Minggu, 28 April 2013

Filsafat Islam; Respon Terhadap Orientalis

Islamic philosophy
Kajian para orientalis terhadap sejarah filsafat Islam, seperti telah banyak disinggung sebelumnya, berdiri di atas sebuah framework anti Islam. Kajian mereka berangkat dari satu hypotesa yang telah terbentuk di awal, bukan berdasarkan realita. Dalam bahasa lainnya, kajian mereka dibuat berdasarkan das sein, bukan das solen. Terdapat sejumlah ilmuwan yang kehidupan ilmiah mereka dikonsentrasikan untuk membuat counter dan pembelaan terhadap serangan para orientalis-orientalis di atas. Euforia gerakan pembelaan itu sendiri seperti diceritakan oleh Ali Sami An-Nasyar mulai marak dari awal abad ke dua puluh dan meredup pada tahun lima puluhan di abad itu.[1] Kenapa berhenti pada abad tersebut, tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Ali. Penulis berasumsi hal itu dikarenakan wacana yang lahir sesudah periode tahun lima puluhan sudah merupakan pengulangan dari apa yang ditulis pada periode sebelumnya. Dan, pembacaan singkat penulis menyimpulkan bahwa relatif tidak ditemukan tokoh-tokoh muslim (terutama di Arab) yang terpengaruh dari framework orientalis mengenai autentisitas filsafat Islam.

Permasalahan sedikit muncul ketika penulis membaca proyek Naqdu'l 'Aqli'l 'Arabiy karya Abid al-Jabiri. Abid mengklasifikasikan epistemologi dalam dunia Islam ke dalam tiga varian; Bayani, Irfani dan Burhani. Ketika menganalisis tiga epistem ini ia berkesimpulan bahwa yang murni milik peradaban Islam hanyalah 'Bayani' yang berbentuk pendekatan semantik (teks). Dua epistem lainnya dianggap sebagai produk impor dari peradaban luar Islam. Epistem Irfan tidak akan diperkarakan dalam tulisan ini, karena bukan konsentrasi penulis. Yang menjadi permasalahan cukup krusial adalah ketika Abid al-Jabiri juga menyebutkan bahwa epistem Burhan (filosofis) dengan ciri utama bersandarkan pada tiga hal: (1), akal, (2) eksperimentasi
(pengalaman empirik) dan 3) has (panca indera), juga diambil dari Yunani.  Framework seperti ini akan berimplikasi sama dengan kesimpulan para orientalis bahwa filsafat adalah unsur asing dalam Islam yang diimpor dari peradaban Yunani. Abid al-Jabiriy bukan pembahasan utama di makalah ini.

Barangkali yang pertama kali harus dilakukan ketika mengkaji sejarah filsafat Islam adalah terlebih dahulu membuat pengakuan tentang adanya unsur-unsur asing dalam peradaban Islam. Ini penting dilakukan di muka agar polemik tentang pengaruh peradaban luar dalam peradaban Islam tidak terus memanjang. Hanya yang penting untuk dicatat setelah pengakuan tersebut adalah bagaimana membuat perspektif dan membentuk credo terhadap unsur asing tersebut. Jika kita menyebutnya sebagai satusatunya unsur pembentuk filsafat Islam, maka kesimpulan tersebut tidak ada bedanya dengan temuan para orientalis. Sebaliknya, jika unsur asing tersebut diposisikan sebagai hanya salah satu unsur pembentuk yang datang di kemudian hari, lalu setelah itu terjadi proses tadâfu' (tarik ulur) dengan unsur-unsur internal maka berarti kita mengakui adanya orisinilitas metodologi dalam filsafat Islam.

