Kamis, 25 April 2013

Seyyed Hossein Nasr, Mengusung "Tradisionalisme" Membangun Pluralisme Agama


by; Dr. Anis Malik Toha


Mukaddimah
Seyyed Hossein Nasr adalah pengusung gagasan “tradisionalisme” yang membawa misi yang dinamakan “hikmah abadi” (al-×ikmah al-KhÉlidah atau Perennial Philosophy atau Sophia Perennis). Gagasan ini, menurutnya,  adalah respon kritis terhadap tren pluralisme agama yang muncul di era modern sebagai upaya memberikan solusi teo-filosofis bagi problem pluralitas agama. Menurut Nasr, tren-tren plualisme agama yang ada ternyata telah membawa sejumlah dampak negatif terhadap agama-agama, dan, dengan demikian, lebih merupakan problem dari pada solusi. Dampak yang pertama adalah penistaan, atau bahkan penghalauan, segala sesuatu yang berbau sakral (desacralization), dan dengan demikian, disadari atau tidak, tren-tren tersebut adalah sama dengan proses sekularisasi, atau bahkan memang merupakan salah satu mekanismenya; dan pereduksian (reductionism) absolutisme agama-agama hingga menjadi “relatif” (relativization). Dampak yang kedua adalah runtuh dan melelehnya segala bentuk dan perbedaan yang karakteristik dari realitas-realitas yang beragam. Maka oleh karenanya, tesis “tradisionalisme” ini berambisi dan mengklaim ingin mengembalikan agama-agama ke habitat asal-kesucian dan kesakralannya yang sempurna lagi absolut (resacralization), serta ingin memperlakukan semuanya secara adil dan sejajar sepenuhnya.[1] Apa gerangan hakikat tesis atau gagasan yang sangat ambisius ini? Apa dasar-dasar teologis dan filosofisnya? Dan bagaimana metode pendekatannya terhadap fenomena pluralitas agama?

Akar Konsep Tradisionalisme
Menurut Nasr, begitu juga para pendahulunya, tesis “tradisionalisme” ini berakar pada “filsafat perennial”, yang “sebetulnya hakikatnya adalah universal dan telah ada sejak dahulu kala (immemorial).”[2] Namun perlu dicatat bahwa dikenalnya “perennial philosophy” sebagai mazhab filsafat dan mistisisme serta sebagai worldview adalah berkat usaha keras ketiga tokoh pelopor yang disebut-sebut Nasr sebagai “The Masters” (para Guru), yakni Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy dan Frithjof Schuon.[3] Kemudian, yang menginterpretasikan filsafat ini dan mengelaborasi serta mengembangkannya hingga mendapat pengakuan ilmiah yang sejajar dan setaraf dengan filsafat-filsafat modern yang lain adalah Seyyed Hossein Nasr dalam karya magnum opus-nya yang berjudul Knowledge and the Sacred, yang semula adalah merupakan serangkaian kuliyah-kuliyahnya, Gifford Lectures, yang ia sampaikan di universitas Edinburg pada tahun 1981.[4]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa “tradisionalisme” sebetulnya merupakan kecenderungan pemikiran baru, yang mana sosoknya belum mengkristal dan terlihat secara konkrit kecuali pada kira-kira dua dasa warsa terakhir abad ke-20 yang lalu, hanya saja para penganjurnya mengklaim bahwa hakikatnya, prinsip-prinsipnya dan dasar-dasarnya sudah ada sejak dahulu kala, sangat tua setua komunitas manusia primitif di seluruh pelosok dunia, dan tak pernah mengalami perubahan kecuali hanya pada level bentuk luaran atau manifestasi dan ekspresinya saja.[5]
Maka, tema utama “tradisionalisme” adalah “hakikat esoteric” yang abadi,  menjadi asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan terekspresikan dalam bentuk “hakikat-hakikat exoteric” dengan bahasa yang berbeda-beda.[6] Hakikat yang pertama adalah “hakikat transenden” yang tunggal, sementara yang kedua adalah “hakikat-hakikat relijius” yang merupakan manifestasi-manifestasi eksternal hakikat transenden tadi yang tampak warna-warni dan saling berseberangan. Cara pandang ini kemudian menjadi pakem “tradisionalisme” dalam memandang segala realitas atau hakikat yang ada dalam wujud, termasuk hakikat keberagaman atau pluralitas agama. Dan cara pandang ini ditahbiskan oleh Rene Guenon, seorang pelopor gagasan ini, sebagai “normal” dan “tradisional”,[7] karena didasarkan pada apa yang menurutnya adalah adat-istiadat, nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau hikmah tradisional yang diwarisi dan diterima secara positif oleh semua manusia dari berbagai agama dan suku sepanjang zaman, di Timur maupun Barat.[8] Oleh karena tren pemikiran ini diklaim sebagai tradisional, maka semua ilmu dan pengetahuan yang berkenaan dengannya disebut “ilmu-ilmu tradisional”, kemudian para pegiat dan penganjurnya juga disebut “tradisionalis”. Dan oleh karena ilmu-ilmu tradisional ini berkaitan erat dan langsung dengan prinsip-prinsip dasar metafisik yang sebagian besarnya berhubungan dengan hal-hal yang sakral, maka kemudian ilmu-ilmu ini pada gilirannya menyatu dalam “ilmu suci atau sakral” (scientia sacra or sacred knowledge).[9]
Istilah “tradisi” yang dipakai oleh kaum “tradisionalis” tidak seperti yang dimaksudkan oleh para ahli perbandingan agama, sosiolog dan anthropolog abad modern pada umumnya. Bagi sosisolog tradisi adalah sejumlah adat-istiadat, tradisi, keyakinan, etika dan moral yang diwarisi sekelompok masyarakat tertentu dari generasi ke generasi[10] (dan dengan demikian ia hampir mendekati konsep agama). Bagi kaum tradisionalis istilah tradisi sudah mengalami perkembangan, atau lebih tepatnya variasi dalam makna sebagaimana yang dijelaskan Guenon atau yang didefinisikan oleh muridnya, Seyyed Hossein Nasr. Tradisi  adalah “Realitas-realitas atau prinsip-prinsip dasar ketuhanan yang asli yang diwahyukan kepada seluruh manusia dan segenap alam lewat perantara para rasul, nabi, avatara, dan Logos, atau perantara-perantara yang lain, dengan berbagai cabang prinsip tersebut dan aplikasinya dalam berbagai bidang – termasuk hukum, bangunan sosial, seni, simbol, dan berbagai macam ilmu....”[11] (dengan demikian “tradisi” adalah kebalikan “modernisme” dan “sekularisme”).

