Minggu, 28 April 2013

Orientalis dan Kajian Filsafat Islam

Etika al-Qur'an mengajarkan kita agar senantiasa bersikap adil kepada siapapun, termasuk terhadap musuh yang tidak kita sukai sekalipun.[1] Maka, secara jujur dan lapang dada memang harus diakui bahwa gerakan orientalisme dengan berbagai macam motifnya telah menjadi katalisator bagi lahirnya gerakan-gerakan pengkajian dalam lingkup umat Islam.[2] Jika tidak lahir karya Munk "Melanges de Phliosophie Juive at Arabe" atau "Averroes" karya Ernest Renan, atau buku-buku lainnya, maka barangkali tidak akan lahir tokoh-tokoh fenomenal semisal Mustafa Abdul Raziq, Ibrahim Madkour dan Muhammad Iqbal. Tiga tokoh ini dengan metode yang berbeda-beda memulai menulis master piece masing-masing di bidang filsafat karena merasa terusik dengan karya-karya orientalis di atas. Mustafa Abdul Raziq dan Ibrahim Madkour sendiri tak malu untuk membuat pengakuan tentang pentingnya gerakan orientalisme di bidang filsafat.[3] Hanya saja memang sikap adil sebagai bagian dari etika Islam juga meniscayakan adanya sikap jeli dan tegas terhadap riset dan penelitian orientalis.[4] Benarlah seorang Mahmud Hamdi Zaqzuq ketika mengatakan: "merupakan sikap yang terlalu simplikatif (menyederhanakan masalah) jika kita memilih untuk berlaku apriori atau malah permisif terhadap pemikiran dan karya para orientalis".[5]

Dalam kajian filsafat, Mustafa Abdul Raziq secara cemerlang berhasil menelisik spirit yang berkembang di masa kemunculan kajian-kajian orientalis di bidang sejarah filsafat. Ia berhasil menemukan bahwa pada abad ke sembilan belas masehi karyakarya tersebut lebih banyak didominasi oleh sikap fanatik terhadap agama Kristen dan sentimen anti Islam, bukan spirit keterbukaan yang mengedepankan obyektifitas dan semangat ilmiah.[6] Victor Cousin dalam Cours De Phistoire de la Philosophie contohnya, dengan sangat congkak menyebutkan bahwa agama yang berhasil melahirkan peradaban tekonologi dan paling banyak memberikan sumbangan kelilmuan pada sejarah kemanusiaan adalah agama Kristen. Sebaliknya, menurutnya tidak ada yang bisa diberikan oleh agama lain, termasuk juga Islam, untuk kemajuan peradaban dan kemanusiaan. Mustafa Abdul Raziq akhirnya membuat kesimpulan bahwa karya-karya orientalis di bidang filsafat lebih banyak ditulis secara premature dan mengabaikan prinsip-prinsip berfikir netral dan obyektif. Ini sama dengan temuan Ibrahim Madkour, tokoh Mesir yang satu periode dengan Mustafa Abdul Raziq. Ia bahkan menyimpulkan bahwa sebenarnya sebagian besar orientalis yang menyusun sejarah filsafat Islam tidak memahami bahasa arab dengan baik, sehingga memungkinkan mereka untuk meneliti teks-teks filsafat klasik secara tidak ilmiah.[7]

Guillaume Theolphile Tennemann, orientalis Jerman, setelah menegaskan bahwa Aristoteles adalah sosok yang memiliki hegemoni dalam pemikiran bangsa Arab, dalam Manuel de Phistoire de la Philophie melengkapi tesanya tersebut dengan mengatakan bahwa pemikiran filosofis-rasional sulit untuk berkembang dalam peradaban Islam.[8] Kesulitan itu disebabkan beberapa hal: (1) al-Qur'an, kitab suci umat Islam, menjadi penghalang utama bagi munculnya pemikiran ilmiah yang bebas. (2) Adanya sekte ahlu sunnah sebagai aliran yang skriptual dalam memahami nash agama, (3) Kesulitan memahami karya Aristoteles, (4) karakter natural umat Islam yang cenderung menyukai prasangka yang prematur. Pasca Tenneman muncul orientalis lain yang bernama Ernest Renan. Jika harus disebutkan siapa orientalis yang paling berpengaruh dalam penulisan sejarah filsafat Islam tampaknya Ernest Renan lah orangnya. Renan adalah orientalis berkebangsaan Perancis yang meneliti sejarah bangsa Semit. Pendapatnya yang sangat popouler dalam Averroes et L'averroie, Esai Historique, adalah ia membagi ras manusia menjadi dua; Semit dan Aria. Bangsa Arab yang bagian dari Bangsa Semit disebut oleh Renan tidak memiliki sama sekali bakat filsafat, sebab akal mereka secara alami diciptakan dengan kecenderungan nonfilosofis, menyukai hal-hal sepele, tidak sistematis (esprit separatiste) dan monoteistik (insticnt monotheiste).[9] Sebaliknya bangsa Aria adalah bangsa ilmiah yang menyukai cara berfikir yang rumit, sistematis (esprit fusionniste) dan filosofis.

