Islamic philosophy |
Permasalahan sedikit muncul ketika penulis membaca proyek Naqdu'l 'Aqli'l 'Arabiy karya Abid al-Jabiri. Abid mengklasifikasikan epistemologi
dalam dunia Islam ke dalam tiga varian; Bayani, Irfani dan Burhani. Ketika
menganalisis tiga epistem ini ia berkesimpulan bahwa yang murni milik peradaban
Islam hanyalah 'Bayani' yang berbentuk pendekatan semantik (teks). Dua epistem
lainnya dianggap sebagai produk impor dari peradaban luar Islam. Epistem Irfan
tidak akan diperkarakan dalam tulisan ini, karena bukan konsentrasi penulis.
Yang menjadi permasalahan cukup krusial adalah ketika Abid al-Jabiri juga
menyebutkan bahwa epistem Burhan (filosofis) dengan ciri utama bersandarkan
pada tiga hal: (1), akal, (2) eksperimentasi
(pengalaman empirik) dan 3) has (panca
indera), juga diambil dari Yunani. Framework seperti
ini akan berimplikasi sama dengan kesimpulan para orientalis bahwa filsafat
adalah unsur asing dalam Islam yang diimpor dari peradaban Yunani. Abid
al-Jabiriy bukan pembahasan utama di makalah ini.
Barangkali yang pertama kali harus dilakukan ketika mengkaji
sejarah filsafat Islam adalah terlebih dahulu membuat pengakuan tentang adanya
unsur-unsur asing dalam peradaban Islam. Ini penting dilakukan di muka agar
polemik tentang pengaruh peradaban luar dalam peradaban Islam tidak terus
memanjang. Hanya yang penting untuk dicatat setelah pengakuan tersebut adalah
bagaimana membuat perspektif dan membentuk credo
terhadap unsur asing tersebut. Jika
kita menyebutnya sebagai satusatunya unsur pembentuk filsafat Islam, maka
kesimpulan tersebut tidak ada bedanya dengan temuan para orientalis.
Sebaliknya, jika unsur asing tersebut diposisikan sebagai hanya salah satu
unsur pembentuk yang datang di kemudian hari, lalu setelah itu terjadi proses tadâfu' (tarik
ulur) dengan unsur-unsur internal maka berarti kita mengakui adanya
orisinilitas metodologi dalam filsafat Islam.
Sejarawan Islam abad pertengahan, Ibnu Khaldun (w. 708
H/1406 M), mengakui adanya unsur Yunani dalam filsafat Islam. Ia menganalisa
filsafat di dunia arab dengan pendekatan sosiologis.[2]
Ia menyimpulkan bahwa masyarakat Arab sebenarnya tidak memiliki kemampuan
berfilsafat karena keseharian mereka disibukkan dengan urusan pengaturan dan
pembelaan negara. Filsafat masuk ke dalam Islam setelah karya-karya Yunani
diterjemahkan. Sebelum Ibnu Khaldun, seorang sejarawan Islam di Barat
(Andalusia), Abu Said al-Andalusi (w. 426 H/1070 M)[3]
dalam kitabnya Thabaqâtu’l Umam juga menguraikan asal-usul filsafat di dunia Arab. Sama
seperti Ibnu Khaldun, ia mengatakan bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat
sederhana yang tidak mampu berfilsafat. Bedanya adalah ia yang berasal dari
Barat cenderung rasis dalam menganalisa permasalahan. Shaid menyimpulkan bahwa
dalam tradisi Arab hanya dikenal dua orang filosof, yaitu al-Kindi (w.252H/866
M) dan al-Hamadani (w.334 H/946 M), sementara filosof lainnya berasal dari
Barat. Pandangan rasis Shaid inilah yang tampaknya di kemudian hari mempengaruhi
tesa Ernest Renan dalam membagi fikiran manusia berdasarkan ras.
