Kamis, 02 Mei 2013

Dalalatu al-Qur'an


            Al-Qur'an dari sisi al-tsubut-nya adalah qat'i. Pengingkaran qat'i al-tsubut-nya al-Qur'an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur'an ada yang qat'i dan ada pula yang zanni. Begitu pula halnya dengan Hadis, ada yang mengandung muatan qat'i al-dalalah dan ada pula yang zanni al-dalalah. Berkenaan dengan hal ini, Abdul Wahhab Khallaf  berpendapat bahwa nash al-Qur'an dan Hadist yang bersifat qat'i al-dalalah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita'wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut.[1]
            Lalu bagaimana kita memberi batasan atau kriteria suatu nash itu qat'i al-dalalah atau sebaliknya, zanni al-dalalah? Ada ulama yang menyusun sepuluh kriteria, yaitu diriwayatkan secara mutawatir, tidak mengandung al-majaz (kiasan), al-isytirak (mengandung dua makna), al-naql, al-idhmar (samar/tersembunyi), al-taqdim, al-ta'khir, al-nasakh, al-takhshish dan ta'arud al-aqli.[2] Sedikit berbeda dengan kriteria di atas adalah yang dikemukakan oleh al-Syatibi: naql lughat (transfusi bahasa), al-nahw (grammatika) wa 'adam al-Isytirak, 'adam al-majaz, naql al-syar'i aw al-'adi, al-idhmar, al-takhshish li al-'umum, al-taqyid li al-muthlaq, 'adam al-nasikh, al-taqdim wa al-ta'khir dan terakhir, al-ma'aridh al-'aqli.[3]
            Kriteria qat'i al-dalalah itu bisa disederhanakan dengan: pertama, adanya problematika bahasa (susunan kalimat yang diawalkan atau diakhirkan, perbedaan grammatika, kiasan, mengandung makna ganda, dan lainnya); kedua, adanya kondisi tambahan semisal takhshish, taqyid ataupun nasikh-mansukh; dan ketiga, adanya indikasi bertentangan dengan nalar atau akal. Dari pembahasan di atas, tentu amatlah sulit untuk mencari teks atau lafaz al-Qur'an dan Hadis yang mencapai derajat qat'i al-dalalah. Sebagai contoh, seringkali ummat Islam mengatakan kewajiban sholat lima waktu secara qat'i diraih melalui ayat "aqim al-shalat" yang mengandung lafaz amr (perintah). Padahal lafaz amr itu tidak semuanya bermakna qat'i; adakalanya amr itu mengandung makna mubah dan sunnah. Jadi, dari sisi dalalah dan kriteria di atas, lafaz "aqim al-shalat" tidaklah qat'i.[4].
            Al-Syatibi memberi solusi terhadap persoalan ini. Kesepuluh premis yang diajukannya juga menghasilkan kesulitan untuk mencapai derajat qat'i al-dalalah. Untuk itu beliau mengajukan konsep "mutawatir maknawi", yakni sekumpulan ayat yang zanni tentang suatu tema (shalat, mislanya) saling membantu dan menguatkan akan kewajiban shalat. Ketika ayat-ayat tentang sholat dikumpulkan, ternyata tidak satupun yang mengindikasikan ketidakwajiban sholat. Dengan demikian kewajiban sholat bersifat qat'i. Jika hanya mengandalkan satu ayat maka hasilnya adalah zanni, tetapi karena dibantu oleh sekumpulan ayat senada maka ia menjadi semacam "mutawatir maknawi".[5]
            Ketika Zuhair dan Syatibi mengemukakan sepuluh ihtimal dalam menilai qat'i-zanni-nya suatu nash, dapat segera kita lihat bahwa kesepuluh premis tersebut amat dipengaruhi pada keberpihakan mereka dalam persoalan usuliyyah. Keduanya sama-sama mencantumkan al-nasakh sebagai salah satu ukuran qat'i-zanni. Artinya, kalau terdapat nasakh dalam ayat tertentu maka gugur ke-qat'i-annya.Tentu saja kriteria ini sulit diterima oleh sejumlah ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Qur'an. Abu Muslim al-Asfahani, misalnya, memilih jalan takhshish dalam menghadapi nash yang secara lahiriah tampak bertentangan. Ini berbeda dengan jumhur ulama yang disamping menggunakan takhshish juga menggunakan nasakh. Tentu saja bagi mereka yang sepaham dengan Abu Muslim ini tidak akan memasukkan nasakh sebagai unsur untuk mengukur qat'i-zanni-nya suatu nash.[6]
            Persoalan am-takhshish juga dimasukkan dalam sepuluh kriteria oleh Zuhair dan Syatibi di atas. Kebanyakan dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qat'i-nya suatu nash.
            Begitu pula persoalan taqyid li al-muthlaq yang disebutkan Syatibi (Zuhair tidak memasukkan hal ini) tidak lepas dari perbedaan pendapat. Disepakati bahwa ayat yang muthlaq wajib diamalkan kemuthlaqannya pada kondisi tidak ada ayat yang men-taqyid-nya. Perbedaan pendapat terjadi pada kondisi terdapatnya lafaz muthlaq dalam nash dan juga terdapat lafaz muqayyad pada nash yang lain. Tidak heran kalau, akibat perbedaan ini, jumhur tidak mwajibkan zakat fitrah pada budak non-muslim sedangkan Hanafiyah mewajibkannya. Hanafiyah juga tidak mensyaratkan dalam kafarat zhihar itu iman tetapi mensyaratkannya pada kafarat al-qatl al-khata'.[7]
          Zuhair dan Syatibi juga memasukkan kriteria ta'arudh al-aqli dalam menentukan qat'i-zanni. Kita mesti menganggap suatu nash itu zanni karena teks nash tersebut bertentangan dengan aqal. Ini persoalan yang amat musykil. Apa sih rasionalisasinya sholat subuh hanya dua rakaat dan zhuhur empat sedangkan maghrib tiga rakaat? Lantas apakah karena tidak rasional (bertentangan dengan akal) maka bilangan rakaat itu dianggap zanni dan bisa berubah? Keyakinan teologis kita mengatakan, tidak! Bilangan rakaat sholat memang tidak rasional tetapi tidak bertentangan dengan akal sehat karena hal itu tidak merugikan diri dan masyarakat.