Secara umum kesimpulan yang dibuat oleh Tenneman dan Renan hampir sama dengan orientalis yang datang sesudah mereka. Munk dalam Melanges de Philosphie Juive at Arabe dan Carra de Vaux dalam Aviecinne menyimpulkan bahwa masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak mampu berfilsafat.[10] Adapun jika ada metode berfikir filosofis sesudah datangnya Islam itu bukan disebabkan karena mereka memiliki kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme), tetapi lebih karena pemikiran mereka didominasi oleh sistem dan materi yang diambil dari Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Duhem, orientalis Perancis, dalam kajiannya tentang kosmologi dunia arab mengatakan bahwa filsafat Islam hanyalah kelanjutan dari filsafat Neo-Platonisme, bahkan juga layak untuk diberi nama 'Mazhab Plato Arab'.[11] Pandangan yang sedikit keluar dari mainstream orientalis tentang filsafat Islam datang dari orientalis Dugat dalam Histoire des Philosophes et des Theologiens Musulmans dan Horten dalam tulisannya tentang filsafat yang dimuat di Encyc, de l'Islam.[12] Dua tokoh ini mengakui bahwa ilmu kalam adalah unsur tambahan yang orisinil dalam filsafat Islam di samping filsafat Yunani itu sendiri.[13]

Sebagian besar karya orientalis di bidang sejarah filsafat ditulis sejak awal abad ke sembilan belas dan awal dua puluh masehi. Maka, untuk membuat satu penilaian tentang karya yang lahir pada periode tersebut haruslah juga diketahui iklim intelektual dan mainstream yang berkembang pada saat itu. Emile Brehier, seorang Barat yang memiliki concern di bidang penulisan sejarah filsafat, melukiskan beberapa qadhâya manhajiyyah (problem metodologis) di masa maraknya penulisan sejarah filsafat.[14] Pada penggalan abad ke sembilan belas dan dua puluh masehi para penulis sejarah filsafat sedang ribut mendiskusikan beberapa tema, yaitu tentang, (1) apakah filsafat bermula pada ke-6 SM di Ionia pada periode Aristoteles atau sudah ada sejak jauh sebelum itu, (2) tanah air filsafat, apakah filsafat hanya milik bangsa Yunani-Romawi ataukah lebih luas dari itu. Konswekensi dari dua pertanyaan ini adalah pengakuan tentang wujud atau tidaknya kontribusi bangsa-bangsa Timur di luar Yunani-Barat seperti India, Persia dan Islam dalam bidang filsafat.

Dalam tataran aplikasinya, usaha tokoh-tokoh barat untuk mengkodifikasikan sejarah
filsafat ternyata tidak pernah terlepas dari perspektif yang disebut oleh Abid al-Jabiri
sebagai proyek al-wahdah wa'l istimrâriyah (kesatuan mata rantai sejarah filsafat).[15] Kajian terhadap sejarah filsafat di barat diarahkan untuk satu kepentingan, yaitu mengokohkan peran dan pengaruh filsafat Yunani (yang notabenenya adalah bagian dari Barat) dalam semua peradaban. Studi literatur Islam yang menggunakan pendekatan filologi juga pada akhirnya akan digiring ke arah pencarian genealogi (asal usul) nya dari pemikiran Helenistik.[16] Dalam perspektif ini filsafat yang diakui oleh para pengkaji Barat adalah filsafat yang sejalan dengan asal usul dan nomenklatur filsafat Yunani. Emile Brehier dalam karyanya 'Histoire de la Philosophie' (Sejarah Filsafat) setebal tujuh jilid memberikan porsi pembahasan yang sangat berlebihan tentang Filsafat Yunani. Filsafat Timur hanya disisakan ruang yang sangat kecil, yaitu ketika ia berbicara tentang Filsafat Byzantium.[17] Sementara filsafat Islam hampir sama sekali tidak diperhitungkan. Filsafat Islam hanya dicuplik ketika ia berbicara tentang perpindahan filsafat dari Yunani ke Eropa melalui Averoisme Latin.    