Dalam ranah pemikiran kontemporer, hampir semua sarjana
Islam yang menekuni bidang filsafat juga mengakui bahwa filsafat Islam menerima
banyak pengaruh dari peradaban-peradaban luar, tidak saja dari Yunani. Mustafa
Abdul Raziq misalnya menganggap bahwa keterpengaruhan adalah sebuah bentuk
aksioma dari sejarah peradaban manapun.[4]
Tidak ada yang perlu diperdebatkan bahwa semua peradaban tidak luput dari
pengaruh dan pengalaman peradaban sebelumnya. Termasuk juga di dalamnya
peradaban Yunani. Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah pada bentuk metode
orisinil (manhaj ashil) milik peradaban tersebut. Mustafa Abdul Raziq membuat
sebuah pendekatan baru dalam meneliti orisinalitas filsafat dalam peradaban Islam.
Untuk menghasilkan konklusi yang lebih berkesuaian dengan realitas (ahdâ ila’l ghâyah hîna nabdâ bi istikstâfi’l
jarâstimi’l ûla li al-nazhar al-'aqli al-islâmiy fi salâmatihâ wa khulûsiha) ia mengajak para pengkaji filsafat Islam untuk terlebih dahulu
meneliti sejarah tasyri' Islam.[5]
Pemikiran filosofis (al-nazhar al-aqliy) dalam Islam sesungguhnya dimulai dalam sejarah tasyri' tersebut.
Jika ditelusuri sejarah ini, maka genealogi filsafat dalam Islam sesungguhnya
sudah dimulai sejak munculnya ijtihad fikih. Ijtihad yang merupakan usaha untuk
memfungsikan peran akal dalam bimbingan wahyu adalah terma yang paling mewakili
untuk menampilkan metode Islam yang orisinil dalam filsafat dan tidak
terkontaminasi peradaban lain.
Pemikiran filosofis di dunia arab diakui oleh Mustafa
sebenarnya sudah ada sejak masa pra Islam. Akan tetapi sejak kemunculan Islam
pemikiran tersebut lebih terarahkan karena mendapatkan banyak dukungan motivasi
dari al-Qur'an dan al-Sunnah. Di dalam al-Qur'an banyak ditemukan ayat-ayat
yang berisi ajakan agar manusia menggunakan akal fikiran dan perintah agar
merenungkan setiap fenomena yang ditemui oleh akal fikiran. Ayat al-Qur'an dan
Sunnah nabi juga mengajarkan agar akal fikiran digunakan untuk mencerna dan
mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur'an Sunah nabi itu sendiri. Mustafa
Abdul Raziq kemudian sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa Ushul fikih dan Ilmu Kalam adalah dua
disiplin ilmu orisinil dalam Islam yang merupakan bentuk modifikasi dari
nash-nash al-Qur'an dan as-Sunah yang dipahami secara filosofis oleh umat
Islam, sehingga menjadi bagian dari ilmu filsafat dalam Islam.[6]
Ibrahim Madkour juga memulai kajian di bidang filsafat Islam
dengan terlebih dahulu membuat pengakuan bahwa filsafat adalah fenomena generik
(al-zhâhirah alinsâniyyah) di mana keterpengaruhan bukanlah sebuah aib bagi sebuah
peradaban.[7]
Hanya setelah itu Ibrahim Madkour mengatakan bahwa sebesar apapun filsafat
asing melakukan inflitrasi ke dalam peradaban Islam, umat Islam tetap mampu
membuat satu miliu yang khas dan independen.[8]
Dengan demikian, merupakan sebuah kesalahan jika kita menafsirkan produk
filsafat di peradaban Islam sebagai murni pengaruh peradaban Yunani, tanpa
sedikit pun menyisakan kemungkinan adanya sedikitun unsur internal dari Islam.
