrol atau meninjau tempat kegiatan usaha dengan disertai Pihak Kedua.
g. Berhak mengajukan usul dan saran kepada Pihak Kedua untuk memperbaiki dan/atau menyempurnakan kegiatan usaha yang sedang berjalan.
h. Berhak membatalkan perjanjian dan/atau mengambil kembali sebagian atau seluruh modal usaha dari Pihak Kedua setelah terbukti Pihak Kedua melakukan penyelewengan dan/atau mengkhianati isi aqad syarikat.

2. Selama jangka waktu bersyarikat, Pihak Kedua:
a. Berkewajiban mengelola modal usaha yang telah diterima dari Pihak Pertama untuk suatu kegiatan usaha yang telah ditetapkan, selambat-lambatnya 1 minggu setelah aqad syarikat ini disepakati dan ditandatangani.
b. Berkewajiban membuat laporan rinci seluruh kegiatan usaha selambat-lambatnya 5 hari setelah tutup buku akhir usaha.
c. Berkewajiban melaporkan kejadian-kejadian istimewa (musibah/force majure) yang terjadi di tengah-tengah kegiatan usaha berlangsung kepada Pihak Pertama selambat-lambatnya 2 hari setelah kejadian.
d. Berhak menggunakan modal usaha dalam kegiatan usaha yang telah disepakati oleh kedua Pihak.
e. Berhak mengelola dan menentukan kebijakan-kebijakan dalam kegiatan usaha.
f. Berhak melaksanakan atau tidak melaksanakan usul, saran ataupu keinginan Pihak Pertama.
g. Berhak membatalkan perjanjian dan atau mengembalikan modal usaha kepada Pihak Pertama setelah terbukti bahwa Pihak Pertama melakukan penyelewengan dan/atau mengkhianati isi aqad ini.

Pasal 9
Pencatatan Akuntansi
1. Pihak Kedua berkewajiban untuk membuat pencatatan Akuntansi sebagai dasar perhitungan Bagi Hasil.
2. Pihak Pertama memaklumi apabila terjadi kesalahan dalam pencatatan akuntansi yang dilakukan Pihak Kedua secara tidak sengaja.

Pasal 10
Penambahan Sejumlah Modal Usaha
1. Besar modal usaha dalam syarikat ini sebagaimana tersebut dalam pasal 1 dapat diperbesar atas kesepakatan kedua pihak.
2. Segala sesuatu yang menyangkut penambahan sejumlah modal usaha dalam syarikat akan diatur lebih lanjut dalam perjanjian tersendiri.

Pasal 11
Pengurangan Sejumlah Modal Usaha
1. Pihak Pertama tidak berhak mengambil atau mengurangi sejumlah modal usaha pada saat kegiatan usaha sedang berlangsung.
2. Kedua Pihak dapat bersepakat mengurangi sejumlah modal usaha pada saat kegiatan usaha sedang berjalan, apabila hal ini diperlukan.
3. Segala sesuatu yang menyangkut pengurangan sejumlah modal usaha dalam syarikat ini akan diatur lebih lanjut dalam perjanjian tersendiri.

Pasal 12
Perselisihan
1. Apabila terjadi perselisihan antara kedua pihak sehubungan dengan aqad syarikat ini, maka kedua pihak bersepakat menyelesaikannya secara musyawarah.
2. Segala sesuatu yang merupakan hasil penyelesaian perselisihan akan dituangkan dalam suatu berita acara.

Pasal 13
Lain-lain
1. Surat aqad ini mengikat secara hukum kepada kedua Pihak.
2. Hal-hal lain yang mungkin kelak akan muncul di kemudian hari dan belum diatur dalam surat aqad ini akan dimusyawarahkan kedua Pihak yang akan dituangkan dalam bentuk addendum.
3. Surat aqad ini dibuat rangkap 2 dan seluruhnya ditandatangani oleh kedua Pihak pada hari dan tanggal di muka.

Khatimah
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan cara yang bathil dan
janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim
supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain,
dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.
(QS. Al Baqarah: 188)







Pihak Pertama, Pihak Kedua,






Farida Marpaung                Sulaiman Dalimunthe


Saksi





Irwan Malik Marpaung                   Ahsan Sidqi

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...