Perlu ditegaskan bahwa mengakui
eksistensi praktis agama-agama lain yang beragam dan saling berseberangan dalam
pandangan Islam tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya. Akan
tetapi, menerima kehendak Allah SWT dalam menciptakan agama-agama ini sebagai
berbeda-beda dan beragam. Karena Allah swt Yang Maha Bijak telah menghendaki
untuk menciptakan jagad raya dan segala isinya ini dengan bentuk dan kondisi
yang demikian sistematis dan seimbang; ada baik dan buruk, haq dan bathil,
cahaya dan gelap, bahagia dan sengsara. Kehendak Ilahiah ini ada dua macam,
merujuk kepada istilah yang dipopulerkan Syekh Muhammad 'Abduh (1849-1903 M),
yaitu: 1) kehendak ontologis (iradah kawniyyah) dan 2) kehendak legalistis
(iradah syar'iyyah).
Di satu sisi, Allah
SWT menciptakan sesuatu dan memang menghendakinya secara ontologis dan
legalistis, seperti: kebaikan, kebenaran, iman, malaikat, dan segala sesuatu
yang Dia cintai dan ridhai. Tapi di sisi lain, Allah SWT menciptakan sesuatu
dan menghendakinya secara ontologis tapi tidak secara legalistis, seperti:
kejahatan, kebatilan, setan, kekufuran dan segala sesuatu yang Dia benci. Dr.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi (Ghairu al-Muslimin fi al-Mujatama' al-Islami: 53-55)
menyebutkan empat faktor yang melahirkan sikap toleransi yang unik selalu
mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim:
i)
keyakinan terhadap kemuliaan manusia,
apapun agamanya, kebangsaan dan kesukuannya. Kemuliaan ini mengimplikasikan hak
untuk dihormati.
ii)
kayakinan bahwa perbedaan manusia dalam
agama dan keyakinan merupakan realitas (ontologis) yang dikehendaki Allah SWT
yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman atau kufur. Oleh
karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka untuk Islam.
iii)
seorang muslim tidak dituntut untuk
mengadili kekafiran orang kafir atau menghukum kesesatan orang sesat. Allah SWT
lah yang akan mengadili mereka di hari perhitungan kelak. (al-Hajj: 69,
al-Syura: 15) Dengan demikian hati seorang muslim menjadi tenang, tidak perlu
terjadi konflik batin antara kewajiban berbuat baik dan adil kepada mereka
(al-Mumtahanah: 8), dan dalam waktu yang sama harus berpegang teguh pada
kebenaran keyakinannya sendiri.
iv)
keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan
untuk berbuat Adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang
musyrik (at-Tawbah: 6). Begitu juga Allah SWT mencela perbuatan zalim meskipun
terhadap orang kafir (al-Maidah: 8). Wallahu A'lam bil Shawab