Secara umum ada tiga metode yang digunakan Ibrahim Madkour dalam mengkaji
otentisitas dan otoritas filsafat Islam. Pertama, metode historis (mutâba'atu sair),
yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa
teks-teks klasik karya para filosof Islam. Kedua, dengan melakukan komparasi (muqâranah)
antara pemikiran Islam dan pemikiran lainnya, baik sebelum dan sesudah Islam.[9]
Ketiga, dengan membuat teori ketersambungan filsafat, di mana Islam adalah
salah satu mata rantai dari sejarah panjang filsafat. Yang membedakan Ibrahim
Madkour dengan orientalis pada titik ini adalah ia mampu memberikan penilaian
yang adil terhadap filsafat Islam dalam sejarah filsafat.
Ibrahim Madkour mengaplikasikan tiga metode ini dengan
mengangkat lima nazhariyah (teori) yang pernah muncul di filsafat Islam. Teori pertama,
adalah tentang kebahagiaan. Teori kedua, tentang kenabian. Teori ketiga,
tentang nafs. Teori keempat, tentang ketuhanan. Teori kelima, tentang kebebasan
berkehendak. Penelitian Ibrahim Madkour terhadap lima teori ini menghasilkan
kesimpulan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang ekletis (al-tawfîq)
dan sinkretis (al-ikhtiyâr).[10]
Filsafat Islam bisa melakukan harmonisasi antara akal (‘aql)
dan periwayatan (naql) dan antara filsafat dengan agama. Filsafat Islam memiliki
karakter yang bebas menentukan pilihan sepanjang sesuai dengan ruh islami.
Islam sebagai agama juga mampu memadukan antara karya filosof Barat (Yunani)
dan Timur (India dan Persia) di bidang kedokteran dan perhitungan. Islam mampu
memadukan antara Aristoles dan Plato,
sehingga kemudian sebagian orang menyangka bahwa Islam adalah peradaban neo-Platonisme
(al-aflâtuniyah al-muhdastah), atau sebaliknya Peripatetik Arab (al-Massyâun al-‘Arabiyah). Kesimpulan lainnya yang dihasilkan Ibrahim Madkour ketika
meneliti filsafat Islam adalah karakter filsafat Islam yang progresif dan mampu
melampaui keagungan filsafat para periode sebelumnya. Sebagai sebuah bagian
dari mata rantai filsafat, Islam mampu memanfaatkan warisan (legacy)
peradabanperadaban
kuno, dan Islam juga mampu membentangkan jalan bagi lahirnya
peradaban-peradaban yang datang sesudahnya. Islam lah yang membangkitkan
filsafat Yahudi dan Nasrani dari kubur (marqad) mereka masing-masing.[11]
Dalam The
Reconstruction of Religion Thought in Islam Muhammad
Iqbal juga berkesimpulan bahwa filsafat Islam lah yang menjadi pemasok bagi
pemikiran filsafat abad pertengahan dan abad modern. Pemikir semisal Roger
Baicon adalah contoh filosof barat yang terpengaruh dengan manhaj tajribiy (metode
empiris) yang dikembangkan di dunia Islam.[12]
Iqbal sebenarnya juga mengakui bahwa filsafat Yunani memberikan banyak pengaruh
kepada filsafat Islam, akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah filsafat
Yunani jugalah yang menjauhkan pemikiran umat Islam dari al-Qur'an dan
al-Sunnah.[13] Iqbal
membuktikan orisinalitas filsafat Islam dengan meneliti beberapa konsep yang
lahir dalam khazanah pemikiran Islam klasik, yaitu jawharatu’l fard, istbât wujûd Allâh dan al-Ijtihâd.[14]
Terkhusus untuk yang disebutkan terakhir, ia memiliki persamaan dengan filosof
modern yang semasa dengannya, Mustafa Abdul Raziq. Menurut Iqbal berhentinya
risalah kenabian dengan meninggalnya Muhammad Saw. adalah tonggak lahirnya
pemikiran filosofis dalam Islam. Jadi, disamping mengakui adanya unsur Yunani
dalam Islam (dan menganggap negatif unsur tersebut), ia juga menyimpulkan
sebenarnya banyak konsep pemikiran Islam yang orisinil dan tidak bisa dilacak
keberadaannya dalam turâst pemikiran Yunani.
