Kamis, 02 Mei 2013

Prisif Tauhid dalam Memahami Realitas, Kebenaran dan Sejarah manusia


Ada tiga prinsip dalam memahami realitas, kebenaran, dan sejarah umat manusia. Pertama, bahwa yang ada (being) atau realitas itu secara umum hanya terdiri dari dari dua jenis, yaitu Tuhan dan selain Tuhan. Di dalam Islam, realitas yang pertama sudah jelas, Dia adalah Allah yang Mahamutlak, Mahakuasa, Mahaesa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan realitas selain Tuhan yang dimaksudkan adalah segala ciptaan-Nya yang bersifat materi maupun immateri seperti manusia, tumbuhan, hewan, tata surya, jin dan malaikat, surga dan neraka, serta segala sesuatu yang bersifat menjadi, karena apa pun esensinya mereka itu adalah ciptaan. Dalam perspektif tauhid, kedua jenis realitas tadi sejauh menyangkut wujud, ontologi, atau eksistensinya adalah mutlak berbeda, sebab Pencipta secara ontologis tidak dapat dirubah menjadi makhluk, dan sebaliknya makhluk juga tidak dapat melampaui dan merubah dirinya menjadi atau merasa sebagai Pencipta. Inilah yang dimaksudkan oleh al-Faruqi dengan prinsip dualitas.

Kedua, Di antara kedua jenis realitas tersebut terdapat hubungan yang bersifat maknawi yang mensyaratkan adanya kekuatan pemahaman pada diri manusia untuk memahami kehendak mutlak Tuhan yang tertulis di dalam wahyu (al-Qur’an) maupun yang hanya dapat diketahui melalui pengamatan terhadap alam semesta. Manusia untuk keperluan ini sudah dibekali oleh Tuhan dengan suatu faklutas pengetahuan yang memiliki fungsi-fungsi gnosiologis seperti mengingat, membayangkan, membuat alasan, melakukan pengamatan merasakan, memahami, dan seterusnya. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip ideasional.

Ketiga, melalui pemahaman terhadap kehendak mutlak Tuhan yang tertulis dalam firman-Nya maupun yang terbentang nyata di alam raya seorang muslim diharapkan dapat menangkap hakekat makro-kosmos yang tidak lain adalah adanya tujuan (teleologis) yang mendasari keberadaannya. Bahwa segala yang ada dan gerak-gerak di alam semesta ini terlaksana demi melayani tujuan Penciptanya dan melakukannya sesuai rencana-Nya. Tanpa adanya prinsip teleologis tersebut maka tidak mungkin adanya segala sesuatu di alam ini berada pada kondisinya yang teratur, memiliki jarak dan ukuran yang tepat, serta sesuai dengan atau memenuhi kebutuhan manusia sepanjang sejarahnya. Atas dasar prinsip ini pula dunia disebut dengan “kosmos”, yakni ciptaan yang teratur, bukan “kekacauan”. Tertib di alam semesta ini, dalam logika kalam kaum Mu’tazilah, memberikan gambaran yang nyata tentang adanya ‘inayah al-Ilahiy yang dipandang sebagai manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia. Jika demikian, maka harus pula disadari oleh setiap insan tauhid bahwa pemahaman terhadap hukum kosmos pada prinsipnya merupakan suatu keniscayaan guna menangkap pola-pola tujuan, kehendak, dan keadilan Tuhan yang menyatu dalam hakikat segala sesuatu di alam raya.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...