by: Sani Badron[1]
Pendahuluan
Ibn al-‘ArabÊ adalah tokoh Sufi yang oleh kelompok
pluralis sering diklaim sebagai pendukung gagasan pluralisme agama. Padahal,
seperti yang akan di jelaskan nanti, pemahamannya tentang agama tidak seperti
yang mereka kutip selama ini. Ibn al-‘ArabÊ mendefinisikan agama yang
ada pada kata dÊn dan islÉm sebagai ‘kepatuhan (al-inqiyÉÌ)
kepada SharÊ‘ah,[2] yaitu ‘kepatuhan lahir dan batin terhadap seruan al-×aqq,
menurut kriteria yang telah ditentukan-Nya.’[3] Makalah ini akan mengekplorasi definisi tersebut menjadi empat, yaitu:
(1) berserah lahir dan batin; (2) oleh manusia yang patuh; (3) kepada Tuhan
yang dipatuhi; (4) mengikut tatacara patuh kepada-Nya, --sebagaimana yang
diistilahkan oleh Ibn al-‘ArabÊ sendiri--SharÊ‘ah dan MinhÉj para Nabi-Nya.
Bahkan Ibn al-‘ArabÊ pernah menegaskan definisi Agama sebagai ‘Hukum Allah
untuk Masa Tertentu, yang diturunkan dalam setiap zaman kerasulan, dan
disampaikan kepada tiap-tiap masyarakat rasul tersebut’ (al-DÊn huwa Shar‘
al-waqt fÊ kull zamÉn wa millah).[4] Pada umumnya, tinjauan disiplin filsafat agama adalah terkait dengan
bentuk ‘agama’ yang tersusun-teratur dan terlembaga dalam masyarakat (organized
and institutionalized religions that involve communities).[5]
Manusia Yang Patuh Beragama
Bagi Ibn al-‘ArabÊ, dalam mengakui akan wujud,
keesaan dan kesucian Yang Maha Pencipta,[6] manusia itu asalnya satu umat (ummah
wÉÍidah).[7] Makna asal ikrar mutlak ini terletak pada Penjanjian mereka dengan
Tuhan, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an:
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan daripada Anak
Adam—dari belakang mereka—zuriat mereka dan menyuruh mereka mengangkat saksi
terhadap diri mereka dengan berkata: ‘Bukankan Aku ini Tuhanmu?’ Mereka
menjawab: ‘Bahkan, kami saksikan!’[8]
Sesungguhnya manusia itu, seperti yang tertera
dalam ayat diatas, telah menyatakan ikrar atau taÎdÊq mutlak akan
kewujudan Allah sebagai al-×aqq (Yang Mahabenar), al-Rabb
(Tuhan), Raja (MÉlik), dan Tuan (Sayyid). Ini juga merupakan ikrar
akan kehambaan (‘ubËdiyyah) kepada-Nya dan ikrar akan tidak ada sekutu (sharÊk)
bagi-Nya.[9] Bagi Ibn al-‘ArabÊ, ikrar ini merupakan fitrah manusia yang diciptakan
Allah,[10] sebagaimana sabda Rasulullah saw, ‘setiap anak adalah dilahirkan dalam fiÏrah’,[11] menjadikan manusia hamba kepada al-Rabb, menafikan selain-Nya.[12] Oleh sebab itu, bukti manusia mengabdi kepada Allah adalah dengan
menunaikan tanggungjawabnya;[13] taat kepada Allah Yang menguji melalui perintah dan larangan.[14]
Tuhan Yang Dipatuhi
I‘tiqÉd manusia mengenai
Tuhan itu oleh Ibn al-‘ArabÊ disebut sebagai
‘azÊmat al-fÉ’idah ÎaÍÊÍat al-aÎl. Allah telah
memberi manusia akal untuk merenung, berfikir dan mengambil i‘tibar. Bagaimanapun,
manusia menanggapi dengan cara yang berbeda. Ada yang jadi musyrik dan ateis (mu‘aÏÏil)
karena menuruti orang lain tanpa menggunakan akalnya sendiri. Ada pula yang
musyrik dan mu‘attil setelah mereka merenung, berfikir dan mengambil i‘tibar.
Ada juga yang mengetahui keesaan Allah tetapi tanpa iman kepada Rasul karena
tidak diutus Rasul kepadanya, atau karena mereka hidup sewaktu fatrah,
yakni ketika pengutusan rasul-rasul itu terputus. Ada yang mengetahui keesaan
Penciptanya tetapi tidak beriman kepada Rasul yang diutuskan kepadanya. Malah
yang bertawhid melalui iman kepada Rasul pun memiliki berbagai martabat.
Masing-masing akan dibalas oleh Allah dengan selayaknya.[15] Dalam hubungan sesama manusia bagi Ibn al-‘ArabÊ sikap shafaqah kepada ciptaan Allah,
dan raÍmah terhadap hamba-hamba-Nya adalah wajib. Maka dari itu bagi
seorang Muslim, seseorang yang kafirpun adalah saudaranya yang berasal daripada
diri yang satu (nafs wÉÍidah); seseorang yang beriman pula adalah
saudara dalam agama (dÊn) dan pertolongan (si‘Éd).[16]
Apa yang
diketahui oleh akal mengenai Tuhan, tidaklah sejelas apa yang diketahui melalui
TanzÊl.[17] Berbagai aliran muncul karena perbedaan faham, di mana ada yang betul
dan ada yang salah. Maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi khabar
gembira kepada mereka yang betul dalam renungannya, dan pemberi peringatan
kepada yang tersalah agar kembali kepada yang benar; kepada mereka ini para
Nabi menjelaskan yang benar dan yang salah.[18]
Para Rasul-Nya, Kitab, dan Shari’ah
Menurut Ibn al-‘ArabÊ, Allah menurunkan Kitab-Kitab
yang Íaqq melalui para Nabi, dengan tujuan untuk menyelesaikan
perselisihan di antara manusia. Oleh karena itu hakim yang memutuskan perselisihan
tersebut adalah Allah sendiri.[19] Selain itu, sharʑah dan Kitab-kitab
para rasul dan anbiya’ diturunkan supaya manusia mengenal Allah lebih
dari apa yang dicapai melalui renungan akal.[20] Oleh karena itu risalah yang dibawa oleh para Rasul itu terbagi menjadi
dua: pertama, perkhabaran mengenai Zat-Nya, Sifat-sifat Suci-Nya, dan
Sifat-sifat Perbuatan-Nya; kedua, mengenai perintah dan larangan-Nya,
yang merangkumi wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.[21] Para rasul menetapkan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri kepada
Allah, memberitahu apa-apa yang diciptakan Allah, yang tidak terdapat dalam
pengetahuan manusia, dan apa yang akan terjadi antara mereka dengan Tuhan pada
masa yang akan datang, seperti; kebangkitan (al-ba‘th), kiamat (al-nushËr),
perhimpunan (Íashr), syurga (al-jannah), neraka (al-nÉr).
Ini adalah masalah asas yang menjadi sandaran (mustanad) dan
pertimbangan (mu‘abbar) dalam agama.[22]
Petunjuk Qur’an
yang utama dalam hal ini adalah: ‘Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu (para
Rasul) Kami tetapkan aturan (shir‘ah) dan jalan yang terang (minhÉj).’[23] Bagi Ibn al-‘ArabÊ, minhÉj merujuk kepada ‘selubung’ atau
‘titik-temu’ atau ‘ciri-penghimpun’ kesemua agama para Nabi (dÊn al-anbiyÉ’),[24] seperti mengesakan Allah, bersatu dalam menegakkan hukum-hukum-Nya, dan
mengabdikan diri kepada-Nya.[25] Dalam tiga hal ini Allah tidak membedakan
antara satu nabi dengan lainnya, tidak pula melebihkan ajaran-Nya kepada seseorang
nabi dan mengurangkan pada nabi yang lain (q.v. ‘mÉ thamma amr
zÉ’id’).[26] Meskipun tidak ada tambahan apa-apa (amr zÉ’id), namun terdapat beberapa
perbedaan (ikhtilÉf) mengenai hukum antara para Rasul. Ini mencakup
bidang Shir‘ah,[27] yakni ketetapan amal (ta‘yÊn al-a‘mÉl),[28] yang ditentukan oleh Allah (maj‘Ëlah bi-ja‘l AllÉh).[29]
Rasul-rasul diutus dengan berurutan (tatÉbu‘)
dalam zaman dan keadaan yang berbeda.[30] Tiap-tiap rasul membenarkan pula sahabatnya yang lain yang datang dalam
zaman dan keadaan yang lain. Meskipun terdapat perbedaan dari segi hukum, tapi perselisihan
dalam masalah-masalah uÎËl sama sekali tidak terjadi.[31]
Hukum agama yang ditetapkan Allah melalui para
Rasul-Nya habis masa berlakunya dengan datangnya hukum Rasul-Nya yang lain (naskh).[32] Allah berfirman, ‘Bagi tiap-tiap masa (ajal), ada Kitab [yang ditanzilkan],
Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Umm al-Kitab.’[33] Sebab itu bagi Ibn al-‘ArabÊ, seperti disinggung diatas agama adalah
‘Undang-Undang Allah untuk Masa Tertentu, yang ditanzilkan dalam setiap zaman
kerasulan, dan kepada tiap-tiap masyarakat rasul tersebut’ (al-DÊn huwa
Shar‘ al-waqt fÊ kull zamÉn wa millah). Sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an:
Dia telah menshari‘atkan bagi kalian mengenai agama
(shara‘a lakum mina’l-DÊn) apa yang telah Dia pesankan kepada Nuh dan
apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami
pesankan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah-belah tentangnya.[34]
Ibn al-‘ArabÊ mengaitkan ayat ini dengan salah satu bab dalam kitab Imam
Bukhari, bÉb mÉ jÉ’a al-anbiyÉ’ dÊnu-hum wÉÍid.[35] Rasulullah saw bersabda: ‘Al-anbiyÉ’ ikhwatun li-‘allÉtin, ummahÉtuhum
shattÉ wa dÊnu-hum wÉÍid’ (Para Nabi adalah saudara
sebapa. Ibu mereka berlainan, dan agama mereka satu).[36] Setiap agama para Nabi adalah satu (dÊn al-anbiyÉ’ wÉÍid).[37] Maksudnya, semua agama datangnya dari Allah, walaupun dengan ingatan
bahwa terdapat beberapa perbedaan shari‘ah.[38]
Bagi Ibn al-‘ArabÊ tidak dibolehkan bagi seseorang
itu melampaui amalan-amalan yang dishari‘atkan Allah. Ibn al-‘ArabÊ
mengingatkan bahwa shari‘ah para Nabi itu berbeda, ada perkara yang diharamkan
oleh Allah dalam shari‘ah seseorang Nabi, yang kemudian shariah tersebut dihalalkan-Nya.