Sejarawan Islam abad pertengahan, Ibnu Khaldun (w. 708 H/1406 M), mengakui adanya unsur Yunani dalam filsafat Islam. Ia menganalisa filsafat di dunia arab dengan pendekatan sosiologis.[2] Ia menyimpulkan bahwa masyarakat Arab sebenarnya tidak memiliki kemampuan berfilsafat karena keseharian mereka disibukkan dengan urusan pengaturan dan pembelaan negara. Filsafat masuk ke dalam Islam setelah karya-karya Yunani diterjemahkan. Sebelum Ibnu Khaldun, seorang sejarawan Islam di Barat (Andalusia), Abu Said al-Andalusi (w. 426 H/1070 M)[3] dalam kitabnya Thabaqâtu’l Umam juga menguraikan asal-usul filsafat di dunia Arab. Sama seperti Ibnu Khaldun, ia mengatakan bahwa masyarakat Arab adalah masyarakat sederhana yang tidak mampu berfilsafat. Bedanya adalah ia yang berasal dari Barat cenderung rasis dalam menganalisa permasalahan. Shaid menyimpulkan bahwa dalam tradisi Arab hanya dikenal dua orang filosof, yaitu al-Kindi (w.252H/866 M) dan al-Hamadani (w.334 H/946 M), sementara filosof lainnya berasal dari Barat. Pandangan rasis Shaid inilah yang tampaknya di kemudian hari mempengaruhi tesa Ernest Renan dalam membagi fikiran manusia berdasarkan ras.

Dalam ranah pemikiran kontemporer, hampir semua sarjana Islam yang menekuni bidang filsafat juga mengakui bahwa filsafat Islam menerima banyak pengaruh dari peradaban-peradaban luar, tidak saja dari Yunani. Mustafa Abdul Raziq misalnya menganggap bahwa keterpengaruhan adalah sebuah bentuk aksioma dari sejarah peradaban manapun.[4] Tidak ada yang perlu diperdebatkan bahwa semua peradaban tidak luput dari pengaruh dan pengalaman peradaban sebelumnya. Termasuk juga di dalamnya peradaban Yunani. Permasalahan yang muncul sebenarnya adalah pada bentuk metode orisinil (manhaj ashil) milik peradaban tersebut. Mustafa Abdul Raziq membuat sebuah pendekatan baru dalam meneliti orisinalitas filsafat dalam peradaban Islam. Untuk menghasilkan konklusi yang lebih berkesuaian dengan realitas (ahdâ ila’l ghâyah hîna nabdâ bi istikstâfi’l jarâstimi’l ûla li al-nazhar al-'aqli al-islâmiy fi salâmatihâ wa khulûsiha) ia mengajak para pengkaji filsafat Islam untuk terlebih dahulu meneliti sejarah tasyri' Islam.[5] Pemikiran filosofis (al-nazhar al-aqliy) dalam Islam sesungguhnya dimulai dalam sejarah tasyri' tersebut. Jika ditelusuri sejarah ini, maka genealogi filsafat dalam Islam sesungguhnya sudah dimulai sejak munculnya ijtihad fikih. Ijtihad yang merupakan usaha untuk memfungsikan peran akal dalam bimbingan wahyu adalah terma yang paling mewakili untuk menampilkan metode Islam yang orisinil dalam filsafat dan tidak terkontaminasi peradaban lain.

Pemikiran filosofis di dunia arab diakui oleh Mustafa sebenarnya sudah ada sejak masa pra Islam. Akan tetapi sejak kemunculan Islam pemikiran tersebut lebih terarahkan karena mendapatkan banyak dukungan motivasi dari al-Qur'an dan al-Sunnah. Di dalam al-Qur'an banyak ditemukan ayat-ayat yang berisi ajakan agar manusia menggunakan akal fikiran dan perintah agar merenungkan setiap fenomena yang ditemui oleh akal fikiran. Ayat al-Qur'an dan Sunnah nabi juga mengajarkan agar akal fikiran digunakan untuk mencerna dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur'an Sunah nabi itu sendiri. Mustafa Abdul Raziq kemudian sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa Ushul fikih dan Ilmu Kalam adalah dua disiplin ilmu orisinil dalam Islam yang merupakan bentuk modifikasi dari nash-nash al-Qur'an dan as-Sunah yang dipahami secara filosofis oleh umat Islam, sehingga menjadi bagian dari ilmu filsafat dalam Islam.[6]

