Painting of Islam Civilization |
by; Irwan Malik Marpaung
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Rasulullah SAW mengajarkan Abu Amamah sebuah
doa: “Allahumma inni a’udzu bika min al-hammi wa al-hazan wa a’udzu bika min
al-‘ajzi wa al-kasl wa a’udzu bika min al-jubni wa al-bukhl wa a’udzu bika min
ghalabah al-daini wa qohr al-rijal” yang
artinya: “Ya
Allah! Aku belindung kepada-Mu dari keragu-raguan hati dan dukacita, dan aku
berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, dan aku berlindung kepada-Mu
dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang
serta intimidasi orang”
Pada umumnya tiada manusia
yang bisa terlepas dari penyakit, baik penyakit jasmani maupun ruhani. Setiap
individu tentu menyikapinya dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang sadar dan
ada juga yang sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya terjangkit penyakit.
Bahkan ada pula yang sadar dan justru dengan sengaja memeliharanya agar dirinya
terlepas dari tanggung jawab sebagaimana halnya orang yang sehat.
Dari sudut pandang Islam, berangkat
dari hadits di atas setidaknya ada delapan penyakit ruhaniah yang biasa
mengganggu ketenangan atau bahkan dapat mengakibatkan rusaknya stabilitas kelangsungan
hidup seorang individu maupun masyarakat.
Penyakit yang pertama; Sifat ragu-ragu. Sifat ini sering kali memaksa seorang individu cendurung
waswas berlebihan. Hidup serasa dikejar-kejar oleh bahaya dan diliputi berbagai
macam ketakutan. Jika hendak melakukan sesuatu, tidak memiliki keberanian sebab
besarnya rasa takut yang tertanam pada dirinya. Dalam segala persoalan cenderung
tidak mau menanggung resiko. Individu sedemikian ini tidak menyadari bahwa
sesungguhnya hidup merupakan perjuangan yang tidak luput dari pengorbanan.
Penyakit yang kedua; Rasa sedih atau dukacita. Suasana hati ini bisa akibat musibah atau
kesulitan hidup yang cukup pelik. Namun sikap murung yang terlalu menyita
kehidupan bisa berakibat fatal; semangat hidup akan berkurang, gairah menatap
masa depan melemah, hidup bagaikan mayat sebagaimana digambarkan oleh Imam
Syafi’I: “Laysa al-mayyitu fa istirah bi mayyitin wa lakin al-mayyitu
mayyitu al-ahya”. Yang artinya; “Bukanlah yang disebut mayat itu karena ia
meninggal, tetapi sebenarnya mayat itu adalah orang yang telah mati dari
kehidupannya”.
Allah SWT telah
mengingatkan manusia, terutama mereka yang diliputi kebingungan dan kesedihan;
“Wa la tahnau wa la tahzanu wa antum al-a’launa in kuntum mukminin” (Ali
Imran: 139)
yang
artinya; “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu
orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Imran: 139)
Penyakit
yang ketiga; lemah. Jiwa yang lemah cenderung mengakibatkan
seseorang tergilas oleh kehidupan. Iman yang lemah memudahkan seseorang
tergelincir ke jalan nista, sedang lemah dalam ilmu menjadikan hidup tiada
bermakna, dan kelemahan dalam berbagai sarana pendukung hidup cenderung
mengakibatkan sebuah bangsa tertindas.
Penyakit
yang keempat; Sifat malas. Benalu jiwa yang satu ini sering kali
menggiring seseorang atau bahkan masyarakat pada skup besarnya, untuk menghapus
kemampuan hidup, karena Sifat yang umumnya menyertai sifat lemah ini menjadikan
seseorang tidak memiliki hasrat atau keinginan untuk memaksimalkan potensi yang
sudah dianugrahkan oleh rabb Sang Pencipta. Seseorang yang terjangkit penyakit
malas, senantiasa gemar menghambur-hambukan waktu secara percuma, tidak mau
bekerja, tidak mau belajar, angan-angan dan lamunannya melambung tinggi. Padahal
dalam Islam tiada istilah pengangguran, istilah ini hanya digunakan oleh orang
yang berakal sempit. Islam mengajar kita untuk maju ke hadapan dan bukan bersandar
di tepi jalan.