Tradisionalisme dan Pluralisme
Asas-asas “tradisional” yang telah dijelaskan diatas adalah medium yang mengantarkan para kaum “tradisionalis” kepada satu kepercayaan secara ijmÉ‘ bahwa semua agama, yang hidup maupun yang mati, adalah merupakan different theophanies of the same Truth (bentuk-bentuk penjelmaan yang beragam dari “Kebenaran” yang tunggal).[12]
Nalar “tradisional”, atau mungkin lebih tepatnya: “epistemologi tradisional”, ini jualah yang membuat “tradisionalisme” ini secara sepintas nampak berbeda dengan tren-tren pluralistik yang lain. Sebab sebagaimana yang diklaim kaum “tradisionalis”, tren ini memperlakukan semua agama secara fair dan mengakui kemutlakan masing-masing agama sepenuhnya serta menolak setiap gagasan yang ingin merelatifkannya. Dengan kata lain, tren ini mengklaim ingin menghargai semua agama, baik dalam hal eksistensi, hakikat maupun kesakralannya tanpa reduksi, sebagaimana yang dilakukan oleh tren-tren humanis sekular, dan tanpa upaya melunturkan salah satu bentuk-bentuknya sebagaimana yang dilakukan oleh tren-tren sinkretistik.
Semua ini menunjukkan dengan jelas betapa krusial serta sentralnya tradisi dan pandangan tradisional, sehingga menurut kaum “tradisionalis” perlu dihidupkan kembali untuk melakukan tugas suci – menyelamatkan ummat manusia dari krisis dunia modern.[13] Krisis ini pada dasarnya muncul sebagai akibat langsung dari sikap permusuhan dan kebencian akal modern “yang (katanya) tercerahkan” terhadap segala sesuatu yang berbau sakral, serta kegagalannya memahami hakikat “Kebenaran” (the Truth) dan “Hakikat” (the Reality), termasuk hakikat warna-warni agama, dengan pemahaman yang tepat, benar dan integral.
Dalam kerangka upaya-upaya intens kaum “tradisionalis” menghidupkan kembali “ilmu-ilmu tradisional” dan “ilmu sakral” ini, isu pluralitas agama kemudian menyembul ke permukaan dan mendapat perhatian yang cukup besar. Sebab, meskipun isu ini hanyalah salah satu aspek dari sophia perennis,[14] tetapi sejatinya menurut Nasr merupakan aspek yang penting dan sangat krusial bagi kehidupan relijius dan spiritual manusia masa kini. Lebih lanjut ia berkata:
In fact, if there is one really new and significant dimension to the religious and spiritual life of man today, it is this presence of other worlds of sacred form and meaning not as archaeological or historical facts and phenomena but as religious reality.[15]
(Sesungguhnya, jika ada dimensi kehidupan beragama dan spiritual manusia modern yang memang benar-benar baru dan signifikan, maka ia adalah kehadiran dunia-dunia sakral yang lain, bukan sebagai fakta dan fenomena arkeologis atau historis, tapi sebagai realitas agama.)
Di antaranya yang paling getol mengulas dan menginterpretasikan isu ini dari sudut pandang tradisional adalah Frithjof Schuon.  Schuon, menurut G. Parrinder, termasuk penganjur sinkretisme,[16] padahal tidak benar begitu seperti yang akan kita lihat nanti. Bukunya yang terkenal berjudul The Transcendent Unity of Religions[17] adalah merupakan buku yang terpenting dalam topik ini. Kemudian disusul muridnya yang “tercerahkan”, Seyyed Hossein Nasr, yang dengan konsep “Hikmah Abadi” mendapat pengakuan akademis dunia.