Shari‘ah yang datang terkemudian menghapuskan shari‘ah yang terdahulu. Siapa
yang hidup dalam zaman sesudahnya, tetapi menuruti apa-apa yang telah dihapuskan
dalam shari‘ah yang terdahulu, maka dia telah menuruti hawa nafsunya, seperti
firman Allah,
Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah
di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan
yang haq, dan “janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.[39]
Bagi Ibn al-‘ArabÊ, ayat ini adalah perintah mutlak
untuk melaksanakan perintah Allah (tamshiyati awÉmir AllÉh wa infÉdh kalimÉti-Hi
lÉ ghayr).[40] Ibn al-‘ArabÊ menjelaskan bahwa makna ‘yang haq’ dalam ayat ini adalah
wahyu yang ditanzilkan Tuhan,[41] Sedangkan ‘al-hawÉ’ merujuk kepada
kesukaan atau keinginan diri (sama ada diri sendiri ataupun diri orang lain)
yang tidak menepati perintah atau larangan shari‘ah yang diwahyukan,[42] yang merupakan hukum al-Haqq.[43] Hawa nafsu hanya menjatuhkan[44] seseorang dari derajat khilÉfah[45] karena hawa nafsu merusak dan membutakannya hingga tidak dapat
memutuskan sesuatu menurut tuntutan jalan yang dishari‘atkan Allah.[46]
Mendebat Relativis Tentang Nabi Muhammad &
Shariatnya
Ibn al-‘ArabÊ akan menolak pendapat yang menyatakan
bahwa semua manusia, menuju Allah[47] dengan jalan masing-masing.[48] Bagi Ibn al-‘ArabÊ, ‘sabÊl AllÉh’ yang
tertera dalam ayat 26 surah ØÉd[49] adalah shari‘at Allah secara khusus kepada seseorang Nabi untuk
umatnya,[50] demi kebahagiaan mereka di Akhirat (dÉr al-qarÉr).[51]
Meskipun semua jalan itu menuju Allah, karena Allah
adalah Ujung Terakhir Yang Penghabisan (muntahÉ,[52] ghÉyah[53]) dan ‘kepadaNyalah dikembalikan semua urusan,’[54] namun Ibn al-‘ArabÊ mengingatkan bahwa tidak semua manusia yang kembali
kepada-Nya itu berbahagia. Jalan bahagia (ÏarÊq al-sa‘Édah) adalah jalan
yang dishari‘atkan;[55] dan shari‘ah merupakan pusat kenikmatan (al-mahajjah al-bayÌÉ’)
bagi mereka yang berbahagia (mahajjah al-su‘adÉ’).[56] Jadi, pada hari Akhirat, mereka yang beriman kepada Allah dan mentaati
shari‘ah-Nya akan mencapai Kebahagiaan Hakiki, dan mereka yang mengkufuri-Nya
dan menyanggah shari‘ah-Nya akan mengalami Kesengsaraan (al-shaqÉ’).[57] Ibn al-‘ArabÊ menasehati:
Harapan [yang palsu] itu tipudaya. Maka janganlah
engkau mengharapkan Allah dengan sesuatu keinginan sedangkan engkau bertindak bukan
melalui jalan yang akan membawa hasil….Tak boleh tidak—bagi seseorang yang menginginkan
sesuatu — hendaklah berbuat sesuatu melalui jalan yang akan menghasilkan apa
yang diinginkannya; ini karena jalan untuk mencapai perkara itu sendiri adalah
satu keharusan; tanpa jalan tersebut keinginannya tidak akan tercapai; akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Oleh karena itu maka syurga Ma’wÉ
diberikan kepada siapapun yang menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (nahÉ
al-nafs ‘an al-hawÉ).[58]
Agama dan shari‘ah sempurna dengan kenyataan Nabi
Muhammad pada (apa yang diistilahkan oleh Ibn al-‘ArabÉ sebagai) zamÉn
MuhammadÊ dari waktu perutusan Rasulullah hinggalah ke Hari Kiamat. Ini karena
Rasulullah saw adalah Penutup bagi Kenabian Yang Membawa Shari‘ah (khÉtim
nubuwwah tashrÊ‘) yang selepasnya tiada lagi nabi.[59] Karena itu, ummat Muhammad adalah ummat wasaÏ,[60] dan ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia (khayr ummah
ukhrijat li’l-nÉs).[61] Dari zaman itu sehingga ke Hari Kiamat, manusia berada dalam zaman Rasulullah
saw dan tertakluk untuk menerima shari‘ahnya.[62]
Rasulullah saw telah menyampaikan Islam yang diwahyukan-Nya;
Allah telah menetapkan bahwa Kebenaran Islam tidak mungkin untuk disesuaikan dengan
Kebatilan: “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah
Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap
Kami….Dan kalau Kami tidak memperkuatkan kamu, niscaya kamu hampir-hampir
condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan
timpakan kepadamu siksaan….”[63] Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir),
biarlah ia kafir”’;[64] “sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja”;[65] “dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban terhadap penghuni-penghuni
neraka (jaÍÊm)”;[66] “bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk”;[67] “sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi”;[68] ”katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
hakiki).” “Dan sesungguhnya jika kamu
mengikuti hawa nafsu mereka setelah Ilmu datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu”;[69] dll.[70]
Jadi, shari‘ah yang datang kemudian menghapuskan
shari‘ah yang terdahulu. Siapa yang kemudiannya menuruti apa-apa yang telah
dinasakhkan dalam shari‘ah yang terdahulu, maka dia telah menurut hawa
nafsunya. Dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, siapa yang meninggalkan jalan
yang ditetapkan Allah, lalu berjalan pada jalan yang lain, meskipun ia
adalah shari‘ah zaman terdahulu, maka dia telah menyimpang dari jalan Allah
yang lurus (hÉdd ‘an sawÉ’ al-sabÊl, hÉ’id ‘an sabÊl AllÉh). Ibn
al-‘ArabÊ mengingatkan dalam satu hadith, Rasulullah telah melukis satu garisan
dan melukis pula di kedua-kedua belah garisan tadi masing-masingnya beberapa
garisan yang lain. Garisan pertama adalah shara‘ dan minhÉj
Rasulullah saw; garisan-garisan lain adalah shari‘ah-shari‘ah para nabi sebelum
Rasulullah saw, di samping hukum-hukum dunia yang diubah oleh orang-orang bijak
(al-nawÉmËs al-Íikamiyyah al-mawÌË‘ah). Lalu Allah memerintah Rasulullah
saw agar menyuruh ummat berjalan atas sharÉ‘ dan minhÉjnya,
bahkan jangan menyimpang. Rasulullah saw meletakkan tangannya di garisan
pertama dan membaca (al-An‘Ém, 6: 153),
Dan bahwa ini
adalah jalanku yang lurus, maka kalian ikutilah dia; dan jangan kalian
ikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalanNya. Demikian perintah terhadap kalian agar kalian bertaqwa.[71]
Bagi Ibn
al-‘ArabÊ, istilah khusus ‘jalanku’ bukan istilah umum ‘jalan Allah’ (sirÉÏÊ bukan sekedar sirÉÏ AllÉh)[72] yang diungkapkan al-Qur’an menunjukkan bahwa ia adalah shari‘at yang
khas (shar‘ khÉÎÎ),[73] yang wajib diikuti, yaitu jalan Nabi Muhammad (al-ÏarÊq alladhÊ jÉ’a
bi-hi MuÍammad). Dan dilarangNya
menuruti jalan-jalan yang lain, iaitu sharÉ’i‘ dan manÉhij para
rasul sebelum Nabi Muhammad.[74]
Ini tidak berarti bahwa mereka yang mengimani Muhammad saw itu adalah ekslusif,
karena shari‘at Muhammad saw bukan sekedar
mewajibkan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya—kepada shari‘ah dan kitab yang
ditanzilkan kepada Rasulullah saw—namun mewajibkan untuk beriman kepada semua
shari‘ah dan kitab yang ditanzilkan sebelum Rasulullah saw. Bahkan, tegas Ibn
al-‘ArabÊ, seluruh shari‘ah yang terdahulu terkandung dalam shari‘ah Rasulullah
saw. Hanya shari‘ah-shari‘ah tersebut tidak lagi menjadi hukum Tuhan, kecuali
sebagiannya yang masih ditetapkan oleh shari‘ah Muhammadiah; melalui Rasulullah
saw hukum-hukum tersebut ditetapkan. Orang-orang mukmin mengabdikan diri kepada
Allah mengikut hukum tersebut karena ia sekarang ini adalah shari‘ah bagi
mereka seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, bukan karena nabi yang
terdahulu pernah melakukannya sebagai shari‘at waktunya kepada umatnya.[75] Justru bagian terakhir ayat tersebut menegaskan bahwa jalan Nabi
Muhammad-lah yang harus diambil sebagai pelindung (al-wiqÉyah, dari akar
kata yang sama dengan taqwÉ) yang menghalang orang-orang yang beriman