[1] Dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 8 Allah berfirman: "dan janganlah kebencianmu terhadap satu kaum menghalangimu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil lebih dekat kepada ketaqwaan".
[2] Dr. Hamid Tahir, al-Falsafatu'l Islâmiyatu fi 'Ashri'l Hadîst, Nahdhah Misr, cet. I, 2005, hal. 45.
[3] Ibrahim Madkour menulis: "Jika saja Allah tidak menunjuk para orientalis untuk meneliti dan mengungkap para filosof-filosof Islam, maka niscaya hari ini kita tidak akan tahu sejarah mereka". Lih. Ibrahim Madkour, Fi'l Falsafati'l Islâmiyah, Manhaj wa Tathbîquhu, Daru'l Ma'arif, vol. I, cet. II, 1989, hal. 26. Mustafa Abdul Raziq juga menulis: "secara fair kita mengaku takjub dengan kesabaran dan keluasan cakrawala para orientalis dalam melakukan riset terhadap agama Islam". Lih. Mustafa Abdul Raziq, Tamhîd li Târîkhi'l Falsafati'l Islâmiyyah, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyah, cet. II, 2007, hal. 31.
[4] Muhammad al-Bahi membuat kesimpulan bahwa orientalisme adalah salah satu instrumen yang dibuat Barat untuk melanjutkan proyek kolonialisasi di dunia Timur. Lih. al-Fikru'l Islâmiy al-Hadist wa Silatuhu bi'l Isi'mâr al-Gharbiy. Kesimpulan ini dikuatkan oleh orientalis berdarah Palestina, Edward Said dalam karyanya yang berjudul the Orientalism.
[5] Dr. Hamdi Zaqzuq, al-Istiyrâq wal Khalfiyyah al-Hadlariyyah li al-Shira' al-Hadlariy, Darul Maarif, cet. ?, hal. 12. Lih. juga, Mustafa al-Sibai, al-Istisyrâq wa'l Mustasyriqûn, mâ Lahum wa mâ 'Alaihim, Dar al-Salam.
[6] Mustafa Abdul Raziq, Op. Cit., hal. 13.
[7] Ibrahim Madkour meneliti bahwa kesimpulan yang dibuat oleh para orientalis di bidang filsafat Islam dilakukan melalui literatur-literatur berbahasa Latin yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab. Lih. Ibrahim Madkour, Op. Cit., hal. 10.
[8] Mustafa Abdul Raziq, Op. Cit., hal. 9.
[9] Ibid., hal. 15. Lih. juga Ibrahim Madkour., Op. Cit., hal. 16, Muhammad Ali Abu Royyan, Târîkhu'l Fikri'l Falsafiy fi'l Islâm, Dâru'l Ma'rifah al-Jâmi'iyah, cet. ?, 1986, hal. 10. Para tokoh Islam telah banyak menuliskan bantahan untuk pandangan dikotomis Renan ini. Muhammad Ali Abu Royyan misalnya membantah pandangan Renan melalui pendekatan ilmu biologi. Ilmu kedokteran modern telah menyatakan bahwa kesamaan gen dalam pasangan yang kembar tidak meniscayakan adanya kesamaan karakter. Apalagi dalam skala peradaban. Lagipula jika klaim Renan itu bernar, filsafat Islam tidak saja ditulis oleh filosof dari bangsa Semit. Al-Farabi, Ibnu Rusyd sampai Muhamad Iqbal adalah filosof Islam yang berasal dari ras Aria.
[10] Ibrahim Madkour, Op. Cit., hal. 207-208.
[11] Ibid., hal. 210.
[12] Ibid., hal. 210.
[13] Pandangan yang mendikotomikan antara filsafat dan ilmu kalam, atau mengeliminir ilmu kalam dari filsafat akan berimplikasi pada kesimpulan bahwa filsafat Islam baru muncul pertama kali sejak periode penterjemahan di masa Khalifah Ma'mun Dawlah Abasiyah dengan lahirnya filosof Abu Yusuf al-Kindi, tepatnya setelah karya-karya Yunani mulai diterjemahkan ke bahasa arab. Padahal al-Kindi hanyalah bagian dari filosof yang disebut peripatetik Arab. Dalam ilmu kalam (disiplin ilmu yang lebih
dahulu lahir) permasalahan filosofis tentang Tuhan, alam dan manusia telah lebih dahulu didiskusikan. Lih. Ibrahim Madkour, fi'l Falsafati'l Islamiyah Manhaj wa Tathbîquhu, Darul Maarif, cet. ?, vol. II, 1989 hal. 7.