Argumentasi Nasr
Berangkat dari nalar “tradisional” ini, agama-agama yang menurut Nasr merupakan salah satu dari tiga wujud sosok utama penjelmaan Zat yang Absolut (grand theophanies of the Principle),[18] mempunyai dua realitas atau hakikat: esoteric dan exoteric; substansi (substance) dan aksiden (accident); esensi (essence) dan bentuk (form); batin (inward) dan lahir (outward). Dua hakikat ini, sebagaimana Schuon menjelaskan,[19] dipisahkan oleh sebuah garis horizontal; dan bukan vertikal seperti yang lazim diasumsikan untuk memisahkan antara yang satu dengan yang lain – Hindu dari Buddha, Islam, Kristen, dst. Dengan kata lain, garis ini memanjang melintasi semua agama dan memisahkannya secara horizontal sekaligus, sehingga yang di atas garis adalah hakikat batiniyah (esoteric) dan yang di bawahnya adalah hakikat lahiriyah (exoteric).
Gagasan yang sedikit pelik ini bisa disederhanakan dengan sebuah ibarat piramida dimana Tuhan berada di titik puncak, atau kepala piramida, sementara semua agama mengalir ke bawah dari titik tersebut; begitu juga dalam waktu yang sama semua agama naik dari bawah ke atas saling berdekatan dan akhirnya bertemu di titik tersebut.[20] Dan inilah gambaran ringkas suatu gagasan yang dituangkan Schuon dalam apa yang ia sebut “the transcendent unity of religions” (kesatuan transenden agama-agama), yakni kesatuan yang melampaui segala macam bentuk dan sosok lahiriyah, eksternal. Oleh karena itu Schuon berpendapat bahwa berhenti pada bentuk dan sosok eksternal (exoteric) serta menganggapnya sebagai “absolut secara absolut” (absolutely absolute) adalah kesalahan yang sangat fatal, sebab kebenaran eksternal (exoteric truth) pada hakikatnya dibatasi oleh batasan-batasan konseptual ekspresif dan definitif.[21] Dengan kata lain, bahwa yang mutlak atau absolut dalam semua agama, termasuk Islam, adalah dimensi esoteriknya, adapun dimensi eksoteriknya harus tetap relatif untuk berkoeksistensi dengan agama-agama besar yang lain.[22]
Namun meski begitu, relativitas dimensi eksoterik ini sama sekali tidak akan mempengaruhi kemutlakan atau absolutisme masing-masing agama dalam kaitannya dengan dunia partikularnya sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Seyyed Hossein Nasr mencoba memberikan penjelasan mengenai pernyataan yang secara lahirnya tampak kontradiktif dan confusing ini dengan menggunakan konsep kunci (key concept) yang telah diperkenalkan oleh gurunya, Frithjof Schuon, sebelumnya: yaitu konsep “absolut secara relatif” (relatively absolute).[23]
Konsep ini meskipun tampak kontradikitif, menurut Nasr adalah sangat kaya dengan makna yang penting dan krusial sekali untuk menyelesaikan problem pluralitas agama atau klaim-klaim kebenaran yang saling berseberangan (the conflicting truth-claims). Hal ini menurut Nasr bisa dijelaskan, pertama, lewat pandangan “tradisional” yang selalu menegaskan apa yang ia sebut sebagai “Primordial Truth”, yaitu: bahwa “only the Absolute is absolute” (hanya Zat yang Absolut saja yang absolut). Oleh karena itu, apa saja selain yang Absolut, baik sosok-sosok jelmaan umumnya dan agama-agama khususnya, masuk ke dalam wilayah relatif. Namun, oleh karena agama merupakan sosok jelmaan Zat yang Absolut (the Truth), maka segala sesuatu yang ada dalam agama, termasuk hal-hal yang diwahyukan melalui wahyu atau Logos: seperti al-Qur’an bagi Islam dan Yesus Kristus bagi Kristen, sudah barang tentu sakral dan oleh karenanya absolut tanpa harus menjadi Zat yang Absolut itu sendiri.[24] Maka dari itu, keabsolutan suatu agama tidaklah mutlak, akan tetapi nisbi atau relatif – yakni sesuai dengan dunia partikularnya dan lingkungannya sendiri. Nasr mengibaratkannya seperti matahari persis: dalam sistem tatasurya kita, matahari kita adalah matahari satu-satunya namun dalam waktu yang sama ia hanyalah salah satu dari sejumlah matahari yang ada di galaksi ini. Wujudnya matahari-matahari yang lain sama sekali tidak menjadikan matahari kita berhenti menjadi matahari kita sendiri dan pusat tatasurya kita serta pemberi kehidupan alam kita dan seterusnya.[25] Maka setiap tatasurya mempunyai mataharinya sendiri yang khusus yang, dalam waktu yang sama, adalah “a sun” (salah satu matahari) dan “ the Sun” (satu-satunya matahari). Jika tidak, bagaimana mungkin matahari yang terbit setiap pagi dan menyinari jagad kita adalah sesuatu yang lain dan bukan (satu-satunya) matahari itu sendiri?[26] Dan demikianlah semua agama, ia adalah agama (nakirah) dan sekaligus juga agama (ma‘rifah).