daripada menyimpang seperti mereka yang berjalan atas jalan-jalan yang lain.[76]
Kafir
& Mendustakan Muhammad: Antara Ahl al-KitÉb dan MushrikÊn
Dengan munculnya tanzil dan wahyu, timbullah pertentangan antara
keimanan dan kekafiran[77] sebagai reaksi sesuatu ummat terhadap Rasulnya yang datang dengan
tanda-tanda (al-ÉyÉt) dan bukti pasti (al-bayyinÉt) kebenaran.[78] Justru Ibn al-‘ArabÊ menafsirkan al-A‘rÉf, 7: 184 sebagai
‘Tidakkah mereka merenungkan bukti kebenaran da‘wah Rasulullah?’[79] Setelah itu, sesiapa yang masih tidak beriman karena melayani kebodohan
(al-juhl) dan kekeliruan (al-shabah), akibat bersifat aniaya (Ðulm),
sombong (‘uluww), durhaka (baghy), dengki (Íasad)
dan iri hati (nafÉsah) terhadap RasulNya, maka manusia seperti itu akan
dihukum dengan azab Tuhan.[80]
Menurut Ibn al-‘ArabÊ, tanda paling nyata dari Allah akan kebenaran
Muhammad bagi ummah yang didakwahkannya adalah al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab, yang secara mutlak tidak dapat ditiru oleh orang-orang Arab
sendiri.[81] ‘Ibn al-‘ArabÊ pernah bertanya secara retoris, ‘Apalagi tanda yang
lebih bermu‘jizat selain daripada al-Qur’an?’[82]
Sementara semua Nabi sebelum Rasulullah saw diperintah untuk
menyampaikan tanzil hanya kepada golongan tertentu (al-ÏÉ’ifah makhÎËÎah),
Nabi Muhammad saw diperintah untuk menyampaikannya kepada semua manusia (‘Émmah li’l-nÉs).[83] Muhammad saw tidak bisa membaca, menulis atau mentelaah, tidak berteman
dengan kalangan terpelajar, tidak meninggalkan Mekah untuk menuntut ilmu. Selain
itu, Rasulullah saw adalah seorang yang tidak tahu membaca di kalangan
masyarakat yang juga umumnya tidak tahu membaca. Akan tetapi, Rasulullah saw mengajar umatnya mengenai Allah
dan masalah-masalah ghaib yang lain pada tingkat yang diketahui dan diduga oleh
sesiapa saja—kecuali mengikuti Tanzil. Selain itu juga, al-Qur’an mendatangkan
apa yang sebagiannya telah disampaikan oleh kitab-kitab yang terdahulu; dan
Muhammad saw tidak tahu isi kandungan kitab-kitab yang terdahulu melainkan
melalui al-Qur’an. Justru Ibn al-‘ArabÊ yakin bahwa orang-orang Yahudi,
Nasrani, dan Ahli-Ahli Kitab (aÎÍÉb al-kutub) pasti tahu bahwa al-Qur’an
adalah bukti dari Allah akan kebenaran Muhammad.[84] Oleh karena al-Qur’an itu tetap sebagai bukti yang meyakinkan, mereka
yang mendustakan kebenaran Nabi Muhammad bakal dihukum dengan azab Tuhan,
‘(mereka akan disiksa) karena Allah telah menurunkan al-Kitab dengan haqq,
dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang Kitab itu benar-benar
dalam penyimpangan yang jauh’ (al-Baqarah, 2: 176).[85]
ÔmÉn bukanlah mengenai kebenaran sesuatu perkara yang
diyakini karena kita melihatnya sendiri (‘iyÉn), tetapi ia adalah keyakinan akan kebenaran sesuatu perkara yang disampaikan
kepada kita oleh Rasul. ÔmÉn, bagi Ibn al-‘ArabÊ, adalah menerima penuh
kebenaran Rasul dan risalah yang diutusnya, sementara kafir adalah berdusta terhadap
kebenaran Rasulullah saw dan risalahnya; kaum Mu’minin adalah mereka yang
beriman kepada yang ghaib seperti yang dikhabarkan dari Allah oleh Rasul-Nya
yang benar, sementara kaum Kafirin adalah mereka yang mendustakannya.[86] Bagi Ibn al-‘ArabÊ, ÊmÉn adalah ‘menyatakan sesuatu mengikut
pernyataan dan amalan Rasul, bukan menurut pandangan peribadi berdasarkan bukti
akal seseorang.’[87]
Ibn al-’ArabÊ mengelaborasi perbedaan kekafiran kaum Mushrik dan Ahl
al-KitÉb. Karena makna dasar kufr adalah sitr, iaitu
menutup-sembunyi,[88] maka setiap orang mushrik itu adalah kafir. Sebeb mereka mengikuti hawa
nafsunya, menyekutukan-Nya, beribadah kepada selain-Nya, menyangkal KeesaanNya
sebagai Tuhan (aÍadiyyat al-IlÉh), dan ‘menutup’ pikiran mereka dari
bukti dan tanda KeesaanNya pada alam
semesta. Dengan sebab ‘penutupan’ ini, seseorang yang mushrik itu adalah kafir.[89]
Sekalipun Ahl Kitab ada yang percaya kepada Keesaan Tuhan dan para Rasul,
namun mereka ingkar terhadap Nabi Muhammad. Jadi, mereka kafir kepada sebagian
isi Kitab yang disampaikan oleh rasul mereka.[90] Ini karena sesuai dengan al-A‘rÉf, 7: 157,[91] sebagian dari isi Kitab mereka adalah perintah supaya beriman kepada
‘Rasul bagi semua’ yakni Muhammad saw, dan menurut shari‘ahnya bila Rasulullah
saw diutuskan.[92]
Para pemimpin Ahl Kitab menyembunyikan kebenaran Nabi Muhammad sementara
mereka mengetahui secara yakin kebenaran risalahnya. Mereka kenal Kebenarannya
hingga mustahil untuk menyembunyikan fakta tersebut dari diri mereka sendiri;
sesungguhnya mereka terpaksa mengakui kebenaran tersebut dalam hati mereka. Namun,
mereka dengan benci menyembunyikan kebenaran tersebut dari masyarakat awam (al-‘Émmah)
dan pengikut (al-atbɑ), yang menurut pemimpinnya dalam kepercayaan dan
amalan agama. Penyembunyian akan kebenaran Nabi Muhammad telah diperburuk lagi
dengan kekeliruan akibat tipu daya yang licik lagi licin (al-shabah al-muÌillah
wa’l-tashkÊkÉt al-sÉrifah).[93]
Ibn al-‘ArabÊ menegaskan bahwa para pemimpin Ahl KitÉb telah menyesatkan
pengikut mereka dengan memerintahkan apa yang tiada pernah diizinkan Tuhan, dan
kemudian menyatakan kepada para pengikut mereka bahwa ‘ini dari Tuhan’—padahal
bukan. Mereka berdusta tentang Tuhan; mereka juga berdusta terhadapNya, sekalipun
mereka menyadari pembohongan tersebut.[94]
Dengan menggunakan perumpamaan Tuhan dalam al-Qur’an,[95] FutËÍÉt menggambarkan para pemimpin Ahl KitÉb seperti
orang-orang yang dalam kehidupan dunia ini telah diberi al-Qur’an melalui
Rasulullah tapi melemparkannya ke belakang punggung mereka dan menjualnya
(kitab itu) dengan harga yang murah. Bagi Ibn al-‘ArabÊ, sikap para pemimpin
Ahl KitÉb yang melempar Kitab al-Qur’an ke belakang punggung mereka menunjukkan
bahwa mereka yakin bahwa mereka tidak akan kembali kepada Tuhan.[96] Bahkan sifat para pemimpin Ahl
KitÉb tersebut adalah sama seperti sifat yang digambarkan oleh Allah (dalam al-Naml,
27: 13-14) sebagai zalim. Tetapi, mengapa mereka berbuat jahat, dan menyesatkan
akal manusia lain tentang kebenaran Muhammad? Merujuk kepada al-Qur’an,[97] Ibn al-‘ArabÊ menyimpulkan bahwa sambutan jahat terhadap Rasulullah yang
seperti itu lebih disebabkan oleh kesombongan mereka (‘uluww). Mereka menghina Rasulullah untuk mengejar kemegahan
duniawi, mencari kedudukan di masyarakat dan sekaligus sombong terhadap Tuhan
Yang Mengutus Nabi kepada mereka. Biarpun tanda-tanda yang meyakinkan mengenai
kebenaran Rasulullah telah jelas—al-Qur’an adalah mukjizat terbesar—mereka
telah memendam dan dikuasai rasa dendam, iri hati dan aniaya (Íasadan wa nafÉsatan
wa Ðulman) terhadap wibawa Nabi Muhammad; mereka menolak kebenaran setelah
mengetahuinya dengan yakin. Mereka mempermasalahkan mengapa al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad dan tidak kepada orang-orang yang lebih ‘besar’ dan
‘penting’ seperti mereka. Demikian mereka lebih memilih hawa nafsu daripada
Tanzil Tuhan. Sebagai fakta sejarah, ini cukup untuk menjadikan ‘agama’ Ahl
Kitab sebagai agama hawa nafsu pemimpin mereka yang menyalahi kandungan Kitab
mereka yang asal. Karena itulah, biarpun mereka mengatakan percaya kepada
Keesaan-Nya dan kepada para rasul-Nya yang lain, Allah mengecam mereka dengan
tajam dalam al-Qur’an.[98] Berikut terjemahan ayat al-Qur’an yang sering disebut oleh Ibn al-‘ArabÊ):
Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab,
mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.
