Minggu, 28 April 2013

Pembagian Ilmu Dalam Islam

Islamic Wallpaper by irwan malik marpaung
by; Irwan Malik Marpaung

Berangkat dari keterbatasan potensi yang dimiliki rasio. Dalam proses pencariannya dibutuhkan pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan ilmu itu sendiri. Pembatasan-pembatasan ini kita sebut sebagai klasifikasi ilmu. Pengklasifikasian ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu, objek yang diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari objek ilmu itu sendiri.
Dalam Kitāb al-Tamhīdnya, Imam al-BaqillÉnÊ menyatakan ilmu makhluk (yakni pengetahuan manusia) itu ada dua jenis; Pengetahuan yang bersifat pasti dan pengetahuan yang diperoleh melalui nalar akal. Pengetahuan yang bersifat pasti itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan pengetahuan khabar/laporan mutawÉtir. Lebih lanjut Imam Ibnu JawzÊ dalam Kitāb Akhbār al-Shifāt mengklasifikasikan ilmu dalam  tiga macam. Ilmu pasti yang diperoleh secara a prioriy atau intuitif maupun secara diskursif, Ilmu yang didapat melalui panca indera, dan Ilmu yang diperoleh lewat berita, secara mutawatir maupun perorangan.
AbË HÉmid Al-GhazÉlÊ membagi ilmu menjadi empat sistem klasifikasi yang berbeda: pertama, berdasarkan pembedaan antara intelek teoretis dan intelek praktis,[i] yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis. Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan hudËrÊ[ii] dan pengetahuan husËlÊ[iii] yang didasarkan atas perbedaan tentang cara-cara mengetahui. Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama (sya`ah) dan intelektual (`aqli,yah, gayr al-syarÊ`ah), yang didasarkan atas pembedaan sumber wahyu dan sumber akal. Keempat, pembagian ilmu-­ilmu menjadi fardlu ain dan fardlu kifÉyah, didasarkan atas perbedaan hukum keharusan dalam pencarian ilmu.[iv]
 “Ilmu nonagama” masih bisa diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji (mahmËd), dibolehkan (mubÉh) dan tercela (madzmËm). Sebagai contoh:  ilmu sejarah bisa dikategorikan ilmu mubah; sihir dikategorikan “ilmu” tercela. Ilmu-ilmu terpuji, yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikategorikan wajib kifÉyah. Misalnya; Ilmu tentang obat, matematika, politik dan kerajinan-kerajin­an yang diperlukan oleh masyarakat. Al-GhazÉlÊ mengklasifikasikan "ilmu agama" dalam dua kelompok: terpuji (mahmËd) dan tercela (madzmËm). Yang dimaksud dengan "ilmu agama tercela" adalah ilmu yang tampaknya diarahkan kepada syariah, tapi nyatanya menyimpang dari ajaran-ajarannya. Sedangkan "ilmu agama terpuji" dan dikategorikan wajib kifÉyah, dibagi dalam empat kelompok: pertama; Ilmu UshËl (dasar-dasar; yaitu: Al-QurÉn, Al-Sunnah, ijma' atau konsensus dan tradisi [kebiasaan] para sahabat Nabi). Kedua; Furu`(masalah-masalah sekunder atau cabang; yaitu: masalah-masalah fiqih, etika, dan pengalaman mistik. Ketiga; Studi-studi pengantar (qaidah, sharaf, bahasa Arab, dan lain­-lain). Keempat; Studi-studi pelengkap (membaca dan menerjemahkan Al-­QurÉn, mempelajari prinsip-prinsip fiqih, `ilm al--rijÉl atau penyelidikan biografi para perawi hadis-hadis, dan lain-­lain). Dalam hal ini, Al-GhazÉlÊ memandang ilmu yang tercakup di dalam empat ke­lompok di atas sebagai wajib kifayah.
Konsep klasifikasi ilmu  yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-BÉqillÉnÊ, Ibnu JawzÊ maupun al-GhazÉlÊ diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang saling menguatkan dan melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pandangan hidup Islam (worldview Islam), dan sejalan dengan epistemologi Islam. Ini tentu secara tegas berbeda dengan Barat, yang tidak melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan arah pengembangan ilmunya. Ilmu yang dikonsepsikan insan bertauhidy tentunya akan melahirkan hasil maupun karya yang sejalan dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai contoh; peneliti biologi yang bertauhidi tentunya tidak akan membenarkan teori evolusi sebagaimana dirumuskan oleh Darwin. Dan satu hal terpenting, berbeda dengan peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya sesempurna mungkin untuk memanfaatkan potensi diri.[v] Hal tersebut dilakukan demi mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.[vi]



[i] Lihat Mizan al-'amal, p. 36-37, 112-113; lihat juga MaqÉsid al-FalÉsifah, ed. Sulaiman DunyÉ, (Kairo:, 1061), p. 134.
[ii] Pengetahuan yang dihadirkan antara lain terdiri dari pengetahuan Kenabian yang berasal dari Wahyu, dan pengetahuan para wali, yang berasal dari inspirasi (ilhÉm), dan pengetahuan dari yang tinggi (al-'ilm al-ladËni). Lihat: Lihat al-RisÉlÉt al-LadËniyah, p. 365; lihat juga The Marvels of The Heart dalam R.J. McCarthy, Op.Cit., par.44-46, p. 378. Pengetahuan hudËrÊ terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual.
[iii] Al-GhazÉlÊ mengidentifikasi ilmu yang demikian ini dengan 'pengetahuan inferensial' atau 'pengetahuan hasil kesimpulan. Lebih lanjut lihat: Lihat al-RisÉlÉt al-LadËniyah, p. 362.
[iv]Istilah fardh 'ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap Muslim/Muslimah. Sebaliknya, fard kifayah dimaksudkan kepada hal-hal yang merupakan perintah Ilahi, yang sifatnya mengikat semua anggota komunitas Muslim sebagai suatu kesatuan, dan tidak harus mengikat setiap anggota dari komunitas itu. Jadi, ia lebih bersifat kolektif. Orang pertama yang mempopulerkan isitlah fard kifayah. Beliau mendefinisikan istilah tersebut sebagai kewajiban yang jika sudah dikerjakan oleh sejumlah kaum Muslim, maka kaum Muslim lain yang tidak menjalankannya tidak berdosa  . Lihat A. Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad, 1970), p. 39
[v] Fakhr al-dÊn al-RÉzÊ,  TafsÊr al-KabÊr Wa MafÉtÊh al-Ghaib, (dalam penafsiran surat al-Baqarah: 62)
[vi]  Lihat: Lihat; QS al-MujÉdalah : 11, يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...