Kamis, 25 April 2013

Ibn al-'Arabi, Tentang Pluralisme Agama


by: Sani Badron[1]
Pendahuluan
Ibn al-‘ArabÊ adalah tokoh Sufi yang oleh kelompok pluralis sering diklaim sebagai pendukung gagasan pluralisme agama. Padahal, seperti yang akan di jelaskan nanti, pemahamannya tentang agama tidak seperti yang mereka kutip selama ini. Ibn al-‘ArabÊ mendefinisikan agama yang ada pada kata dÊn dan islÉm sebagai ‘kepatuhan (al-inqiyÉÌ) kepada SharÊ‘ah,[2] yaitu ‘kepatuhan lahir dan batin terhadap seruan al-×aqq, menurut kriteria yang telah ditentukan-Nya.’[3] Makalah ini akan mengekplorasi definisi tersebut menjadi empat, yaitu: (1) berserah lahir dan batin; (2) oleh manusia yang patuh; (3) kepada Tuhan yang dipatuhi; (4) mengikut tatacara patuh kepada-Nya, --sebagaimana yang diistilahkan oleh Ibn al-‘ArabÊ sendiri--SharÊ‘ah dan MinhÉj para Nabi-Nya. Bahkan Ibn al-‘ArabÊ pernah menegaskan definisi Agama sebagai ‘Hukum Allah untuk Masa Tertentu, yang diturunkan dalam setiap zaman kerasulan, dan disampaikan kepada tiap-tiap masyarakat rasul tersebut’ (al-DÊn huwa Shar‘ al-waqt fÊ kull zamÉn wa millah).[4] Pada umumnya, tinjauan disiplin filsafat agama adalah terkait dengan bentuk ‘agama’ yang tersusun-teratur dan terlembaga dalam masyarakat (organized and institutionalized religions that involve communities).[5]

Manusia Yang Patuh Beragama

Bagi Ibn al-‘ArabÊ, dalam mengakui akan wujud, keesaan dan kesucian Yang Maha Pencipta,[6]  manusia itu asalnya satu umat (ummah wÉÍidah).[7] Makna asal ikrar mutlak ini terletak pada Penjanjian mereka dengan Tuhan, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an:
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan daripada Anak Adam—dari belakang mereka—zuriat mereka dan menyuruh mereka mengangkat saksi terhadap diri mereka dengan berkata: ‘Bukankan Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Bahkan, kami saksikan!’[8] 

Sesungguhnya manusia itu, seperti yang tertera dalam ayat diatas, telah menyatakan ikrar atau taÎdÊq mutlak akan kewujudan Allah sebagai al-×aqq (Yang Mahabenar), al-Rabb (Tuhan), Raja (MÉlik), dan Tuan (Sayyid). Ini juga merupakan ikrar akan kehambaan (ubËdiyyah) kepada-Nya dan ikrar akan tidak ada sekutu (sharÊk) bagi-Nya.[9] Bagi Ibn al-‘ArabÊ, ikrar ini merupakan fitrah manusia yang diciptakan Allah,[10] sebagaimana sabda Rasulullah saw, ‘setiap anak adalah dilahirkan dalam fiÏrah,[11] menjadikan manusia hamba kepada al-Rabb, menafikan selain-Nya.[12] Oleh sebab itu, bukti manusia mengabdi kepada Allah adalah dengan menunaikan tanggungjawabnya;[13] taat kepada Allah Yang menguji melalui perintah dan larangan.[14]

Tuhan Yang Dipatuhi         
I‘tiqÉd manusia mengenai Tuhan itu oleh Ibn al-‘ArabÊ disebut  sebagai azÊmat al-fÉ’idah ÎaÍÊÍat al-aÎl. Allah telah memberi manusia akal untuk merenung, berfikir dan mengambil i‘tibar. Bagaimanapun, manusia menanggapi dengan cara yang berbeda. Ada yang jadi musyrik dan ateis (mu‘aÏÏil) karena menuruti orang lain tanpa menggunakan akalnya sendiri. Ada pula yang musyrik dan mu‘attil setelah mereka merenung, berfikir dan mengambil i‘tibar. Ada juga yang mengetahui keesaan Allah tetapi tanpa iman kepada Rasul karena tidak diutus Rasul kepadanya, atau karena mereka hidup sewaktu fatrah, yakni ketika pengutusan rasul-rasul itu terputus. Ada yang mengetahui keesaan Penciptanya tetapi tidak beriman kepada Rasul yang diutuskan kepadanya. Malah yang bertawhid melalui iman kepada Rasul pun memiliki berbagai martabat. Masing-masing akan dibalas oleh Allah dengan selayaknya.[15] Dalam hubungan sesama manusia bagi Ibn al-‘ArabÊ  sikap shafaqah kepada ciptaan Allah, dan raÍmah terhadap hamba-hamba-Nya adalah wajib. Maka dari itu bagi seorang Muslim, seseorang yang kafirpun adalah saudaranya yang berasal daripada diri yang satu (nafs wÉÍidah); seseorang yang beriman pula adalah saudara dalam agama (dÊn) dan pertolongan (si‘Éd).[16]
            Apa yang diketahui oleh akal mengenai Tuhan, tidaklah sejelas apa yang diketahui melalui TanzÊl.[17] Berbagai aliran muncul karena perbedaan faham, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi khabar gembira kepada mereka yang betul dalam renungannya, dan pemberi peringatan kepada yang tersalah agar kembali kepada yang benar; kepada mereka ini para Nabi menjelaskan yang benar dan yang salah.[18]

Para Rasul-Nya, Kitab, dan Shari’ah       
Menurut Ibn al-‘ArabÊ, Allah menurunkan Kitab-Kitab yang Íaqq melalui para Nabi, dengan tujuan untuk menyelesaikan perselisihan di antara manusia. Oleh karena itu hakim yang memutuskan perselisihan tersebut adalah Allah sendiri.[19]  Selain itu, sharÊ‘ah dan Kitab-kitab para rasul dan anbiya’ diturunkan supaya manusia mengenal Allah lebih dari apa yang dicapai melalui renungan akal.[20] Oleh karena itu risalah yang dibawa oleh para Rasul itu terbagi menjadi dua: pertama, perkhabaran mengenai Zat-Nya, Sifat-sifat Suci-Nya, dan Sifat-sifat Perbuatan-Nya; kedua, mengenai perintah dan larangan-Nya, yang merangkumi wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.[21] Para rasul menetapkan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah, memberitahu apa-apa yang diciptakan Allah, yang tidak terdapat dalam pengetahuan manusia, dan apa yang akan terjadi antara mereka dengan Tuhan pada masa yang akan datang, seperti; kebangkitan (al-ba‘th), kiamat (al-nushËr), perhimpunan (Íashr), syurga (al-jannah), neraka (al-nÉr). Ini adalah masalah asas yang menjadi sandaran (mustanad) dan pertimbangan (mu‘abbar) dalam agama.[22]
Petunjuk Qur’an yang utama dalam hal ini adalah: ‘Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu (para Rasul) Kami tetapkan aturan (shir‘ah) dan jalan yang terang (minhÉj).’[23] Bagi Ibn al-‘ArabÊ, minhÉj merujuk kepada ‘selubung’ atau ‘titik-temu’ atau ‘ciri-penghimpun’ kesemua agama para Nabi (dÊn al-anbiyÉ’),[24] seperti mengesakan Allah, bersatu dalam menegakkan hukum-hukum-Nya, dan mengabdikan diri kepada-Nya.[25] Dalam tiga hal  ini Allah tidak membedakan antara satu nabi dengan lainnya, tidak pula melebihkan ajaran-Nya kepada seseorang nabi dan mengurangkan pada nabi yang lain (q.v. ‘mÉ thamma amr zÉ’id).[26] Meskipun tidak ada tambahan apa-apa (amr zÉ’id), namun terdapat beberapa perbedaan (ikhtilÉf) mengenai hukum antara para Rasul. Ini mencakup bidang Shir‘ah,[27] yakni ketetapan amal (ta‘yÊn al-a‘mÉl),[28] yang ditentukan oleh Allah (maj‘Ëlah bi-ja‘l AllÉh).[29]
Rasul-rasul diutus dengan berurutan (tatÉbu‘) dalam zaman dan keadaan yang berbeda.[30] Tiap-tiap rasul membenarkan pula sahabatnya yang lain yang datang dalam zaman dan keadaan yang lain. Meskipun terdapat perbedaan dari segi hukum, tapi perselisihan dalam masalah-masalah uÎËl sama sekali tidak terjadi.[31]
Hukum agama yang ditetapkan Allah melalui para Rasul-Nya habis masa berlakunya dengan datangnya hukum Rasul-Nya yang lain (naskh).[32] Allah berfirman, ‘Bagi tiap-tiap masa (ajal), ada Kitab [yang ditanzilkan], Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nyalah terdapat Umm al-Kitab.’[33] Sebab itu bagi Ibn al-‘ArabÊ, seperti disinggung diatas agama adalah ‘Undang-Undang Allah untuk Masa Tertentu, yang ditanzilkan dalam setiap zaman kerasulan, dan kepada tiap-tiap masyarakat rasul tersebut’ (al-DÊn huwa Shar‘ al-waqt fÊ kull zamÉn wa millah). Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an:
Dia telah menshari‘atkan bagi kalian mengenai agama (shara‘a lakum mina’l-DÊn) apa yang telah Dia pesankan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami pesankan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya.[34]