Orang-orang yang merugikan dirinya itu tidak beriman. Dan siapakah yang lebih
zalim daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau
mendustakan ayat-ayatNya? Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak
mendapat keberuntungan.[99] Lihat juga ayat-ayat lainnya seperti Al-Naml, 27: 13-14, Al-‘AnkabËt,
29: 47 dan Ali Imran, 3: 78.
Menurut
Ibn al-‘ArabÊ, isi surat Rasulullah kepada Kaisar Romawi ditujukan kepada
mereka yang berperangai seperti ini, ‘….sekiranya kamu berpaling, atas kamulah
tanggungjawab al-arÊsiyyÊn (yakni para pengikutmu)’.[100] Menurut Ibn al-‘ArabÊ, pemimpin sedemikian akan mendapatkan azab yang
lebih di Akhirat nanti, adalah seperti firman Allah dalam al-Qur’an:
Orang-orang yang kafir dan menghalangi (orang-orang
lain) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka azab di atas azab
disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.[101]
Rasulullah sendiri pernah bersabda yang maksudnya, ‘Sesiapa yang membuat
sesuatu yang buruk, baginya balasan yang sama bagi balasan kesemua yang
mengikutnya sampai ke hari Kebangkitan tanpa sedikitpun dikurangi’.[102]
Bahkan,
menurut Ibn al-‘ArabÊ, ‘agama hawa nafsu’ ini terlembagakan di kalangan Yahudi
dan Nasrani,[103] yang akibatnya (antara lainnya) kebenaran Nabi Muhammad tersembunyi
dari para pengikut Ahl KitÉb; seolah-olah ada hijab yang menutupi antara mereka
dan kebenaran Nabi. Sekiranya mereka terus berpegang teguh kepada kekeliruan
tersebut tanpa benar-benar berfikir mengenai bukti-buktinya, mereka telah
lengah lagi lalai (al-mufarritËn) akan kebenaran Rasulullah, dan dengan
demikian juga dipanggil kafir. Walaupun mereka mengklaim bahwa mereka yakin
terhadap Keesaan Tuhan, pandangan mereka terhadap Muhammad telah menyebabkan
mereka menyimpang hingga menolak Tuhan al-Haqq secara aniaya dan sombong.[104] Menurut Ibn al-‘ArabÊ,[105] pada Hari Kebangkitan, bila kebencian orang-orang kafir yang seperti
ini terhadap Rasulullah lenyap,
mereka akan berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku
mengambil jalan bersama-sama Rasul (ittakhadhat ma‘a ’l-RasËl sabÊl).
Celakanya aku! Aduhai kiranya aku (dulu) tidak mengambil si fulan itu teman
karib (attakhidh fulÉn khalÊl). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku
dari Peringatan [yang datang dari Tuhan dibawa oleh Muhammad] ketika Ia sampai
kepadaku.’[106]
supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat
besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap
Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan
[Rasul dan sunnahnya]!’[107]
Ibn al-‘ArabÊ juga berpendapat bahwa, di Akhirat, orang-orang yang tidak
percaya kepada Rasul dan Sunnahnya akan berdukacita, sedih dan gentar akibat
kelalaian mereka terhadap Rasululah saw dan memperolok-olokkannya.[108] Ibn al-‘ArabÊ juga berpendapat bahwa orang-orang kafir yang disebutkan
di dalam ayat 6—7 surah al-Baqarah adalah lebih merujuk golongan pengikut
daripada golongan pemimpin, meskipun ia jelas boleh dikenakan kepada kedua
golongan tersebut.[109]
Kekafiran kaum Mushrikin perlu dibedakan dengan kekafiran
Ahl Kitab. Kaum Mushrikin yang menyangkal Tuhan Yang Haqq Yang Mahaesa, telah
bersalah terhadap kedua-duanya—bersalah kepada Tuhan dan semua para Rasul
utusanNya. Menurut Ibn al-‘ArabÊ, sebab itulah dalam Shari‘ah Islam, kaum
Mushrikin tidak dilindungi daripada dibunuh dalam Perang; karena, mereka bersalah
terhadap Tuhan yang Mahaesa (al-tawhÊd) dan kebenaran para Rasul, kaum
Mushrikin tidak memiliki suatu apa pun sandaran yang benar (al-mustanad).[110] Sedangkan kesalahan orang-orang kafir dalam kalangan Ahl Kitab bermula
dari pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad. Oleh sebab inilah, seperti
firman Allah Ta‘ala dalam al-Tawbah, 9: 29, mereka telah menjadi “Yakni,
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah (Yang mengutus Baginda), dan tidak
kepada hari Akhirat, dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama Yang Haqq.”
Bagaimanapun, jika mereka percaya kepada Tuhan Yang
Satu, dan kepada Rasul-RasulNya sebelum Muhammad, secara umum terdapat alasan
yang sesuai untuk melindungi mereka daripada dibunuh dalam Perang, dan sebagai
ganti, jizyah dikenakan kepada mereka. Hak hukum yang sedemikian mengisyaratkan
bahwa dalam kekuasaan Islam, Ahl KitÉb dibolehkan—bahkan dilindungi—untuk terus
melaksanakan agama mereka. Atau lebih tepat lagi, untuk terus melaksana ‘sebagian’
agama mereka sejauh yang mereka mampu; ‘sebagian’, karena mereka mendustakan
Nabi Muhammad sedangkan ia turut diperintahkan dalam Kitab mereka.[111] Ibn al-‘ArabÊ memperingatkan kita akan kegembiraan yang terbayang di
wajah mulia Nabi Muhammad ketika mendengar bahwa tentara Romawi telah berhasil mengungguli
tentera Persia dalam tahun 6 Hijrah/ 627 Masehi. Kekafiran bangsa Persia dan
penyembah berhala adalah kesalahan terhadap Allah Yang Haqq sebagai Tuhan Yang
Satu (al-aÍadiyyah); kekafiran Kaum Romawi adalah kesalahan terhadap
Muhammad akibat penyelewengan Kitab suci yang dilakukan oleh para pemuka agama.
Shariah Islam memberi kelonggaran kepada mereka tentang pengenalan mereka
terhadap Nabi Muhammad, sementara hak Allah Ta‘ala terus kukuh dengan
kepercayaan mereka kepada aÍadiyyahNya.[112]
Justru, sanggahan Islam terhadap Ahl al-Kitab
adalah karena mereka beriman kepada yang sebagian (yakni kepada Tuhan Yang Satu
dan kepada sebagian dari para rasul), dan kafir terhadap sebagian yang lain (yaitu
kebenaran Nabi Muhammad), serta bermaksud (dengan pernyataan itu) mengambil
jalan lain antara yang demikian (yaitu beriman sepenuhnya atau kafir
sepenuhnya).[113] Sehubungan itu, Rasulullah saw telah memerintahkan orang-orang Islam
agar menyanggah Ahl al-Kitab dengan menyebut masalah-masalah hukum tertentu. Dengan
kata lain, Kaum Muslimin tidak
menyanggah Ahl al-Kitab secara mutlak dalam semua hal. Ada beberapa hal yang
sesuai dan sejajar dalam agama Islam dengan agama Ahl al-Kitab.[114]
Hanya Satu Agama Sempurna
(Islam); Banyak Agama Tidak Lengkap
Ibn al-‘ArabÊ meyakini bahwa hanya Islam agama yang
sempurna, dan agama lain tidak. Kesempurnaan merujuk kepada kesempurnaan naÎÎ,
dalil, atau teks Agama. Ibn al-‘ArabÊ menegaskan firman Allah ‘Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’ sebagai satu ketetapan mengenai
kesempurnaan Agama Islam yang tidak perlu penambahan. Hukum atas segala masalah
telah terangkum sempurna dalam ketetapan Allah dan Rasul. Hanya saja
dalil-dalil sesuatu permasalahan perlu dipelajari melalui ijtihad yang bersandar
kepada al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma‘.[115] Renungan terhadap pengertian ijtihad akan nass dan dalil menunjukkan
bahwa hanya dengan penelitian yang mendalam terhadap al-Qur’an, Sunnah dan Ijma‘,
maka Kehendak Allah terhadap hamba-Nya terbukti, diketahui dan dikenali. Kaum
Muslimin harus sentiasa merujuk kepada tiga sumber tadi.[116] Justeru bagi Ibn al-‘ArabÊ mereka yang beriman akan menurut syarat ijtihad
dengan pemeliharaan yang semestinya (haqq ri‘Éyah) sementara mereka yang
fasiq tidak.[117] Lantaran kesempurnaan Islam yang turut mengandung agama-agama para Nabi
sebelum Muhammad, berikutlah pula hukum bagi orang Islam yang murtad:
Sesiapa antara kalian murtad dari Agamanya dan mati
Sesungguhnyalah
dia mendustakan semua agama [para Nabi];
Karena Agama [para Nabi] itu intinya ‘aynnya
satu. Agama [para Nabi] tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lain….