Ibrahim Madkour juga memulai kajian di bidang filsafat Islam dengan terlebih dahulu membuat pengakuan bahwa filsafat adalah fenomena generik (al-zhâhirah alinsâniyyah) di mana keterpengaruhan bukanlah sebuah aib bagi sebuah peradaban.[7] Hanya setelah itu Ibrahim Madkour mengatakan bahwa sebesar apapun filsafat asing melakukan inflitrasi ke dalam peradaban Islam, umat Islam tetap mampu membuat satu miliu yang khas dan independen.[8] Dengan demikian, merupakan sebuah kesalahan jika kita menafsirkan produk filsafat di peradaban Islam sebagai murni pengaruh peradaban Yunani, tanpa sedikit pun menyisakan kemungkinan adanya sedikitun unsur internal dari Islam. Secara umum ada tiga metode yang digunakan Ibrahim Madkour dalam mengkaji otentisitas dan otoritas filsafat Islam. Pertama, metode historis (mutâba'atu sair), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah yang berupa teks-teks klasik karya para filosof Islam. Kedua, dengan melakukan komparasi (muqâranah) antara pemikiran Islam dan pemikiran lainnya, baik sebelum dan sesudah Islam.[9] Ketiga, dengan membuat teori ketersambungan filsafat, di mana Islam adalah salah satu mata rantai dari sejarah panjang filsafat. Yang membedakan Ibrahim Madkour dengan orientalis pada titik ini adalah ia mampu memberikan penilaian yang adil terhadap filsafat Islam dalam sejarah filsafat.

Ibrahim Madkour mengaplikasikan tiga metode ini dengan mengangkat lima nazhariyah (teori) yang pernah muncul di filsafat Islam. Teori pertama, adalah tentang kebahagiaan. Teori kedua, tentang kenabian. Teori ketiga, tentang nafs. Teori keempat, tentang ketuhanan. Teori kelima, tentang kebebasan berkehendak. Penelitian Ibrahim Madkour terhadap lima teori ini menghasilkan kesimpulan bahwa filsafat Islam adalah filsafat yang ekletis (al-tawfîq) dan sinkretis (al-ikhtiyâr).[10] Filsafat Islam bisa melakukan harmonisasi antara akal (‘aql) dan periwayatan (naql) dan antara filsafat dengan agama. Filsafat Islam memiliki karakter yang bebas menentukan pilihan sepanjang sesuai dengan ruh islami. Islam sebagai agama juga mampu memadukan antara karya filosof Barat (Yunani) dan Timur (India dan Persia) di bidang kedokteran dan perhitungan. Islam mampu memadukan antara Aristoles dan  Plato, sehingga kemudian sebagian orang menyangka bahwa Islam adalah peradaban neo-Platonisme (al-aflâtuniyah al-muhdastah), atau sebaliknya Peripatetik Arab (al-Massyâun al-‘Arabiyah). Kesimpulan lainnya yang dihasilkan Ibrahim Madkour ketika meneliti filsafat Islam adalah karakter filsafat Islam yang progresif dan mampu melampaui keagungan filsafat para periode sebelumnya. Sebagai sebuah bagian dari mata rantai filsafat, Islam mampu memanfaatkan warisan (legacy) peradabanperadaban
kuno, dan Islam juga mampu membentangkan jalan bagi lahirnya peradaban-peradaban yang datang sesudahnya. Islam lah yang membangkitkan filsafat Yahudi dan Nasrani dari kubur (marqad) mereka masing-masing.[11]

