Kamis, 02 Mei 2013

Visi Qur'an tentang Pluralitas dan Toleransi


Perlu ditegaskan bahwa mengakui eksistensi praktis agama-agama lain yang beragam dan saling berseberangan dalam pandangan Islam tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya. Akan tetapi, menerima kehendak Allah SWT dalam menciptakan agama-agama ini sebagai berbeda-beda dan beragam. Karena Allah swt Yang Maha Bijak telah menghendaki untuk menciptakan jagad raya dan segala isinya ini dengan bentuk dan kondisi yang demikian sistematis dan seimbang; ada baik dan buruk, haq dan bathil, cahaya dan gelap, bahagia dan sengsara. Kehendak Ilahiah ini ada dua macam, merujuk kepada istilah yang dipopulerkan Syekh Muhammad 'Abduh (1849-1903 M), yaitu: 1) kehendak ontologis (iradah kawniyyah) dan 2) kehendak legalistis (iradah syar'iyyah).

Di satu sisi, Allah SWT menciptakan sesuatu dan memang menghendakinya secara ontologis dan legalistis, seperti: kebaikan, kebenaran, iman, malaikat, dan segala sesuatu yang Dia cintai dan ridhai. Tapi di sisi lain, Allah SWT menciptakan sesuatu dan menghendakinya secara ontologis tapi tidak secara legalistis, seperti: kejahatan, kebatilan, setan, kekufuran dan segala sesuatu yang Dia benci. Dr. Syekh Yusuf al-Qaradhawi (Ghairu al-Muslimin fi al-Mujatama' al-Islami: 53-55) menyebutkan empat faktor yang melahirkan sikap toleransi yang unik selalu mendominasi perilaku umat Islam terhadap non-muslim:
i)                  keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaan dan kesukuannya. Kemuliaan ini mengimplikasikan hak untuk dihormati.
ii)                kayakinan bahwa perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan merupakan realitas (ontologis) yang dikehendaki Allah SWT yang telah memberi mereka kebebasan untuk memilih iman atau kufur. Oleh karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka untuk Islam.
iii)             seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang kafir atau menghukum kesesatan orang sesat. Allah SWT lah yang akan mengadili mereka di hari perhitungan kelak. (al-Hajj: 69, al-Syura: 15) Dengan demikian hati seorang muslim menjadi tenang, tidak perlu terjadi konflik batin antara kewajiban berbuat baik dan adil kepada mereka (al-Mumtahanah: 8), dan dalam waktu yang sama harus berpegang teguh pada kebenaran keyakinannya sendiri.
iv)              keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat Adil dan mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik (at-Tawbah: 6). Begitu juga Allah SWT mencela perbuatan zalim meskipun terhadap orang kafir (al-Maidah: 8). Wallahu A'lam bil Shawab

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...