Al-Qur'an
dari sisi al-tsubut-nya adalah qat'i. Pengingkaran qat'i
al-tsubut-nya al-Qur'an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun
demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur'an ada yang qat'i dan
ada pula yang zanni. Begitu pula halnya dengan Hadis, ada yang
mengandung muatan qat'i al-dalalah dan ada pula yang zanni al-dalalah.
Berkenaan dengan hal ini, Abdul Wahhab Khallaf berpendapat bahwa nash al-Qur'an dan
Hadist yang bersifat qat'i al-dalalah adalah nash yang menunjuk pada
makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita'wil
(dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk
memahaminya selain makna tersebut.[1]
Lalu
bagaimana kita memberi batasan atau kriteria suatu nash itu qat'i al-dalalah
atau sebaliknya, zanni al-dalalah? Ada ulama yang menyusun sepuluh
kriteria, yaitu diriwayatkan secara mutawatir, tidak mengandung al-majaz
(kiasan), al-isytirak (mengandung dua makna), al-naql, al-idhmar
(samar/tersembunyi), al-taqdim, al-ta'khir, al-nasakh, al-takhshish
dan ta'arud al-aqli.[2] Sedikit
berbeda dengan kriteria di atas adalah yang dikemukakan oleh al-Syatibi: naql
lughat (transfusi bahasa), al-nahw (grammatika) wa 'adam
al-Isytirak, 'adam al-majaz, naql al-syar'i aw al-'adi, al-idhmar,
al-takhshish li al-'umum, al-taqyid li al-muthlaq, 'adam al-nasikh, al-taqdim
wa al-ta'khir dan terakhir, al-ma'aridh al-'aqli.[3]
Kriteria
qat'i al-dalalah itu bisa disederhanakan dengan: pertama, adanya
problematika bahasa (susunan kalimat yang diawalkan atau diakhirkan, perbedaan
grammatika, kiasan, mengandung makna ganda, dan lainnya); kedua, adanya kondisi
tambahan semisal takhshish, taqyid ataupun nasikh-mansukh;
dan ketiga, adanya indikasi bertentangan dengan nalar atau akal. Dari
pembahasan di atas, tentu amatlah sulit untuk mencari teks atau lafaz al-Qur'an
dan Hadis yang mencapai derajat qat'i al-dalalah. Sebagai contoh,
seringkali ummat Islam mengatakan kewajiban sholat lima waktu secara qat'i
diraih melalui ayat "aqim al-shalat" yang mengandung lafaz amr
(perintah). Padahal lafaz amr itu tidak semuanya bermakna qat'i;
adakalanya amr itu mengandung makna mubah dan sunnah. Jadi, dari sisi dalalah
dan kriteria di atas, lafaz "aqim al-shalat" tidaklah qat'i.[4].
Al-Syatibi
memberi solusi terhadap persoalan ini. Kesepuluh premis yang diajukannya juga
menghasilkan kesulitan untuk mencapai derajat qat'i al-dalalah. Untuk
itu beliau mengajukan konsep "mutawatir maknawi", yakni
sekumpulan ayat yang zanni tentang suatu tema (shalat, mislanya) saling
membantu dan menguatkan akan kewajiban shalat. Ketika ayat-ayat tentang sholat
dikumpulkan, ternyata tidak satupun yang mengindikasikan ketidakwajiban sholat.
Dengan demikian kewajiban sholat bersifat qat'i. Jika hanya mengandalkan
satu ayat maka hasilnya adalah zanni, tetapi karena dibantu oleh
sekumpulan ayat senada maka ia menjadi semacam "mutawatir maknawi".[5]
Ketika
Zuhair dan Syatibi mengemukakan sepuluh ihtimal dalam menilai qat'i-zanni-nya
suatu nash, dapat segera kita lihat bahwa kesepuluh premis tersebut amat
dipengaruhi pada keberpihakan mereka dalam persoalan usuliyyah. Keduanya
sama-sama mencantumkan al-nasakh sebagai salah satu ukuran qat'i-zanni.
Artinya, kalau terdapat nasakh dalam ayat tertentu maka gugur
ke-qat'i-annya.Tentu saja kriteria ini sulit diterima oleh sejumlah ulama yang
menolak adanya nasakh dalam al-Qur'an. Abu Muslim al-Asfahani, misalnya,
memilih jalan takhshish dalam menghadapi nash yang secara lahiriah
tampak bertentangan. Ini berbeda dengan jumhur ulama yang disamping menggunakan
takhshish juga menggunakan nasakh. Tentu saja bagi mereka yang sepaham dengan
Abu Muslim ini tidak akan memasukkan nasakh sebagai unsur untuk mengukur qat'i-zanni-nya
suatu nash.[6]
Persoalan
am-takhshish juga dimasukkan dalam sepuluh kriteria oleh Zuhair dan
Syatibi di atas. Kebanyakan dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah
al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah
terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat
dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish.
Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish
tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qat'i-nya suatu nash.
Begitu
pula persoalan taqyid li al-muthlaq yang disebutkan Syatibi (Zuhair tidak
memasukkan hal ini) tidak lepas dari perbedaan pendapat. Disepakati bahwa ayat
yang muthlaq wajib diamalkan kemuthlaqannya pada kondisi tidak ada ayat yang
men-taqyid-nya. Perbedaan pendapat terjadi pada kondisi terdapatnya lafaz
muthlaq dalam nash dan juga terdapat lafaz muqayyad pada nash yang lain. Tidak
heran kalau, akibat perbedaan ini, jumhur tidak mwajibkan zakat fitrah pada
budak non-muslim sedangkan Hanafiyah mewajibkannya. Hanafiyah juga tidak
mensyaratkan dalam kafarat zhihar itu iman tetapi mensyaratkannya pada kafarat
al-qatl al-khata'.[7]
Zuhair
dan Syatibi juga memasukkan kriteria ta'arudh al-aqli dalam menentukan qat'i-zanni.
Kita mesti menganggap suatu nash itu zanni karena teks nash tersebut
bertentangan dengan aqal. Ini persoalan yang amat musykil. Apa sih
rasionalisasinya sholat subuh hanya dua rakaat dan zhuhur empat sedangkan
maghrib tiga rakaat? Lantas apakah karena tidak rasional (bertentangan dengan
akal) maka bilangan rakaat itu dianggap zanni dan bisa berubah? Keyakinan
teologis kita mengatakan, tidak! Bilangan rakaat sholat memang tidak rasional
tetapi tidak bertentangan dengan akal sehat karena hal itu tidak merugikan diri
dan masyarakat.
[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Usul al-Fiqh, h.
35; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, juz 1, h. 441, Contohnya adalah ketentuan
jilid seratus kali bagi pezina (QS 24:2). Kata "seratus kali" tidak
mengandung kemungkinan ta'wil dan atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini
bersifat qat'i al-dalalah.
[2] M. Abu Nur
Zuhair, Mudzakarah fi Usul al-Fiqh li Ghair al-Ahnaf, juz 1, h. 28-29
[3] al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam,
jilid 1, h. 35-36
[4] Perdebatan para ulama soal makna dasar amr itu
(al-ashlu fi al-amri..) bisa dilihat, salah satunya, dalam Ibn al-Najjar, Syarh
al-Kawkab al-Munir, khususnya jilid
ketiga
[5] Dalam contoh
di atas, ditemukan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain
hal-hal berikut: (a) Pujian kepada orang-orang yang shalat; (b) Celaan dan
ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya; (c) Perintah kepada mukallaf
untuk melaksanakannya dalam keadaan
sehat atau sakit, damai atau perang, dalam keadaan berdiri atau --bila uzur--
duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat sekalipun; (d)
Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara turun-temurun dari Nabi saw.,
sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.
Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati
oleh umat, melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat aqimu al-shalah
secara pasti atau qath'iy mengandung makna wajibnya shalat.
[6] Dipilihnya pendapat Zuhair dan Syatibi karena
memang jarang para ulama membahas masalah kriteria qat'i. Sejumlah kitab usul
al-fiqh di bawah ini tidak membahas ataupun kalau membahas dilakukan dengan
cara yang minimum dan terkesan sambil lalu. Lihat Ibn al-Najjar Syarh
al-Kawkab al-Munir; al-Badakhsi, Manahij al-'Uqul; al-Asnawi, Nihayat
al-Sul, al-Qarafi, Syarh Tanqih al-Fusul, al-Taimiyah, al-Musawadah
fi Usul al-Fiqh; Abu Husayn al-Bashri, al-Mu'tamad fi Usul al-Fiqh.
Untuk kalangan Syi'ah bisa dilihat pada al-'Allamah al-Hilli, Mabadi'
al-Wusul ila 'Ilm al-Usul, Taheran, Maktab al-A'lam al-Islami, 1404 H.
[7] Lihat: Mustafa Sa'id al-Hin, Atsar al-Ikhtilaf
fi al-Qawa'id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha, h. 251-253.