Kamis, 25 April 2013

Apa Makna/arti Agama?

Istilah dÊn  umumnya diterjemahkan  sebagai ‘agama’ atau religion dalam bahasa Inggris. Penerjemahan semacam ini menimbulkan berbagai macam kebingungan karena istilan dÊn bermakna lebih dari sekedar ‘agama’ atau religion. Ketika diterjemahkan sebagai religion (agama), orang-orang Barat akan segera mengasosiasikannya dengan agama Kristiani lengkap dengan semua doktrin, ritual dan sejarahnya yang akan mengingatkan mereka kepada sejarah kelam inkusisi dan persekusi para ilmuwan. Seorang psikolog Barat, Scott Peck mengatakan bahwa: 
 ‘Sekali kata ‘religion’ disebutkan di Dunia Barat, ini akan membuat orang berpikir tentang: ….inkuisisi,  tahyul, lemah semangat, paham dogmatis, munafik, benar sendiri, kekakuan, kekasaran, pembakaran buku, pembakaran dukun, larangan-larangan, ketakutan, taat aturan agama, pengakuan dosa, gila. Apakah semua ini yang  Tuhan lakukan untuk manusia atau apa yang manusia lakukan terhadap tuhan. Ini merupakan bukti kuat bahwa percaya pada Tuhan  sering menjadi dogma yang menghancurkan.’[1]
Pandangan negatif terhadap agama ini dengan jelas digambarkan oleh Freud begini:
Apapun yang berkaitan dengan agama, orang akan membayangkan bentuk ketidakjujuran  dan pelanggaran  intelektual. Para filosof melonggarkan pengertian terminologi ini sehingga menjadi kabur dari makna aslinya. Nama Tuhan (God) dimaknai dengan abstraksi yang samar yang mereka ciptakan sendiri; dengan begitu mereka mengaku sebagai deists, beriman pada Tuhan, meskipun Tuhan bagi mereka tidak lain hanyalah bayangan yang tidak substansial dan bukan lagi Tuhan Maha Kuasa dalam doktrin agama.[2]
Sekularisme, nasionalisme dan materialisme yang ada sekarang adalah derivasi dari para filosof yang mengobarkan revolusi rakyat Perancis,  seperti Voltairs, Rousseau, Montesquieux, dll. Mereka adalah kaum fanatik pembenci semua agama. Merekalah yang bertanggungjawab atas kepercayaan bahwa manusia bisa maju dan mencapai keselamatan (salvation) tanpa Tuhan. Illusi bahwa manusia itu tidak terikat dengan Tuhan dan tidak ada hari akhir inilah yang menimbulkan kepercayaan bahwa kemajuan materi dalam kehidupan ini adalah tujuan utama bagi semua bangsa.
 Untuk membuat jalan bagi Revolusi Ilmu Pengetahuan, dunia Barat harus menurunkan tahta gereja dan memasangkan mahkotanya pada ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai tuhan baru. Inilah agama baru bagi masyarakat Barat yang merdeka dan berkembang dengan deklarasi bahwa Kristen telah mati dan tidak ada lagi yang suci dalam kode etik dan moral.
Garis serupa dengan pemikiran tersebut dipanggul juga oleh para modernis atau mereka yang menyokong Islam Liberal. Dari aliran Marxis seperti Bassam Tibi, Nasionalis Arab, dan Antropolog sosial seperti Aziz Azmeh adalah di antara yang mencoba mengganti seluruh sistem norma Islam dengan ide pemikiran tersebut. Mohamed Arkoun, contohnya, dengan nada arogan menyeru untuk memikirkan kembali Islam (rethink Islam).
Jelasnya, tanpa mempedulikan akibatnya, semua ini dilakukan sebagai usaha agar Islam dapat diterima di Barat. Senafas dengan karakter sekularisme, mereka mereduksi definisi agama sebatas masalah sentimental, privat dan bentuk ritual yang tidak mempunyai arti sama sekali pada kehidupan sosial. Reduksi seperti ini jelas sekali sebuah distorsi dari konsep Islam yang sebenarnya. Bagi mereka Islam adalah agama yang tanpa Shari‘ah, tanpa kerangka hukum, dan tidak mempunyai fungsi dalam dan pedoman bagi masyarakat.




[1]  Scott Peck, The Road Less Travelled (London; Arrow Books Ltd., 1990), 237-238.
[2] Freud, S. The Future of an Illusion. U.S.A: Anchor Books, 1961, 51-52.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...