Problem orientalis dan sejarah filsafat Islam juga mengusik
tokoh semisal Ali Sami an-Nasyar. Sepanjang hayatnya adalah usaha untuk
membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak pernah berhutang dengan peradaban
Yunani. Ia mengarang trilogy Nasyatu'l
Fikri'l Falsafi fi'l Islâm yang berisikan
pandangan-pandangan barunya mengenai wujud filsafat Islam. Dalam beberapa hal,
kesimpulan Ali Sami berbeda dengan kesimpulan Ibrahim Madkour dan Mustafa Abdul
Raziq. Jika dua pendahulunya memandang positif filosof muslim peripatetik
karena interaksi dengan pemikiran Yunani tidak mengubah worldview mereka
sama sekali, Ali Sami an-Nasyar justru menegasikan perang penting tokoh-tokoh
tersebut. Bagi Ali filosof Islam adalah mereka yang menjadikan al-Qur'an dan
al-Sunnah sebagai muntalaq pemikirannya, bukan dari karya bangsa Yunani.[15]
Walhasil filosof Islam dalam perspektif
Ali adalah para fuqahâ, mutashawwifun dan mutakallimun.
Dalam Manâhiju'l
Bahst inda Mufakkiri'l Islâm sebagai
magnum opus-nya,[16]
Ali berhasil membuat sebuah kesimpulan bahwa logika Aristoteles sebagai
komponen inti dalam filsafat Yunani ditolak mentah-mentah oleh para pemikir
Islam dalam sejarah pemikiran Islam.[17]
Di dalam ranah ushul fikih, mantiq
Yunani ditolak karena ia berangkat dan lahir dari bahasa Yunani. Dalam ranah
ilmu kalam, mantiq Yunani ditolak karena berhubungan dengan metafisika dan
menyalahi konsep ilâhiyat dalam Islam. Dalam bidang fikih, mantiq ditolak karena
terlalu menyandarkan diri pada kulliyât
(hal-hal yang bersifat umum) sehingga
dianggap tidak mampu menyelesaikan problem fikih yang terus berubah. Dalam hal
ini Ibnu Taimiyah mengatakan "alhaqîqatu
fi'l a'yân lâ fi'l adzhân" (kebenaran
ada dalam alam realitas, bukan pada dunia konsepsi-teori). Ibnu
Taymiyah mengkritik al-Ghazali yang memfatwakan wajib menguasai ilmu mantiq dan
meragukan kapasitas keilmuan orang yang tidak menguasai disiplin ini. Ibnu
Taymiyah mencontohkan para sahabat yang tidak pernah
sama sekali belajar mantiq padahal mereka adalah generasi
terbaik yang pernah dilahirkan oleh peradaban Islam. Dalam disiplin ilmu
tasawuf, mantiq ditolak karena bertentangan dengan sumber kebenaran milik para
sufi berupa al-kasyf dan ilham.[18]
Masih dalam kesimpulan Ali, ulama Islam disamping melakukan
dekonstruksi terhadap logika Yunani, juga berhasil memunculkan antitesanya
berupa logika yang bersandarkan pada penelitian empiris-induktif. Di ranah
ushul fikih logika empiris tersebut terangkum dalam metode qiyas (analogi).
Qiyas dalam ushul fikih Islam berbeda dengan qiyas dari Yunani, karena qiyas
Islam bersandarkan pada fakta parsial
(juziy) dan proses pengecekan ‘illah
yang ketat (masâliku'l ‘illah).[19]
Dalam qiyas Aristoteles kesimpulan (natîjah,
konklusi) diperoleh melalui dua perkara yang
samasama kulliy (umum) dan mengandalkan pada dlarûrah 'aqliyah (aksiomatika
akal), sehingga fakta dan pengkajian di ranah empiris tidak dibutuhkan.