Ibn al-‘ArabÊ mengaitkan ayat ini dengan salah satu bab dalam kitab Imam Bukhari, bÉb mÉ jÉ’a al-anbiyÉ’ dÊnu-hum wÉÍid.[35] Rasulullah saw bersabda: ‘Al-anbiyÉ’ ikhwatun li-‘allÉtin, ummahÉtuhum shattÉ wa dÊnu-hum wÉÍid (Para Nabi adalah saudara sebapa. Ibu mereka berlainan, dan agama mereka satu).[36] Setiap agama para Nabi adalah satu (dÊn al-anbiyÉ’ wÉÍid).[37] Maksudnya, semua agama datangnya dari Allah, walaupun dengan ingatan bahwa terdapat beberapa perbedaan shari‘ah.[38]
Bagi Ibn al-‘ArabÊ tidak dibolehkan bagi seseorang itu melampaui amalan-amalan yang dishari‘atkan Allah. Ibn al-‘ArabÊ mengingatkan bahwa shari‘ah para Nabi itu berbeda, ada perkara yang diharamkan oleh Allah dalam shari‘ah seseorang Nabi, yang kemudian shariah tersebut dihalalkan-Nya. Shari‘ah yang datang terkemudian menghapuskan shari‘ah yang terdahulu. Siapa yang hidup dalam zaman sesudahnya, tetapi menuruti apa-apa yang telah dihapuskan dalam shari‘ah yang terdahulu, maka dia telah menuruti hawa nafsunya, seperti firman Allah,
Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan yang haq, dan “janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.[39]
Bagi Ibn al-‘ArabÊ, ayat ini adalah perintah mutlak untuk melaksanakan perintah Allah (tamshiyati awÉmir AllÉh wa infÉdh kalimÉti-Hi lÉ ghayr).[40] Ibn al-‘ArabÊ menjelaskan bahwa makna ‘yang haq’ dalam ayat ini adalah wahyu yang ditanzilkan Tuhan,[41] Sedangkan ‘al-hawÉ merujuk kepada kesukaan atau keinginan diri (sama ada diri sendiri ataupun diri orang lain) yang tidak menepati perintah atau larangan shari‘ah yang diwahyukan,[42] yang merupakan hukum al-Haqq.[43] Hawa nafsu hanya menjatuhkan[44] seseorang dari derajat khilÉfah[45] karena hawa nafsu merusak dan membutakannya hingga tidak dapat memutuskan sesuatu menurut tuntutan jalan yang dishari‘atkan Allah.[46]

Mendebat Relativis Tentang Nabi Muhammad & Shariatnya

Ibn al-‘ArabÊ akan menolak pendapat yang menyatakan bahwa semua manusia, menuju Allah[47] dengan jalan masing-masing.[48] Bagi Ibn al-‘ArabÊ, ‘sabÊl AllÉh yang tertera dalam ayat 26 surah ØÉd[49] adalah shari‘at Allah secara khusus kepada seseorang Nabi untuk umatnya,[50] demi kebahagiaan mereka di Akhirat (dÉr al-qarÉr).[51]
Meskipun semua jalan itu menuju Allah, karena Allah adalah Ujung Terakhir Yang Penghabisan (muntahÉ,[52] ghÉyah[53]) dan ‘kepadaNyalah dikembalikan semua urusan,’[54] namun Ibn al-‘ArabÊ mengingatkan bahwa tidak semua manusia yang kembali kepada-Nya itu berbahagia. Jalan bahagia (ÏarÊq al-sa‘Édah) adalah jalan yang dishari‘atkan;[55] dan shari‘ah merupakan pusat kenikmatan (al-mahajjah al-bayÌÉ’) bagi mereka yang berbahagia (mahajjah al-su‘adÉ’).[56] Jadi, pada hari Akhirat, mereka yang beriman kepada Allah dan mentaati shari‘ah-Nya akan mencapai Kebahagiaan Hakiki, dan mereka yang mengkufuri-Nya dan menyanggah shari‘ah-Nya akan mengalami Kesengsaraan (al-shaqÉ’).[57] Ibn al-‘ArabÊ menasehati:
Harapan [yang palsu] itu tipudaya. Maka janganlah engkau mengharapkan Allah dengan sesuatu keinginan sedangkan engkau bertindak bukan melalui jalan yang akan membawa hasil….Tak boleh tidak—bagi seseorang yang menginginkan sesuatu — hendaklah berbuat sesuatu melalui jalan yang akan menghasilkan apa yang diinginkannya; ini karena jalan untuk mencapai perkara itu sendiri adalah satu keharusan; tanpa jalan tersebut keinginannya tidak akan tercapai; akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Oleh karena itu maka syurga Ma’wÉ diberikan kepada siapapun yang menahan diri dari keinginan hawa nafsunya (nahÉ al-nafs ‘an al-hawÉ).[58]
Agama dan shari‘ah sempurna dengan kenyataan Nabi Muhammad pada (apa yang diistilahkan oleh Ibn al-‘ArabÉ sebagai) zamÉn MuhammadÊ dari waktu perutusan Rasulullah hinggalah ke Hari Kiamat. Ini karena Rasulullah saw adalah Penutup bagi Kenabian Yang Membawa Shari‘ah (khÉtim nubuwwah tashrÊ‘) yang selepasnya tiada lagi nabi.[59] Karena itu, ummat Muhammad adalah ummat wasaÏ,[60] dan ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia (khayr ummah ukhrijat li’l-nÉs).[61] Dari zaman itu sehingga ke Hari Kiamat, manusia berada dalam zaman Rasulullah saw dan tertakluk untuk menerima shari‘ahnya.[62]
Rasulullah saw telah menyampaikan Islam yang diwahyukan-Nya; Allah telah menetapkan bahwa Kebenaran Islam tidak mungkin untuk disesuaikan dengan Kebatilan: “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami….Dan kalau Kami tidak memperkuatkan kamu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan timpakan kepadamu siksaan….”[63] Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir”’;[64] “sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja”;[65] “dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban terhadap penghuni-penghuni neraka (jaÍÊm)”;[66] “bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk”;[67] “sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi”;[68] ”katakanlah: sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang hakiki).”  “Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah Ilmu datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”;[69] dll.[70]
Jadi, shari‘ah yang datang kemudian menghapuskan shari‘ah yang terdahulu. Siapa yang kemudiannya menuruti apa-apa yang telah dinasakhkan dalam shari‘ah yang terdahulu, maka dia telah menurut hawa nafsunya. Dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, siapa yang meninggalkan jalan yang ditetapkan Allah, lalu berjalan pada jalan yang lain, meskipun ia adalah shari‘ah zaman terdahulu, maka dia telah menyimpang dari jalan Allah yang lurus (hÉdd ‘an sawÉ’ al-sabÊl, hÉ’id ‘an sabÊl AllÉh). Ibn al-‘ArabÊ mengingatkan dalam satu hadith, Rasulullah telah melukis satu garisan dan melukis pula di kedua-kedua belah garisan tadi masing-masingnya beberapa garisan yang lain. Garisan pertama adalah shara‘ dan minhÉj Rasulullah saw; garisan-garisan lain adalah shari‘ah-shari‘ah para nabi sebelum Rasulullah saw, di samping hukum-hukum dunia yang diubah oleh orang-orang bijak (al-nawÉmËs al-Íikamiyyah al-mawÌË‘ah). Lalu Allah memerintah Rasulullah saw agar menyuruh ummat berjalan atas sharÉ‘ dan minhÉjnya, bahkan jangan menyimpang. Rasulullah saw meletakkan tangannya di garisan pertama dan membaca (al-An‘Ém, 6: 153),
Dan bahwa ini adalah jalanku yang lurus, maka kalian ikutilah dia; dan jangan kalian ikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Demikian perintah terhadap kalian agar kalian bertaqwa.[71]
Bagi Ibn al-‘ArabÊ, istilah khusus ‘jalanku’ bukan istilah umum ‘jalan Allah’ (sirÉÏÊ bukan sekedar sirÉÏ AllÉh)[72] yang diungkapkan al-Qur’an menunjukkan bahwa ia adalah shari‘at yang khas (shar‘ khÉÎÎ),[73] yang wajib diikuti, yaitu jalan Nabi Muhammad (al-ÏarÊq alladhÊ jÉ’a bi-hi MuÍammad). Dan dilarangNya menuruti jalan-jalan yang lain, iaitu sharÉ’i‘ dan manÉhij para rasul sebelum Nabi Muhammad.[74]
Ini tidak berarti bahwa mereka yang mengimani Muhammad saw itu adalah ekslusif, karena  shari‘at Muhammad saw bukan sekedar mewajibkan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya—kepada shari‘ah dan kitab yang ditanzilkan kepada Rasulullah saw—namun mewajibkan untuk beriman kepada semua shari‘ah dan kitab yang ditanzilkan sebelum Rasulullah saw. Bahkan, tegas Ibn al-‘ArabÊ, seluruh shari‘ah yang terdahulu terkandung dalam shari‘ah Rasulullah saw. Hanya shari‘ah-shari‘ah tersebut tidak lagi menjadi hukum Tuhan, kecuali sebagiannya yang masih ditetapkan oleh shari‘ah Muhammadiah; melalui Rasulullah saw hukum-hukum tersebut ditetapkan. Orang-orang mukmin mengabdikan diri kepada Allah mengikut hukum tersebut karena ia sekarang ini adalah shari‘ah bagi mereka seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, bukan karena nabi yang terdahulu pernah melakukannya sebagai shari‘at waktunya kepada umatnya.[75] Justru bagian terakhir ayat tersebut menegaskan bahwa jalan Nabi Muhammad-lah yang harus diambil sebagai pelindung (al-wiqÉyah, dari akar kata yang sama dengan taqwÉ) yang menghalang orang-orang yang beriman daripada menyimpang seperti mereka yang berjalan atas jalan-jalan yang lain.[76]

