Etika al-Qur'an mengajarkan kita agar senantiasa bersikap
adil kepada siapapun, termasuk terhadap musuh yang tidak kita sukai sekalipun.[1]
Maka, secara jujur dan lapang dada memang harus diakui bahwa gerakan
orientalisme dengan berbagai macam motifnya telah menjadi katalisator bagi lahirnya
gerakan-gerakan pengkajian dalam lingkup umat Islam.[2]
Jika tidak lahir karya Munk "Melanges
de Phliosophie Juive at Arabe" atau
"Averroes" karya Ernest Renan, atau buku-buku lainnya, maka barangkali
tidak akan lahir tokoh-tokoh fenomenal semisal Mustafa Abdul Raziq, Ibrahim
Madkour dan Muhammad Iqbal. Tiga tokoh ini dengan metode yang berbeda-beda memulai
menulis master piece masing-masing di bidang filsafat karena merasa terusik
dengan karya-karya orientalis di atas. Mustafa Abdul Raziq dan Ibrahim Madkour
sendiri tak malu untuk membuat pengakuan tentang pentingnya gerakan orientalisme
di bidang filsafat.[3] Hanya
saja memang sikap adil sebagai bagian dari etika Islam juga meniscayakan adanya
sikap jeli dan tegas terhadap riset dan penelitian orientalis.[4]
Benarlah seorang Mahmud Hamdi Zaqzuq ketika mengatakan: "merupakan sikap
yang terlalu simplikatif (menyederhanakan masalah) jika kita memilih untuk
berlaku apriori atau malah permisif terhadap pemikiran dan karya para orientalis".[5]
iss",�
F$i " ��h _e di-font-family:TimesNewRomanPSMT'>hal. 36. Lih. juga Ibrahim Madkour, Op. Cit., hal.
203, Muhammad Ali Abu Royyan, Op.
Cit., hal. 15.
Dalam kajian filsafat, Mustafa Abdul Raziq secara cemerlang
berhasil menelisik spirit yang berkembang di masa kemunculan kajian-kajian
orientalis di bidang sejarah filsafat. Ia berhasil menemukan bahwa pada abad ke
sembilan belas masehi karyakarya tersebut lebih banyak didominasi oleh sikap
fanatik terhadap agama Kristen dan sentimen anti Islam, bukan spirit
keterbukaan yang mengedepankan obyektifitas dan semangat ilmiah.[6]
Victor Cousin dalam Cours De Phistoire de la
Philosophie contohnya, dengan sangat congkak
menyebutkan bahwa agama yang berhasil melahirkan peradaban tekonologi dan
paling banyak memberikan sumbangan kelilmuan pada sejarah kemanusiaan adalah
agama Kristen. Sebaliknya, menurutnya tidak ada yang bisa diberikan oleh agama
lain, termasuk juga Islam, untuk kemajuan peradaban dan kemanusiaan. Mustafa
Abdul Raziq akhirnya membuat kesimpulan bahwa karya-karya orientalis di bidang
filsafat lebih banyak ditulis secara premature dan mengabaikan prinsip-prinsip
berfikir netral dan obyektif. Ini sama dengan temuan Ibrahim Madkour, tokoh
Mesir yang satu periode dengan Mustafa Abdul Raziq. Ia bahkan menyimpulkan
bahwa sebenarnya sebagian besar orientalis yang menyusun sejarah filsafat Islam
tidak memahami bahasa arab dengan baik, sehingga memungkinkan mereka untuk
meneliti teks-teks filsafat klasik secara tidak ilmiah.[7]
Guillaume Theolphile Tennemann, orientalis Jerman, setelah
menegaskan bahwa Aristoteles adalah sosok yang memiliki hegemoni dalam
pemikiran bangsa Arab, dalam Manuel
de Phistoire de la Philophie melengkapi
tesanya tersebut dengan mengatakan bahwa pemikiran filosofis-rasional sulit
untuk berkembang dalam peradaban Islam.[8]
Kesulitan itu disebabkan beberapa hal: (1) al-Qur'an, kitab suci umat Islam,
menjadi penghalang utama bagi munculnya pemikiran ilmiah yang bebas. (2) Adanya
sekte ahlu sunnah sebagai aliran yang skriptual dalam memahami nash agama, (3)
Kesulitan memahami karya Aristoteles, (4) karakter natural umat Islam yang
cenderung menyukai prasangka yang prematur. Pasca Tenneman muncul orientalis lain
yang bernama Ernest Renan. Jika harus disebutkan siapa orientalis yang paling
berpengaruh dalam penulisan sejarah filsafat Islam tampaknya Ernest Renan lah
orangnya. Renan adalah orientalis berkebangsaan Perancis yang meneliti sejarah bangsa
Semit. Pendapatnya yang sangat popouler dalam Averroes
et L'averroie, Esai Historique,
adalah ia membagi ras manusia menjadi dua; Semit dan Aria. Bangsa Arab yang
bagian dari Bangsa Semit disebut oleh Renan tidak memiliki sama sekali bakat
filsafat, sebab akal mereka secara alami diciptakan dengan kecenderungan
nonfilosofis, menyukai hal-hal sepele, tidak sistematis (esprit separatiste)
dan monoteistik (insticnt monotheiste).[9]
Sebaliknya bangsa Aria adalah bangsa ilmiah yang menyukai cara berfikir yang
rumit, sistematis (esprit fusionniste) dan filosofis.
