Al-Hadits merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah yang melekat pada diri Nabi. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah al-Hadits. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa
risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni
al-Quran. Sedangkan al-Hadits, hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan
praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri. Dengan kata lain, al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur'an.
Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses
kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian
secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan
penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa
khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang
merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa
pemerintahan Umar bin Abd. al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun
99-101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan
ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.
Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan
hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teori yang mengarah pada
keraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya
Muhammedanische Studien dengan mantab mengingkari adanya
pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah.
Beberapa penulis muslim seperti halnya Ahmad Amin, juga Isma'il Ad'ham
sebagaimana dikutip Mustafa al-Siba'i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan
dengan otentisitas al-Hadits ini. Selain proses kodifikasi
al-Hadits, ada pula masalah lain yang menjadi faktor bagi mereka yang ragu akan
otentisitas al-Hadits, yaitu tentang adanya larangan penulisan al-Hadits.
Perintah Penulisan Hadits
Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak
perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa
yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan tanpa harus
dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu
tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat
sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.
Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga
memberikan anjuran untuk menghafalkan al-Hadits serta menyampaikannya pada
orang lain sebagaimana sabdanya; "Semoga Allah memperindah wajah orang
yang mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya
(pada orang lain)", Mungkin saja orang yang membawa informasi itu
menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula orang yang
membawa informasi itu bukan orang yang faqih? (Sunan Abi Dawud Juz III: hal
321) Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh
para sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa
yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula
dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah
meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: "Dari Abu Hurairah ra
beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak
meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya
dia mencatat hadits sedangkan aku tidak". (Shahih Bukhari Juz I (Kitabul
Ilm): hal. 32 hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidzi Juz V,: hal. 39)
Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr,
diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah
saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr
berikut: "Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: 'Saya menulis setiap yang
saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys
mencegahku dengan berkata; 'apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar
dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang
kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan
ramah?, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada
Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, 'Tulislah! Demi
Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan
Rasulullah) kecuali yang hak" (Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad
Ahmad Juz II, hal. 162)
Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang
beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan
ini sebagaimana pernyataannya: "Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam
kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah
shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw".(Sunan al-Darimi Juz I, hal.
127)
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa
riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika
Rasulullah masih hidup antara lain yang ditulis Ali bin Abi Thalib, sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm, demikian juga
shahifah Sa'ad bin Ubaddah. Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa
Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya:
"Bersabda Rasulullah saw, 'tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah"
(Shahih Bukhari Juz 1, hal 31)
Larangan Penulisan Hadits
Selain hadits diatas, ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana dari Abu Sa'id Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda, "Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis
dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya" (Shahih Muslim Juz II,
hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21)
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir tentu kontradiktif dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits.
Dalam menyikapi kontradiksi tersebut muncul beberapa pendapat ulama. Dalam hal
ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah
di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits
perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b)
larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi
para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah
ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan
penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu
menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan
kerancuan.
Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik
disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof.
Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan
bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak
dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits
telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang
enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw.
Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen
mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para
pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena
itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak
dilarang. Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya 'illat
khusus. Ketika 'illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. 'Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran
karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip
pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin
Zubair: Kata Umar: 'Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan
sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis
beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan
meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab
Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya"
Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat
bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama
al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi
percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan
Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan
al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang
dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw.
Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang,
adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.
Penutup
Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan
al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah
Khalifah, bukan hanya kegiatan penulisan al-Hadits semata, karena kegiatan
penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw
masih hidup. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai
sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik merupakan
tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Tentang adanya larangan penulisan Hadits yang kemudian dikaitkan dengan
ke-bid'ah-an penulisannya, hal ini patut dimaknai bahwa larangan tersebut
sebenarnya adalah larangan secara khusus yaitu larangan untuk menuliskan al-Hadits
bersama al-Quran dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan
kerancuan, atau larangan yang dapat menyebabkan para sahabat menyibukkan diri
dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Quran. Hal ini berdasarkan fakta bahwa penulisan
hadits sebenarnya telah dimulai sejak zaman Rasulullah saw yang diperintahkan
sendiri oleh Rasulullah saw kepada sahabat tertentu.
Ref:
·
Azami, Muhammad Musthafa, Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994
·
Al-Siba'i, Musthafa, al-Sunnah wa Makanatuha fi
al-Tasyri' al-Islam (terjemahan Nurcholis Madjid), Pustaka Firdaus, Jakarta,
1993
·
Abu Dawud, al-Imam, Sunan Abi
Dawud, Maktabah Dahlan, Indonesia