Kemudian, kedua, lewat apa yang Nasr sebut “archetype” (model dasar, atau model di alam ideal). Ia berpendapat bahwa setiap agama sejatinya adalah penjelmaan atau manifestasi dari  model dasar yang merupakan salah satu aspek dari hakikat ketuhanan. Hakikat utuh suatu agama, seperti Kristen dan Islam, sebagaimana yang wujud dalam meta-sejarah (meta-history) dan sebagaimana manifest secara nyata sepanjang sejarahnya, tidak lain adalah sesuatu yang telah tertulis dalam model dasarnya di alam ideal. Oleh karena itu perbedaan dalam model-model dasar ini adalah yang sejatinya menentukan perbedaan tabiat setiap agama, dan pada gilirannya timbullah keberagaman agama. Namun meski begitu, model-model dasar ini selalu merefleksikan atau mengekspresikan fokus yang tunggal dan terangkum dalam jangkauan lingkaran yang tunggal pula. Oleh karena itu, setiap satunya pada hakikatnya merefleksikan atau mengekspresikan hakikat ketuhanan yang sekaligus adalah merupakan fokus dan lingkaran yang inklusif.[27]
Memandang agama-agama melalui model-model dasarnya, atau bahwa agama-agama mempunyai model-model archetypal, beserta kewujudannya dan penjelmaannya di alam sejarah yang riil, menurut Nasr, menunjukkan secara meyakinkan bahwa agama-agama sesungguhnya adalah “mutlak secara relatif” (relatively absolute), dan bahwa setiap agama adalah agama (a religion) dan agama (the religion) pada waktu yang sama,[28] dan bahwa hanya Zat yang Mutlak sajalah yang selalu “mutlak secara mutlak” (absolutely absolute).
Seluruh interpretasi dan analisis “tradisional” ini dari awal sampai akhir menegaskan apa yang digagas dan dianjurkan serta dipertahankan oleh kaum perennialis, yakni gagasan “kesatuan transenden agama-agama” yang diungkapkan dengan fasih oleh Frithjof Scuon di atas tadi. Kesatuan ini terjadi pada level “mutlak” yang adalah “Kebenaran” (the Truth) dan sekaligus “Riil” (the Real), dan sumber segala wahyu dan kebenaran. Hal ini menurut Seyyed Hossein Nasr adalah juga yang dimaksudkan dari sebuah ungkapan dalam tradisi gnostisisme Islami (sufisme) “al-tawÍÊdu wÉÍid” (the doctrine of unity is unique), dan juga yang dikenal dalam tradisi Hindu sebagai “sanatana dharma”. Bahkan lebih dari itu pemahaman ini, menurut Nasr, adalah “agama yang ÍanÊf” (primordial religion) itu sendiri yang ditegaskan dan diejawantahkan oleh Islam dengan sangat sempurna.[29] Adapun di bawah level ini, kemutlakan agama-agama adalah nisbi, layaknya seperti beragamnya bahasa yang mengungkapkan Kebenaran yang Esa yang menjelma di dunia yang beragam sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan model dasarnya (archetypal possibilities).[30]
Untuk lebih menguatkan argumen-argumen tentang keaslian dan orisinalitas semua agama serta keabsahannya untuk diikuti di setiap saat dan semua tempat, Seyyed Hossein Nasr menambahkan hujjah-hujjah teologis yang sangat krusial, yaitu Íikmah (kebijakan), ‘adl (keadilan), dan irÉdah (kehendak) Tuhan. Ia berpendapat bahwa, adalah bertentangan dengan “kebijakan” dan “keadilan” Tuhan untuk membiarkan agama-agama dunia dalam kesesatan selama beribu-ribu tahun, padahal berjuta-juta manusia telah mencari jalan keselamatan dan pencerahan melaluinya. Maka dengan demikian, pluralisme agama memang merupakan “kehendak” Tuhan, dan sebagai konsekwensi logisnya, semua agama adalah benar dan absah untuk diikuti. Khusus yang menyangkut Kristen, dalam hal ini Nasr menyatakan:
If this was simply a mistake, how could God allow, with his infinite wisdom and justice, one of the major religions of the world within which millions of people have sought their salvation, to be misguided for two thousand years? Was this simply a mistake? That is a very important theological question to consider.
So I believe that  . . .  it was divinely willed.[31]
(Jika hal ini hanyalah sebuah kesilapan, bagaimana Tuhan dengan kebijakan dan keadilanNya yang tak terbatas dapat membiarkan salah satu agama besar dunia di mana di dalamnya  berjuta-juta manusia telah mencari keselamatan, untuk tersesat selama dua ribu tahun? Apakah ini hanya sekedar sebuah kesilapan? Masalah ini merupakan suatu pertanyaan teologis yang sangat penting untuk dipertimbangkan.
Jadi saya yakin bahwa . . . itu semua memang dikehendaki Tuhan).