Secara umum kesimpulan yang dibuat oleh Tenneman dan Renan
hampir sama dengan orientalis yang datang sesudah mereka. Munk dalam Melanges de Philosphie Juive at Arabe dan Carra de Vaux dalam Aviecinne
menyimpulkan bahwa masyarakat Arab pra
Islam sama sekali tidak mampu berfilsafat.[10]
Adapun jika ada metode berfikir filosofis sesudah datangnya Islam itu bukan
disebabkan karena mereka memiliki kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme), tetapi lebih karena pemikiran mereka didominasi oleh
sistem dan materi yang diambil dari Yunani, terutama Aristoteles dan Plato.
Duhem, orientalis Perancis, dalam kajiannya tentang kosmologi dunia arab
mengatakan bahwa filsafat Islam hanyalah kelanjutan dari filsafat Neo-Platonisme,
bahkan juga layak untuk diberi nama 'Mazhab Plato Arab'.[11]
Pandangan yang sedikit keluar dari mainstream
orientalis tentang filsafat Islam
datang dari orientalis Dugat dalam Histoire
des Philosophes et des Theologiens Musulmans dan
Horten dalam tulisannya tentang filsafat yang dimuat di Encyc, de l'Islam.[12]
Dua tokoh ini mengakui bahwa ilmu kalam adalah unsur tambahan yang orisinil
dalam filsafat Islam di samping filsafat Yunani itu sendiri.[13]
Sebagian besar karya orientalis di bidang sejarah filsafat
ditulis sejak awal abad ke sembilan belas dan awal dua puluh masehi. Maka,
untuk membuat satu penilaian tentang karya yang lahir pada periode tersebut
haruslah juga diketahui iklim intelektual dan mainstream
yang berkembang pada saat itu. Emile Brehier,
seorang Barat yang memiliki concern di bidang penulisan sejarah filsafat, melukiskan beberapa qadhâya manhajiyyah (problem metodologis) di masa maraknya penulisan sejarah
filsafat.[14] Pada
penggalan abad ke sembilan belas dan dua puluh masehi para penulis sejarah
filsafat sedang ribut mendiskusikan beberapa tema, yaitu tentang, (1) apakah
filsafat bermula pada ke-6 SM di Ionia pada periode Aristoteles atau sudah ada
sejak jauh sebelum itu, (2) tanah air filsafat, apakah filsafat hanya milik
bangsa Yunani-Romawi ataukah lebih luas dari itu. Konswekensi dari dua
pertanyaan ini adalah pengakuan tentang wujud atau tidaknya kontribusi
bangsa-bangsa Timur di luar Yunani-Barat seperti India, Persia dan Islam dalam
bidang filsafat.
Dalam tataran aplikasinya, usaha tokoh-tokoh barat untuk
mengkodifikasikan sejarah
filsafat ternyata tidak pernah terlepas dari perspektif yang
disebut oleh Abid al-Jabiri
sebagai proyek al-wahdah
wa'l istimrâriyah (kesatuan mata rantai sejarah
filsafat).[15] Kajian
terhadap sejarah filsafat di barat diarahkan untuk satu kepentingan, yaitu mengokohkan
peran dan pengaruh filsafat Yunani (yang notabenenya adalah bagian dari Barat)
dalam semua peradaban. Studi literatur Islam yang menggunakan pendekatan
filologi juga pada akhirnya akan digiring ke arah pencarian genealogi (asal
usul) nya dari pemikiran Helenistik.[16]
Dalam perspektif ini filsafat yang diakui oleh para pengkaji Barat adalah
filsafat yang sejalan dengan asal usul dan nomenklatur filsafat Yunani. Emile
Brehier dalam karyanya 'Histoire
de la Philosophie' (Sejarah Filsafat) setebal tujuh jilid
memberikan porsi pembahasan yang sangat berlebihan tentang Filsafat Yunani.