Sesungguhnya, Agama itu dikerjakan melalui Shara‘nya
melaluinya Hukum Agama datang dari Musharri‘nya.[118]
Berbeda dengan itu, menurut Ibn al-‘ArabÊ,
orang-orang Nasrani dan semua Ahl al-KitÉb, apabila
memeluk Islam, tidak merubah agama, karena memang bagian dari agama mereka
memerintahkan iman terhadap Muhammad sallallÉhu‘alayhi wasallam,
dan menganut shari‘ahnya ketika Nabi diutus, dan bahwa risalah Nabi itu untuk
semua. Maka dari itu tidak seorangpun penganut agama menukar [ketaatan]
agamanya jika dia memeluk Islam.[119]
Ibn al-‘ArabÊ juga berpendapat bahwa penambahan
terhadap ‘agama’ membuktikan bahwa institusi agama tersebut adalah tidak
sempurna (naqÎ), yaitu mengandung aib, cacat dan cela.[120] Penambahan seperti itu, dalam istilah Ibn al-‘ArabÊ,[121] adalah al-shar‘ alladhÊ lam ya’dhan bi-hi AllÉh (shari‘at agama
yang tidak diizinkan Allah).[122] Ia satu perbuatan kafir dan dusta (iftirÉ’) terhadap-Nya,[123] sebagaimana dalam penyelewengan Kitab Suci.[124]
Sebenarnya al-Qur’an dan Hadith telah menyatakan
bahwa para pemuka agama-agama yang datang lebih awal khususnya dari Tradisi
Bibel itu dinyatakan telah melakukan taÍrÊf (merobah kalimah dan ma‘na
asal Kitab Suci),[125] tabdÊl
(mengganti perkataan yang diTanzilkan dengan yang tidak),[126] lawa (memutarbelitkan isi Kitab Suci),[127] Ïa‘n (mencemar agama),[128] labs (mencampuradukkan yang haq dengan yang batil),[129] kitmÉn (menyembunyikan Tanzil yang haq, bayyinÉt dan hudÉ
khasnya mengenai kebenaran risalah Nabi Muhammad),[130] dan nisyÉn (melupakan sebagian isi Kitab Suci).[131] Isu tersebut dibahas oleh Ibn al-‘ArabÊ dalam ÔjÉz[132] dan FutËÍÉt.[133]
Al-MÉ’idah,
5: 48 menyatakan: ‘Kami telah turunkan kepadamu (Muhammad) Kitâb (al-Qur’an)
dengan al-haqq, membenarkan apa yang ada dari kitab-kitab (yang diturunkan
sebelum al-Qur’an), dan pengawasnya (daripada penyelewengan) (muhaymin
‘alay-hi)’. Menurut Ibn al-‘ArabÊ, antara Kalam Allah—jika masing-masingnya
dinilai sebagai Kalam Allah—tidak ada yang lebih utama (mufÉÌalah)
antara yang satu dengan yang lain; semua Kitab bersumber dari Tuhan Yang Esa (al-Kutub
kullu-hÉ min Ill WÉhid). Walaupun demikian, Ibn al-‘ArabÊ mempertegas bahwa
al-Qur’an adalah bersifat lengkap (jÉmi‘), dan justeru Kitab Suci yang
paling mencukupi (aghnÉ), lagi meyakinkan sebagai sumber petunjuk (‘wa
anta min-hu ‘alÉ yaqÊn’).
Seterusnya Ibn al-‘ArabÊ berkata: ‘Wa las-ta min ghayri-hi ‘alÉ yaqÊn, li-mÉ
dakhala-hu mina’l-tabdÊl wa’l-taÍrîf.’ ‘Dan tidaklah Kitab-Kitab Suci
selain al-Qur’an itu boleh anda anuti secara yakin disebabkan bercampurnya
dengan tabdÊ dan taÍrÊf’.[134]
Ibn
al-‘ArabÊ memetik ayat Qur’an yang berikut: (Al-Baqarah, 2: 75-6; 146-7 dan 159-60) untuk mendukung pandangannya
tentang penyelewengan Kitab Suci oleh Ahlul Kitab. Dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, ayat-ayat tersebut
menjelaskan bagaimana golongan pemuka Ahl Kitab menyembunyikan ajaran-ajaran TanzÊl—seperti
berkenaan bukti dan tanda kebenaran Muhammad, janji dan ancaman Tuhan (wa‘d
wa wa‘Êd), dan hukum agama—daripada pengikut mereka yang buta huruf (al-muqallidah
al-ummiyyËn) lagi bodoh mengenai Kitab Suci. Allah mengancam mereka dengan
siksa yang pedih di Akhirat.[135]
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah
diturunkan Allah daripada al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit,
mereka itu sebenarnya tidak memakan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah
tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka
dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (Al-Baqarah, 2: 174).
Meskipun ayat ini bersifat umum, tapi menurut Ibn al-‘ArabÊ
ia merujuk Ahl al-KitÉb, yaitu Ahl
al-TawrÉh dan InjÊl.[136] ‘Menjualnya dengan harga yang sedikit’ merujuk
kepada perbuatan mereka yang menyembunyikan ajaran TanzÊl yang
sesungguhya demi harta dan kedudukan sebagai tokoh agama.[137]
Bible banyak memuat cerita-cerita kesalahan (zallÉt), cela (mathÉlib) dan
skandal (nuqlah) para Nabi.[138] Bible juga merekam cerita-cerita dusta seperti Nabi
Lut berzina dengan anak-anak perempuannya,[139] Nabi Dawud berzina dengan isteri orang lain dan
kemudian membunuh suaminya dengan tipu daya,[140] dan lain-lain.[141] Padahal, dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, cerita-cerita tersebut tidak wajar dikaitkan dengan
Allah dan para RasulNya;[142] bahkan, tidak ada satu nass pun yang serupa dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah.[143] Islam mendorong sikap hormat terhadap para nabi, dan
rasa malu kepada Allah.[144] Ibn al-‘ArabÊ menamakan cerita-cerita tersebut sebagai
‘kecelakaan’ (al-tÉmmÉt)[145] dan ‘bencana’ (al-tawÉm), yang berasaskan
ta’wil busuk (ta’wÊlÉt fÉsidah) dan sumber yang tidak menentu (asânîd
wâhiyah), datangnya dari mereka yang mengejek dan memperolok Tuhan; yaitu
pendustaan buatan Yahudi yang dilaknat Tuhan (al-yahËd la‘ana-hum AllÉh),[146] dan Nasrani.[147] Ibn al-‘ArabÊ mengingatkan bahwa cerita-cerita seperti
itu adalah termask dosa besar (akbar al-kabÉ’ir)[148] yang akan menyebabkan seseorang dibenci dan dijauhi
malaikat, serta dimurkai Allah.[149] Kalangan yang lemah iman bias mencari-cari
justifikasi untuk berbuat maksiat dari cerita-cerita seperti itu.[150]
Ibn al-‘ArabÊ menyalahkan institusi Agama Yahudi dan
Kristen yang menyekutukan Allah dengan sesuatu.[151] Ibn al-‘ArabÊ menganggap kaum Yahudi telah berdusta besar[152] dengan menuduh Maryam sebagai pezina dan Isa sebagai anak haramnya.[153] Ibn al-‘ArabÊ juga menganggap kaum Kristen itu kafir, dusta (sabb),
berlebihan dalam beragama (al-ghuluww), kasar dan buta akan hakikat dan
kebenaran. Ini dikarenakan oleh keyakinan mereka bahwa Isa itu berdwi-sifat, yaitu
anak seorang lelaki (Joseph) dan Anak Tuhan, dan bahwa Isa itu Tuhan.[154] Begitu juga nasib ekslusifisme (al-iqtiÎÉr) penganut agama
Yahudi dan Kristen.[155] Trinitas adalah kafir, dusta (mayn),[156] dan sesat (al-ÌalÉl);[157] begitu juga pengkultusan Maryam.[158] Pensaliban Isa tidak pernah terjadi; ia hanya pembohongan sejarah.[159] Orang Kristen dan icon (sËrah) salib yang disamakannya dengan
Tuhan (mithl) adalah antara makanan Jahannam (Íasabu Jahannam).[160]
Agama adalah Penyerahan Lahir dan Batin kepada
Allah
Penegasan bahwa sikap berserah diri mestilah
bersifat lahir dan batin adalah karena dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, firman Allah
(al-khitÉb) kepada manusia adalah secara simultan atau serentak kepada lahir
dan batin mereka.[161] Setiap hukum yang disyariatkan kepada lahir manusia—yaitu
perbuatan-perbuatan yang boleh ditangkap secara inderawi (af‘Él mahÎËÎah)—mempunyai
aspek-aspek ma‘nawi batinnya. Ibn al-‘ArabÊ menyanggah golongan Bâtiniyyah yang
hanya menerima aspek-aspek batin hukum shariah dan meninggalkan aspek-aspek lahirnya;
bagi Ibn al-‘ArabÊ, mereka sebenarnya menelantarkan hukum syariah (ta‘ÏÊl aÍkÉm
al-shar‘), meruntuhkan dasar agama yang disyariatkan (hadm qÉ‘idah dÊniyyah
mashrË‘ah), dan menyimpang dari kehendak Allah (‘udËl ‘ammÉ arÉda al-ShÉri‘ bi’l-aÍkÉm). Ibn
al-‘ArabÊ menyatakan bahwa, Batiniyyah adalah golongan yang tercela secara
mutlak (madhmËm bi’l-iÏlÉq);[162] mereka adalah golongan yang paling bodoh mengenai ÍaqÉ’iq (ajhal
al-nâs bi’l-haqÉ’iq).[163] Barangsiapa yang bodoh mengenai yang lahir, maka akan lebih bodoh lagilah
dia mengenai yang batin; ini karena, yang lahir adalah penunjuk (al-dalÊl)
kepada yang batin—siapapun yang lalai mengenai yang lahir, maka lebih jauhlah
dia daripada yang batin.[164] Ibn al-‘ArabÊ turut menyangkal pandangan golongan Zahiri yang begitu kaku
dengan lahiriah teks sehingga mempersamakan Tuhan dengan manusia (al-tajsÊm
wa’l-tashbÊh); mereka turut tercela dalam Syara‘. Posisi tengah adalah
posisi terbaik, yang bakal mengesahkan Cinta Allah Yang Haqq (maÍabbat al-×aqq,
maÍabbat AllÉh), dan Kebahagiaan yang berkekalan (al-sa‘Édah al-dÉ’imah),
adalah dengan menelusuri jejak dan langkah perjalanan Rasulullah atas tiap-tiap
keadaan, persis seperti perintah-Nya agar Nabi-Nya berkata, ‘Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu’.[165] Jadi, dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, agama itu sinonim dengan pengikutan
Nabi (al-ittibɑ), ketaatan kepada Rasul (al-tɑah), mencontohi
Nabi (al-iqtidÉ’), meneladani Rasul (al-ta’aÎÎÊ), mengikuti Nabi
(al-i’timÉm), dan menerima ajaran Rasul dengan tulus (al-iqbÉl).[166]
Kesimpulan
Dari kajian terhadap karya-karya Arabi yang telah disampaikan
diatas maka jelaslah bahwa Ibn Arabi bukanlah pluralis ataupun menyokong faham
pluralisme agama seperti yang dituduhkan oleh para orientalis, kalangan pluralis
dan transedentalis. Jikapun para pendukung pluralisme agama yang menyitir pernyataan
Ibn Arabi yang nampak mendukukng faham mereka, itu tidak lebih dari hasil
kajian fragmentatif alias tidak utuh. Padahal jelas sekali bahwa menurut Ibn
Arabi hukum agama yang dibawa oleh seorang nabi habis masa berlakunya ketika
datang nabi yang lain. Bertarti dengan datangnya Nabi Muhammad atau zamÉn
Muhammad hukum nabi-nabi sebelumnya pun berakhir. Bahkan menurut Ibn Arabi
orang-orang Kristen, Yahudi dan pemeluk agama lain adalah termasuk kafir karena
mengingkari Perintah Tuhan dan mendustkan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah
saw. Dari kajian terhadap pandangan Ibn Arabi tentang agama-agama diatas dapat
diambil pelajaran bahwa pengertian agama meliputi makna kepercayaan (ÊmÉn) yang
memancar dalam berbagai dimensi pengalaman, baik ritual, mistik, maupun
pengalaman hidup dan kehidupan duniawi. Jika kaum pluralis mencari titik temu
agama-agama dengan membuat perbandingan hanya berdasarkan kriteria mereka
sendiri tanpa melihat realitas kepercayaan yang ada pada agama-agama itu maka
perbandingan itu tidak valid. Perbandingan yang valid tentunya melibatkan
akidah dasar dan aplikasinya dalam aspek ritual, moral dan pengalaman batin
agama-agama tersebut. Sekalipun hal itu dilakukan perbedaan antar agama itu
akan lebih menonjol ketimbang persamaannya, yang berarti pluralisme agama itu
hanyalah rekaan akal belaka. Wallahu a'lam bi'l-sawâb.
