Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam
ajaran Islam memiliki implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata
cara hidup masyarakat muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame
of faith) bagi umat Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan
kerangka pemikiran (frame of thought) dalam menemukan hakikat kebenaran
mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak,
potensial, maupun yang konkret. Dengan demikian, tauhid sebagai kerangka
pemikiran merupakan suatu dimensi filosofis tersendiri yang sangat relevan
dalam usaha memahami hakikat ilmu pengetahuan.
Pemahaman kembali terhadap hakikat ilmu pengetahuan
sangat penting mengingat kehidupan umat manusia dewasa ini sedang berada dalam
suatu ironi (keterbalikan) di mana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum
juga segera teratasi; jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam;
keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka; serta kebenaran semakin
mudah direkayasa di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fakta-fakta
kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu
pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan
justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah hidup mereka.
Ironi tersebut terjadi karena ilmu pengetahuan
semakin menjauh dari seluruh pemahaman yang diperoleh secara refleksif,
terlebih yang digali dari penghayatan iman, serta memisahkan keterkaitan antara
dunia materi dengan non-materi, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan
akhirat. Dengan trend semacam ini, maka secara filsafati sebenarnya ilmu
pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran
yang semu, bukan kebenaran hakiki. Lebih jauh dari itu, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi juga membawa bentuk keterasingan dan kehilangan
kepekaan atas matra ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak ruhaniahnya
dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam lingkungan, dan dengan sesuatu yang
bersifat transenden.
Oleh karena itu, demi
mengurangi kecenderungan negatif tersebut diperlukan usaha dan pemikiran yang
sungguh-sungguh untuk menegaskan kembali kedudukan tauhid sebagai frame of
thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Reposisi tauhid ini
diperlukan sebagai sarana masyarakat muslim untuk mengutuhkan pemahaman tentang
kebenaran yang hendak dicapai melalui ilmu pengetahuan. Kehadiran tauhid di
tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengandung arti
bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan dengan
pendekatan interdisipliner atau multidisipliner, diamalkan secara etis, dan
tidak bebas nilai (not value free/value laden). Sebab, jika objek
material ilmu pengetahuan tidak lain adalah alam semesta, maka dalam perspektif
tauhid semua unsur-unsur alam semesta tersebut dipahami saling memiliki
keterkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk jaringan kesatuan
melalui hukum-hukum kosmos yang semuanya itu merupakan manifestasi dari
ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Dengan kesadaran yang bersumber dari penghayatan
tauhid tersebut membawa kita pada fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru.
Bahwa, manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan teliti melalui ilmu
pengetahuan dan teknologi hanya merupakan satu aspek dari realitas hidup
sesungguhnya yang jauh lebih kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang tidak
dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan maupun teknologi. Indikasinya terlihat dari polemik epistemologis yang
terus menggugat legitimasi, validitas, supremasi, akurasi, dan kepastian ilmu.
Dengan ilmu pengetahuan yang ada sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan
masalah-masalah mendasar seperti metron (tolok ukur), problematika
Heraklitos-Parmenides (tunggal-jamak, permanensi-perubahan), serta problema
Kant mengenai das ding an sich dan ratio pura. Kenyataan ini dikarenakan
manusia dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang
hilang dari eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr dalam
Islam and the Plight of Modern Man menegaskan bahwa akibat masyarakat modern
yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikannya berada dalam
wilayah pinggiran eksistensi dirinya sendiri dan bergerak menjauh dari pusat,
karena pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan hidup dalam
keadaan sekuler.
Ketika modernisme meletakkan ilmu pengetahuan dan
teknologi lebih dominan dari yang lain, serta agama justru diletakkan pada
jenjang terendah dalam struktur pengetahuannya, maka sebagai konskuensi
logisnya terjadilah pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam pandangan
hidup, sikap dan perilaku hidup masyarakat, dari derajat yang bersifat
kualitatif-spiritual menjadi kuantitatif-material. Pada saat kebenaran
pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya
dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal timbulnya kesulitan-kesulitan
dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam hidup dan kehidupan
manusia dewasa ini. Misalnya, terhadap pertanyaan apa yang sebenarnya dicari
oleh ilmu pengetahuan? Jika jawabannya berupa kebenaran positif (yakni yang
konkrit, riil, nyata, dan terukur) yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari manusia adalah tidak salah. Tetapi, karena sifatnya yang
positivistik tersebut, realitasnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan
manusia sekadar menikmati sebagian dari hidupnya yang lebih bersifat material
hedonistik, sehingga kehidupannya menjadi tidak penuh (kurang makna). Bukankah
kenikmatan hidup materialistik itu hanya sebagian kecil saja dari kehidupan
yang sesungguhnya?
Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam upaya
reposisi tauhid dalam struktur pengetahuan masyarakat muslim sangat diperlukan.
Agama harus diletakkan kembali sebagai paradigma ilmu pengetahuan, karena
justru agama lah yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup manusia seutuhnya,
apabila ajaran-ajarannya dilaksanakan sepenuhnya dan secara sungguh-sungguh.
Agama dijadikan sebagai suatu kaidah yang membuka pemecahan alternatif yang
mengatasi semua konsep rasional semata. Alasannya sederhana saja, masih banyak
yang berada di luar batas kemampuan akal rasional manusia, dan berada di luar
batas pengalaman keseharian manusia, dan itu juga realitas atau kebenaran itu
sendiri.
Sebagaimana penuturan Aristoteles, bahwa segala
sesuatu dalam realitas kehidupan ini selalu memiliki substansi (sifat hakiki)
dan aksidensi. Jika segala yang ada (baik yang konkret maupun abstrak) bisa
dijadikan sebagai sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan, maka sudah
semestinya ilmu pengetahuan itu tidak membatasi diri hanya menghasilkan
pengetahuan yang bersifat teoritis, praktis, dan tekonologis, tetapi seharusnya
juga mampu menghasilkan pengetahuan yang bersifat filosofis-substansial.
Pandangan bapak empirisme Yunani kuno ini juga memberikan gambaran kepada kita,
bahwa dengan begitu sesunguhnya ilmu pengetahuan sebagai bagian dari yang ada
harus pula dipahami dari segi hakikinya (noumena) maupun gejalanya (fenomena).
Berkaitan dengan pembahasan mengenai hakikat ilmu dalam Islam ini dapat dilihat
pula dari tiga nilai ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu dari nilai ontologi, epistemologi,
dan aksiologinya.