Filsafat Timur hanya disisakan ruang yang sangat kecil, yaitu ketika ia
berbicara tentang Filsafat Byzantium.[17]
Sementara filsafat Islam hampir sama sekali tidak diperhitungkan. Filsafat
Islam hanya dicuplik ketika ia berbicara tentang perpindahan filsafat dari
Yunani ke Eropa melalui Averoisme Latin.
[1] Dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 8 Allah berfirman: "dan janganlah kebencianmu terhadap satu kaum
menghalangimu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil lebih
dekat kepada ketaqwaan".
[2] Dr. Hamid
Tahir, al-Falsafatu'l Islâmiyatu fi 'Ashri'l Hadîst, Nahdhah
Misr, cet. I, 2005, hal. 45.
[3] Ibrahim Madkour
menulis: "Jika saja Allah tidak menunjuk para orientalis
untuk meneliti dan mengungkap para filosof-filosof Islam, maka niscaya hari ini
kita tidak akan tahu sejarah mereka". Lih. Ibrahim Madkour, Fi'l
Falsafati'l Islâmiyah, Manhaj wa Tathbîquhu, Daru'l Ma'arif,
vol. I, cet. II, 1989, hal. 26. Mustafa Abdul Raziq juga menulis: "secara
fair kita mengaku takjub dengan kesabaran dan keluasan cakrawala para
orientalis dalam melakukan riset terhadap agama Islam".
Lih. Mustafa Abdul Raziq, Tamhîd li Târîkhi'l Falsafati'l
Islâmiyyah, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyah, cet.
II, 2007, hal. 31.
[4] Muhammad
al-Bahi membuat kesimpulan bahwa orientalisme adalah salah satu instrumen yang dibuat
Barat untuk melanjutkan proyek kolonialisasi di dunia Timur. Lih. al-Fikru'l
Islâmiy al-Hadist wa Silatuhu bi'l Isi'mâr al-Gharbiy.
Kesimpulan ini dikuatkan oleh orientalis berdarah Palestina, Edward Said dalam
karyanya yang berjudul the Orientalism.
[5] Dr. Hamdi
Zaqzuq, al-Istiyrâq wal Khalfiyyah al-Hadlariyyah li
al-Shira' al-Hadlariy, Darul Maarif, cet. ?, hal. 12. Lih.
juga, Mustafa al-Sibai, al-Istisyrâq wa'l Mustasyriqûn,
mâ Lahum wa mâ 'Alaihim, Dar al-Salam.
[6] Mustafa Abdul
Raziq, Op. Cit., hal. 13.
[7] Ibrahim Madkour
meneliti bahwa kesimpulan yang dibuat oleh para orientalis di bidang filsafat Islam
dilakukan melalui literatur-literatur berbahasa Latin yang merupakan terjemahan
dari bahasa Arab. Lih. Ibrahim Madkour, Op.
Cit., hal. 10.
[8] Mustafa Abdul
Raziq, Op. Cit., hal. 9.
[9] Ibid., hal.
15. Lih. juga Ibrahim Madkour., Op. Cit., hal.
16, Muhammad Ali Abu Royyan, Târîkhu'l Fikri'l Falsafiy fi'l
Islâm, Dâru'l Ma'rifah al-Jâmi'iyah, cet. ?, 1986, hal. 10. Para tokoh Islam
telah banyak menuliskan bantahan untuk pandangan dikotomis Renan ini. Muhammad
Ali Abu Royyan misalnya membantah pandangan Renan melalui pendekatan ilmu
biologi. Ilmu kedokteran modern telah menyatakan bahwa kesamaan gen dalam
pasangan yang kembar tidak meniscayakan adanya kesamaan karakter. Apalagi dalam
skala peradaban. Lagipula jika klaim Renan itu bernar, filsafat Islam tidak
saja ditulis oleh filosof dari bangsa Semit. Al-Farabi, Ibnu Rusyd sampai Muhamad
Iqbal adalah filosof Islam yang berasal dari ras Aria.
