Dalam
hal ini adalah penting untuk mengkonsepkan Islam sebagai dÊn
dan bukan hanya sebagai religion (agama) sebagaimana dipahami
oleh barat. Dalam sejarah panjangnya,
Islam tidak pernah menciptakan pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama, dan
umat Islam juga tidak pernah diteror oleh semisal inkusisi gereja atau moral
yang diktator. Kenyataanya, para
penganut Islam menjadi berperadaban dan dapat mencapai kemajuan ilmu
pengetahuan ketika mereka menerima Islam secara utuh.[1]
Dalam
sejarah pemikiran Islam para ulama telah memberi penjelasan tentang makna dÊn
dalam kaitannya dengan Islam. Aliran ×anafÊ-MÉturidÊ mencoba menjelaskan
konsep religion sebagai petunjuk yang mempunyai kandungan keyakinan,
penyerahan diri dan komandemen hukum, yang dibawa oleh ajaran Nabi S.A.W. AbË ×anÊfah
misalnya tetap berpendapat bahwa Islam mempersyaratkan pada para pengikutnya
dua hal: Iman dan Amal, dan keduanya merupakan hal yang penting bagi seorang
muslim sejati. Singkatnya, istilah dÊn
mencakup keyakinan dan perbuatan.[2]
Dalam
menjelaskan makna dÊn, al-BÉqillÉnÊ,
salah seorang murid dari al-‘Ash‘arÊ membedakan berberapa kemungkinan
pergertian:
1)
pembalasan berhubungan dengan pemberian
ganjaran (dalam ungkapan yawm al-dÊn);
2)
perhitungan dalam makna keputusan hukum (Íukm);
3)
Doktrin, komonitas beragama, menyiratkan keimanan, kepatuhan, dan praktek dari
sebuah keyakinan;
4) dÊn al-Íaq, dimana Islam: membiarkan
dirinya sendiri dipimpin oleh Tuhan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepadaNya.[3]
Al-JurjÉnÊ,
di sisi lain, mendefinisikan dÊn
sebagai sebuah adat-kebiasan yang bersifat ketuhanan (waq’) dimana makhluk yang
dianugerahi akal menerimanya dari Nabi S.A.W. [4] Definisi serupa
diulang lagi dalam karya-karya dari aliran
Ash‘arÊ. Sementara dalam pandangan BÉjËrÊ,
dÊn merupakan korpus peraturan (aÍkÉm) dimana Tuhan telah
menyampaikannya melalui suara Nabi S.A.W.[5]
Secara umum ada tiga kata yang digunakan
didalam Al Qur’an untuk istilah religion atau agama.[6] Istilah tersebut
yakni dÊn, millah dan ummah. Istilah
pertama dÊn menunjukan makna religion
dalam artian dasarnya, sementara poin kedua bermakna tradisi keagamaan atau
peradaban, dan yang terakhir berkonotasi dengan komunitas sosial-politik dan
moral-agama.[7] Ketiga-tiganya
juga teridentifikasi dalam Al Qur‘an dengan istilah IslÉm.[8] Ketiga istilah ini akan dikaji sedemikan
rupa mengapa itu semua muncul sebagai manifestasi sosial dari satu
realitas, yakni penyerahan diri sebagaimana dicerminkan oleh
Al-Qur’an di dalam realitas prakteknya.
Menurut para mufassirËn, ada tiga elemen dasar yang sesuai dengan konsep dÊn: makna agama, makna perhitungan,
pembalasan; dan makna kebiasaan tradisi, pandangan hidup, atau aturan hukum.[9] Al Qur‘an memakai
kata dÊn dalam kata kerja pasif yang
mana hal tersebut mempunyai makna perhitungan, pembalasan atau ganjaran sebagaimana terdapat dalam sËrah al-ØÉffÉt (37): 53 berikut ini:
Apakah apabila
kita sudah mati dan kita jadi tanah dan (tinggal) tulang-tulang, bahwa kita akan
diberi ganjaran (madÊnun)?