Kafir & Mendustakan Muhammad: Antara Ahl al-KitÉb dan MushrikÊn     
Dengan munculnya tanzil dan wahyu, timbullah pertentangan antara keimanan dan kekafiran[77] sebagai reaksi sesuatu ummat terhadap Rasulnya yang datang dengan tanda-tanda (al-ÉyÉt) dan bukti pasti (al-bayyinÉt) kebenaran.[78] Justru Ibn al-‘ArabÊ menafsirkan al-A‘rÉf, 7: 184 sebagai ‘Tidakkah mereka merenungkan bukti kebenaran da‘wah Rasulullah?’[79] Setelah itu, sesiapa yang masih tidak beriman karena melayani kebodohan (al-juhl) dan kekeliruan (al-shabah), akibat bersifat aniaya (Ðulm), sombong (uluww), durhaka (baghy), dengki (Íasad) dan iri hati (nafÉsah) terhadap RasulNya, maka manusia seperti itu akan dihukum dengan azab Tuhan.[80]
            Menurut Ibn al-‘ArabÊ, tanda paling nyata dari Allah akan kebenaran Muhammad bagi ummah yang didakwahkannya adalah al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, yang secara mutlak tidak dapat ditiru oleh orang-orang Arab sendiri.[81] ‘Ibn al-‘ArabÊ pernah bertanya secara retoris, ‘Apalagi tanda yang lebih bermu‘jizat selain daripada al-Qur’an?’[82]
Sementara semua Nabi sebelum Rasulullah saw diperintah untuk menyampaikan tanzil hanya kepada golongan tertentu (al-ÏÉ’ifah makhÎËÎah), Nabi Muhammad saw diperintah untuk menyampaikannya kepada semua manusia (Émmah li’l-nÉs).[83] Muhammad saw tidak bisa membaca, menulis atau mentelaah, tidak berteman dengan kalangan terpelajar, tidak meninggalkan Mekah untuk menuntut ilmu. Selain itu, Rasulullah saw adalah seorang yang tidak tahu membaca di kalangan masyarakat yang juga umumnya tidak tahu membaca. Akan tetapi,  Rasulullah saw mengajar umatnya mengenai Allah dan masalah-masalah ghaib yang lain pada tingkat yang diketahui dan diduga oleh sesiapa saja—kecuali mengikuti Tanzil. Selain itu juga, al-Qur’an mendatangkan apa yang sebagiannya telah disampaikan oleh kitab-kitab yang terdahulu; dan Muhammad saw tidak tahu isi kandungan kitab-kitab yang terdahulu melainkan melalui al-Qur’an. Justru Ibn al-‘ArabÊ yakin bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Ahli-Ahli Kitab (aÎÍÉb al-kutub) pasti tahu bahwa al-Qur’an adalah bukti dari Allah akan kebenaran Muhammad.[84] Oleh karena al-Qur’an itu tetap sebagai bukti yang meyakinkan, mereka yang mendustakan kebenaran Nabi Muhammad bakal dihukum dengan azab Tuhan, ‘(mereka akan disiksa) karena Allah telah menurunkan al-Kitab dengan haqq, dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang Kitab itu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh’ (al-Baqarah, 2: 176).[85] 
ÔmÉn bukanlah mengenai kebenaran sesuatu perkara yang diyakini karena kita melihatnya sendiri (iyÉn), tetapi ia adalah keyakinan akan kebenaran sesuatu perkara yang disampaikan kepada kita oleh Rasul. ÔmÉn, bagi Ibn al-‘ArabÊ, adalah menerima penuh kebenaran Rasul dan risalah yang diutusnya, sementara kafir adalah berdusta terhadap kebenaran Rasulullah saw dan risalahnya; kaum Mu’minin adalah mereka yang beriman kepada yang ghaib seperti yang dikhabarkan dari Allah oleh Rasul-Nya yang benar, sementara kaum Kafirin adalah mereka yang mendustakannya.[86] Bagi Ibn al-‘ArabÊ, ÊmÉn adalah ‘menyatakan sesuatu mengikut pernyataan dan amalan Rasul, bukan menurut pandangan peribadi berdasarkan bukti akal seseorang.’[87]
Ibn al-’ArabÊ mengelaborasi perbedaan kekafiran kaum Mushrik dan Ahl al-KitÉb. Karena makna dasar kufr adalah sitr, iaitu menutup-sembunyi,[88] maka setiap orang mushrik itu adalah kafir. Sebeb mereka mengikuti hawa nafsunya, menyekutukan-Nya, beribadah kepada selain-Nya, menyangkal KeesaanNya sebagai Tuhan (aÍadiyyat al-IlÉh), dan ‘menutup’ pikiran mereka dari bukti dan tanda KeesaanNya  pada alam semesta. Dengan sebab ‘penutupan’ ini, seseorang yang mushrik itu adalah kafir.[89]
Sekalipun Ahl Kitab ada yang percaya kepada Keesaan Tuhan dan para Rasul, namun mereka ingkar terhadap Nabi Muhammad. Jadi, mereka kafir kepada sebagian isi Kitab yang disampaikan oleh rasul mereka.[90] Ini karena sesuai dengan al-A‘rÉf, 7: 157,[91] sebagian dari isi Kitab mereka adalah perintah supaya beriman kepada ‘Rasul bagi semua’ yakni Muhammad saw, dan menurut shari‘ahnya bila Rasulullah saw diutuskan.[92]
Para pemimpin Ahl Kitab menyembunyikan kebenaran Nabi Muhammad sementara mereka mengetahui secara yakin kebenaran risalahnya. Mereka kenal Kebenarannya hingga mustahil untuk menyembunyikan fakta tersebut dari diri mereka sendiri; sesungguhnya mereka terpaksa mengakui kebenaran tersebut dalam hati mereka. Namun, mereka dengan benci menyembunyikan kebenaran tersebut dari masyarakat awam (al-‘Émmah) dan pengikut (al-atbÉ‘), yang menurut pemimpinnya dalam kepercayaan dan amalan agama. Penyembunyian akan kebenaran Nabi Muhammad telah diperburuk lagi dengan kekeliruan akibat tipu daya yang licik lagi licin (al-shabah al-muÌillah wa’l-tashkÊkÉt al-sÉrifah).[93]
Ibn al-‘ArabÊ menegaskan bahwa para pemimpin Ahl KitÉb telah menyesatkan pengikut mereka dengan memerintahkan apa yang tiada pernah diizinkan Tuhan, dan kemudian menyatakan kepada para pengikut mereka bahwa ‘ini dari Tuhan’—padahal bukan. Mereka berdusta tentang Tuhan; mereka juga berdusta terhadapNya, sekalipun mereka menyadari  pembohongan tersebut.[94]
Dengan menggunakan perumpamaan Tuhan dalam al-Qur’an,[95] FutËÍÉt menggambarkan para pemimpin Ahl KitÉb seperti orang-orang yang dalam kehidupan dunia ini telah diberi al-Qur’an melalui Rasulullah tapi melemparkannya ke belakang punggung mereka dan menjualnya (kitab itu) dengan harga yang murah. Bagi Ibn al-‘ArabÊ, sikap para pemimpin Ahl KitÉb yang melempar Kitab al-Qur’an ke belakang punggung mereka menunjukkan bahwa mereka yakin bahwa mereka tidak akan kembali kepada Tuhan.[96]  Bahkan sifat para pemimpin Ahl KitÉb tersebut adalah sama seperti sifat yang digambarkan oleh Allah (dalam al-Naml, 27: 13-14) sebagai zalim. Tetapi, mengapa mereka berbuat jahat, dan menyesatkan akal manusia lain tentang kebenaran Muhammad? Merujuk kepada al-Qur’an,[97] Ibn al-‘ArabÊ menyimpulkan bahwa sambutan jahat terhadap Rasulullah yang seperti itu lebih disebabkan oleh kesombongan mereka (uluww). Mereka menghina Rasulullah untuk mengejar kemegahan duniawi, mencari kedudukan di masyarakat dan sekaligus sombong terhadap Tuhan Yang Mengutus Nabi kepada mereka. Biarpun tanda-tanda yang meyakinkan mengenai kebenaran Rasulullah telah jelas—al-Qur’an adalah mukjizat terbesar—mereka telah memendam dan dikuasai rasa dendam, iri hati dan aniaya (Íasadan wa nafÉsatan wa Ðulman) terhadap wibawa Nabi Muhammad; mereka menolak kebenaran setelah mengetahuinya dengan yakin. Mereka mempermasalahkan mengapa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad dan tidak kepada orang-orang yang lebih ‘besar’ dan ‘penting’ seperti mereka. Demikian mereka lebih memilih hawa nafsu daripada Tanzil Tuhan. Sebagai fakta sejarah, ini cukup untuk menjadikan ‘agama’ Ahl Kitab sebagai agama hawa nafsu pemimpin mereka yang menyalahi kandungan Kitab mereka yang asal. Karena itulah, biarpun mereka mengatakan percaya kepada Keesaan-Nya dan kepada para rasul-Nya yang lain, Allah mengecam mereka dengan tajam dalam al-Qur’an.[98] Berikut terjemahan ayat al-Qur’an yang sering disebut oleh Ibn al-‘ArabÊ):
Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab, mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya itu tidak beriman. Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayatNya? Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak mendapat keberuntungan.[99] Lihat juga ayat-ayat lainnya seperti Al-Naml, 27: 13-14, Al-‘AnkabËt, 29: 47 dan Ali Imran, 3: 78.