[10] Ibrahim
Madkour, Op. Cit., hal. 207-208.
[11] Ibid., hal.
210.
[12] Ibid., hal.
210.
[13] Pandangan yang mendikotomikan antara filsafat dan ilmu
kalam, atau mengeliminir ilmu kalam dari filsafat akan berimplikasi pada
kesimpulan bahwa filsafat Islam baru muncul pertama kali sejak periode
penterjemahan di masa Khalifah Ma'mun Dawlah Abasiyah dengan lahirnya filosof
Abu Yusuf al-Kindi, tepatnya setelah karya-karya Yunani mulai diterjemahkan ke
bahasa arab. Padahal al-Kindi hanyalah bagian dari filosof yang disebut
peripatetik Arab. Dalam ilmu kalam (disiplin ilmu yang lebih
dahulu lahir) permasalahan filosofis tentang
Tuhan, alam dan manusia telah lebih dahulu didiskusikan. Lih. Ibrahim Madkour, fi'l Falsafati'l Islamiyah Manhaj wa Tathbîquhu, Darul Maarif, cet. ?, vol. II, 1989 hal. 7.
[14] Abid
al-Jabiriy, al-Turâst wa'l Hadâstah,
Markaz Dirasati'l Wahdati'l Arabiyah, cet. II, 1999, hal. 75
[15] Ibid., hal.
82.
[16] Ibid., hal.
77.
[17] Ibid., hal.
76.
[4] Mustafa Abdul
Raziq, Op. Cit., hal. 43, 142.
[5] Ibid., hal.
107.
[6] Ibid., hal.
131.
[7] Ibrahim
Madkour, Op. Cit., hal. 12.
[8] Ibid., hal.
195.
[9] Ibid., hal.
10.
[10] Ibid., hal.197.
[11] Ibid., hal.
13, 201. Tokoh Yahudi masa pertengahan yang terpengaruh dengan filsafat Islam
contohnya adalah Ibnu Maimun yang mengarang 'Dalâlatu'l
Hâirin'. Ibrahim Madkour membuktikan bahwa
konsep 'Cogito, Ergo Sum' Rene Descartes (w. 1650) yang artinya 'aku berfikir maka aku
ada' memiliki kemiripan dengan konsep rajulun
mu'allaqun fi'l fadlâ milik Ibnu
Sina. Skeptisme Descartes mirip dengan manhaj
syak-nya al-Ghazali. Nubuwwah Spinoza
(w. 1677) mirip dengan Nubuwwah
al- Farabi.
[12] Muhammad Iqbal, The
Reconstruction of Religion Thought in Islam diarabkan
oleh Abbas Mahmud menjadi Tajdidu
al-Tafkir al-Diniy fi'l Islam, Daru'l
Hidayah, cet. III, 2006, hal. 154
[13] Ibid., hal.
8. Ibid., hal. 8.
[14] Ibid., hal.
84.
[15] Ali Sami
an-Nasyar, Op.Cit., hal.
32.
[16] Ali Sami an-Nasyar, Manâhiju'l
Bahst 'inda Mufakkiri'l Islâm, Dar
al-Salam, cet. I, 2008, hal. 7.
[17] Kesimpulan ini bertolak belakang dengan penelitian yang
dibuat oleh Ibrahim Madkour yang menyebutkan bahwa ulama Islam banyak yang
terpengaruh dengan mantiq Aristoteles. Ibrahim Madkour menuliskan pemikiraannya
tersebut dalam bukunya yang berjudul 'L'organon
d'Aristote dans le monde arabe', terbit
di Paris pada tahun 1969.
[18] Ali Sami
an-Nasyar, Op.Cit., hal.
288.
[19] Ali Sami
an-Nasyar, Op.Cit., hal.
85.
[20] Jumhur Ushuliyyin
berpendapat bahwa antara al-ashl dan
al-far'u dalam qiyas harus ada 'illah. Qiyas sendiri dalam ushul fikih bersandarkan pada dua
metode; ta'lil (the law of universal causation) dan al-itrâd
(the
law of uniformity of nature). Tidak
berhenti di sini saja, ushuliyyun
bahkan menetapkan adanya proses
penelitian untuk setiap 'illah dalam qiyas (masâliku'l
'illah). Dalam Qiyas dikenal beberapa metode
untuk ini, diantaranya; al-sabru
wa taqsîm, al-thard, al-dawran, tanqîhu'l manâth (metode eliminasi), dll.