Dalam The Reconstruction of Religion Thought in Islam Muhammad Iqbal juga berkesimpulan bahwa filsafat Islam lah yang menjadi pemasok bagi pemikiran filsafat abad pertengahan dan abad modern. Pemikir semisal Roger Baicon adalah contoh filosof barat yang terpengaruh dengan manhaj tajribiy (metode empiris) yang dikembangkan di dunia Islam.[12] Iqbal sebenarnya juga mengakui bahwa filsafat Yunani memberikan banyak pengaruh kepada filsafat Islam, akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah filsafat Yunani jugalah yang menjauhkan pemikiran umat Islam dari al-Qur'an dan al-Sunnah.[13] Iqbal membuktikan orisinalitas filsafat Islam dengan meneliti beberapa konsep yang lahir dalam khazanah pemikiran Islam klasik, yaitu jawharatu’l fard, istbât wujûd Allâh dan al-Ijtihâd.[14] Terkhusus untuk yang disebutkan terakhir, ia memiliki persamaan dengan filosof modern yang semasa dengannya, Mustafa Abdul Raziq. Menurut Iqbal berhentinya risalah kenabian dengan meninggalnya Muhammad Saw. adalah tonggak lahirnya pemikiran filosofis dalam Islam. Jadi, disamping mengakui adanya unsur Yunani dalam Islam (dan menganggap negatif unsur tersebut), ia juga menyimpulkan sebenarnya banyak konsep pemikiran Islam yang orisinil dan tidak bisa dilacak keberadaannya dalam turâst pemikiran Yunani.

Problem orientalis dan sejarah filsafat Islam juga mengusik tokoh semisal Ali Sami an-Nasyar. Sepanjang hayatnya adalah usaha untuk membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak pernah berhutang dengan peradaban Yunani. Ia mengarang trilogy Nasyatu'l Fikri'l Falsafi fi'l Islâm yang berisikan pandangan-pandangan barunya mengenai wujud filsafat Islam. Dalam beberapa hal, kesimpulan Ali Sami berbeda dengan kesimpulan Ibrahim Madkour dan Mustafa Abdul Raziq. Jika dua pendahulunya memandang positif filosof muslim peripatetik karena interaksi dengan pemikiran Yunani tidak mengubah worldview mereka sama sekali, Ali Sami an-Nasyar justru menegasikan perang penting tokoh-tokoh tersebut. Bagi Ali filosof Islam adalah mereka yang menjadikan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai muntalaq pemikirannya, bukan dari karya bangsa Yunani.[15]  Walhasil filosof Islam dalam perspektif Ali adalah para fuqahâ, mutashawwifun dan mutakallimun.

Dalam Manâhiju'l Bahst inda Mufakkiri'l Islâm sebagai magnum opus-nya,[16] Ali berhasil membuat sebuah kesimpulan bahwa logika Aristoteles sebagai komponen inti dalam filsafat Yunani ditolak mentah-mentah oleh para pemikir Islam dalam sejarah pemikiran Islam.[17]  Di dalam ranah ushul fikih, mantiq Yunani ditolak karena ia berangkat dan lahir dari bahasa Yunani. Dalam ranah ilmu kalam, mantiq Yunani ditolak karena berhubungan dengan metafisika dan menyalahi konsep ilâhiyat dalam Islam. Dalam bidang fikih, mantiq ditolak karena terlalu menyandarkan diri pada kulliyât (hal-hal yang bersifat umum) sehingga dianggap tidak mampu menyelesaikan problem fikih yang terus berubah. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan "alhaqîqatu fi'l a'yân lâ fi'l adzhân" (kebenaran ada dalam alam realitas, bukan pada dunia konsepsi-teori). Ibnu Taymiyah mengkritik al-Ghazali yang memfatwakan wajib menguasai ilmu mantiq dan meragukan kapasitas keilmuan orang yang tidak menguasai disiplin ini. Ibnu Taymiyah mencontohkan para sahabat yang tidak pernah
sama sekali belajar mantiq padahal mereka adalah generasi terbaik yang pernah dilahirkan oleh peradaban Islam. Dalam disiplin ilmu tasawuf, mantiq ditolak karena bertentangan dengan sumber kebenaran milik para sufi berupa al-kasyf dan ilham.[18]

