Kajian
terhadap sejarah filsafat Islam sebenarnya sudah banyak dilakukan para sarjana
dari Barat. Bahkan kajian-kajian mereka sudah banyak diakui sebagai karya
ilmiah yang berbobot dan obyektif, karena didukung oleh data-data primer dan
referensi yang sangat memadai. Tidak heran jika kajian mereka banyak dikutip
oleh pengkaji sesudahnya dan bahkan banyak mempengaruhinya kajian-kajian
filsafat Islam sesudahnya. Namun, dalam hal-hal tertentu kajian mereka justru
banyak merugikan umat Islam.
Dikatakan
merugikan Islam karena kajian mereka ternyata banyak menyudutkan umat Islam.
Dari situlah akhirnya mereka menuduh umat Islam tidak bisa berpikir logis
sebelum berinteraksi dengan filsafat Yunani. Mereka juga menganggap bahwa
filsafat Islam sebenarnya adalah fotokopi filsafat Yunani. Dan parahnya,
tuduhan mereka justru diikuti oleh para pengikutnya dari kalangan umat Islam
sendiri dan dianggap sebagai kesimpulan yang ilmiah. Ini tentu sangat tidak
enak didengar, padahal belum tentu kesimpulan dari kajian mereka benar dan bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Counter terhadap opini tersebut
sebenarnya sudah dilakukan oleh guru kami, Hamid Fahmy Zarkasyi, Ph.D., dalam
dua makalah beliau di Jurnal Islamia. Artikel ini tidak bisa lepas dari
kajian beliau dalam menjawab tuduhan para peneliti Barat tersebut. Hanya saja
artikel ini lebih disederhanakan hanya dengan mengulas asal-usul filsafat Islam
dan bentuk interaksi para filosof Muslim dengan warisan filsafat Yunani Kuno. Dari
sini, kami berharap para pengkaji filsafat Islam tidak lagi menuduh Islam tidak
bisa berfikir logis tanpa Yunani, atau tuduhan lainnya.
Asal-usul
Filsafat Islam
Dalam
karya-karya peneliti Barat, mayoritas mereka menggambarkan bahwa asal usul
filsafat Islam berasal dari Yunani. Mungkin pendapat mereka ada benarnya jika
dikaitkan dengan istilah falsafah yang dipakai untuk menyebut filsafat
Islam. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa istilah falsafah merupakan
derivasi dari kata philosophia yang berasal dari bahasa Yunani. Namun,
memahami istilah falsafah hanya sampai di situ tidak akan memberikan
manfaat apa-apa, karena meskipun terkesan hanya Arabicized bahasa
Yunani, ternyata keduanya mengandung konsep yang sangat berbeda. Hal inilah
yang ternyata banyak luput dari pemahaman sebagian pengkaji filsafat Islam.
Istilah falsafah
sebenarnya sudah tidak bisa lagi dikaitkan dengan asalnya philosophia,
karena adanya perbedaan makna yang mendalam antara keduanya. Istilah philosophia
sendiri dari sejak zaman kuno, pertengahan, dan modern juga telah mengalami
perubahan makna dari konsepsi rasional, kritis dan akhirnya konsepsi positivis.[i]
Padahal itu terjadi di alam peradaban Barat sendiri yang mengaku sebagai
pewaris dan kelanjutan Yunani Kuno. Apalagi dengan peradaban umat Islam yang
mempunyai worldview berbeda dengan Yunani. Oleh karena itu, tidak heran
jika istilah falsafah itu sudah disesuaikan dengan konsep-konsep dalam worldview
Islam yang dipancarkan oleh al-Qur’an. Hal ini akan kita buktikan lebih jelas
dalam pembahasan interaksi para filosof muslim dengan warisan Yunani Kuno.
Di
kalangan Muslim sendiri, pada mulanya nama falsafah dipakai sebagai
julukan yang diberikan kepada aktivitas ilmiyah pada akhir abad ke-8 M. yang
utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Tidak sedikit para ulama yang menolak falsafah
pada masa itu, khususnya dari para fuqaha’, muhaddithun dan para
ulama salaf.[ii]
Hal itu tidak lain karena adanya pertentangan konsep falsafah
dengan pandangan Islam sendiri. Namun setelah proses -sebut saja- islamisasi,
nama falsafah dipahami sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai
salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal usul nama falsafah pun akhirnya
tidak lagi dipermasalahkan, yang jelas falsafah dikenal sebagai ilmu
tentang Wujud.[iii]
Bahkan, Ibn Taimiyah yang sebelumnya menolak keras, pada akhirnya menerima falsafah,
tapi dengan syarat harus berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang
dibawa oleh para Nabi. Falsafah yang demikian, ia sebut sebagai al-Falsafah
al-Shahihah atau al-Falsafah al-Haqiqiyyah.[iv]
Namun beliau tetap saja menolak pemikiran Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rushd
yang dianggap masih bercampur dengan pemikiran Yunani.
