Istilah
dÊn
umumnya diterjemahkan sebagai
‘agama’ atau religion dalam bahasa Inggris. Penerjemahan semacam ini
menimbulkan berbagai macam kebingungan karena istilan dÊn bermakna lebih dari sekedar ‘agama’ atau religion.
Ketika diterjemahkan sebagai religion (agama), orang-orang Barat akan
segera mengasosiasikannya dengan agama Kristiani lengkap dengan semua doktrin,
ritual dan sejarahnya yang akan mengingatkan mereka kepada sejarah kelam
inkusisi dan persekusi para ilmuwan. Seorang psikolog Barat, Scott Peck
mengatakan bahwa:
‘Sekali kata ‘religion’ disebutkan di Dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang: ….inkuisisi, tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, gila. Apakah semua ini yang Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya pada Tuhan sering menjadi dogma yang menghancurkan.’[1]
Pandangan
negatif terhadap agama ini dengan jelas digambarkan oleh Freud begini:
Apapun yang berkaitan dengan agama, orang akan membayangkan bentuk ketidakjujuran dan pelanggaran intelektual. Para filosof melonggarkan pengertian terminologi ini sehingga menjadi kabur dari makna aslinya. Nama Tuhan (God) dimaknai dengan abstraksi yang samar yang mereka ciptakan sendiri; dengan begitu mereka mengaku sebagai deists, beriman pada Tuhan, meskipun Tuhan bagi mereka tidak lain hanyalah bayangan yang tidak substansial dan bukan lagi Tuhan Maha Kuasa dalam doktrin agama.[2]
Sekularisme,
nasionalisme dan materialisme yang ada sekarang adalah derivasi dari para
filosof yang mengobarkan revolusi rakyat Perancis, seperti Voltairs, Rousseau, Montesquieux,
dll. Mereka adalah kaum fanatik pembenci semua agama. Merekalah yang
bertanggungjawab atas kepercayaan bahwa manusia bisa maju dan mencapai
keselamatan (salvation) tanpa Tuhan. Illusi bahwa manusia itu tidak
terikat dengan Tuhan dan tidak ada hari akhir inilah yang menimbulkan
kepercayaan bahwa kemajuan materi dalam kehidupan ini adalah tujuan utama bagi
semua bangsa.
Untuk membuat jalan bagi Revolusi Ilmu
Pengetahuan, dunia Barat harus menurunkan tahta gereja dan memasangkan
mahkotanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai tuhan baru. Inilah agama
baru bagi masyarakat Barat yang merdeka dan berkembang dengan deklarasi bahwa
Kristen telah mati dan tidak ada lagi yang suci dalam kode etik dan moral.
Garis
serupa dengan pemikiran tersebut dipanggul juga oleh para modernis atau mereka
yang menyokong Islam Liberal. Dari aliran Marxis seperti Bassam Tibi,
Nasionalis Arab, dan Antropolog sosial seperti Aziz Azmeh adalah di antara yang
mencoba mengganti seluruh sistem norma Islam dengan ide pemikiran tersebut.
Mohamed Arkoun, contohnya, dengan nada arogan menyeru untuk memikirkan kembali
Islam (rethink Islam).
Jelasnya,
tanpa mempedulikan akibatnya, semua ini dilakukan sebagai usaha agar Islam
dapat diterima di Barat. Senafas dengan karakter sekularisme, mereka mereduksi
definisi agama sebatas masalah sentimental, privat dan bentuk ritual yang tidak
mempunyai arti sama sekali pada kehidupan sosial. Reduksi seperti ini jelas
sekali sebuah distorsi dari konsep Islam yang sebenarnya. Bagi mereka Islam
adalah agama yang tanpa Shari‘ah, tanpa kerangka hukum, dan tidak mempunyai
fungsi dalam dan pedoman bagi masyarakat.