Dalam konteks pandangan “tradisional” terhadap keberagaman agama ini, pertanyaan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain secara teoretis menjadi tidak relevan. Sebab semua agama adalah orisinil dan berasal dari asal yang sama. Dan oleh sebab itu Nasr berpendapat, bahwa memeluk atau mengimani agama apa saja, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secara sempurna berarti memeluk dan mengimani semua agama, maka dari itu tiada tindakan yang lebih sia-sia dan lebih berbahaya daripada upaya-upaya menciptakan sinkretisme yang dipilih-pilih dari berbagai agama untuk sekedar mencapai universalisme.[32] Pernyataan ini merupakan kritik pedas terhadap tren sinkretistik yang menurut Nasr lebih didasarkan pada emosionalisme daripada rasionalisme, dan sekaligus bukti konkrit bahwa kaum “tradisionalis”, penganjur filsafat perennial, bukanlah penganjur sinkretisme sebagaimana yang dikira oleh sementara peneliti semacam Parrinder.[33]
Para penganjur filsafat perennial sangat concern dengan menghidupkan kembali tradisi-tradisi sakral dan memelihara kesemuanya secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain dan tanpa berusaha mengingkari kesakralan hal-hal yang memang sepatutnya disakralkan, juga tanpa berusaha mencampur-adukkan antara sesuatu yang mutlak dan yang nisbi. Oleh karena itu, Nasr kemudian menyimpulkan bahwa semua agama adalah ibarat “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead to the same summit”).[34]

Catatan Kritis
Barangkali yang sangat menarik dari tesis Nasr ini, dan oleh karena itu perlu dicermati secara kritis, adalah ambisinya untuk menghidupkan dan mengefektifkan  kembali “tradisi” untuk menangkis arus dan banjir bandang reduksionisme, relativisme dan desakralisasi yang melanda dunia modern akibat proses sekularisasi yang demikian kuat. Tapi apakah ikhtiyar “tradisionalisme” yang diusung oleh kaum “tradisionalis” ini valid dan solid?
Di kalangan peneliti, banyak yang meragukan validitasnya. William C. Chittick, misanya, berpendapat bahwa tesis ini dari sudut pandang epistemologi modern tampak asing, dan tidak sesuai dengan konteks keilmuan kontemporer.[35] Penilaian yang hampir serupa juga dilontarkan oleh Adnan Aslan, bahwasanya tesis “tradisionalisme” ini mengandung permasalahan krusial dalam dirinya. Sebab, tesis ini mengklaim ingin memberikan solusi bagi orang-orang yang terkena krisis kemodernan, namun sayang sekali treatment ini disampaikan dalam bentuk yang tidak menarik mereka, atau dalam bahasa yang tidak mereka fahami.[36] Ditambah lagi, menurut Aslan, konsep pluralisme yang dikembangkan kaum “tradisionalis” boleh jadi bisa merangkul seluruh agama dalam suasana yang sakral, tapi selama ia meyakini keabsahan seluruh bentuk tradisi, maka tidak akan mampu memberikan solusi apapun terhadap konflik-konflik antar-agama baik yang berkenaan dengan akidah maupun moral-etika.[37]
 Kritikan-kritikan semacam ini menunjukkan betapa asing dan anehnya tesis ini dalam konteks epistemologi modern. Sumber utama keasingan dan keanehan ini adalah ketidaksolidan dasar-dasar bangunan tesis ini, juga ketidak-definitif-an sumber-sumber acuannya –yakni, hakikat Íikmah abadi, atau sophia perennis, atau scientia sacra, atau tradisi, atau wahyu. Semuanya ini merupakan istilah-istilah yang tidak jelas, tidak definitif dan tidak ada batasannya yang jelas kecuali apa yang didiskripsikan Rene Guenon, pelopor gagasan ini, sebagai “adat-istiadat atau nilai-nilai atu prinsip-prinsip tradisional yang diwarisi dan diterima manusia dari berbagai latar belakang agama dan tradisi secara positif dari generasi ke generasi sepanjang sejarah baik di Timur maupun di Barat.”[38] Akan tetapi apa sebenarnya “tradisi” atau “warisan” ini? Pertanyaan ini muncul dengan sendirinya, karena fenomena keberagamaan dalam semua masyarakat sepanjang sejarah menunjukkan bahwa setiap komunitas masyarakat memeluk atau memiliki agama atau tradisi tertentu, dan agamanya atau tradisinya adalah yang paling benar (dalam komunitas Yahudi, agama Yudaisme adalah satu-satunya agama yang benar, begitu juga dalam Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dst.). Namun di dalam masyarakat-masyarakat ini tidak pernah diketahui sama sekali adanya sebuah filsafat yang sophisticated yang disebut perennial philosophy atau hikmah abadi yang mengarah pada persatuan agama-agama. Dengan demikian, tradisi yang mana yang dijadikan sandaran kaum “tradisionalis” untuk membangun gagasan pluralismenya? Jika mereka mengklaim bersandar pada kaum mistik semisal Ibn ‘ArabÊ dan Meister Ekhart, maka jelas sandaran ini njomplang. Benar, keduanya adalah tradisionalis, tapi bukan tradisional dalam arti yang dimaksudkan oleh kaum “tradisionalis”. Pertama, karena keduanya, sebagaimana yang disinyalir Aslan, tidak pernah mengungkapkan gagasan-gagasannya yang berkenaan dengan keragaman agama, dalam berbagai karangannya, sebagai upaya untuk meyakinkan nalar manusia modern.[39] Kedua, karena Ibn ‘ArabÊ khususnya, sikapnya terhadap fenomena keragaman agama tidaklah seperti kaum “pluralis” yang cenderung kepada prinsip persamaan, relativisme, dan reduksionisme; dan tidak juga seperti kaum “tradisionalis”, para pengusung Íikmah abadi, yang cenderung memilah-milah antara kebenaran esoterik yang absolutely absolute dan kebenaran eksoterik yang relatively absolute.