[14] Abid al-Jabiriy, al-Turâst wa'l Hadâstah, Markaz Dirasati'l Wahdati'l Arabiyah, cet. II, 1999, hal. 75
[15] Ibid., hal. 82.
[16] Ibid., hal. 77.
[17] Ibid., hal. 76.
iss",� F$i " ��h _e di-font-family:TimesNewRomanPSMT'>hal. 36. Lih. juga Ibrahim Madkour, Op. Cit., hal. 203, Muhammad Ali Abu Royyan, Op. Cit., hal. 15.
[4] Mustafa Abdul Raziq, Op. Cit., hal. 43, 142.
[5] Ibid., hal. 107.
[6] Ibid., hal. 131.
[7] Ibrahim Madkour, Op. Cit., hal. 12.
[8] Ibid., hal. 195.
[9] Ibid., hal. 10.
[10] Ibid., hal.197.
[11] Ibid., hal. 13, 201. Tokoh Yahudi masa pertengahan yang terpengaruh dengan filsafat Islam contohnya adalah Ibnu Maimun yang mengarang 'Dalâlatu'l Hâirin'. Ibrahim Madkour membuktikan bahwa konsep 'Cogito, Ergo Sum' Rene Descartes (w. 1650) yang artinya 'aku berfikir maka aku ada' memiliki kemiripan dengan konsep rajulun mu'allaqun fi'l fadlâ milik Ibnu Sina. Skeptisme Descartes mirip dengan manhaj syak-nya al-Ghazali. Nubuwwah Spinoza (w. 1677) mirip dengan Nubuwwah al- Farabi.
[12] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religion Thought in Islam diarabkan oleh Abbas Mahmud menjadi Tajdidu al-Tafkir al-Diniy fi'l Islam, Daru'l Hidayah, cet. III, 2006, hal. 154
[13] Ibid., hal. 8. Ibid., hal. 8.
[14] Ibid., hal. 84.
[15] Ali Sami an-Nasyar, Op.Cit., hal. 32.
[16] Ali Sami an-Nasyar, Manâhiju'l Bahst 'inda Mufakkiri'l Islâm, Dar al-Salam, cet. I, 2008, hal. 7.
[17] Kesimpulan ini bertolak belakang dengan penelitian yang dibuat oleh Ibrahim Madkour yang menyebutkan bahwa ulama Islam banyak yang terpengaruh dengan mantiq Aristoteles. Ibrahim Madkour menuliskan pemikiraannya tersebut dalam bukunya yang berjudul 'L'organon d'Aristote dans le monde arabe', terbit di Paris pada tahun 1969.
[18] Ali Sami an-Nasyar, Op.Cit., hal. 288.
[19] Ali Sami an-Nasyar, Op.Cit., hal. 85.
[20] Jumhur Ushuliyyin berpendapat bahwa antara al-ashl dan al-far'u dalam qiyas harus ada 'illah. Qiyas sendiri dalam ushul fikih bersandarkan pada dua metode; ta'lil (the law of universal causation) dan al-itrâd (the law of uniformity of nature). Tidak berhenti di sini saja, ushuliyyun bahkan menetapkan adanya proses penelitian untuk setiap 'illah dalam qiyas (masâliku'l 'illah). Dalam Qiyas dikenal beberapa metode untuk ini, diantaranya; al-sabru wa taqsîm, al-thard, al-dawran, tanqîhu'l manâth (metode eliminasi), dll.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...