Ada tiga prinsip dalam memahami realitas,
kebenaran, dan sejarah umat manusia. Pertama, bahwa yang ada (being)
atau realitas itu secara umum hanya terdiri dari dari dua jenis, yaitu Tuhan
dan selain Tuhan. Di dalam Islam, realitas yang pertama sudah jelas, Dia adalah
Allah yang Mahamutlak, Mahakuasa, Mahaesa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sedangkan
realitas selain Tuhan yang dimaksudkan adalah segala ciptaan-Nya yang bersifat
materi maupun immateri seperti manusia, tumbuhan, hewan, tata surya, jin dan
malaikat, surga dan neraka, serta segala sesuatu yang bersifat menjadi, karena
apa pun esensinya mereka itu adalah ciptaan. Dalam perspektif tauhid, kedua
jenis realitas tadi sejauh menyangkut wujud, ontologi, atau eksistensinya
adalah mutlak berbeda, sebab Pencipta secara ontologis tidak dapat dirubah
menjadi makhluk, dan sebaliknya makhluk juga tidak dapat melampaui dan merubah
dirinya menjadi atau merasa sebagai Pencipta. Inilah yang dimaksudkan oleh
al-Faruqi dengan prinsip dualitas.
Kedua, Di antara kedua jenis realitas tersebut terdapat
hubungan yang bersifat maknawi yang mensyaratkan adanya kekuatan pemahaman pada
diri manusia untuk memahami kehendak mutlak Tuhan yang tertulis di dalam wahyu
(al-Qur’an) maupun yang hanya dapat diketahui melalui pengamatan terhadap alam
semesta. Manusia untuk keperluan ini sudah dibekali oleh Tuhan dengan suatu
faklutas pengetahuan yang memiliki fungsi-fungsi gnosiologis seperti mengingat,
membayangkan, membuat alasan, melakukan pengamatan merasakan, memahami, dan
seterusnya. Inilah yang dimaksudkan dengan prinsip ideasional.
Ketiga,
melalui pemahaman terhadap kehendak mutlak Tuhan yang tertulis dalam firman-Nya
maupun yang terbentang nyata di alam raya seorang muslim diharapkan dapat
menangkap hakekat makro-kosmos yang tidak lain adalah adanya tujuan
(teleologis) yang mendasari keberadaannya. Bahwa segala yang ada dan
gerak-gerak di alam semesta ini terlaksana demi melayani tujuan Penciptanya dan
melakukannya sesuai rencana-Nya. Tanpa adanya prinsip teleologis tersebut maka
tidak mungkin adanya segala sesuatu di alam ini berada pada kondisinya yang
teratur, memiliki jarak dan ukuran yang tepat, serta sesuai dengan atau
memenuhi kebutuhan manusia sepanjang sejarahnya. Atas dasar prinsip ini pula
dunia disebut dengan “kosmos”, yakni ciptaan yang teratur, bukan “kekacauan”.
Tertib di alam semesta ini, dalam logika kalam kaum Mu’tazilah, memberikan
gambaran yang nyata tentang adanya ‘inayah al-Ilahiy yang dipandang sebagai
manifestasi dari keadilan Tuhan kepada manusia. Jika demikian, maka harus pula
disadari oleh setiap insan tauhid bahwa pemahaman terhadap hukum kosmos pada
prinsipnya merupakan suatu keniscayaan guna menangkap pola-pola tujuan,
kehendak, dan keadilan Tuhan yang menyatu dalam hakikat segala sesuatu di alam
raya.