Minggu, 28 April 2013

Penyakit Ruhani

Painting of Islam Civilization
by; Irwan Malik Marpaung

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Rasulullah SAW mengajarkan Abu Amamah sebuah doa: “Allahumma inni a’udzu bika min al-hammi wa al-hazan wa a’udzu bika min al-‘ajzi wa al-kasl wa a’udzu bika min al-jubni wa al-bukhl wa a’udzu bika min ghalabah al-daini wa qohr al-rijal”  yang artinya: “Ya Allah! Aku belindung kepada-Mu dari keragu-raguan hati dan dukacita, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang serta intimidasi orang”
Pada umumnya tiada manusia yang bisa terlepas dari penyakit, baik penyakit jasmani maupun ruhani. Setiap individu tentu menyikapinya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang sadar dan ada juga yang sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya terjangkit penyakit. Bahkan ada pula yang sadar dan justru dengan sengaja memeliharanya agar dirinya terlepas dari tanggung jawab sebagaimana halnya orang  yang sehat.
Dari sudut pandang Islam, berangkat dari hadits di atas setidaknya ada delapan penyakit ruhaniah yang biasa mengganggu ketenangan atau bahkan dapat mengakibatkan rusaknya stabilitas kelangsungan hidup seorang individu maupun masyarakat.
Penyakit yang pertama; Sifat ragu-ragu. Sifat ini sering kali memaksa seorang individu cendurung waswas berlebihan. Hidup serasa dikejar-kejar oleh bahaya dan diliputi berbagai macam ketakutan. Jika hendak melakukan sesuatu, tidak memiliki keberanian sebab besarnya rasa takut yang tertanam pada dirinya. Dalam segala persoalan cenderung tidak mau menanggung resiko. Individu sedemikian ini tidak menyadari bahwa sesungguhnya hidup merupakan perjuangan yang tidak luput dari pengorbanan.
Penyakit yang kedua; Rasa sedih atau dukacita. Suasana hati ini bisa akibat musibah atau kesulitan hidup yang cukup pelik. Namun sikap murung yang terlalu menyita kehidupan bisa berakibat fatal; semangat hidup akan berkurang, gairah menatap masa depan melemah, hidup bagaikan mayat sebagaimana digambarkan oleh Imam Syafi’I: “Laysa al-mayyitu fa istirah bi mayyitin wa lakin al-mayyitu mayyitu al-ahya”. Yang artinya; “Bukanlah yang disebut mayat itu karena ia meninggal, tetapi sebenarnya mayat itu adalah orang yang telah mati dari kehidupannya”.
Allah SWT telah mengingatkan manusia, terutama mereka yang diliputi kebingungan dan kesedihan; “Wa la tahnau wa la tahzanu wa antum al-a’launa in kuntum mukminin” (Ali Imran: 139) yang artinya; “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Imran: 139)
Penyakit yang ketiga; lemah. Jiwa yang lemah cenderung mengakibatkan seseorang tergilas oleh kehidupan. Iman yang lemah memudahkan seseorang tergelincir ke jalan nista, sedang lemah dalam ilmu menjadikan hidup tiada bermakna, dan kelemahan dalam berbagai sarana pendukung hidup cenderung mengakibatkan sebuah bangsa tertindas.
Penyakit yang keempat; Sifat malas. Benalu jiwa yang satu ini sering kali menggiring seseorang atau bahkan masyarakat pada skup besarnya, untuk menghapus kemampuan hidup, karena Sifat yang umumnya menyertai sifat lemah ini menjadikan seseorang tidak memiliki hasrat atau keinginan untuk memaksimalkan potensi yang sudah dianugrahkan oleh rabb Sang Pencipta. Seseorang yang terjangkit penyakit malas, senantiasa gemar menghambur-hambukan waktu secara percuma, tidak mau bekerja, tidak mau belajar, angan-angan dan lamunannya melambung tinggi. Padahal dalam Islam tiada istilah pengangguran, istilah ini hanya digunakan oleh orang yang berakal sempit. Islam mengajar kita untuk maju ke hadapan dan bukan bersandar di tepi jalan.
Disadari atau tidak, disyariatkannya peribadatan didalam Islam membawa dampak positif untuk memberantas penyakit malas.
Penyakit yang kelima; Pengecut. Penyakit ini membawa akibat buruk pada kehidupan manusia. Hidup tidak memiliki keberanian, tidak mau menerima resiko; untuk membela diri sendiri saja tidak memiliki keberanian, padahal dirinya terhina dan tercampakkan secara tidak wajar. Bagaimana mungkin manusia itu dapat disebut sebagai khalifah dimuka bumi atau sebagai raja maupun penguasa, kalau bersifat pengecut dan tidak memiliki keberanian?. Bagaimana mungkin wujud kekhalifahan akan tampak jika manusianya bermental seperti itu?
Penyakit yang keenam; Kikir. Penyakit ini merupakan penyakit rohani yang dapat memutuskan tali silaturahmi serta kekeluargaan, bahkan lebih jauh lagi akan menutup pintu berkah dari Allah SWT. Dan akan mendapat cercaan dari sesama manusia yang lain. Kikir atau bahil adalah tanda-tanda dari kurang sempunanya iman. Iman yang sempurna tidak akan menyatu dengan sifat kikir. Karena ia tahu bahwa segala harta dan kekayaan apapun yang ia miliki pada hakekatnya adalah amanat Allah yang nanti kita harus mempertanggungjawabkannya. Maka apa gunanya kikir terhadap harta, kalau kita akan mati tanpa membawanya?. Dan ingatlah bahwa sebaik-baik harta adalah ilmu dan budi pekerti yang luhur.
Penyakit yang ketujuh; Lilitan utang. Penyakit ini timbul akibat dari kehidupan yang kurang seimbang serta kurang perhitungan didalam mengatur atau mengelola pendapatan dan pengeluaran, karena melihat pendapatan orang lain sehingga yang ada pada dirinya terasa kecil tanpa arti. Disatu pihak kemampuan pendapatan yang tidak seberapa, dipihak lain tuntutan hidup  yang tidak sewajarnya berpacu. Akibatnya untuk menutupi segala kekurangan, berhutang sana dan berhutang sini, yang pada akhirnya lilitan utang mengejarnya. Maka kita diajari untuk bersifat qona’ah merasa puas dengan segala pemberian Allah, tidak tamak dan tidak pula kikir.
Penyakit yang terakhir; Tekanan batin akibat intimadasi orang. Orang yang terkena penyakit ini biasanya tidak memperlihatkan hasrat dan keinginan dirinya. Hasrat dan keinginannya terpendam dalam hati, tidak mampu  mengutarakannya karena serba salah dan serba takut. Hidupnya senantiasa berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang lain, merasa khawatir kalau atasan atau orang yang menguasainya terganggu karena ulahnya. 
          Untuk menghindari penyakit tersebut, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud didalam salah satu hadis, Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada Abu Amamah sebuah doa yang telah dijelaskan tadi. Disamping itu, kita harus menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat dan bermakna serta diridhai oleh Allah SWT.
          Umar bin Khattab dalam sebuah hadits telah menjelaskan sabda Rasulullah saw:

إذا أصبحت فلا تنتظر المساء وإذا أمسيت فلا تنتظر الصباح خذ من صحتك لسقمك ومن حياتك لموتك (أخرجه البخاري)
“Apabila kamu sedang berada diwaktu pagi hari, jangan hanya menanti tibanya waktu sore, dan waktu sore jangan hanya menanti waktu pagi, manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu dan gunakanlah waktu hidupmu sebelum datang ajal menjelangmu” (Riwayat Bukhari)



Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...