Menurut Ibn al-‘ArabÊ, isi surat Rasulullah kepada Kaisar Romawi ditujukan kepada mereka yang berperangai seperti ini, ‘….sekiranya kamu berpaling, atas kamulah tanggungjawab al-arÊsiyyÊn (yakni para pengikutmu)’.[100] Menurut Ibn al-‘ArabÊ, pemimpin sedemikian akan mendapatkan azab yang lebih di Akhirat nanti, adalah seperti firman Allah dalam al-Qur’an:
Orang-orang yang kafir dan menghalangi (orang-orang lain) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka azab di atas azab disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.[101]
Rasulullah sendiri pernah bersabda yang maksudnya, ‘Sesiapa yang membuat sesuatu yang buruk, baginya balasan yang sama bagi balasan kesemua yang mengikutnya sampai ke hari Kebangkitan tanpa sedikitpun dikurangi’.[102]
            Bahkan, menurut Ibn al-‘ArabÊ, ‘agama hawa nafsu’ ini terlembagakan di kalangan Yahudi dan Nasrani,[103] yang akibatnya (antara lainnya) kebenaran Nabi Muhammad tersembunyi dari para pengikut Ahl KitÉb; seolah-olah ada hijab yang menutupi antara mereka dan kebenaran Nabi. Sekiranya mereka terus berpegang teguh kepada kekeliruan tersebut tanpa benar-benar berfikir mengenai bukti-buktinya, mereka telah lengah lagi lalai (al-mufarritËn) akan kebenaran Rasulullah, dan dengan demikian juga dipanggil kafir. Walaupun mereka mengklaim bahwa mereka yakin terhadap Keesaan Tuhan, pandangan mereka terhadap Muhammad telah menyebabkan mereka menyimpang hingga menolak Tuhan al-Haqq secara aniaya dan sombong.[104] Menurut Ibn al-‘ArabÊ,[105] pada Hari Kebangkitan, bila kebencian orang-orang kafir yang seperti ini terhadap Rasulullah lenyap,
mereka akan berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul (ittakhadhat ma‘a ’l-RasËl sabÊl). Celakanya aku! Aduhai kiranya aku (dulu) tidak mengambil si fulan itu teman karib (attakhidh fulÉn khalÊl). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Peringatan [yang datang dari Tuhan dibawa oleh Muhammad] ketika Ia sampai kepadaku.’[106]
supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan [Rasul dan sunnahnya]!’[107]
Ibn al-‘ArabÊ juga berpendapat bahwa, di Akhirat, orang-orang yang tidak percaya kepada Rasul dan Sunnahnya akan berdukacita, sedih dan gentar akibat kelalaian mereka terhadap Rasululah saw dan memperolok-olokkannya.[108] Ibn al-‘ArabÊ juga berpendapat bahwa orang-orang kafir yang disebutkan di dalam ayat 6—7 surah al-Baqarah adalah lebih merujuk golongan pengikut daripada golongan pemimpin, meskipun ia jelas boleh dikenakan kepada kedua golongan tersebut.[109]
Kekafiran kaum Mushrikin perlu dibedakan dengan kekafiran Ahl Kitab. Kaum Mushrikin yang menyangkal Tuhan Yang Haqq Yang Mahaesa, telah bersalah terhadap kedua-duanya—bersalah kepada Tuhan dan semua para Rasul utusanNya. Menurut Ibn al-‘ArabÊ, sebab itulah dalam Shari‘ah Islam, kaum Mushrikin tidak dilindungi daripada dibunuh dalam Perang; karena, mereka bersalah terhadap Tuhan yang Mahaesa (al-tawhÊd) dan kebenaran para Rasul, kaum Mushrikin tidak memiliki suatu apa pun sandaran yang benar (al-mustanad).[110] Sedangkan kesalahan orang-orang kafir dalam kalangan Ahl Kitab bermula dari pendustaan mereka terhadap Nabi Muhammad. Oleh sebab inilah, seperti firman Allah Ta‘ala dalam al-Tawbah, 9: 29, mereka telah menjadi “Yakni, orang-orang yang tidak beriman kepada Allah (Yang mengutus Baginda), dan tidak kepada hari Akhirat, dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama Yang Haqq.”
Bagaimanapun, jika mereka percaya kepada Tuhan Yang Satu, dan kepada Rasul-RasulNya sebelum Muhammad, secara umum terdapat alasan yang sesuai untuk melindungi mereka daripada dibunuh dalam Perang, dan sebagai ganti, jizyah dikenakan kepada mereka. Hak hukum yang sedemikian mengisyaratkan bahwa dalam kekuasaan Islam, Ahl KitÉb dibolehkan—bahkan dilindungi—untuk terus melaksanakan agama mereka. Atau lebih tepat lagi, untuk terus melaksana ‘sebagian’ agama mereka sejauh yang mereka mampu; ‘sebagian’, karena mereka mendustakan Nabi Muhammad sedangkan ia turut diperintahkan dalam Kitab mereka.[111] Ibn al-‘ArabÊ memperingatkan kita akan kegembiraan yang terbayang di wajah mulia Nabi Muhammad ketika mendengar bahwa tentara Romawi telah berhasil mengungguli tentera Persia dalam tahun 6 Hijrah/ 627 Masehi. Kekafiran bangsa Persia dan penyembah berhala adalah kesalahan terhadap Allah Yang Haqq sebagai Tuhan Yang Satu (al-aÍadiyyah); kekafiran Kaum Romawi adalah kesalahan terhadap Muhammad akibat penyelewengan Kitab suci yang dilakukan oleh para pemuka agama. Shariah Islam memberi kelonggaran kepada mereka tentang pengenalan mereka terhadap Nabi Muhammad, sementara hak Allah Ta‘ala terus kukuh dengan kepercayaan mereka kepada aÍadiyyahNya.[112]
Justru, sanggahan Islam terhadap Ahl al-Kitab adalah karena mereka beriman kepada yang sebagian (yakni kepada Tuhan Yang Satu dan kepada sebagian dari para rasul), dan kafir terhadap sebagian yang lain (yaitu kebenaran Nabi Muhammad), serta bermaksud (dengan pernyataan itu) mengambil jalan lain antara yang demikian (yaitu beriman sepenuhnya atau kafir sepenuhnya).[113] Sehubungan itu, Rasulullah saw telah memerintahkan orang-orang Islam agar menyanggah Ahl al-Kitab dengan menyebut masalah-masalah hukum tertentu. Dengan kata lain,  Kaum Muslimin tidak menyanggah Ahl al-Kitab secara mutlak dalam semua hal. Ada beberapa hal yang sesuai dan sejajar dalam agama Islam dengan agama Ahl al-Kitab.[114]
Hanya Satu Agama Sempurna (Islam); Banyak Agama Tidak Lengkap
Ibn al-‘ArabÊ meyakini bahwa hanya Islam agama yang sempurna, dan agama lain tidak. Kesempurnaan merujuk kepada kesempurnaan naÎÎ, dalil, atau teks Agama. Ibn al-‘ArabÊ menegaskan firman Allah ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu’ sebagai satu ketetapan mengenai kesempurnaan Agama Islam yang tidak perlu penambahan. Hukum atas segala masalah telah terangkum sempurna dalam ketetapan Allah dan Rasul. Hanya saja dalil-dalil sesuatu permasalahan perlu dipelajari melalui ijtihad yang bersandar kepada al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma‘.[115] Renungan terhadap pengertian ijtihad akan nass dan dalil menunjukkan bahwa hanya dengan penelitian yang mendalam terhadap al-Qur’an, Sunnah dan Ijma‘, maka Kehendak Allah terhadap hamba-Nya terbukti, diketahui dan dikenali. Kaum Muslimin harus sentiasa merujuk kepada tiga sumber tadi.[116] Justeru bagi Ibn al-‘ArabÊ mereka yang beriman akan menurut syarat ijtihad dengan pemeliharaan yang semestinya (haqq ri‘Éyah) sementara mereka yang fasiq tidak.[117] Lantaran kesempurnaan Islam yang turut mengandung agama-agama para Nabi sebelum Muhammad, berikutlah pula hukum bagi orang Islam yang murtad:
Sesiapa antara kalian murtad dari Agamanya dan mati
Sesungguhnyalah dia mendustakan semua agama [para Nabi];
Karena Agama [para Nabi] itu intinya ‘aynnya satu. Agama [para Nabi] tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lain….
