Kamis, 02 Mei 2013

Tauhid dan Hakekat Ilmu Pengetahuan Dalam Islam


Tauhid sebagai prinsip yang paling utama dalam ajaran Islam memiliki implikasi yang sangat luas bagi keseluruhan pola dan tata cara hidup masyarakat muslim. Dia bukan saja menjadi kerangka keimanan (frame of faith) bagi umat Islam terhadap Allah Swt., tetapi juga merupakan kerangka pemikiran (frame of thought) dalam menemukan hakikat kebenaran mengenai segala yang ada di alam semesta ini pada seginya yang abstrak, potensial, maupun yang konkret. Dengan demikian, tauhid sebagai kerangka pemikiran merupakan suatu dimensi filosofis tersendiri yang sangat relevan dalam usaha memahami hakikat ilmu pengetahuan.
Pemahaman kembali terhadap hakikat ilmu pengetahuan sangat penting mengingat kehidupan umat manusia dewasa ini sedang berada dalam suatu ironi (keterbalikan) di mana kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi; jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam; keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka; serta kebenaran semakin mudah direkayasa di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan cita-cita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi upaya pembebasan dan memudahkan manusia dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup mereka.
Ironi tersebut terjadi karena ilmu pengetahuan semakin menjauh dari seluruh pemahaman yang diperoleh secara refleksif, terlebih yang digali dari penghayatan iman, serta memisahkan keterkaitan antara dunia materi dengan non-materi, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan akhirat. Dengan trend semacam ini, maka secara filsafati sebenarnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran yang semu, bukan kebenaran hakiki. Lebih jauh dari itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membawa bentuk keterasingan dan kehilangan kepekaan atas matra ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak ruhaniahnya dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam lingkungan, dan dengan sesuatu yang bersifat transenden.
Oleh karena itu, demi mengurangi kecenderungan negatif tersebut diperlukan usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan kembali kedudukan tauhid sebagai frame of thought dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Reposisi tauhid ini diperlukan sebagai sarana masyarakat muslim untuk mengutuhkan pemahaman tentang kebenaran yang hendak dicapai melalui ilmu pengetahuan. Kehadiran tauhid di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan dan teknologi ini mengandung arti bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan dengan pendekatan interdisipliner atau multidisipliner, diamalkan secara etis, dan tidak bebas nilai (not value free/value laden). Sebab, jika objek material ilmu pengetahuan tidak lain adalah alam semesta, maka dalam perspektif tauhid semua unsur-unsur alam semesta tersebut dipahami saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos yang semuanya itu merupakan manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya, yaitu Allah Swt.
Dengan kesadaran yang bersumber dari penghayatan tauhid tersebut membawa kita pada fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru. Bahwa, manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan teliti melalui ilmu pengetahuan dan teknologi hanya merupakan satu aspek dari realitas hidup sesungguhnya yang jauh lebih kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan maupun teknologi. Indikasinya terlihat dari polemik epistemologis yang terus menggugat legitimasi, validitas, supremasi, akurasi, dan kepastian ilmu. Dengan ilmu pengetahuan yang ada sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan masalah-masalah mendasar seperti metron (tolok ukur), problematika Heraklitos-Parmenides (tunggal-jamak, permanensi-perubahan), serta problema Kant mengenai das ding an sich dan ratio pura. Kenyataan ini dikarenakan manusia dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr dalam Islam and the Plight of Modern Man menegaskan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikannya berada dalam wilayah pinggiran eksistensi dirinya sendiri dan bergerak menjauh dari pusat, karena pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler.
Ketika modernisme meletakkan ilmu pengetahuan dan teknologi lebih dominan dari yang lain, serta agama justru diletakkan pada jenjang terendah dalam struktur pengetahuannya, maka sebagai konskuensi logisnya terjadilah pergeseran nilai-nilai yang terkandung di dalam pandangan hidup, sikap dan perilaku hidup masyarakat, dari derajat yang bersifat kualitatif-spiritual menjadi kuantitatif-material. Pada saat kebenaran pengetahuan agama ditempatkan sedemikian rupa, sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang signifikan, maka itulah yang menjadi sebab awal timbulnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam hidup dan kehidupan manusia dewasa ini. Misalnya, terhadap pertanyaan apa yang sebenarnya dicari oleh ilmu pengetahuan? Jika jawabannya berupa kebenaran positif (yakni yang konkrit, riil, nyata, dan terukur) yang bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari manusia adalah tidak salah. Tetapi, karena sifatnya yang positivistik tersebut, realitasnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia sekadar menikmati sebagian dari hidupnya yang lebih bersifat material hedonistik, sehingga kehidupannya menjadi tidak penuh (kurang makna). Bukankah kenikmatan hidup materialistik itu hanya sebagian kecil saja dari kehidupan yang sesungguhnya?
Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam upaya reposisi tauhid dalam struktur pengetahuan masyarakat muslim sangat diperlukan. Agama harus diletakkan kembali sebagai paradigma ilmu pengetahuan, karena justru agama lah yang menjamin pemenuhan kebutuhan hidup manusia seutuhnya, apabila ajaran-ajarannya dilaksanakan sepenuhnya dan secara sungguh-sungguh. Agama dijadikan sebagai suatu kaidah yang membuka pemecahan alternatif yang mengatasi semua konsep rasional semata. Alasannya sederhana saja, masih banyak yang berada di luar batas kemampuan akal rasional manusia, dan berada di luar batas pengalaman keseharian manusia, dan itu juga realitas atau kebenaran itu sendiri.
Sebagaimana penuturan Aristoteles, bahwa segala sesuatu dalam realitas kehidupan ini selalu memiliki substansi (sifat hakiki) dan aksidensi. Jika segala yang ada (baik yang konkret maupun abstrak) bisa dijadikan sebagai sasaran pokok atau tujuan penyelidikan keilmuan, maka sudah semestinya ilmu pengetahuan itu tidak membatasi diri hanya menghasilkan pengetahuan yang bersifat teoritis, praktis, dan tekonologis, tetapi seharusnya juga mampu menghasilkan pengetahuan yang bersifat filosofis-substansial. Pandangan bapak empirisme Yunani kuno ini juga memberikan gambaran kepada kita, bahwa dengan begitu sesunguhnya ilmu pengetahuan sebagai bagian dari yang ada harus pula dipahami dari segi hakikinya (noumena) maupun gejalanya (fenomena). Berkaitan dengan pembahasan mengenai hakikat ilmu dalam Islam ini dapat dilihat pula dari tiga nilai ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu dari nilai ontologi, epistemologi, dan aksiologinya.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...