[1] Sani
Badron adalah mahasiswa program doktor bidang pemikiran Islam di ISTAC, Kuala
Lumpur.
[2] FusËs al-×ikam wa’l-KhuÎËÎ al-Kalim, ed.
AbË al-‘AlÉ ‘AfÊfÊ, 2 jil. dlm. 1 (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘ArabÊ, 1946, edisi
kedua 1980), 1: 94. Bagi Ibn al-‘ArabÊ, Shar‘ adalah sinonim dengan amr al-wÉsiÏah,
al-amr al-taklÊfÊ dan al-amr al-jalÊ. Lihat Bab 8 FusËs
dan Naqsh al-FusËs, dlm. RasÉ’il Ibn al-‘ArabÊ, 2 jil. dlm. 1 (Hyderabad-Deccan: The DÉ’iratu’l-Ma‘Êrifil-Osmania,
1948), jil. 2, risalah no. 27; al-FutËÍÉt al-Makkiyyah fÊ Ma‘rifat al-AsrÉr
al-MÉlikiyyah wa’l-Mulkiyyah, 4 jil. (Cairo: 1911. Cetak ulang, Beirut: DÉr
ØÉdir, t.t.), 2: 218, 588; 3: 217; 4: 350.
[3] FutËÍÉt, 1:
668.
[4] FutËÍÉt, 4: 445.
[5] Lihat, contohnya, Mortimer J. Adler, Truth in
Religion: the Plurality of Religions and the Unity of Truth (New York:
Collier, 1990), 45-46.
[6] Lihat, misalnya, FutËÍÉt, 2: 70 (baris 7).
[7] ÔjÉz al-BayÉn fÊ’l-Tarjamah ‘an al-Qur’Én, dicetak
dalam jil. 1, RaÍmah (lihat nota 8 di bawah), 318. Istilah ummah wÉÍidah yang digunakan oleh
Ibn al-‘ArabÊ adalah dari al-Baqarah, 2: 213.
[8] Ayat 172 al-A‘rÉf ini sering kali ditemui
dalam FutËÍÉt. Petikan penuh atau sebagiannya tidak kurang tiga belas
tempat: 1: 381 (baris 28), 670 (baris 15); 2: 70 (baris 11), 170 (baris 30),
247 (baris 19), 618 (baris 24); 3: 23 (baris 26), 248 (baris 30), 284 (baris
34); 4: 57 (baris 9), 122 (baris 21), 133 (baris 17), 254 (baris 12), 268
(baris 16). Dipetik juga dalam kitab ‘Uqlat al-Mustawfidh, dlm. Kleinere Schriften des Ibn al-‘Arabî,
ed. H. S. Nyberg (Leiden: E. J. Brill, 1919), 39-99, di hal. 97. Juga terbayang
isharatnya dalam FutËÍÉt, 2: 213 (baris 8), 690 (baris 30); 3: 566
(baris 1); 4: 58 (baris 15), 349 (baris 22). Untuk tafsiran Ibn al-‘ArabÊ,
lihat, contohnya, RaÍmah min al-RaÍmÉn fÊ TafsÊr wa IshÉrÉt al-Qur’Én min
KalÉm al-Shaykh al-Akbar MuhyÊ’l-DÊn Ibn al-‘ArabÊ, dikumpul dan disusun
oleh MaÍmËd MaÍmËd al-GhurÉb, 4 jil. (Damascus: MaÏba‘ah
Nadr, 1410/1989), 2: 186-90.
[9] Lihat, khususnya, FutËÍÉt,
3: 24 (baris 13).
[10] ÔjÉz al-BayÉn, al-Baqarah, 2: 213,
318.
[11] Muttafaq ‘alayh: BukhÉrÊ, al-ØaÍÊÍ,
JanÉ’iz, 80 dan 92, TafsÊr, 30: 1; Muslim, al-JÉmi‘ al-ØaÍÊÍ, Qadar,
22-14. Mengenai sumber hadith ini, lihat Su‘Éd al-×akÊm, Al-Mu‘jam al-ØËfÊ:
Al-×ikmah fÊ ×udËd al-Kalimah (Beirut: Dandarah li’l-ÙibÉ‘ah wa’l-Nashr),
1267n37; A.J. Wensinck et. al., Concordance et Indices de la Tradition
Musulmane, 6 jil. (Leiden: E.J. Brill, 1936-1969), 5: 179-80. Ibn al-‘ArabÊ
membahas hadith ini dalam FutËÍÉt, 1: 670 (baris 15-18); 2: 70 (baris
11), 170 (baris 30), 616 (baris 20), 690 (baris 31); 4: 57 (baris 10); ‘Uqlat al-Mustawfidh, 97.
[12] Lihat FutËÍÉt, 1: 57 (baris 27), 381 (baris
28); 4: 57 (baris 11); juga 3: 378 (baris 1). Selanjutnya lihat FutËÍÉt,
2: 690 (baris 30) dan 3: 24 (baris 31), 117 (baris 9).
[13] FutËÍÉt, 3: 284 (baris 33) dan 4: 268
(baris 12).
[14] Lihat penjelasan menarik FutËÍÉt, 3: 284
(baris 33 dan seterusnya), juga 4: 122 (baris 21).
[15] Ayat yang dibahas
adalah al-Mu’minËn, 23: 117, disinggung di dalam FutËÍÉt,
1: 405, 2: 412, 477, 559, 612; 409, 3: 71, 94, 285
(baris 2 dan seterusnya), 309.
[16] Lihat selanjutnya FutËÍÉt, 3: 381. Semua
manusia berasal dari diri yang satu (nafs wÉÍidah), lihat al-NisÉ’,
4: 1; al-An‘Ém, 6: 98; al-A‘rÉf, 7: 189; dan al-Zumar, 39:
6.
[17] Mengenai tawÍÊd menerusi akal, lihat Souad
Hakim, “Knowledge of God in Ibn al-‘ArabÊ,” MuÍyiddÊn Ibn ‘ArabÊ: A
Commemorative Volume, ed. Stephen Hirtenstein dan Michael Tiernan (Element:
Dorset, 1993), 269-70 (‘…for Ibn al-‘ArabÊ, intellectual, or philosophical
reason is incapable of knowing God in an efficient way….’), 277-78 (‘Intellect
knows God in an abstract, purified manner, and is unable to describe Him….’).
Harus dicatat bahwa Mortimer J. Adler, How to Think about God: A Guide for
the 20th-Century Pagan (Collier: New York, 1980), 154, mengakui
bahwa ‘natural theology is very, very thin’, sambil memetik William
Temple, archbishop of York, bahwa natural theology ‘ends in a hunger
which it cannot satisfy.’
[18] ÔjÉz, 318-20, tafsir kepada al-Baqarah, 2:
213.
[19] ÔjÉz, 318-20.
[20] FutËÍÉt, 1: 325 (baris 4).
[21] FutËÍÉt, 2: 257 (baris 17).
[22] FutËÍÉt, 1: 324 (baris 32).
[23] Al-MÉ’idah, 5: 48. RaÍmah, 2: 26-8.