Sesungguhnya, Agama itu dikerjakan melalui Shara‘nya
melaluinya Hukum Agama datang dari Musharri‘nya.[118]  
Berbeda dengan itu, menurut Ibn al-‘ArabÊ,
orang-orang Nasrani dan semua Ahl al-KitÉb, apabila memeluk Islam, tidak merubah agama, karena memang bagian dari agama mereka memerintahkan iman terhadap Muhammad sallallÉhu‘alayhi wasallam, dan menganut shari‘ahnya ketika Nabi diutus, dan bahwa risalah Nabi itu untuk semua. Maka dari itu tidak seorangpun penganut agama menukar [ketaatan] agamanya jika dia memeluk Islam.[119]
Ibn al-‘ArabÊ juga berpendapat bahwa penambahan terhadap ‘agama’ membuktikan bahwa institusi agama tersebut adalah tidak sempurna (naqÎ), yaitu mengandung aib, cacat dan cela.[120] Penambahan seperti itu, dalam istilah Ibn al-‘ArabÊ,[121] adalah al-shar‘ alladhÊ lam ya’dhan bi-hi AllÉh (shari‘at agama yang tidak diizinkan Allah).[122] Ia satu perbuatan kafir dan dusta (iftirÉ’) terhadap-Nya,[123] sebagaimana dalam penyelewengan Kitab Suci.[124]
Sebenarnya al-Qur’an dan Hadith telah menyatakan bahwa para pemuka agama-agama yang datang lebih awal khususnya dari Tradisi Bibel itu dinyatakan telah melakukan taÍrÊf (merobah kalimah dan ma‘na asal Kitab Suci),[125] tabdÊl (mengganti perkataan yang diTanzilkan dengan yang tidak),[126] lawa (memutarbelitkan isi Kitab Suci),[127] Ïa‘n (mencemar agama),[128] labs (mencampuradukkan yang haq dengan yang batil),[129] kitmÉn (menyembunyikan Tanzil yang haq, bayyinÉt dan hudÉ khasnya mengenai kebenaran risalah Nabi Muhammad),[130] dan nisyÉn (melupakan sebagian isi Kitab Suci).[131] Isu tersebut dibahas oleh Ibn al-‘ArabÊ dalam ÔjÉz[132] dan FutËÍÉt.[133]
Al-MÉ’idah, 5: 48 menyatakan: ‘Kami telah turunkan kepadamu (Muhammad) Kitâb (al-Qur’an) dengan al-haqq, membenarkan apa yang ada dari kitab-kitab (yang diturunkan sebelum al-Qur’an), dan pengawasnya (daripada penyelewengan) (muhaymin ‘alay-hi)’. Menurut Ibn al-‘ArabÊ, antara Kalam Allah—jika masing-masingnya dinilai sebagai Kalam Allah—tidak ada yang lebih utama (mufÉÌalah) antara yang satu dengan yang lain; semua Kitab bersumber dari Tuhan Yang Esa (al-Kutub kullu-hÉ min Ill WÉhid). Walaupun demikian, Ibn al-‘ArabÊ mempertegas bahwa al-Qur’an adalah bersifat lengkap (jÉmi‘), dan justeru Kitab Suci yang paling mencukupi (aghnÉ), lagi meyakinkan sebagai sumber petunjuk (‘wa anta min-hu ‘alÉ yaqÊn’). Seterusnya Ibn al-‘ArabÊ berkata: ‘Wa las-ta min ghayri-hi ‘alÉ yaqÊn, li-mÉ dakhala-hu mina’l-tabdÊl wa’l-taÍrîf.’ ‘Dan tidaklah Kitab-Kitab Suci selain al-Qur’an itu boleh anda anuti secara yakin disebabkan bercampurnya dengan tabdÊ dan taÍrÊf’.[134]
Ibn al-‘ArabÊ memetik ayat Qur’an yang berikut: (Al-Baqarah, 2: 75-6; 146-7 dan 159-60) untuk mendukung pandangannya tentang penyelewengan Kitab Suci oleh Ahlul Kitab. Dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana golongan pemuka Ahl Kitab menyembunyikan ajaran-ajaran TanzÊl—seperti berkenaan bukti dan tanda kebenaran Muhammad, janji dan ancaman Tuhan (wa‘d wa wa‘Êd), dan hukum agama—daripada pengikut mereka yang buta huruf (al-muqallidah al-ummiyyËn) lagi bodoh mengenai Kitab Suci. Allah mengancam mereka dengan siksa yang pedih di Akhirat.[135]
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah daripada al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit, mereka itu sebenarnya tidak memakan ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (Al-Baqarah, 2: 174).
Meskipun ayat ini bersifat umum, tapi menurut Ibn al-‘ArabÊ  ia merujuk Ahl al-KitÉb, yaitu Ahl al-TawrÉh dan InjÊl.[136] ‘Menjualnya dengan harga yang sedikit’ merujuk kepada perbuatan mereka yang menyembunyikan ajaran TanzÊl yang sesungguhya demi harta dan kedudukan sebagai tokoh agama.[137]
            Bible banyak memuat cerita-cerita kesalahan (zallÉt), cela (mathÉlib) dan skandal (nuqlah) para Nabi.[138] Bible juga merekam cerita-cerita dusta seperti Nabi Lut berzina dengan anak-anak perempuannya,[139] Nabi Dawud berzina dengan isteri orang lain dan kemudian membunuh suaminya dengan tipu daya,[140] dan lain-lain.[141] Padahal, dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, cerita-cerita tersebut tidak wajar dikaitkan dengan Allah dan para RasulNya;[142] bahkan, tidak ada satu nass pun yang serupa dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.[143] Islam mendorong sikap hormat terhadap para nabi, dan rasa malu kepada Allah.[144] Ibn al-‘ArabÊ menamakan cerita-cerita tersebut sebagai ‘kecelakaan’ (al-tÉmmÉt)[145] dan ‘bencana’ (al-tawÉm), yang berasaskan ta’wil busuk (ta’wÊlÉt fÉsidah) dan sumber yang tidak menentu (asânîd wâhiyah), datangnya dari mereka yang mengejek dan memperolok Tuhan; yaitu pendustaan buatan Yahudi yang dilaknat Tuhan (al-yahËd la‘ana-hum AllÉh),[146] dan Nasrani.[147] Ibn al-‘ArabÊ mengingatkan bahwa cerita-cerita seperti itu adalah termask dosa besar (akbar al-kabÉ’ir)[148] yang akan menyebabkan seseorang dibenci dan dijauhi malaikat, serta dimurkai Allah.[149] Kalangan yang lemah iman bias mencari-cari justifikasi untuk berbuat maksiat dari cerita-cerita seperti itu.[150]
Ibn al-‘ArabÊ menyalahkan institusi Agama Yahudi dan Kristen yang menyekutukan Allah dengan sesuatu.[151] Ibn al-‘ArabÊ menganggap kaum Yahudi telah berdusta besar[152] dengan menuduh Maryam sebagai pezina dan Isa sebagai anak haramnya.[153] Ibn al-‘ArabÊ juga menganggap kaum Kristen itu kafir, dusta (sabb), berlebihan dalam beragama (al-ghuluww), kasar dan buta akan hakikat dan kebenaran. Ini dikarenakan oleh keyakinan mereka bahwa Isa itu berdwi-sifat, yaitu anak seorang lelaki (Joseph) dan Anak Tuhan, dan bahwa Isa itu Tuhan.[154] Begitu juga nasib ekslusifisme (al-iqtiÎÉr) penganut agama Yahudi dan Kristen.[155] Trinitas adalah kafir, dusta (mayn),[156] dan sesat (al-ÌalÉl);[157] begitu juga pengkultusan Maryam.[158] Pensaliban Isa tidak pernah terjadi; ia hanya pembohongan sejarah.[159] Orang Kristen dan icon (sËrah) salib yang disamakannya dengan Tuhan (mithl) adalah antara makanan Jahannam (Íasabu Jahannam).[160]

Agama adalah Penyerahan Lahir dan Batin kepada Allah

Penegasan bahwa sikap berserah diri mestilah bersifat lahir dan batin adalah karena dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, firman Allah (al-khitÉb) kepada manusia adalah secara simultan atau serentak kepada lahir dan batin mereka.[161] Setiap hukum yang disyariatkan kepada lahir manusia—yaitu perbuatan-perbuatan yang boleh ditangkap secara inderawi (af‘Él mahÎËÎah)—mempunyai aspek-aspek ma‘nawi batinnya. Ibn al-‘ArabÊ menyanggah golongan Bâtiniyyah yang hanya menerima aspek-aspek batin hukum shariah dan meninggalkan aspek-aspek lahirnya; bagi Ibn al-‘ArabÊ, mereka sebenarnya menelantarkan hukum syariah (ta‘ÏÊl aÍkÉm al-shar‘), meruntuhkan dasar agama yang disyariatkan (hadm qÉ‘idah dÊniyyah mashrË‘ah), dan menyimpang dari kehendak Allah (udËl ‘ammÉ arÉda al-ShÉri‘ bi’l-aÍkÉm). Ibn al-‘ArabÊ menyatakan bahwa, Batiniyyah adalah golongan yang tercela secara mutlak (madhmËm bi’l-iÏlÉq);[162] mereka adalah golongan yang paling bodoh mengenai ÍaqÉ’iq (ajhal al-nâs bi’l-haqÉ’iq).[163] Barangsiapa yang bodoh mengenai yang lahir, maka akan lebih bodoh lagilah dia mengenai yang batin; ini karena, yang lahir adalah penunjuk (al-dalÊl) kepada yang batin—siapapun yang lalai mengenai yang lahir, maka lebih jauhlah dia daripada yang batin.[164] Ibn al-‘ArabÊ turut menyangkal pandangan golongan Zahiri yang begitu kaku dengan lahiriah teks sehingga mempersamakan Tuhan dengan manusia (al-tajsÊm wa’l-tashbÊh); mereka turut tercela dalam Syara‘. Posisi tengah adalah posisi terbaik, yang bakal mengesahkan Cinta Allah Yang Haqq (maÍabbat al-×aqq, maÍabbat AllÉh), dan Kebahagiaan yang berkekalan (al-sa‘Édah al-dÉ’imah), adalah dengan menelusuri jejak dan langkah perjalanan Rasulullah atas tiap-tiap keadaan, persis seperti perintah-Nya agar Nabi-Nya berkata, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’.[165] Jadi, dalam pandangan Ibn al-‘ArabÊ, agama itu sinonim dengan pengikutan Nabi (al-ittibÉ‘), ketaatan kepada Rasul (al-tÉ‘ah), mencontohi Nabi (al-iqtidÉ’), meneladani Rasul (al-ta’aÎÎÊ), mengikuti Nabi (al-i’timÉm), dan menerima ajaran Rasul dengan tulus (al-iqbÉl).[166]

Kesimpulan
Dari kajian terhadap karya-karya Arabi yang telah disampaikan diatas maka jelaslah bahwa Ibn Arabi bukanlah pluralis ataupun menyokong faham pluralisme agama seperti yang dituduhkan oleh para orientalis, kalangan pluralis dan transedentalis. Jikapun para pendukung pluralisme agama yang menyitir pernyataan Ibn Arabi yang nampak mendukukng faham mereka, itu tidak lebih dari hasil kajian fragmentatif alias tidak utuh. Padahal jelas sekali bahwa menurut Ibn Arabi hukum agama yang dibawa oleh seorang nabi habis masa berlakunya ketika datang nabi yang lain. Bertarti dengan datangnya Nabi Muhammad atau zamÉn Muhammad hukum nabi-nabi sebelumnya pun berakhir. Bahkan menurut Ibn Arabi orang-orang Kristen, Yahudi dan pemeluk agama lain adalah termasuk kafir karena mengingkari Perintah Tuhan dan mendustkan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Dari kajian terhadap pandangan Ibn Arabi tentang agama-agama diatas dapat diambil pelajaran bahwa pengertian agama meliputi makna kepercayaan (ÊmÉn) yang memancar dalam berbagai dimensi pengalaman, baik ritual, mistik, maupun pengalaman hidup dan kehidupan duniawi. Jika kaum pluralis mencari titik temu agama-agama dengan membuat perbandingan hanya berdasarkan kriteria mereka sendiri tanpa melihat realitas kepercayaan yang ada pada agama-agama itu maka perbandingan itu tidak valid. Perbandingan yang valid tentunya melibatkan akidah dasar dan aplikasinya dalam aspek ritual, moral dan pengalaman batin agama-agama tersebut. Sekalipun hal itu dilakukan perbedaan antar agama itu akan lebih menonjol ketimbang persamaannya, yang berarti pluralisme agama itu hanyalah rekaan akal belaka. Wallahu a'lam bi'l-sawâb.