Lebih dari itu, gagasan ini mengidap self-inconsistency. Karena untuk berlaku adil kepada semua agama, kaum “tradisionalis” ini telah dengan terpaksa membuat pemilahan antara kebenaran esoterik yang absolutely absolute dan kebenaran eksoterik yang relatively absolute. Maka dengan demikian, gagasan “tradisional” ini sejatinya tak ada bedanya dengan gagasan-gagasan pluralis pada umumnya kecuali hanya dalam kadar (degree). Yakni jika kadar relativisme agama-agama dalam gagasan-gagasan pluralis secara umum cenderung negatif, maka dalam gagasan “tradisional” ini cenderung agak positif. Dan hal ini jelas tidak dapat melepaskan gagasan ini dari aib relativisme yang justeru ingin dihindarinya. Dan yang membuatnya sangat rentan dan tidak mampu mewujudkan cita-citanya, adalah pandangannya kepada agama yang “reduksionistik”, di mana ia tidak mengakui jurisdiksi agama kecuali dalam wilayah kehidupan manusia yang sangat pribadi dan sempit, dan membiarkan dimensi-dimensi kehidupannya yang lain untuk diatur oleh sistem-sistem non-agama (sekular). Dengan demikian, gagasan ini tanpa disadari telah terjebak dalam sekularisasi dan bahkan menyahami secara aktif proses sekularisasi.
Selain itu, gagasan “tradisional” ini seringkali membasiskan tesisnya atau menalarkannya melalui, prinsip-prinsip dan terminologi-terminologi Islam, satu hal yang membuat sebagian peneliti untuk mengkategorikannya sebagai Islami, padahal belum tentu ada sangkut-pautnya dengan Islam.[40] Diantaranya yang sangat penting adalah konsep “al-dÊn al-ÍanÊf” (agama primordial) dan konsep atau istilah yang dikenal dalam gnostisisme Islam atau sufisme dengan “al-tawÍÊdu wÉÍid” yang diinggriskan Nasr menjadi “the doctrine of Unity is unique”. Memang, apa yang dipaparkan Nasr tentang konsep “al-dÊn al-ÍanÊf” tidak ada yang bertentangan dengan akidah Islam, dalam arti bahwa agama tawÍÊd adalah satu-satunya agama yang diturunkan Allah swt. untuk seluruh umat manusia lewat serangkaian para rasul dan nabi sepanjang zaman. Oleh karena itu agama tawÍÊd ini merupakan a melting pot seluruh agama atau titik persatuan semua agama (atau lebih tepatnya: syaria’at-syari’at samawi).[41] Namun kejanggalan segera kita temukan ketika Nasr (mengikuti jejak gurunya, Frithjof Schuon) mencoba menyederhanakan “al-dÊn al-ÍanÊf” ini menjadi kebenaran esoterik yang “absolutely absolute”, dan sementara itu semua agama yang dianggapnya sebagai penjelmaan-penjelmaan kebenaran esoterik ini juga absolut atau benar tapi relatif, yakni “relatively absolute”. Artinya Islam, Kristen, Yudaisme, Hinduisme, Buddhisme dan lain-lain adalah sama persis dalam kebenaran relatifnya.
Sebetulnya, relativisme ini jika yang dimaksudkan Nasr adalah merujuk pada masa partikularnya (temporal relativism), maka masih dapat dibenarkan. Tapi sayangnya bukan ini yang dimaksudkan oleh Nasr dan para gurunya, melainkan adalah relatif yang absolut. Bahkan, untuk mempertegas gagasan ini, Nasr  berargumentasi dengan hujjah-hujjah teologis yang sangat krusial, yaitu Íikmah (kebijakan), ‘adl (keadilan), dan irÉdah (kehendak) Tuhan. Namun ia lupa atau pura-pura lupa bahwa membiarkan suatu agama hidup dalam ketersesatan selama dua ribu tahun bagi Allah swt tidaklah menyalahi Íikmah ilÉhiyyah dan ‘adl ilÉhÊ  sama sekali. Boleh jadi disitu ada manfaat dan hikmah yang lebih besar bagi umat manusia secara umum, seperti kompetisi yang dinamis yang sangat berguna bagi manusia menuju kehidupan yang lebih baik.[42]
Begitu juga, seakan-akan Prof. Nasr mengabaikan bahwa Allah swt. kadang menciptakan sesuatu dan Dia menghendakinya secara ontologis (kawniyyah) dan legalistis (shar‘iyyah), namun kadang juga menciptakan sesuatu dan Dia menghendakinya secara ontologis tapi tidak secara legalistis. Dalam hal Divine will (kehendak Tuhan) ini, seorang Muslim sepenuhnya yakin bahwasanya segala sesuatu yang dikehendakiNya mesti terjadi, tak ada yang bisa menahan dan menyoal, dan bahwasanya apa saya yang dikehendakiNya mesti baik dan penuh dengan hikmah di sebaliknya. Allah menciptakan cahaya sebagaimana juga menciptakan kegelapan, iman juga kufr, surga dan neraka. Semuanya itu mengandung kebaikan dan sekaligus hikmah.