Masih dalam kesimpulan Ali, ulama Islam disamping melakukan dekonstruksi terhadap logika Yunani, juga berhasil memunculkan antitesanya berupa logika yang bersandarkan pada penelitian empiris-induktif. Di ranah ushul fikih logika empiris tersebut terangkum dalam metode qiyas (analogi). Qiyas dalam ushul fikih Islam berbeda dengan qiyas dari Yunani, karena qiyas Islam bersandarkan pada fakta parsial
(juziy) dan proses pengecekan ‘illah yang ketat (masâliku'l ‘illah).[19] Dalam qiyas Aristoteles kesimpulan (natîjah, konklusi) diperoleh melalui dua perkara yang samasama kulliy (umum) dan mengandalkan pada dlarûrah 'aqliyah (aksiomatika akal), sehingga fakta dan pengkajian di ranah empiris tidak dibutuhkan. Sebagian orang menyamakan qiyas ushul fikih dan tamstil Aristoteles, padahal diantara keduanya ada perbedaan yang sangat mencolok, yaitu terletak pada adanya penelitian empiris pada qiyas ushul fikih.[20] Dalam disiplin ilmu kalam, sebelum menggunakan Qiyas (silogisme) Yunani, para mutakallimun telah terlebih dahulu menggunakan metode qiyas ghâib 'ala al-syâhid.



[1] Ali Sami an-Nasyar, Op.Cit, hal. 17.
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 519, cet. I, 2004, Daru'l Fajr.
[3] Mustafa Abdul Raziq, Op. Cit., hal. 36. Lih. juga Ibrahim Madkour, Op. Cit., hal. 203, Muhammad Ali Abu Royyan, Op. Cit., hal. 15.
[4] Mustafa Abdul Raziq, Op. Cit., hal. 43, 142.
[5] Ibid., hal. 107.
[6] Ibid., hal. 131.
[7] Ibrahim Madkour, Op. Cit., hal. 12.
[8] Ibid., hal. 195.
[9] Ibid., hal. 10.
[10] Ibid., hal.197.
[11] Ibid., hal. 13, 201. Tokoh Yahudi masa pertengahan yang terpengaruh dengan filsafat Islam contohnya adalah Ibnu Maimun yang mengarang 'Dalâlatu'l Hâirin'. Ibrahim Madkour membuktikan bahwa konsep 'Cogito, Ergo Sum' Rene Descartes (w. 1650) yang artinya 'aku berfikir maka aku ada' memiliki kemiripan dengan konsep rajulun mu'allaqun fi'l fadlâ milik Ibnu Sina. Skeptisme Descartes mirip dengan manhaj syak-nya al-Ghazali. Nubuwwah Spinoza (w. 1677) mirip dengan Nubuwwah al- Farabi.
[12] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religion Thought in Islam diarabkan oleh Abbas Mahmud menjadi Tajdidu al-Tafkir al-Diniy fi'l Islam, Daru'l Hidayah, cet. III, 2006, hal. 154
[13] Ibid., hal. 8. Ibid., hal. 8.
[14] Ibid., hal. 84.
[15] Ali Sami an-Nasyar, Op.Cit., hal. 32.
[16] Ali Sami an-Nasyar, Manâhiju'l Bahst 'inda Mufakkiri'l Islâm, Dar al-Salam, cet. I, 2008, hal. 7.
[17] Kesimpulan ini bertolak belakang dengan penelitian yang dibuat oleh Ibrahim Madkour yang menyebutkan bahwa ulama Islam banyak yang terpengaruh dengan mantiq Aristoteles. Ibrahim Madkour menuliskan pemikiraannya tersebut dalam bukunya yang berjudul 'L'organon d'Aristote dans le monde arabe', terbit di Paris pada tahun 1969.
[18] Ali Sami an-Nasyar, Op.Cit., hal. 288.
[19] Ali Sami an-Nasyar, Op.Cit., hal. 85.
[20] Jumhur Ushuliyyin berpendapat bahwa antara al-ashl dan al-far'u dalam qiyas harus ada 'illah. Qiyas sendiri dalam ushul fikih bersandarkan pada dua metode; ta'lil (the law of universal causation) dan al-itrâd (the law of uniformity of nature). Tidak berhenti di sini saja, ushuliyyun bahkan menetapkan adanya proses penelitian untuk setiap 'illah dalam qiyas (masâliku'l 'illah). Dalam Qiyas dikenal beberapa metode untuk ini, diantaranya; al-sabru wa taqsîm, al-thard, al-dawran, tanqîhu'l manâth (metode eliminasi), dll.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...