[1] Sani Badron adalah mahasiswa program doktor bidang pemikiran Islam di ISTAC, Kuala Lumpur.
[2] FusËs al-×ikam wa’l-KhuÎËÎ al-Kalim, ed. AbË al-‘AlÉ ‘AfÊfÊ, 2 jil. dlm. 1 (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘ArabÊ, 1946, edisi kedua 1980), 1: 94. Bagi Ibn al-‘ArabÊ, Shar‘ adalah sinonim dengan amr al-wÉsiÏah, al-amr al-taklÊfÊ dan al-amr al-jalÊ. Lihat Bab 8 FusËs dan Naqsh al-FusËs, dlm. RasÉ’il Ibn al-‘ArabÊ, 2 jil. dlm. 1 (Hyderabad-Deccan: The DÉ’iratu’l-Ma‘Êrifil-Osmania, 1948), jil. 2, risalah no. 27; al-FutËÍÉt al-Makkiyyah fÊ Ma‘rifat al-AsrÉr al-MÉlikiyyah wa’l-Mulkiyyah, 4 jil. (Cairo: 1911. Cetak ulang, Beirut: DÉr ØÉdir, t.t.), 2: 218, 588; 3: 217; 4: 350.
[3] FutËÍÉt, 1: 668.
[4] FutËÍÉt, 4: 445.
[5] Lihat, contohnya, Mortimer J. Adler, Truth in Religion: the Plurality of Religions and the Unity of Truth (New York: Collier, 1990), 45-46.
[6] Lihat, misalnya, FutËÍÉt, 2: 70 (baris 7).
[7] ÔjÉz al-BayÉn fÊ’l-Tarjamah ‘an al-Qur’Én, dicetak dalam jil. 1, RaÍmah (lihat nota 8 di bawah), 318. Istilah ummah wÉÍidah yang digunakan oleh Ibn al-‘ArabÊ adalah dari al-Baqarah, 2: 213.
[8] Ayat 172 al-A‘rÉf ini sering kali ditemui dalam FutËÍÉt. Petikan penuh atau sebagiannya tidak kurang tiga belas tempat: 1: 381 (baris 28), 670 (baris 15); 2: 70 (baris 11), 170 (baris 30), 247 (baris 19), 618 (baris 24); 3: 23 (baris 26), 248 (baris 30), 284 (baris 34); 4: 57 (baris 9), 122 (baris 21), 133 (baris 17), 254 (baris 12), 268 (baris 16). Dipetik juga dalam kitab Uqlat al-Mustawfidh, dlm. Kleinere Schriften des Ibn al-‘Arabî, ed. H. S. Nyberg (Leiden: E. J. Brill, 1919), 39-99, di hal. 97. Juga terbayang isharatnya dalam FutËÍÉt, 2: 213 (baris 8), 690 (baris 30); 3: 566 (baris 1); 4: 58 (baris 15), 349 (baris 22). Untuk tafsiran Ibn al-‘ArabÊ, lihat, contohnya, RaÍmah min al-RaÍmÉn fÊ TafsÊr wa IshÉrÉt al-Qur’Én min KalÉm al-Shaykh al-Akbar MuhyÊ’l-DÊn Ibn al-‘ArabÊ, dikumpul dan disusun oleh MaÍmËd MaÍmËd al-GhurÉb, 4 jil. (Damascus: MaÏba‘ah Nadr, 1410/1989), 2: 186-90.  
[9] Lihat, khususnya, FutËÍÉt, 3: 24 (baris 13).
[10] ÔjÉz al-BayÉn, al-Baqarah, 2: 213, 318.
[11] Muttafaq ‘alayh: BukhÉrÊ, al-ØaÍÊÍ, JanÉ’iz, 80 dan 92, TafsÊr, 30: 1; Muslim, al-JÉmi‘ al-ØaÍÊÍ, Qadar, 22-14. Mengenai sumber hadith ini, lihat Su‘Éd al-×akÊm, Al-Mu‘jam al-ØËfÊ: Al-×ikmah fÊ ×udËd al-Kalimah (Beirut: Dandarah li’l-ÙibÉ‘ah wa’l-Nashr), 1267n37; A.J. Wensinck et. al., Concordance et Indices de la Tradition Musulmane, 6 jil. (Leiden: E.J. Brill, 1936-1969), 5: 179-80. Ibn al-‘ArabÊ membahas hadith ini dalam FutËÍÉt, 1: 670 (baris 15-18); 2: 70 (baris 11), 170 (baris 30), 616 (baris 20), 690 (baris 31); 4: 57 (baris 10); Uqlat al-Mustawfidh, 97.
[12] Lihat FutËÍÉt, 1: 57 (baris 27), 381 (baris 28); 4: 57 (baris 11); juga 3: 378 (baris 1). Selanjutnya lihat FutËÍÉt, 2: 690 (baris 30) dan 3: 24 (baris 31), 117 (baris 9).
[13] FutËÍÉt, 3: 284 (baris 33) dan 4: 268 (baris 12).
[14] Lihat penjelasan menarik FutËÍÉt, 3: 284 (baris 33 dan seterusnya), juga 4: 122 (baris 21).
[15] Ayat yang dibahas adalah al-Mu’minËn, 23: 117, disinggung di dalam FutËÍÉt, 1: 405, 2: 412, 477, 559, 612; 409, 3: 71, 94, 285 (baris 2 dan seterusnya), 309.
[16] Lihat selanjutnya FutËÍÉt, 3: 381. Semua manusia berasal dari diri yang satu (nafs wÉÍidah), lihat al-NisÉ’, 4: 1; al-An‘Ém, 6: 98; al-A‘rÉf, 7: 189; dan al-Zumar, 39: 6.
[17] Mengenai tawÍÊd menerusi akal, lihat Souad Hakim, “Knowledge of God in Ibn al-‘ArabÊ,” MuÍyiddÊn Ibn ‘ArabÊ: A Commemorative Volume, ed. Stephen Hirtenstein dan Michael Tiernan (Element: Dorset, 1993), 269-70 (‘…for Ibn al-‘ArabÊ, intellectual, or philosophical reason is incapable of knowing God in an efficient way….’), 277-78 (‘Intellect knows God in an abstract, purified manner, and is unable to describe Him….’). Harus dicatat bahwa Mortimer J. Adler, How to Think about God: A Guide for the 20th-Century Pagan (Collier: New York, 1980), 154, mengakui bahwa ‘natural theology is very, very thin’, sambil memetik William Temple, archbishop of York, bahwa natural theologyends in a hunger which it cannot satisfy.’
[18] ÔjÉz, 318-20, tafsir kepada al-Baqarah, 2: 213.
[19] ÔjÉz, 318-20.
[20] FutËÍÉt, 1: 325 (baris 4).
[21] FutËÍÉt, 2: 257 (baris 17).
[22] FutËÍÉt, 1: 324 (baris 32).
[23] Al-MÉ’idah, 5: 48. RaÍmah, 2: 26-8.
[24] FutËÍÉt, 3: 413 (baris 16), 414 (baris 18), 4: 444 (baris 2); ÔjÉz, 32. Berikut saya terjemahkan istilah Arabnya:           selubung: al-a‘mâl al-sâriyah; titik-temu: ijtimâ‘; ciri-penghimpun: al-sifah al-jâmi‘ah atau amr jâmi‘.