[24] FutËÍÉt, 3: 413 (baris 16), 414
(baris 18), 4: 444 (baris 2); ÔjÉz, 32. Berikut saya terjemahkan istilah
Arabnya: selubung: al-a‘mâl
al-sâriyah; titik-temu: ijtimâ‘; ciri-penghimpun: al-sifah
al-jâmi‘ah atau amr jâmi‘.
[25] FutËÍÉt, 2: 414 (baris 15), 3: 413 (baris 16).
[26] FutËÍÉt, 4: 444 (baris 2).
[27] FutËÍÉt, 3: 413 (baris 16)
[28] FutËÍÉt, 2: 414 (baris 14).
[29] FutËÍÉt, 2: 217 (baris 5). Juga 3: 164
(baris 33).
[30] FutËÍÉt, 1: 324 (baris 32). Sebab-sebab
mengapa ada perbedaan sharî‘ah bukan sekedar disebabkan bermacam azmân
dan ahwâl seperti yang diterangkan dalam rujukan ini, tetapi juga karena
ada berbagai (mengikut urutan) nisab ilâhiyyah, ahwâl ilâhiyyah, azmân,
harakât al-falakiyyah, tawajjuhât al-Haqq, maqâsid ilâhiyyah,
tajalliyât ilâhiyyah, yang disebabkan pula oleh ikhtilâf sharâ’i‘.
Lihat FutËÍÉt, 1: 265.
[31] FutËÍÉt, 1: 324 (baris 32).
[32] FutËÍÉt, 3: 61 (baris 16), 2: 414 (baris
14). Lihat juga 4: 131 (baris 9).
[33] Al-Ra‘d, 13: 38-9; lihat FutËÍÉt,
2:534, 552; 3: 61.
[34] Al-Shûrâ, 42: 13. Lihat sambungan ayat ini hingga
ayat 17 cukup menarik: ‘Amat berat bagi orang-orang musyrik, agama yang kamu
serukan kepada mereka dst.
[35] FutËÍÉt, 2: 414 (baris 15), 3: 413
(baris 14).
[36] Hadîth ini dipetik al-Hâfiz Ibn Kathîr, Tafsîr al-Qur’Én al-‘Azîm, 8
vols. (Istanbul: Kahraman Yayınları, 1992), 7: 182-183, riwayat Abu Hurayrah
dan dirakam al-Imâm al-Bukhârî, “Kitâb al-Anbiyâ’,” al-Jâmi‘ al-
Sahîh, 4 jil. (Dâr Sahnûn & Çagri Yayınları, 1992), dlm jil. 2, Mawsû‘at
al-Sunnah: al-Kutub al-Sittah wa Sharhuhâ, 4: 142. Untuk syarahnya, lihat
Badr al-Dîn al-‘Aynî, ‘Umdat
al-Qârî, 25 jil. dlm 12 (Beirut: Dâr Ihyâ’ Turâth al-‘ArabÊ,
n.d.), 16: 36; dan, al-Hâfiz Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî, 28
jil. dlm 14 (al-Azhar: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyah, 1978), 13: 249.
[37] FutËÍÉt, 2: 414 (baris 18), 3: 413
(baris 14), 4: 444 (baris 2).
[38] FutËÍÉt, 3: 413 (baris 14).
[39] Untuk tafsir Ibn al-‘ArabÊ kepada ØÉd, 38:
26 ini, lihat RaÍmah, 3: 509-10.
[40] FutËÍÉt, 2: 96 (baris 16).
[41] FutËÍÉt, 4: 107 (baris 5),
155 (baris 32),
[42] FutËÍÉt, 2: 96 (baris 16), 336
(baris 6); 3: 138 (baris 3, baris 18); 364 (baris 14); 4: 107 (baris 5), 155
(baris 32).
[43] FutËÍÉt, 2: 96 (baris
16).
[44] Dalam bahasa Arab, ‘menjatuhkan’ adalah ‘yahwÊ’, dari akar kata yang sama dengan hawÉ.
[45] FutËÍÉt, 2: 308 (baris 3).
[46] FutËÍÉt, 2: 336 (baris 7).
[47] FutËÍÉt, 3: 191 (baris 30).
[48] FutËÍÉt, 2: 148 (baris 11), 217 (baris 14).
[49] FutËÍÉt, 3: 191 (baris 30).
[50] FutËÍÉt, 4:
107 (baris 1, baris 5); juga 2: 336 (baris 7).
[51] FutËÍÉt, 4: 48 (baris 34). Pesan
Ibn al-‘ArabÊ, seseorang harus melihat Yang Haqq sebagai kebenaran lalu
mengikutiNya sambil memimpin dan mengawal hawa nafsunyai. RaÍmah, 3: 510
(baris 12).
[52] FutËÍÉt, 2: 148 (baris 11).
[53] FutËÍÉt, 2: 217
(baris 14).
[54] HËd, 11: 123. RaÍmah, 368-371.
[55] FutËÍÉt, 2: 148 (baris 11), 4: 48 (baris
34); juga 3: 69 (baris 19).
[56] FutËÍÉt, 3: 69 (baris 19).
[57] FutËÍÉt, 2: 191 (baris 4), 220 (baris 4),
248; 3: 164.
[58] FutËÍÉt, 4:
428 (baris 5-10). Lihat juga al-NÉzi‘Ét, 79: 40.
[59] Dalam FutËÍÉt, 4: 333 (baris 2), Ibn al-‘ArabÊ
bicara tentang Muhammad sebagai sayyid BanÊ Ódam.
[60] FutËÍÉt, 4: 206; ÔjÉz, 196, 214.
Ummat wasaÏ adalah istilah al-Baqarah, 2: 143.
[61] FutËÍÉt, 2: 124 (baris 28), 135 (baris 2);
3: 142 (baris 9);169 (baris 4), 322 (baris 10), 519 (baris 24); 4: 333 (baris 2); KitÉb Manzil al-Qutb wa MaqÉmu-hu wa
×Élu-hu, dalam RasÉ’il, jil. 2, risalah no. 19, hal. 7. Mengenai Óli
‘Imrân, 3: 110, lihat juga RaÍmah, 1: 461.
[62] Lihat mengenai istilah zamÉn MuhammadÊ
dalam FutËÍÉt, 4: 152. Lihat juga Mu‘jam, 549.
[63] Al-IsrÉ’, 17: 73-5.
[64] Al-Kahf, 18: 29.
[65] Al-Ra‘d, 13: 40.
[66] Al-Baqarah, 2: 119.
[67] Al-Baqarah, 2: 272.
[68] Al-QaÎaÎ, 28: 56.
[69] Al-Baqarah, 2: 120.
[70] Lihat ÔjÉz, 191-200. Juga, FutËÍÉt,
1: 229.
[71] Ibn al-‘ArabÊ turut menggunakan istilah ÏarÊqah,
shir‘ah, sabÊl AllÉh. FutËÍÉt, 2: 217 (baris 5). Untuk
ayat tersebut, lihat RaÍmah, 2: 119-20.
[72] FutËÍÉt, 2: 217 (baris 8), 3: 69 (baris 20)
[73] FutËÍÉt, 2: 471 (baris 12).
[74] FutËÍÉt, 2: 165 (baris 12), 217 (baris 14).
[75] FutËÍÉt, 2: 165 (baris 12), 217 (baris 14).
[76] FutËÍÉt, 2: 217 (baris 14).
[77] FutËÍÉt, 1: 329
(baris 10).
[78] FutËÍÉt, 1: 520 (baris 5). Renungkan al-IsrÉ’,
17: 15 dan al-‘AnkabËt, 29: 50-1.
[79] FutËÍÉt, 2: 620
(baris 3). Terjemahan penuh ayat tersebut: ‘Dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan beransur-ansur (ke arah
kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh
kepada mereka. Sesungguhnya rencanaKu amat teguh. Apakah mereka tidak
memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia tidak lain
hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.’
[80] FutËÍÉt, 3: 469 (baris 25).
[81] FutËÍÉt, 3: 145 (baris 8).
[82] FutËÍÉt, 4: 526
(baris 23).
[83] FutËÍÉt, 2: 258
(baris 12-13).
[84] FutËÍÉt, 3: 145 (baris 7-16).
[85] FutËÍÉt, 4: 526 (baris 23). Juga 3: 469
(baris 28). Cf. KitÉb al-IsfÉr ‘an NatÉ’ij al-AsfÉr, dlm. RasÉ’il,
vol. 2, risalah no. 24, 18.
[86] FutËÍÉt, 3:
379-80.
[87] FutËÍÉt, 1: 553 (baris 22).
[88] FutËÍÉt, 3: 285 (baris 20). Asal yang sahih
bagi k-f-r adalah penutupan (al-sitr wa ’l-taghtiyah), ucap Ibn FÉris
(m. 390 H), Mu‘jam al-MaqÉyÊs fÊ ’l-Lughah, ed. ShihÉb al-DÊn AbË ‘Amru
(Beirut: DÉr al-Fikr, 1994), 930-1.
[89] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 20).
[90] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 7). Lihat juga 1:
635 (baris 12); ÔjÉz, 60, 190.
[91] Terjemahannya: “‘Maka akan Aku tetapkan rahmatKu
untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Iaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi
yang ummi yang mereka dapati termaktub di sisi mereka dalam Tawrat dan Injil,
yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma‘ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada atas mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti Nur yang diturunkan
bersamanya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah (wahai
Muhammad): “Hai manusia sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepadamu semua,
yaitu (Allah) Yang bagiNya kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain
Dia, Yang Menghidupkan dan Mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan
RasulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatnya;
dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat hidayah.”’