Sebagian orang menyamakan qiyas ushul fikih dan tamstil Aristoteles,
padahal diantara keduanya ada perbedaan yang sangat mencolok, yaitu terletak
pada adanya penelitian empiris pada qiyas ushul fikih.[20]
Dalam disiplin ilmu kalam, sebelum menggunakan Qiyas (silogisme) Yunani, para mutakallimun telah
terlebih dahulu menggunakan metode qiyas ghâib
'ala al-syâhid.
[1] Ali Sami
an-Nasyar, Op.Cit, hal.
17.
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
hal. 519, cet. I, 2004, Daru'l Fajr.
[3] Mustafa Abdul Raziq, Op.
Cit., hal. 36. Lih. juga Ibrahim Madkour, Op. Cit., hal.
203, Muhammad Ali Abu Royyan, Op.
Cit., hal. 15.
[4] Mustafa Abdul
Raziq, Op. Cit., hal. 43, 142.
[5] Ibid., hal.
107.
[6] Ibid., hal.
131.
[7] Ibrahim
Madkour, Op. Cit., hal. 12.
[8] Ibid., hal.
195.
[9] Ibid., hal.
10.
[10] Ibid., hal.197.
[11] Ibid., hal.
13, 201. Tokoh Yahudi masa pertengahan yang terpengaruh dengan filsafat Islam
contohnya adalah Ibnu Maimun yang mengarang 'Dalâlatu'l
Hâirin'. Ibrahim Madkour membuktikan bahwa
konsep 'Cogito, Ergo Sum' Rene Descartes (w. 1650) yang artinya 'aku berfikir maka aku
ada' memiliki kemiripan dengan konsep rajulun
mu'allaqun fi'l fadlâ milik Ibnu
Sina. Skeptisme Descartes mirip dengan manhaj
syak-nya al-Ghazali. Nubuwwah Spinoza
(w. 1677) mirip dengan Nubuwwah
al- Farabi.
[12] Muhammad Iqbal, The
Reconstruction of Religion Thought in Islam diarabkan
oleh Abbas Mahmud menjadi Tajdidu
al-Tafkir al-Diniy fi'l Islam, Daru'l
Hidayah, cet. III, 2006, hal. 154
[13] Ibid., hal.
8. Ibid., hal. 8.
[14] Ibid., hal.
84.
[15] Ali Sami
an-Nasyar, Op.Cit., hal.
32.
[16] Ali Sami an-Nasyar, Manâhiju'l
Bahst 'inda Mufakkiri'l Islâm, Dar
al-Salam, cet. I, 2008, hal. 7.
[17] Kesimpulan ini bertolak belakang dengan penelitian yang
dibuat oleh Ibrahim Madkour yang menyebutkan bahwa ulama Islam banyak yang
terpengaruh dengan mantiq Aristoteles. Ibrahim Madkour menuliskan pemikiraannya
tersebut dalam bukunya yang berjudul 'L'organon
d'Aristote dans le monde arabe', terbit
di Paris pada tahun 1969.
[18] Ali Sami
an-Nasyar, Op.Cit., hal.
288.
[19] Ali Sami
an-Nasyar, Op.Cit., hal.
85.
[20] Jumhur Ushuliyyin
berpendapat bahwa antara al-ashl dan
al-far'u dalam qiyas harus ada 'illah. Qiyas sendiri dalam ushul fikih bersandarkan pada dua
metode; ta'lil (the law of universal causation) dan al-itrâd
(the
law of uniformity of nature). Tidak
berhenti di sini saja, ushuliyyun
bahkan menetapkan adanya proses
penelitian untuk setiap 'illah dalam qiyas (masâliku'l
'illah). Dalam Qiyas dikenal beberapa metode
untuk ini, diantaranya; al-sabru
wa taqsîm, al-thard, al-dawran, tanqîhu'l manâth (metode eliminasi), dll.