Kamis, 02 Mei 2013

Makna Tauhid


Istilah tauhid merupakan kata kerja (verbal noun) aktif, yakni memerlukan pelengkap obyek, sebagai derivasi atau tashrif dari kata wahhada-yuwahhidu yang artinya menyatukan atau mengesakan. Dalam makna generiknya, kata tauhid juga bisa digunakan untuk arti mempersatukan hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah. Misalnya, penggunaan dalam Bahasa Arab, tauhid al-kalimah kurang lebih berarti mempersatukan paham, atau dalam ungkapan lain tauhid al-quwwah berarti mempersatukan kekuatan.

Namun, di dalam al-Qur’an tidak dijumpai secara langsung kata tauhid yang dipakai untuk mengungkapkan keesaan Allah. Sebab, kata tauhid ini digunakan sebagai istilah teknis oleh para teolog muslim (mutakallimin) untuk paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau monoteisme. Al-Quran hanya menggunakan kata ahad yang diterjemahkan dengan kata esa, terambil dari akar kata wahdad yang berarti kesatuan, seperti juga kata wahid yang berarti satu. Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama dan sekali sebagai sifat bagi sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk Allah Swt. semata. Menurut Quraish Shihab, kata ahad walaupun dari segi bahasa memiliki kesamaan akar dengan kata wahid, tetapi masing-masing memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, sehingga ketika berfungsi sebagai sifat, kata ini tidak termasuk dalam rentetan bilangan. Berbeda halnya dengan kata wahid (satu) yang dapat ditambah sehingga menjadi dua, tiga dan seterusnya, meskipun penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.

Itulah sebabnya, ketika al-Kindi hendak menyatakan keesaan Allah dengan menggunakan kata wahid, tetapi yang tidak menerima penjumlahan ataupun pengurangan, maka ia menyebut-Nya dengan al-Haqq al-Wahid. Bagi al-Kindi, keesaan Allah memang tidak berkonotasi bilangan, artinya jika dijumlah atau dikurang dengan bilangan lain maka tidak akan menyebabkan terjadinya perubahan pada diri-Nya. Interpretasi lain mengenai makna tauhid tersebut juga tampak dari wacana kaum fuqaha’ (ahli jurisprudensi Islam) teolog muslim, para sufi (ahli tasawuf) maupun filosof muslim. Pada semua kawasan tersebut pemahaman tauhid sangat berkaitan dengan upaya memahasucikan Allah Swt. dari segala sesuatu yang dapat mengotori makna keesaan-Nya. Namun, karena disiplin keilmuan Islam tradisional ini memiliki kerangka berfikirnya masing-masing maka formula konvensional tauhid yang terdapat dalam kalimat la ilaha illallah dipahami dan diberikan arti secara beragam.

Para fuqaha’ cenderung memberikan makna harfiah dengan mengartikan formula tauhid tersebut sebagai “tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah”. Dengan pengertian seperti ini para ahli jurisprudensi Islam menegaskan kepada kita tentang status kehambaan manusia di hadapan Sang Pencipta. Oleh karena itu, bagi mereka keyakinan terhadap ke-Esaan Allah harus diwujudkan dalam kesungguhan manusia untuk hanya “menghamba” (beribadah) kepada-Nya. Dengan menegaskan status kehambaannya itu di hadapan Allah, maka seseorang akan mencapai posisi yang lebih tinggi dalam derajat kemanusiannya, karena sesungguhnya setinggi apapun status sosial manusia di dunia ini di mata Allah ia adalah seorang hamba. Namun, jika seseorang menghambakan dirinya kepada selain Allah, maka status kemanusiaannya akan jatuh di bawah apa saja yang disembahnya, karena manusia merupakan ciptaan yang paling mulia di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, bahkan bisa melebihi malaikat sekalipun.

Adapun para teolog mencoba memasukkan pengertian-pengertian aqliah (rasional) untuk menetapkan keesaan Allah pada dzat dan perbuatan-Nya dalam menciptakan alam semesta. Dalil-dalil rasional ini mereka susun untuk melindungi ajaran akidah Islam dari serangan penganut agama lain, khususnya Kristen, yang telah memperkuat argumentasi ajaran agamanya dengan logika dan filsafat Yunani. Atas dasar itu, tauhid sebagai prinsip ajaran Islam telah membawa para teolog pada suatu pemikiran bahwa Allah harus benar-benar berbeda dari makhluk. Bagi mereka, hal yang paling membedakannya adalah bahwa Tuhan merupakan satu-satunya Pencipta segala yang ada. Dari itu mereka mengartikan formulasi tauhid di atas sebagai “la qadima illallah” (artinya, tidak ada yang qadim kecuali Allah). Kata qadim dalam teologi Islam berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau, dan bisa pula mengandung arti tidak diciptakan. Jadi sederhananya, yang qadim itu hanyalah Tuhan, sedangkan alam (segala sesuatu selain Dia) adalah huduts (dalam arti baru atau diciptakan). Kalau alam ini juga qadim, maka akan membawa pada paham ta’addudul qudama’ (berbilangnya pencipta). Dalam terminologi al-Qur’an paham ini disebut dengan syirk atau politeisme, yakni suatu dosa paling besar yang tidak diampuni oleh Tuhan.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...