Disadari atau tidak,
disyariatkannya peribadatan didalam Islam membawa dampak positif untuk
memberantas penyakit malas.
Penyakit
yang kelima; Pengecut. Penyakit ini membawa akibat buruk pada
kehidupan manusia. Hidup tidak memiliki keberanian, tidak mau menerima resiko;
untuk membela diri sendiri saja tidak memiliki keberanian, padahal dirinya
terhina dan tercampakkan secara tidak wajar. Bagaimana mungkin manusia itu
dapat disebut sebagai khalifah dimuka bumi atau sebagai raja maupun penguasa,
kalau bersifat pengecut dan tidak memiliki keberanian?. Bagaimana mungkin wujud
kekhalifahan akan tampak jika manusianya bermental seperti itu?
Penyakit
yang keenam; Kikir. Penyakit ini merupakan penyakit rohani yang
dapat memutuskan tali silaturahmi serta kekeluargaan, bahkan lebih jauh lagi
akan menutup pintu berkah dari Allah SWT. Dan akan mendapat cercaan dari sesama
manusia yang lain. Kikir atau bahil adalah tanda-tanda dari kurang sempunanya
iman. Iman yang sempurna tidak akan menyatu dengan sifat kikir. Karena ia tahu
bahwa segala harta dan kekayaan apapun yang ia miliki pada hakekatnya adalah
amanat Allah yang nanti kita harus mempertanggungjawabkannya. Maka apa gunanya
kikir terhadap harta, kalau kita akan mati tanpa membawanya?. Dan ingatlah
bahwa sebaik-baik harta adalah ilmu dan budi pekerti yang luhur.
Penyakit
yang ketujuh; Lilitan utang. Penyakit ini timbul akibat dari
kehidupan yang kurang seimbang serta kurang perhitungan didalam mengatur atau
mengelola pendapatan dan pengeluaran, karena melihat pendapatan orang lain
sehingga yang ada pada dirinya terasa kecil tanpa arti. Disatu pihak kemampuan
pendapatan yang tidak seberapa, dipihak lain tuntutan hidup yang tidak sewajarnya berpacu. Akibatnya
untuk menutupi segala kekurangan, berhutang sana dan berhutang sini, yang pada
akhirnya lilitan utang mengejarnya. Maka kita diajari untuk bersifat qona’ah
merasa puas dengan segala pemberian Allah, tidak tamak dan tidak pula kikir.
Penyakit
yang terakhir; Tekanan batin akibat intimadasi orang. Orang yang
terkena penyakit ini biasanya tidak memperlihatkan hasrat dan keinginan
dirinya. Hasrat dan keinginannya terpendam dalam hati, tidak mampu mengutarakannya karena serba salah dan serba
takut. Hidupnya senantiasa berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang lain,
merasa khawatir kalau atasan atau orang yang menguasainya terganggu karena
ulahnya.
Untuk menghindari penyakit tersebut, sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud didalam salah satu hadis, Rasulullah SAW telah
mengajarkan kepada Abu Amamah sebuah doa yang telah dijelaskan tadi. Disamping
itu, kita harus menyibukkan diri dengan pekerjaan yang bermanfaat dan bermakna
serta diridhai oleh Allah SWT.
Umar bin Khattab dalam sebuah hadits telah menjelaskan
sabda Rasulullah saw:
إذا
أصبحت فلا تنتظر المساء وإذا أمسيت فلا تنتظر الصباح خذ من صحتك لسقمك ومن حياتك
لموتك (أخرجه البخاري)
“Apabila
kamu sedang berada diwaktu pagi hari, jangan hanya menanti tibanya waktu sore,
dan waktu sore jangan hanya menanti waktu pagi, manfaatkanlah waktu sehatmu
sebelum datang waktu sakitmu dan gunakanlah waktu hidupmu sebelum datang ajal
menjelangmu” (Riwayat Bukhari)