Demikianlah, konsep “al-dÊn al-ÍanÊf” telah mengalami distorsi yang demikian dahsyat agar sesuai dengan gagasan “tradisionalisme” hikmah abadi yang berujung pada kesetaraan agama-agama. Dengan demikian, gagasan ini tidak saja semakin menjauh dari Islam yang diklaimnya sebagai basis utama bangunannya, tapi juga semakin menjauh dari harapan-harapan yang dicitakannya. Oleh karena itu ia lebih merupakan problem dari pada solusi bagi masalah keragaman agama. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian Al-FÉrËqÊ berkesimpulan bahwa: “. . . it avails nothing. It does not provide criteria for settling differences among the religions of the world, nor does it provide positive indications for conduct.”[43]


[1] Seyyed Hossein Nasr telah membeberkan tesisnya perennial philosophy atau philosophia perennis ini secara detail dan panjang lebar dalam berbagai karyanya. Lihat: Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Lahore: Suhail Academy, [1981] 1988); --------, The Need for a Sacred Science (Surrey: Curzon Press, 1993); --------, Islam and the Plight of Modern Man (Lahore: Suhail Academy, [1988] 2nd impression 1994), Bab 3, 27-36; --------, Sufi Essays (Albany: State University of New York Press, 1972), Bab IX, 123-51; --------, ‘The Philosophia Perennis and the Study of Religion,’ dalam Whaling, Frank (ed.), The World’s Religious Traditions: Current Perspectives in Religious Studies (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984), 181-200.
[2] Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (London: Fontana Books, [1946] 3rd impression 1961), 9.
[3] Dalam berbagai karyanya, Nasr menyebut mereka sebagai “The Master”. Bandingkan dengan analisis dan pengamatan Adnan Aslan dalam bukunya, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy (Surrey: Curzon Press, 1998), 43.
[4] Perlu diketahui bahwa dunia akademis ilmiah di Barat mempunyai ukuran dan standar tersendiri dalam mengapresiasi dan mengakui karya-karya ilmiah dan para pelakunya. Gifford lectures yang pertama kali dipresentasikan pada tahun 1889 di Universitas Edinburgh merupakan puncak apresiasi pengakuan ilmiah ini. Kuliyah-kuliyah Gifford ini lengket dengan nama-nama besar para sarjana, filosuf dan teolog yang pernah menyampaikan serial kuliyahnya, seperti F. Max Muller dalam ilmu perbandingan agama, dan William James dalam bidang ilmu jiwa dan filsafat pragmatisme. Dan pada tahun 1981, Seyyed Hossein Nasr mendapat kehormatan untuk menyampaikan serial kuliyahnya dalam bidang filsafat perennis di arena ilmiah yang sangat bergengsi ini dengan judul Knowledge and the Sacred.
[5] Huxley, The Perennial Philosophy, 9.
[6] Hal ini adalah yang ditegaskan juga oleh Huxley di bagian lain dalam bukunya. Ibid, 136-7.
[7] Rene Guenon, Crisis of the Modern World (Lahore: Suhail Academy, [1942] 1981), 15.
[8] Ibid, 15-27.
[9] Ibid, 47. Guenon menjelaskan hakikat “ilmu sakral” ini dan karakteristiknya secara gamblang, dengan menunjukkan perbedaan-perbedaanya dengan “ilmu profan”. [Lihat: ibid, 37-50]. Kemudian “ilmu sakral” ini menjadi kosakata penting tren pemikiran ini, dan Seyyed Hossein Nasr merasa perlu menjabarkannya dan mengembangkannya dalam sebuah buku yang ia beri judul dengan ilmu ini, yakni The Need for A Sacred Science, dan dalam salah satu bab dalam kitabnya yang lain yang terbit sebelumnya Knowledge and the Sacred, hal. 130-59.
[10] Lihat: Paul Valliere, ‘Tradition’, dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, vol. 15, 1-16; juga Nicholas Abercrombie et al (eds.), The Penguin Dictionary of Sociology (London: Penguin Books, [1984] 2nd ed. 1988).
[11] Definisi ini diambil dari Nasr, Knowledge and the Sacred, 67-8. Penjelasan lebih lanjut tentang “tradisi” menurut para penganjur Hikmah Abadi, lihat: ibid, 65-92.
[12] Lebih lanjut Guenon menjelaskan makna ini, bahwa:
The real traditional outlook is always and everywhere the same, regardless of what form it may assume; the various forms that are specially adapted to suit different mental conditions and different circumstances of time and place are but expressions of one and the same truth. [Guenon, Crisis of the Modern World, 25]. (cetak miring dari penulis).
Dan di bagian lain Guenon juga menjelaskannya, bahwa “Meskipun bentuk-bentuk (tradisi) itu mungkin banyak dan beragam..., tapi metafisik tetaplah satu, sebagaimana Kebenaran (the Truth) tidak lain hanyalah satu.” [Ibid, 38.]
[13] Klaim ini sangat jelas sekali bagi siapa saja yang menatap judul-judul buku yang ditulis oleh kaum “tradisionalis”. Lihat, misalnya, Crisis of the Modern World oleh Rene Guenon; dan Islam and the Plight of Modern Man oleh Seyyed Hossein Nasr.