[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Usul al-Fiqh, h. 35; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami,  juz 1, h. 441, Contohnya adalah ketentuan jilid seratus kali bagi pezina (QS 24:2). Kata "seratus kali" tidak mengandung kemungkinan ta'wil dan atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat qat'i al-dalalah.
[2]  M. Abu Nur Zuhair, Mudzakarah fi Usul al-Fiqh li Ghair al-Ahnaf, juz 1, h. 28-29
[3] al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, jilid 1, h. 35-36
[4] Perdebatan para ulama soal makna dasar amr itu (al-ashlu fi al-amri..) bisa dilihat, salah satunya, dalam Ibn al-Najjar, Syarh al-Kawkab al-Munir,  khususnya jilid ketiga
[5]  Dalam contoh di atas, ditemukan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut: (a) Pujian kepada orang-orang yang shalat; (b) Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya; (c) Perintah kepada mukallaf untuk  melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang, dalam keadaan berdiri atau --bila uzur-- duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat sekalipun; (d) Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara turun-temurun dari Nabi saw., sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya. Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat, melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat aqimu al-shalah secara pasti atau qath'iy mengandung makna wajibnya shalat.
[6] Dipilihnya pendapat Zuhair dan Syatibi karena memang jarang para ulama membahas masalah kriteria qat'i. Sejumlah kitab usul al-fiqh di bawah ini tidak membahas ataupun kalau membahas dilakukan dengan cara yang minimum dan terkesan sambil lalu. Lihat Ibn al-Najjar Syarh al-Kawkab al-Munir; al-Badakhsi, Manahij al-'Uqul; al-Asnawi, Nihayat al-Sul, al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fusul, al-Taimiyah, al-Musawadah fi Usul al-Fiqh; Abu Husayn al-Bashri, al-Mu'tamad fi Usul al-Fiqh. Untuk kalangan Syi'ah bisa dilihat pada al-'Allamah al-Hilli, Mabadi' al-Wusul ila 'Ilm al-Usul, Taheran, Maktab al-A'lam al-Islami, 1404 H.
[7] Lihat: Mustafa Sa'id al-Hin, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa'id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, h. 251-253.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...