Istilah tauhid merupakan kata kerja (verbal
noun) aktif, yakni memerlukan pelengkap obyek, sebagai derivasi atau tashrif
dari kata wahhada-yuwahhidu yang artinya menyatukan atau mengesakan. Dalam
makna generiknya, kata tauhid juga bisa digunakan untuk arti mempersatukan
hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah. Misalnya, penggunaan dalam
Bahasa Arab, tauhid al-kalimah kurang lebih berarti mempersatukan paham, atau
dalam ungkapan lain tauhid al-quwwah berarti mempersatukan kekuatan.
Namun, di dalam al-Qur’an tidak dijumpai secara
langsung kata tauhid yang dipakai untuk mengungkapkan keesaan Allah. Sebab,
kata tauhid ini digunakan sebagai istilah teknis oleh para teolog muslim
(mutakallimin) untuk paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau monoteisme. Al-Quran
hanya menggunakan kata ahad yang diterjemahkan dengan kata esa, terambil dari
akar kata wahdad yang berarti kesatuan, seperti juga kata wahid yang berarti
satu. Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama dan sekali sebagai sifat bagi
sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk
Allah Swt. semata. Menurut Quraish Shihab, kata ahad walaupun dari segi bahasa
memiliki kesamaan akar dengan kata wahid, tetapi masing-masing memiliki makna
dan penggunaan tersendiri. Kata ahad hanya digunakan untuk sesuatu yang tidak
dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan, sehingga
ketika berfungsi sebagai sifat, kata ini tidak termasuk dalam rentetan
bilangan. Berbeda halnya dengan kata wahid (satu) yang dapat ditambah sehingga
menjadi dua, tiga dan seterusnya, meskipun penambahan itu hanya dalam benak
pengucap atau pendengarnya.
Itulah sebabnya, ketika al-Kindi hendak
menyatakan keesaan Allah dengan menggunakan kata wahid, tetapi yang tidak
menerima penjumlahan ataupun pengurangan, maka ia menyebut-Nya dengan al-Haqq
al-Wahid. Bagi al-Kindi, keesaan Allah memang tidak berkonotasi bilangan,
artinya jika dijumlah atau dikurang dengan bilangan lain maka tidak akan
menyebabkan terjadinya perubahan pada diri-Nya. Interpretasi lain mengenai
makna tauhid tersebut juga tampak dari wacana kaum fuqaha’ (ahli jurisprudensi
Islam) teolog muslim, para sufi (ahli tasawuf) maupun filosof muslim. Pada
semua kawasan tersebut pemahaman tauhid sangat berkaitan dengan upaya
memahasucikan Allah Swt. dari segala sesuatu yang dapat mengotori makna
keesaan-Nya. Namun, karena disiplin keilmuan Islam tradisional ini memiliki
kerangka berfikirnya masing-masing maka formula konvensional tauhid yang
terdapat dalam kalimat la ilaha illallah dipahami dan diberikan arti secara
beragam.
Para fuqaha’ cenderung memberikan makna harfiah
dengan mengartikan formula tauhid tersebut sebagai “tidak ada Tuhan yang wajib
disembah kecuali Allah”. Dengan pengertian seperti ini para ahli jurisprudensi
Islam menegaskan kepada kita tentang status kehambaan manusia di hadapan Sang
Pencipta. Oleh karena itu, bagi mereka keyakinan terhadap ke-Esaan Allah harus
diwujudkan dalam kesungguhan manusia untuk hanya “menghamba” (beribadah)
kepada-Nya. Dengan menegaskan status kehambaannya itu di hadapan Allah, maka
seseorang akan mencapai posisi yang lebih tinggi dalam derajat kemanusiannya,
karena sesungguhnya setinggi apapun status sosial manusia di dunia ini di mata
Allah ia adalah seorang hamba. Namun, jika seseorang menghambakan dirinya
kepada selain Allah, maka status kemanusiaannya akan jatuh di bawah apa saja
yang disembahnya, karena manusia merupakan ciptaan yang paling mulia di antara
ciptaan-ciptaan-Nya yang lain, bahkan bisa melebihi malaikat sekalipun.
Adapun para teolog mencoba
memasukkan pengertian-pengertian aqliah (rasional) untuk menetapkan keesaan
Allah pada dzat dan perbuatan-Nya dalam menciptakan alam semesta. Dalil-dalil
rasional ini mereka susun untuk melindungi ajaran akidah Islam dari serangan
penganut agama lain, khususnya Kristen, yang telah memperkuat argumentasi
ajaran agamanya dengan logika dan filsafat Yunani. Atas dasar itu, tauhid
sebagai prinsip ajaran Islam telah membawa para teolog pada suatu pemikiran
bahwa Allah harus benar-benar berbeda dari makhluk. Bagi mereka, hal yang
paling membedakannya adalah bahwa Tuhan merupakan satu-satunya Pencipta segala
yang ada. Dari itu mereka mengartikan formulasi tauhid di atas
sebagai “la qadima illallah” (artinya, tidak ada yang qadim kecuali Allah).
Kata qadim dalam teologi Islam berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai
permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah tidak ada di zaman lampau, dan bisa
pula mengandung arti tidak diciptakan. Jadi sederhananya, yang qadim itu
hanyalah Tuhan, sedangkan alam (segala sesuatu selain Dia) adalah huduts (dalam
arti baru atau diciptakan). Kalau alam ini juga qadim, maka akan membawa pada
paham ta’addudul qudama’ (berbilangnya pencipta). Dalam terminologi al-Qur’an
paham ini disebut dengan syirk atau politeisme, yakni suatu dosa paling besar
yang tidak diampuni oleh Tuhan.