Dalam kajian semantiknya terhadap istilah dÊn dalam Al-Qur‘an, Izutsu memberikan
komentar terhadap ayat diatas sebagai berikut:
...dikatakan dengan jelas di sini tentang Hari
Pembalasan. Hari pembalasan (yawm al- dÊn) tepatnya merupakan hari dimana semua manusia
tanpa terkecuali akan diberi balasan (madÊnËn)
atas apa saja yang telah mereka perbuat di dunia fana sekarang ini. Dan ini
merupakan makna dÊn secara khusus di sini.[10]
Dari konsepsi ini, seseorang dapat
mencari makna dasar dari religion/agama yang merupakan konsep kepatuhan,
pengabdian, dan ketergantungan yang mengimplikasikan bahwa manusia tergantung
dalam keberadaannya kepada Dia yang perlu disembah dan dipatuhi perintahnya.
[1]
Bukti yang jelas dari penyataan yang dibuat oleh Marshall G. S. Hodgson,
The Venture of Islam (Chicago: The
University of Chicago Press, 1974), 1: 71; kata sambutan khusus yang diajukan
oleh Montgomery Watt, untuk the Islamic
civilization and its influence in Western civilization; lihat The Influence of Islam in Medieval Europe
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1972), 2; lihat juga, Salma Bishlawy, Islam, in Living Schools of Religion (Religion in the Twentieth Century), ed
Vergilius Ferm (New Jersey: Littlefield:
Adam & Co. Paterson, 1961).
[2] AbË ×anÊfah, al-Fiqh
al-Akbar, (Hyderabad), 10-11 dikutip dalam, M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy,
(Wiesbaden: Pakistan Philosophical Congress, 1963), 1: 247, lihat juga, RisÉlat
al-‘Ólim wa al-Muta‘alim al-Wasiyyah, ed. MuΩamad al-KautharÊ, 229, dikutip dalam M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, 1: 247;
lihat juga, al-MÉturÊdÊ, al-TawÍÊd, 229.
[4] Al-JurjÉnÊ,
al-Ta‘rÊfÉt, 105; lihat juga, MuÍammad ‘AlÉ ibn ‘AlÊ
al-ÙahÉnawÊ, Kashf
al-IsÏilÉÍÉt
wa al-FunËn,
(Istanbul : 1984), 1: 503.
[5] Al-BÉjËrÊ, SharÍ
Jawharat al-TawÍÊd (Beirut :
Muassasat Anas ibn Malik, n.d.), 2; lihat juga E. I.
ed. Lewis dkk, (Leiden: E.J.Brill, 1983 new edition), “Din”, 2, 294.
[6] Al-ShahrastÉnÊ, Al-Milal,
38; lihat juga AbË al-QÉsim
al-×usayn b. MuÍammad, al-AÎfahÉnÊ, Al-DharÊ‘at
ilÉ MakÉrim
al-SharÊ‘ah, ( Al-ManÎËrah : Kulliyat DÉr al-‘UlËm,
1987), 211.
[7] Untuk Analisa secara mendetail, lihat
G. H. Asi, “Muslim Understanding of Other Religions, An Analytical Study of Ibn
Hazm's KitÉb
al-FaÎl fÊ
al-Milal wa al- AhwÉ’
wa al-NiÍal.” Thesis Ph.D. tidak diterbitkan. (Philadelphia : Temple University ,
1982, 1-31.
[9] Karena konsep dÊn
merupakan salah satu
konsept inti yang mendasar dalam Islam, Para pengulas Al Qur’an tidak mencantumkan namanya
khususnya ketika membahas definisi istilah dÊn. Phenomena ini dapat dilihat hampir
disemua kitab tafsÊr
dari masa lampau sampai masa modern sekarang ini.
[10] Izutsu, God and Man in the Koran, 222.