[25] FutËÍÉt, 2: 414 (baris 15), 3: 413 (baris 16).
[26] FutËÍÉt, 4: 444 (baris 2).
[27] FutËÍÉt, 3: 413 (baris 16)
[28] FutËÍÉt, 2: 414 (baris 14).
[29] FutËÍÉt, 2: 217 (baris 5). Juga 3: 164 (baris 33).
[30] FutËÍÉt, 1: 324 (baris 32). Sebab-sebab mengapa ada perbedaan sharî‘ah bukan sekedar disebabkan bermacam azmân dan ahwâl seperti yang diterangkan dalam rujukan ini, tetapi juga karena ada berbagai (mengikut urutan) nisab ilâhiyyah, ahwâl ilâhiyyah, azmân, harakât al-falakiyyah, tawajjuhât al-Haqq, maqâsid ilâhiyyah, tajalliyât ilâhiyyah, yang disebabkan pula oleh ikhtilâf sharâ’i‘. Lihat FutËÍÉt, 1: 265.
[31] FutËÍÉt, 1: 324 (baris 32).
[32] FutËÍÉt, 3: 61 (baris 16), 2: 414 (baris 14). Lihat juga 4: 131 (baris 9).
[33] Al-Ra‘d, 13: 38-9; lihat FutËÍÉt, 2:534, 552; 3: 61.
[34] Al-Shûrâ, 42: 13. Lihat sambungan ayat ini hingga ayat 17 cukup menarik: ‘Amat berat bagi orang-orang musyrik, agama yang kamu serukan kepada mereka dst.
[35] FutËÍÉt, 2: 414 (baris 15), 3: 413 (baris 14).
[36] Hadîth ini dipetik al-Hâfiz Ibn  Kathîr, Tafsîr al-Qur’Én al-‘Azîm, 8 vols. (Istanbul: Kahraman Yayınları, 1992), 7: 182-183, riwayat Abu Hurayrah dan dirakam al-Imâm al-Bukhârî, “Kitâb al-Anbiyâ’,” al-Jâmi‘ al- Sahîh, 4 jil. (Dâr Sahnûn & Çagri Yayınları, 1992), dlm jil. 2, Mawsû‘at al-Sunnah: al-Kutub al-Sittah wa Sharhuhâ, 4: 142. Untuk syarahnya, lihat Badr al-Dîn al-‘Aynî, Umdat al-Qârî, 25 jil. dlm 12 (Beirut: Dâr Ihyâ’ Turâth al-‘ArabÊ, n.d.), 16: 36; dan, al-Hâfiz Ibn Hajar al-Asqalânî, Fath al-Bârî, 28 jil. dlm 14 (al-Azhar: Maktabat al-Kulliyyât al-Azhariyyah, 1978), 13: 249.
[37] FutËÍÉt, 2: 414 (baris 18), 3: 413 (baris 14), 4: 444 (baris 2).
[38] FutËÍÉt, 3: 413 (baris 14).
[39] Untuk tafsir Ibn al-‘ArabÊ kepada ØÉd, 38: 26 ini, lihat RaÍmah, 3: 509-10.
[40] FutËÍÉt, 2: 96 (baris 16).
[41] FutËÍÉt, 4: 107 (baris 5), 155 (baris 32),
[42] FutËÍÉt, 2: 96 (baris 16), 336 (baris 6); 3: 138 (baris 3, baris 18); 364 (baris 14); 4: 107 (baris 5), 155 (baris 32).
[43] FutËÍÉt, 2: 96 (baris 16).
[44] Dalam bahasa Arab, ‘menjatuhkan’ adalah ‘yahwÊ, dari akar kata yang sama dengan hawÉ.
[45] FutËÍÉt, 2: 308 (baris 3).
[46] FutËÍÉt, 2: 336 (baris 7).
[47] FutËÍÉt, 3: 191 (baris 30).
[48] FutËÍÉt, 2: 148 (baris 11), 217 (baris 14).
[49] FutËÍÉt, 3: 191 (baris 30).
[50] FutËÍÉt, 4: 107 (baris 1, baris 5); juga 2: 336 (baris 7).
[51] FutËÍÉt, 4: 48 (baris 34). Pesan Ibn al-‘ArabÊ, seseorang harus melihat Yang Haqq sebagai kebenaran lalu mengikutiNya sambil memimpin dan mengawal hawa nafsunyai. RaÍmah, 3: 510 (baris 12).
[52] FutËÍÉt, 2: 148 (baris 11).
[53] FutËÍÉt, 2: 217 (baris 14).
[54] HËd, 11: 123. RaÍmah, 368-371.
[55] FutËÍÉt, 2: 148 (baris 11), 4: 48 (baris 34); juga 3: 69 (baris 19).
[56] FutËÍÉt, 3: 69 (baris 19).
[57] FutËÍÉt, 2: 191 (baris 4), 220 (baris 4), 248; 3: 164.
[58] FutËÍÉt, 4: 428 (baris 5-10). Lihat juga al-NÉzi‘Ét, 79: 40.
[59] Dalam FutËÍÉt, 4: 333 (baris 2), Ibn al-‘ArabÊ bicara tentang Muhammad sebagai sayyid BanÊ Ódam.
[60] FutËÍÉt, 4: 206; ÔjÉz, 196, 214. Ummat wasaÏ adalah istilah al-Baqarah, 2: 143.
[61] FutËÍÉt, 2: 124 (baris 28), 135 (baris 2); 3: 142 (baris 9);169 (baris 4), 322 (baris 10), 519 (baris 24); 4: 333 (baris 2); KitÉb Manzil al-Qutb wa MaqÉmu-hu wa ×Élu-hu, dalam RasÉ’il, jil. 2, risalah no. 19, hal. 7. Mengenai Óli ‘Imrân, 3: 110, lihat juga RaÍmah, 1: 461.
[62] Lihat mengenai istilah zamÉn MuhammadÊ dalam FutËÍÉt, 4: 152. Lihat juga Mu‘jam, 549.
[63] Al-IsrÉ’, 17: 73-5.
[64] Al-Kahf, 18: 29.
[65] Al-Ra‘d, 13: 40.
[66] Al-Baqarah, 2: 119.
[67] Al-Baqarah, 2: 272.
[68] Al-QaÎaÎ, 28: 56.
[69] Al-Baqarah, 2: 120.
[70] Lihat ÔjÉz, 191-200. Juga, FutËÍÉt, 1: 229.
[71] Ibn al-‘ArabÊ turut menggunakan istilah ÏarÊqah, shir‘ah, sabÊl AllÉh. FutËÍÉt, 2: 217 (baris 5). Untuk ayat tersebut, lihat RaÍmah, 2: 119-20. 
[72] FutËÍÉt, 2: 217 (baris 8), 3: 69 (baris 20)
[73] FutËÍÉt, 2: 471 (baris 12).
[74] FutËÍÉt, 2: 165 (baris 12), 217 (baris 14).
[75] FutËÍÉt, 2: 165 (baris 12), 217 (baris 14).
[76] FutËÍÉt, 2: 217 (baris 14).
[77] FutËÍÉt, 1: 329 (baris 10).
[78] FutËÍÉt, 1: 520 (baris 5). Renungkan al-IsrÉ’, 17: 15 dan al-‘AnkabËt, 29: 50-1.
[79] FutËÍÉt, 2: 620 (baris 3). Terjemahan penuh ayat tersebut: ‘Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan beransur-ansur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencanaKu amat teguh. Apakah mereka tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi penjelasan.’ 
[80] FutËÍÉt, 3: 469 (baris 25).
[81] FutËÍÉt, 3: 145 (baris 8).
[82] FutËÍÉt, 4: 526 (baris 23).
[83] FutËÍÉt, 2: 258 (baris 12-13).
[84] FutËÍÉt, 3: 145 (baris 7-16).
[85] FutËÍÉt, 4: 526 (baris 23). Juga 3: 469 (baris 28). Cf. KitÉb al-IsfÉr ‘an NatÉ’ij al-AsfÉr, dlm. RasÉ’il, vol. 2, risalah no. 24, 18.
[86] FutËÍÉt, 3: 379-80.
[87] FutËÍÉt, 1: 553 (baris 22).
[88] FutËÍÉt, 3: 285 (baris 20). Asal yang sahih bagi k-f-r adalah penutupan (al-sitr wa ’l-taghtiyah), ucap Ibn FÉris (m. 390 H), Mu‘jam al-MaqÉyÊs fÊ ’l-Lughah, ed. ShihÉb al-DÊn AbË ‘Amru (Beirut: DÉr al-Fikr, 1994), 930-1.
[89] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 20).
[90] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 7). Lihat juga 1: 635 (baris 12); ÔjÉz, 60, 190.
[91] Terjemahannya: “‘Maka akan Aku tetapkan rahmatKu untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (Iaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang mereka dapati termaktub di sisi mereka dalam Tawrat dan Injil, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma‘ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada atas mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti Nur yang diturunkan bersamanya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Katakanlah (wahai Muhammad): “Hai manusia sesungguhnya aku adalah Rasul Allah kepadamu semua, yaitu (Allah) Yang bagiNya kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Menghidupkan dan Mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatnya; dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat hidayah.”’