[14] Bandingkan Adnan Aslan yang berpendapat bahwa issue pluralitas agama bagi tren “tradisionalisme” hanyalah issue sekunder, sebab segenap perhatian kaum tradisionalis sebetulnya hanya tertumpu pada upaya menghidupkan kembali ilmu-ilmu tradisional. Lihat: Aslan, Religious Pluralism.., 114.
[15] Nasr, Knowledge and the Sacred, 292.
[16] Parrinder menganggap Frithjof Schuon sebagai salah satu penganjur sinkretisme (Geoffrey Parrinder, Comparative Religion, hal. 79), karena dalam kata-katanya ada yang mungkin bisa ditafsirkan seperti itu. Tapi jika diteliti dengan seksama tidaklah demikian seperti yang akan disinggung di belakang nanti.
[17] Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Perancis pada tahun 1948. Di sini saya berpegangan pada Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh Peter Townsend (New York, London: Harper Torchbooks, [1948] 1975).
[18] Nasr, Knowledge and the Sacred, 282.
[19] Untuk menjelaskan teorinya tentang pluralisme agama dari sudut pandang tradisional atau sophia perennis, Schuon telah menulis banyak buku. Di antara yang terpenting, di samping buku yang telah disebutkan di atas, adalah: Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh J. Peter Hobson (Lahore: Suhail Academy, [1976] 1985); -------, Esoterism as Principle and as Way, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh William Stoddart (Pates Manor, Bedfont, Middlesex: Perennial Books, [1978] 1981); -------, Sufism: Veil and Quintessence, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh William Stoddart (Lahore: Suhail Academy, [1979] 1985).
[20] Huston Smith, salah seorang tokoh sophia perennis, mencoba menyederhanakan gagasan pelik ini dengan gambar berbentuk piramida. Lihat dalam kata pengantarnya untuk buku Schuon, The Transcendent Unity of Religions, hal. xii. Kata pengantar ini banyak membantu kita dalam memahami tesis-tesis Schuon yang kompleks.
[21] Uraian detail mengenai keterbatasan hakikat eksternal (The Limitations of Exoterism) ini, lihat: Ibid., 6-30. Lebih lanjut ia, misalnya, berkata:
The exoteric claim to the exclusive possession of unique truth, or of Truth without epithet [absolutely Absolute], is therefore an error purely and simply; in reality, every expressed truth necessarily assums a form, that of its expression, and it is metaphysically impossible that any form should possess a unique value to the exclusion of other forms; for a form, by definition, cannot be unique and exclusive, that is to say, it cannot be the only possible expression of what it expresses. Form implies specification or distinction, and the specific is only conceivable as a modality of a “species,” that is to say, of a category that includes a combination of analogous modalities. [Ibid., 17].
[22] Ibid.
[23] Schuon sendiri mengakui bahwa konsep “relatively absolute” yang ia perkenalkan dan kembangkan untuk menjelaskan hakikat eksoterik mungkin tampak kontradiktif, tapi menurutnya sangat cocok dan sesuai dengan fakta yang nyata. Lihat: Schuon, The Transcendent Unity of Religions, 86.
[24] Nasr, Knowledge and the Sacred, 292-4.
[25] Lihat: Ibid., 292; juga bukunya The Need for A Sacred Science, 63-4; dan karyanya yang lain ‘The Philosophia Perennis,’ 191-2.
[26] Nasr, Knowledge and the Sacred, 292
[27] Ibid., 294-5.
[28] Ibid., 295.
[29] Nasr, Sufi Essays, 132-3; juga bukunya Ideals and Realities of Islam, 32-3.
[30] Nasr, Knowledge and the Sacred, 293.
[31] Interview Nasr dengan Adnan Aslan yang dimuat dalam appendix bukunya Religious Pluralism, dengan judul ‘Religions and the Concept of the Ultimate,’ 262.
[32] Nasr, Knowledge and the Sacred, 296;  juga bukunya Ideals and Realities of Islam, 16.
[33] Parrinder menganggap bahwa Frithjof Schuon mewakili aliran sinkretisme dari kalangan akademis. Lihat: Parrinder, Comparative Religion, 79.
[34] Nasr, Knowledge and the Sacred, 293.
[35] Aslan, Religious Pluralism, 231.
[36] Ibid., 128.
[37] Kritik Aslan lebih lanjut, lihat: Ibid., 128-9.
[38] Guenon, Crisis of the Modern World, 15-27.
[39] Aslan, Religious Pluralism, 129.
[40] Dr. Adnan Aslan, misalnya, dalam bukunya Religious Pluralismin Christian and Islamic Philosophy, menjadikan Seyyed Hossein Nasr sebagai representatif pemikiran Islam tentang pluralisme agama.
[41] Nasr, Sufi Essays, 131-2.
[42] MukhtÉr Al-AsadÊ, ‘Al-Ta‘addudiyyah al-DÊniyyah: Ru’É LÉhËtiyyah wa KalÉmiyyah,’ dalam Al-TawÍÊd, Th. 19, No. 105, (Musim Gugur 1421H./2000M.), 88.
[43] IsmÉ‘Êl R. al-FÉrËqÊ, ‘Meta-Religion,’ 40.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...