[92] FutËÍÉt, 4: 131 (baris 15) dan ÔjÉz, 61. Peri Nabi
Muhammad dalam Perjanjian Lama, lihat, Dt. 18: 18; Dt. 33: 2; Ge. 49: 10.DV;
Ps. 45: 17; Is. 42: 1, 4; So. 5: 16, dll, dll. Dalam Perjanjian Baru, lihat,
Mt. 21: 42-44; Lk. 24: 49; Jn. 1: 19-21, 25; Jn. 7: 40-41; Jn. 14: 16; Jn. 15:
26; Jn. 16: 8-13. Injil Barnabas, hal. 33, 99, 101, 103, 105, 167, 169, 223,
381. Rujukan-rujukan ini dihurai oleh Maulana Abdul Majid Daryabadi, Tafsir-ul-Qur’an,
4 jil. (Islamabad: Islamic Book Foundation, t.t.), 2: 156-9, nn. 219-20.
[93] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 7); 3: 243 (baris
22); 4: 138 (baris 15), 526 (baris 15-22); ÔjÉz, 62. Cf. Rahmah,
3: 242.
[94] RaÍmah, 1: 448 memetik KitÉb al-TanazzulÉt
al-MawÎiliyyah.
[95] Terj. Óli ‘ImrÉn, 3: 187: ‘Dan (ingatlah),
ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (iaitu):
“Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu
menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung
mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya
tukaran yang mereka terima.’
[96] FutËÍÉt, 4: 393
(baris 20); cf. 1: 314 (baris 33ff).
[97] Óli ‘ImrÉn, 3: 78; al-An‘Ém, 6:
20-21; al-Naml, 27: 13-14; al-‘AnkabËt, 29: 47.
[98]FutËÍÉt, 1: 303
(baris 12); 354 (baris 29); 2: 28 (baris 23), 306 (baris 2), 374 (baris 23),
592 (baris 5), 3: 83 (baris 24), 243 (baris 22); 4: 138 (baris 15), 526 (baris
22); ÔjÉz, 62; cf. juga FusËs, 1: 110.
[99] Al-An‘Ém, 6:
20-21.
[100] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 25). Surat
Rasulullah kepada Herkules, Kaisar Byzantin direkam dlm. ØaÍÊÍ al-BukhÉrÊ,
vol. 4, no. 191; dan vol. 6, no. 75.
[101] Al-NaÍl, 16: 88. Lihat juga Al-‘AnkabËt,
29: 12-13.
[102] FutËÍÉt, 2: 592
(baris 25). Hadith tersebut dalam Muslim, ‘Ilm 15, ZakÉt 69; NasÉ’i, ZakÉt, 64;
dll. Untuk versi serupa, Wensinck, Concordance, 2: 552.
[103] Lihat ÔjÉz, 207, yang membuat antonim antara
dÊn ‘an ahwÉ’i-him dengan dÊn anbiyÉ’i-him. Lihat juga halaman
190. FutËÍÉt, 4: 533 memanggil Kristian sebagai dÊn al-mubÏilÊn.
[104] ÔjÉz, 62; FutËÍÉt, 1: 553-4; 2: 363
(baris 2); dan RaÍmah, 3: 242, yang memetik ‘Uqlat al-Mustawfidh, menggunakan istilah al-kuffÉr al-muqallidah.
Lihat juga FutËÍÉt, 4: 138 (15).
[105] FutËÍÉt, 3: 270 (baris 19).
[106] Al-FurqÉn, 25: 27-8.
[107] Al-Zumar, 39: 56.
[108] FutËÍÉt, 2: 278 (baris 30).
[109] ÔjÉz, 62.
[110] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 5-26); dan, 1:
553-4.
[111] FutËÍÉt, 2: 363 (baris 2), 592 (baris 25); dan 1: 553-4.
[112] FutËÍÉt, 1:
553-4; 2: 592 (baris 25); 4: 131 (baris 15).
[113] Lihat al-NisÉ’, 4: 151. Terjemahan
ayat-ayat seterusnya: ‘merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya (al-kÉfirËn
haqqan). Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan
yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasulNya dan
tidak membeza-bezakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan
kepada mereka pahala. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’
[114] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 25); dan 1: 553-4.
[115] FutËÍÉt, 3: 502;
firmanNya tersebut dalam al-MÉ’idah, 5: 3.
[116] Lihat ‘n-s-s’ dlm. TÉj al-‘ArËs min
JawÉhir al-QÉmËs, 10 jil., cetak ulang Cairo 1306-07 ed. (Beirut: DÉr
ØÉdir, c. 1980), 10: 435. Ed. terkini dlm. 40 jil. ed. (Kuwait: al-Majlis al-WaÏanÊ
li’l-ThaqÉfah wa’l-FunËn wa’l-ÓdÉb, 2001/1422).
[117] FutËÍÉt, 2:
477, 533.
[118] Terj. bebas
puisi FutËÍÉt, 4: 131 (mulai baris 6).
[119] FutËÍÉt, 4: 131 (baris 15). Lebih lanjut
mengenai aÍadiyyat al-sharÉ’i‘ dan hudÉ ’l-anbiyÉ’, lihat FutËÍÉt,
1: 134-5; 2: 134-5, 138-9; 3: 251,413.
[120] FutËÍÉt, 3: 502.
[121] FutËÍÉt, 1: 326; 3: 502; cf. 2: 58.
[122] Istilah yang terilham dari al-ShËrÉ, 42:
21, ‘Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (di samping Allah) yang
menshari‘atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah (shara‘Ë la-hum
min al-DÊn mÉ lam ya’dhan bi-hi AllÉh)?’
[123] FutËÍÉt, 1:326; 2: 58; 3:
502.
[124] Rahmah, 1: 448, yang memetik KitÉb
al-TanazzulÉt al-MawÎiliyyah.
[125] Al-Baqarah, 2: 75; al-NisÉ’,
4: 46; al-MÉ’idah, 5: 13, 41.
[126] Al-Baqarah, 2: 59; al-A‘rÉf, 7: 162.
[127] Óli ‘Imrân, 3: 78; al-NisÉ’, 4:
46.
[128] Al-NisÉ’, 4: 46.
[129] Al-Baqarah, 2: 42; Óli ‘ImrÉn, 3:
71.
[130] Al-Baqarah, 2: 42, 140, 146, 159, 174; Óli
‘ImrÉn, 3: 71, 187.
[131] al-MÉ’idah, 5: 13-14; al-A‘rÉf, 7:
53.
[132] Lihat hal. 128, 150, 219-20, 235.
[133] 2: 400; 3: 243, 351; Lihat juga RaÍmah, 1:
151, 448; 4: 155.
[134] FutËÍÉt, 4: 400. Lihat selanjutnya ÔjÉz,
7-10.
[135] ÔjÉz, 235.
[136] ÔjÉz, 249-50.
[137] Lihat selanjutnya FutËÍÉt, 4: 526;
ÔjÉz, 127.
[138] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14).
[139] Genesis 19: 33.
[140] II Samuel 11: 2-5.
[141] Lihat selanjutnya RaÍmatullÉh b. KhalÊl al-RaÍmÉn
al-Hindi, IÐhÉr al-×aqq, 2 vol. dlm. 1 jild. (Beirut: DÉr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1993/1413), 315, terj. Ing. Muhammad Wali Razi, Izhar-ul-Haq
(Truth Revealed), 4 bhgn. (London: TaHa, 1989-90), 4: 31-33.
[142] FutËÍÉt, 3: 562 (baris 3).
[143] FutËÍÉt, 3: 455, 562 (baris 3).
[144] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14).
[145] FutËÍÉt, 3: 454-5.
[146] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14); 3: 562 (baris
3).
[147] FutËÍÉt, 3: 562 (baris 3).
[148] FutËÍÉt, 3: 454-5.
[149] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14).
[150] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14), 3: 454-5.
[151] ÔjÉz, 207.
[152] FutËÍÉt, 1: 138, 223, 237, 279; 2: 70,
387-8, 417, 470, 472, 491, 689; 3: 11, 182, 347, 390, 514; 4: 116 (baris 26).
Lihat juga FusËs, 1: 138-50; K. al-IsrÉ,
199-200; RaÍmah, 3: 43-50.
[153] Mengenai dokumentasi dakwaan Yahudi seperti yang
tersebut, lihat, contohnya, Raymond E. Brown, ‘The Charge of Illegitimacy,’ The
Birth of the Messiah: A Commentary on the Infancy Narratives in the Gospels of
Matthew and Luke Narratives (London: Geoffrey Chapman, 1993), Appendix V,
534-42.
[154] FutËÍÉt, 1:
124, 191, 276, 552, 596, 652, 664; 2: 202, 387-8, 405 (baris 14), 579-80, 631;
3: 50, 149, 162, 166 (baris 26), 267, 274, 278, 350, 375-6, 398-9, 445; 4: 93
(baris 29), 387 (baris 8), 410 (baris 10), 437 (baris 19); FusËs, 1:
141, 146-7.
[155] FutËÍÉt, 2: 405; 3: 162; 4: 93 (baris 29)
[156] FutËÍÉt, 4: 370 (baris 22).
[157] FutËÍÉt, 4: 382 (baris 28). Lihat bantahan
terhadap Trinitas dalam 2: 215; 3: 499; 4: 306 (baris 31), 370 (baris 19).
[158] FutËÍÉt, 2: 631; 3: 267, 278, 354; 4: 410
(baris 10).
[159] FutËÍÉt, 2: 205, 388 (baris 6); 4: 117
(baris 5)
[160] Al-Qism al-IlÉhÊ, dalam RasÉ’il,
jil. 1, risalah no. 9, hal. 16.
[161] FutËÍÉt, 1: 334, 338.
[162] FutËÍÉt, 3: 240.
[163] FutËÍÉt, 3: 373.
[164] FutËÍÉt, 4: 152.
[165] FutËÍÉt, 3: 240.
[166] FutËÍÉt, 1:
463, 486, 637, 717; 2: 32, 341, 498; 3: 321, 414; 4: 102, 105, 270, 348, 414,
456.