Adannya
penolakan terhadap filsafat Yunani dan kemudian diterima oleh para ulama,
menunjukkan bahwa Islam telah mempunyai konsep filsafat yang bukan berasal dari
Yunani. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya istilah hikmah dalam
tradisi intelektual Islam. Menurut Alparslan Acikegence, konsep-konsep seminal
dalam al-Qur’an tentang alam semesta, manusia, penciptaan, ilmu, etika,
kebahagiaan dan lain-lainnya adalah konsep-konsep asas bagi spekulasi filosofis
dalam memahami realitas dan kebenaran. Semua itu dalam tradisi intelektual
Islam tergolong dalam apa yang disebut hikmah.[v]
Dari sini sangat jelas bahwa dalam Islam tradisi berpikir filosofis sudah ada
sebelum berinteraksi dengan tradisi Yunnani.[vi]
Oleh
karena itu, Menurut C.A. Qadir, mengaitkan filsafat Islam dengan filsafat
Yunani adalah jauh dari benar. Sumber pemikiran para pemikir Muslim yang asli
adalah al-Qur’an dan al-Hadits. Yunani hanya memberi dorongan dan membuka jalan
untuknya. Fakta bahwa Muslim berhutang pada Yunani adalah sama benarnya dengan
fakta bahwa Muslim juga bertentangan dengan beberapa pemikiran filsafat Yunani.
Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta misalnya, para pemikir Muslim
memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam filsafat
Yunani.[vii]
Tanpa
menafikan adanya hubungan antara filsasat Islam dan Yunani, MM. Sharif
mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain, sedangkan pemikiran
Yunani sebagai sulaman. Meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan
menganggap sulaman itu kain. Ini artinya, menurut Hamid Fahmy Zarkasyi,
meskipun di dalam filsafat Islam terdapat unsur-unsur Yunani, tetapi filsafat
Islam bukanlah filsafat Yunani. Filsafat Barat sendiri yang juga mengandung
unnsur Yunani, Islam dan Kristen, tetap saja disebut filsafat Barat dan dikaji
menurut framework Barat.[viii]
Sementara
Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ke tempat
asalnya di Barat, bersamaan dengan murid terbesarnya, Averroes.[ix]
Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa filsafat Islam terdapat unsur-unsur
Yunani. Hanya saja unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu
kemudian diintegrasikan ke dalam peradaban Islam, khususnya jika hal itu
berkaitan dengan hikmah dalam pengertian yang universal, dan unsur-unsur yang bertentangan
dibuang. Jadi, salah apabila berfilsafat dalam itu diartikan sebagai berpaham
skeptisisme, keraguan dan beraktivitas secara individualistis sehingga justru
melawan Tuhan.[x]
Kesimpulan
Dari sini
bisa disimpulkan bahwa filsafat Islam tidaklah sama dengan filsafat Yunani.
Akar filsafat Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits, yang memang telah
menyediakan konsep-konsep filosofis dalam membentuk tradisi intlektual Islam.
Hanya saja konsep-konsep itu belum diberi nama falfasah, tetapi dikenal dengan
istilah hikmah. Setelah adanya pertemuan dengan tradisi Yunani maka
istilah hikmah kemudian tergantikan oleh istilah falsafah atau
kemudian dikenal dengan filsafat Islam. Jadi, sekali lagi asal-usul filsafat
Islam bukan berasal dari Yunani tetapi berasal dari tradisi intelektual Islam
sendiri. Wallohu A’lam Bish Showab.
[i] Hamid Fahmy Zarkasyi,
“Re-orientasi Framework Kajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam
Indonesia” dalam Jurnal ISLAMIA, Volume. 5, 2009, hlm. 57; Alparslan
Acikgence, A Concept of Philosophy in the Qur’anic Context, The American
Journal of Islamic Social Science, 11:2.
[ii] Ibid., hlm. 58
[iii] Hamid Fahy Zarkasyi, “Framework
Kajian Orientalis dalam Filsafat Islam”, dalam Jurnal ISLAMIA, Volume. 2
No. 3 Desember 2005, hlm. 57
[iv] Ibn Taimiyyah, Minhaj
al-Sunnah, hlm. 258; Ibid., hlm 47.
[v] Alparslan Acikegence, “A Concept
of Philosophy in the Qur’anic Context”, The American Journal of Islamic
Social Sciences, 11:2.
[vi] Namun, menurut Hamid Fahmy
Zarkasyi, setelah datangnya gelombang Hellenisme, istilah hikmah terdesak
oleh istilah falsafah, yang ditandai dengan adanya penerjemahan
karya-karya filosof Yunani. Hamid Fahmy Zarkasyi, 2009, op.cit., hlm.
57.
[vii] Qadir, C.A., Philosophy and
Science in the Islamic World, (London: Routledge, 1988), hlm. 28; Hamid,
2009, op.cit. hlm. 59
[viii] Hamid Fahmy Zarkasyi, 2009, op.cit.,
hlm. 60.
[ix] Nasr, S.H., Science and
Civilization in Islam, (Cambridge: Islamic Text Society, 1987), hlm. 7
[x] Nasr, S.H., Islamic Studies,
(Beirut: Librairie Du Liban, 1970), hlm. 112 ; Hamid Fahmy Zarkasyi, 2009,
loc.cit.