Selasa, 14 Mei 2013

Sekilas tentang penulisan Hadits


Al-Hadits merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah yang melekat pada diri Nabi. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah al-Hadits. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. Dengan kata lain, al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur'an. 
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teori yang mengarah pada keraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien dengan mantab mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah. Beberapa penulis muslim seperti halnya Ahmad Amin, juga Isma'il Ad'ham sebagaimana dikutip Mustafa al-Siba'i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan dengan otentisitas al-Hadits ini. Selain proses kodifikasi al-Hadits, ada pula masalah lain yang menjadi faktor bagi mereka yang ragu akan otentisitas al-Hadits, yaitu tentang adanya larangan penulisan al-Hadits. 

Perintah Penulisan Hadits
Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.
Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan al-Hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagaimana sabdanya; "Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain)", Mungkin saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih? (Sunan Abi Dawud Juz III: hal 321) Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: "Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak". (Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm): hal. 32 hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39)
Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr, diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut: "Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: 'Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; 'apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah?, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, 'Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak" (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162)
Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: "Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw".(Sunan al-Darimi Juz I, hal. 127)
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain yang ditulis Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga shahifah Sa'ad bin Ubaddah. Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: "Bersabda Rasulullah saw, 'tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah" (Shahih Bukhari Juz 1, hal 31) 

Larangan Penulisan Hadits
Selain hadits diatas, ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana dari Abu Sa'id Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya" (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21)
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir tentu kontradiktif dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut muncul beberapa pendapat ulama. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.
Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.
Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya 'illat khusus. Ketika 'illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. 'Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: 'Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya"
Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.

Penutup
Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan hanya kegiatan penulisan al-Hadits semata, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih hidup. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Tentang adanya larangan penulisan Hadits yang kemudian dikaitkan dengan ke-bid'ah-an penulisannya, hal ini patut dimaknai bahwa larangan tersebut sebenarnya adalah larangan secara khusus yaitu larangan untuk menuliskan al-Hadits bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau larangan yang dapat menyebabkan para sahabat menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran.  Hal ini berdasarkan fakta bahwa penulisan hadits sebenarnya telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw yang diperintahkan sendiri oleh Rasulullah saw kepada sahabat tertentu.


Ref:
·        Azami, Muhammad Musthafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994
·        Al-Siba'i, Musthafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islam (terjemahan Nurcholis Madjid), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993
·        Abu Dawud, al-Imam, Sunan Abi Dawud, Maktabah Dahlan, Indonesia

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...