[92] FutËÍÉt, 4: 131 (baris 15) dan ÔjÉz, 61. Peri Nabi Muhammad dalam Perjanjian Lama, lihat, Dt. 18: 18; Dt. 33: 2; Ge. 49: 10.DV; Ps. 45: 17; Is. 42: 1, 4; So. 5: 16, dll, dll. Dalam Perjanjian Baru, lihat, Mt. 21: 42-44; Lk. 24: 49; Jn. 1: 19-21, 25; Jn. 7: 40-41; Jn. 14: 16; Jn. 15: 26; Jn. 16: 8-13. Injil Barnabas, hal. 33, 99, 101, 103, 105, 167, 169, 223, 381. Rujukan-rujukan ini dihurai oleh Maulana Abdul Majid Daryabadi, Tafsir-ul-Qur’an, 4 jil. (Islamabad: Islamic Book Foundation, t.t.), 2: 156-9, nn. 219-20.
[93] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 7); 3: 243 (baris 22); 4: 138 (baris 15), 526 (baris 15-22); ÔjÉz, 62. Cf. Rahmah, 3: 242.
[94] RaÍmah, 1: 448 memetik KitÉb al-TanazzulÉt al-MawÎiliyyah.
[95] Terj. Óli ‘ImrÉn, 3: 187: ‘Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (iaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.’
[96] FutËÍÉt, 4: 393 (baris 20); cf. 1: 314 (baris 33ff).
[97] Óli ‘ImrÉn, 3: 78; al-An‘Ém, 6: 20-21; al-Naml, 27: 13-14; al-‘AnkabËt, 29: 47.
[98]FutËÍÉt, 1: 303 (baris 12); 354 (baris 29); 2: 28 (baris 23), 306 (baris 2), 374 (baris 23), 592 (baris 5), 3: 83 (baris 24), 243 (baris 22); 4: 138 (baris 15), 526 (baris 22); ÔjÉz, 62; cf. juga FusËs, 1: 110. 
[99] Al-An‘Ém, 6: 20-21.
[100] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 25). Surat Rasulullah kepada Herkules, Kaisar Byzantin direkam dlm. ØaÍÊÍ al-BukhÉrÊ, vol. 4, no. 191; dan vol. 6, no. 75.
[101] Al-NaÍl, 16: 88. Lihat juga Al-‘AnkabËt, 29: 12-13.
[102] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 25). Hadith tersebut dalam Muslim, ‘Ilm 15, ZakÉt 69; NasÉ’i, ZakÉt, 64; dll. Untuk versi serupa, Wensinck, Concordance, 2: 552.
[103] Lihat ÔjÉz, 207, yang membuat antonim antara dÊn ‘an ahwÉ’i-him dengan dÊn anbiyÉ’i-him. Lihat juga halaman 190. FutËÍÉt, 4: 533 memanggil Kristian sebagai dÊn al-mubÏilÊn.
[104] ÔjÉz, 62; FutËÍÉt, 1: 553-4; 2: 363 (baris 2); dan RaÍmah, 3: 242, yang memetik Uqlat al-Mustawfidh, menggunakan istilah al-kuffÉr al-muqallidah. Lihat juga FutËÍÉt, 4: 138 (15).
[105] FutËÍÉt, 3: 270 (baris 19).
[106] Al-FurqÉn, 25: 27-8.
[107] Al-Zumar, 39: 56.
[108] FutËÍÉt, 2: 278 (baris 30).
[109] ÔjÉz, 62.
[110] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 5-26); dan, 1: 553-4.
[111] FutËÍÉt, 2: 363 (baris 2), 592 (baris 25); dan 1: 553-4.
[112] FutËÍÉt, 1: 553-4; 2: 592 (baris 25); 4: 131 (baris 15).
[113] Lihat al-NisÉ’, 4: 151. Terjemahan ayat-ayat seterusnya: ‘merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya (al-kÉfirËn haqqan). Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasulNya dan tidak membeza-bezakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahala. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’
[114] FutËÍÉt, 2: 592 (baris 25); dan 1: 553-4.
[115] FutËÍÉt, 3: 502; firmanNya tersebut dalam al-MÉ’idah, 5: 3.
[116] Lihat ‘n-s-s’ dlm. TÉj al-‘ArËs min JawÉhir al-QÉmËs, 10 jil., cetak ulang Cairo 1306-07 ed. (Beirut: DÉr ØÉdir, c. 1980), 10: 435. Ed. terkini dlm. 40 jil. ed. (Kuwait: al-Majlis al-WaÏanÊ li’l-ThaqÉfah wa’l-FunËn wa’l-ÓdÉb, 2001/1422).
[117] FutËÍÉt, 2: 477, 533.
[118] Terj. bebas puisi FutËÍÉt, 4: 131 (mulai baris 6).
[119] FutËÍÉt, 4: 131 (baris 15). Lebih lanjut mengenai aÍadiyyat al-sharÉ’i‘ dan hudÉ ’l-anbiyÉ’, lihat FutËÍÉt, 1: 134-5; 2: 134-5, 138-9; 3: 251,413.
[120] FutËÍÉt, 3: 502.
[121] FutËÍÉt, 1: 326; 3: 502; cf. 2: 58.
[122] Istilah yang terilham dari al-ShËrÉ, 42: 21, ‘Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (di samping Allah) yang menshari‘atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah (shara‘Ë la-hum min al-DÊn mÉ lam ya’dhan bi-hi AllÉh)?’
[123] FutËÍÉt, 1:326; 2: 58; 3: 502.
[124] Rahmah, 1: 448, yang memetik KitÉb al-TanazzulÉt al-MawÎiliyyah.
[125] Al-Baqarah, 2: 75; al-NisÉ’, 4: 46; al-MÉ’idah, 5: 13, 41.
[126] Al-Baqarah, 2: 59; al-A‘rÉf, 7: 162.
[127] Óli ‘Imrân, 3: 78; al-NisÉ’, 4: 46.
[128] Al-NisÉ’, 4: 46.
[129] Al-Baqarah, 2: 42; Óli ‘ImrÉn, 3: 71.
[130] Al-Baqarah, 2: 42, 140, 146, 159, 174; Óli ‘ImrÉn, 3: 71, 187.
[131] al-MÉ’idah, 5: 13-14; al-A‘rÉf, 7: 53.
[132] Lihat hal. 128, 150, 219-20, 235.
[133] 2: 400; 3: 243, 351; Lihat juga RaÍmah, 1: 151, 448; 4: 155.
[134] FutËÍÉt, 4: 400. Lihat selanjutnya ÔjÉz, 7-10.
[135] ÔjÉz, 235.
[136] ÔjÉz, 249-50.
[137] Lihat selanjutnya FutËÍÉt, 4: 526; ÔjÉz, 127.
[138] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14).
[139] Genesis 19: 33.
[140] II Samuel 11: 2-5.
[141] Lihat selanjutnya RaÍmatullÉh b. KhalÊl al-RaÍmÉn al-Hindi, IÐhÉr al-×aqq, 2 vol. dlm. 1 jild. (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993/1413), 315, terj. Ing. Muhammad Wali Razi, Izhar-ul-Haq (Truth Revealed), 4 bhgn. (London: TaHa, 1989-90), 4: 31-33.
[142] FutËÍÉt, 3: 562 (baris 3).
[143] FutËÍÉt, 3: 455, 562 (baris 3).
[144] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14).
[145] FutËÍÉt, 3: 454-5.
[146] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14); 3: 562 (baris 3).
[147] FutËÍÉt, 3: 562 (baris 3).
[148] FutËÍÉt, 3: 454-5.
[149] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14).
[150] FutËÍÉt, 2: 256 (baris 14), 3: 454-5.
[151] ÔjÉz, 207.
[152] FutËÍÉt, 1: 138, 223, 237, 279; 2: 70, 387-8, 417, 470, 472, 491, 689; 3: 11, 182, 347, 390, 514; 4: 116 (baris 26). Lihat juga FusËs, 1: 138-50; K. al-IsrÉ, 199-200; RaÍmah, 3: 43-50.
[153] Mengenai dokumentasi dakwaan Yahudi seperti yang tersebut, lihat, contohnya, Raymond E. Brown, ‘The Charge of Illegitimacy,’ The Birth of the Messiah: A Commentary on the Infancy Narratives in the Gospels of Matthew and Luke Narratives (London: Geoffrey Chapman, 1993), Appendix V, 534-42.
[154] FutËÍÉt, 1: 124, 191, 276, 552, 596, 652, 664; 2: 202, 387-8, 405 (baris 14), 579-80, 631; 3: 50, 149, 162, 166 (baris 26), 267, 274, 278, 350, 375-6, 398-9, 445; 4: 93 (baris 29), 387 (baris 8), 410 (baris 10), 437 (baris 19); FusËs, 1: 141, 146-7. 
[155] FutËÍÉt, 2: 405; 3: 162; 4: 93 (baris 29)
[156] FutËÍÉt, 4: 370 (baris 22).
[157] FutËÍÉt, 4: 382 (baris 28). Lihat bantahan terhadap Trinitas dalam 2: 215; 3: 499; 4: 306 (baris 31), 370 (baris 19).
[158] FutËÍÉt, 2: 631; 3: 267, 278, 354; 4: 410 (baris 10).
[159] FutËÍÉt, 2: 205, 388 (baris 6); 4: 117 (baris 5)
[160] Al-Qism al-IlÉhÊ, dalam RasÉ’il, jil. 1, risalah no. 9, hal. 16.
[161] FutËÍÉt, 1: 334, 338.
[162] FutËÍÉt, 3: 240.
[163] FutËÍÉt, 3: 373.
[164] FutËÍÉt, 4: 152.
[165] FutËÍÉt, 3: 240.
[166] FutËÍÉt, 1: 463, 486, 637, 717; 2: 32, 341, 498; 3: 321, 414; 4: 102, 105, 270, 348, 414, 456.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...