Fenomena ketuhanan tampaknya merupakan fakta
universal. Hal ini tidak saja dapat ditemukan pada masyarakat modern tetapi
juga pada masyrakat yang paling primitive sekalipun.[1]
Kajian sejarah tentang asal usul agama telah membuktikan kenyataan ini. Louis
Berkhof di dalam karyanya, Systematic Theology, menegaskan bahwa ide
tentang Tuhan secara praktis bersifat universal pada ras manusia. Hal ini juga
ditemukan diantara bangsa-bangsa dan suku-suku yang tidak memiliki peradaban.[2] Sebagian teolog dan pakar filsafat agama
menyatakan bahwa fenomena ketuhanan sebenarnya telah terlembaga pada diri
manusia sebagai bawaan (innate idea of God).[3]
Bahkan lebih dari itu, ide tentang ketuhanan dalam diri manusia oleh beberapa
kalangan sudah dikategorikan bersifat naluriah (instinctive).[4]
Dan berdasarkan teori ini manusia secara naluriah percaya adanya Dzat diluar
dirinya sendiri. Bagi sebagian kelompok lain, ide tentang ketuhanan merupakan
tuntutan akal (the voice of reason).[5]
Sekalipun manusia mungkin telah ditakdirkan untuk ingin tahu akan hal-hal yang
paling misterius dari fenomena ketuhanan, kita perlu membedakan antara
eksistensi ide Tuhan yang tertanam dalam jiwa manusia dan perkembangan ide
ketuhanan dalam kesadaran manusia itu sendiri. Perkembangan ide Tuhan dalam
kesadaran tidak sama dengan perkembangannya pada manusia atau bangsa lain.[6]
Yang artinya, fenomena gagasan ketuhanan mengalami perkembangan sesuai
karakteristik budaya dan peradaban manusia.[7]
Ernst Cassirer menggambarkan perubahan sikap mental Yunani dari situasi mistis
menuju pengembangan intelektualitas yang ditandai dengan transformasi intensif
dari struktur bahasa magis menjadi bahasa metafisis, kemudian berkembang
menjadi bahasa logis dan terakhir menjadi prinsif pengetahuan bagi manusia.[8]
Bahkan tidak hanya berkembang sesuai karakteristik budaya dan peradaban,
fenomena ketuhanan juga berhasil membentuk karakteristik budaya dan peradaban
itu sendiri, baik dalam aspek social maupun politik.[9]
[1] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan kisah
pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam
selama 4000 tahun, Penerbit Mizan, Bandung, 2003, hal. 27.
[2]
Louis Berkhof, Systematic Theology, WM.B. Eerdmans Publishing Co, United
States of America, 1981, hal. 27.
[3]
Sheed’s, Dogmatic Theology, Thomas Nelson Publishers, United States of
America, 1980, hal. 199. Sebelumnya teori ini dipopulerkan oleh Rene Descartes,
teori bawaan (the theory of innate ideas) dan teori hasrat bawaan kepada
Tuhan (the theory of innate yearning for God). Dan kesadaran ini menurut
Calvin “dianugrahi dengan pengetahuan Tuhan (Human mind is naturally endowed
with the knowledge of God), Encyclopedia of Philosophy, vol. 2, Macmillan
Publishing Co. In & The Free Press, New York-London, hal. 148.
[4]
Teori ini dipopulerkan oleh Seneca di dalam bukunya Epistulae Morale,
yang dikenal dengan argument bentuk biologis (Biological form of argument).
Teori ini menyebutkan bahwa adanya Tuhan dapat diseimpulkan dari perasaan Tuhan
yang tertanam (secara biologis) dalam jiwa manusia, Encyclopedia of
Philosophy, vol. 2, Macmillan Publishing Co. In & The Free Press, New
York-London, hal. 148.
[5]
Kelompok ini menyatakan bahwa pengakuan adanya Tuhan pada seluruh manusia
disebabkan oleh tuntutan intelektualitasnya. Teori ini juga dikenal dengan
teori dilemma antiskeptis (the atsikeptical dilemma) yang dicetuskan
oleh G.H. Joyce dalam bukunya The Priciples of Natural Theology, teori
ini dapat diringkas bahwa, pada kenyataanya seluruh manusia baik di masa lalu
maupun sekarang ditemukan sebagai makhluk yang percaya pada Tuhan. Kepercayaan
ini bukanlah disebabkan oleh kecenderungan alamiahnya, tetapi disebabkan oleh
tuntutan akan sifat yang jelas dan tegas. Encyclopedia of Philosophy, vol.
2, Macmillan Publishing Co. In & The Free Press, New York-London, hal.
150.
[6]
Sheed’s, Dogmatic Theology,
Thomas Nelson Publishers, United States of America, 1980, hal. 206.
[7] Bertrand Russell menjelaskan: Ketika agama
memiliki kaitan erat dengan pemerintahan suatu imperium, maka motif-motif
politik memberikan banyak andil dalam mengubah ciri-ciri primitive agama. Agama
bangsa Mesir dan babilonia, sebagaimana kepercayaan kuno lainnya, pada dasarnya
mengkultuskan kesuburan. Bumi adalah betina, matahari adalah jantan. Sedangkan
diseluruh Asia barat, Bunda yang agung dipuja dengan perbagai nama. Ketika
bangsa Yunani yang menduduki Asia kecil mendirikan kuil untuk memuliakannya,
mereka menyebut sang dewi itu Artemis. Dan inilah asal mula Diana dewi bangsa
Ephesus. Dan selanjutnya agama Kristen mengubahnya menjadi Maria sang perawan,
dan adalah Konsili Ephesus 431M yang mengukuhkan gelar “Ibunda Tuhan” bagi
Bunda Maria. Sejarah Filsafat Barat, kaitannya dengan kondisi seosio-politik
zaman kuno sampai sekarang, hal. 5
[8]
Ernst Cassier, Manusia dan Kebudayaan,
Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 168-169.
[9]
Sebagaimana dijelaskan Bertrand Russell, agama nabi Muhammad adalah monotheism
yang sederhana, tidak dirumitkan oleh trinitas dan inkarnasi.
Agama Muhammad ditugaskan untuk menaklukkan dunia sebesar mungkin untuk Islam,
tetapi tidak diperbolehkan untuk menganiaya pemeluk agama lain. Hal ini
berseberangan dengan Katholik, menyebarkan pengaruhnya lewat trinitas yang
rumit dan diwarnai penyiksaan pada pemeluk agama lain. Perluasan wilayah
kekuasaan Islam adalah bagian dari da’wah yang tidak dibenarkan untuk
mengeksploitasi harta wilayah kekuasaan. Hal ini berseberangan dengan
imperialism bangsa-bangsa Eropa. Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan
kondisi sosio-politik zaman kono hingga sekarang, hal. 558-569.