by; Dr. Anis Malik Toha
Mukaddimah
Seyyed Hossein Nasr adalah pengusung gagasan “tradisionalisme” yang
membawa misi yang dinamakan “hikmah abadi” (al-×ikmah al-KhÉlidah atau Perennial
Philosophy atau Sophia Perennis). Gagasan ini, menurutnya, adalah respon kritis terhadap tren pluralisme
agama yang muncul di era modern sebagai upaya memberikan solusi teo-filosofis
bagi problem pluralitas agama. Menurut Nasr, tren-tren plualisme agama yang ada
ternyata telah membawa sejumlah dampak negatif terhadap agama-agama, dan,
dengan demikian, lebih merupakan problem dari pada solusi. Dampak yang pertama
adalah penistaan, atau bahkan penghalauan, segala sesuatu yang berbau sakral (desacralization),
dan dengan demikian, disadari atau tidak, tren-tren tersebut adalah sama dengan
proses sekularisasi, atau bahkan memang merupakan salah satu mekanismenya; dan
pereduksian (reductionism) absolutisme agama-agama hingga menjadi
“relatif” (relativization). Dampak yang kedua adalah runtuh dan
melelehnya segala bentuk dan perbedaan yang karakteristik dari
realitas-realitas yang beragam. Maka oleh karenanya, tesis “tradisionalisme”
ini berambisi dan mengklaim ingin mengembalikan agama-agama ke habitat asal-kesucian
dan kesakralannya yang sempurna lagi absolut (resacralization), serta
ingin memperlakukan semuanya secara adil dan sejajar sepenuhnya.[1]
Apa gerangan hakikat tesis atau gagasan yang sangat ambisius ini? Apa
dasar-dasar teologis dan filosofisnya? Dan bagaimana metode pendekatannya
terhadap fenomena pluralitas agama?
Akar Konsep Tradisionalisme
Menurut Nasr, begitu juga para pendahulunya, tesis “tradisionalisme” ini
berakar pada “filsafat perennial”, yang “sebetulnya hakikatnya adalah universal
dan telah ada sejak dahulu kala (immemorial).”[2]
Namun perlu dicatat bahwa dikenalnya “perennial philosophy” sebagai mazhab
filsafat dan mistisisme serta sebagai worldview adalah berkat usaha
keras ketiga tokoh pelopor yang disebut-sebut Nasr sebagai “The Masters” (para
Guru), yakni Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy dan Frithjof Schuon.[3] Kemudian,
yang menginterpretasikan filsafat ini dan mengelaborasi serta mengembangkannya
hingga mendapat pengakuan ilmiah yang sejajar dan setaraf dengan
filsafat-filsafat modern yang lain adalah Seyyed Hossein Nasr dalam karya magnum
opus-nya yang berjudul Knowledge and the Sacred, yang semula adalah
merupakan serangkaian kuliyah-kuliyahnya, Gifford Lectures, yang
ia sampaikan di universitas Edinburg pada tahun 1981.[4]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa “tradisionalisme”
sebetulnya merupakan kecenderungan pemikiran baru, yang mana sosoknya belum
mengkristal dan terlihat secara konkrit kecuali pada kira-kira dua dasa warsa
terakhir abad ke-20 yang lalu, hanya saja para penganjurnya mengklaim bahwa
hakikatnya, prinsip-prinsipnya dan dasar-dasarnya sudah ada sejak dahulu kala,
sangat tua setua komunitas manusia primitif di seluruh pelosok dunia, dan tak
pernah mengalami perubahan kecuali hanya pada level bentuk luaran atau manifestasi
dan ekspresinya saja.[5]
Maka, tema utama “tradisionalisme” adalah
“hakikat esoteric” yang abadi, menjadi
asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan terekspresikan dalam bentuk
“hakikat-hakikat exoteric” dengan bahasa yang berbeda-beda.[6]
Hakikat yang pertama adalah “hakikat transenden” yang tunggal, sementara yang
kedua adalah “hakikat-hakikat relijius” yang merupakan manifestasi-manifestasi
eksternal hakikat transenden tadi yang tampak warna-warni dan saling berseberangan.
Cara pandang ini kemudian menjadi pakem “tradisionalisme” dalam memandang
segala realitas atau hakikat yang ada dalam wujud, termasuk hakikat keberagaman
atau pluralitas agama. Dan cara pandang ini ditahbiskan oleh Rene Guenon,
seorang pelopor gagasan ini, sebagai “normal” dan “tradisional”,[7]
karena didasarkan pada apa yang menurutnya adalah adat-istiadat, nilai-nilai,
prinsip-prinsip, atau hikmah tradisional yang diwarisi dan diterima secara
positif oleh semua manusia dari berbagai agama dan suku sepanjang zaman, di
Timur maupun Barat.[8] Oleh karena tren pemikiran
ini diklaim sebagai tradisional, maka semua ilmu dan pengetahuan yang berkenaan
dengannya disebut “ilmu-ilmu tradisional”, kemudian para pegiat dan
penganjurnya juga disebut “tradisionalis”. Dan oleh karena ilmu-ilmu tradisional
ini berkaitan erat dan langsung dengan prinsip-prinsip dasar metafisik yang
sebagian besarnya berhubungan dengan hal-hal yang sakral, maka kemudian
ilmu-ilmu ini pada gilirannya menyatu dalam “ilmu suci atau sakral” (scientia
sacra or sacred knowledge).[9]
Istilah “tradisi” yang dipakai oleh kaum “tradisionalis” tidak seperti
yang dimaksudkan oleh para ahli perbandingan agama, sosiolog dan anthropolog
abad modern pada umumnya. Bagi sosisolog tradisi adalah sejumlah adat-istiadat,
tradisi, keyakinan, etika dan moral yang diwarisi sekelompok masyarakat
tertentu dari generasi ke generasi[10]
(dan dengan demikian ia hampir mendekati konsep agama). Bagi kaum tradisionalis
istilah tradisi sudah mengalami perkembangan, atau lebih tepatnya variasi dalam
makna sebagaimana yang dijelaskan Guenon atau yang didefinisikan oleh muridnya,
Seyyed Hossein Nasr. Tradisi adalah “Realitas-realitas
atau prinsip-prinsip dasar ketuhanan yang asli yang diwahyukan kepada seluruh
manusia dan segenap alam lewat perantara para rasul, nabi, avatara, dan Logos,
atau perantara-perantara yang lain, dengan berbagai cabang prinsip tersebut dan
aplikasinya dalam berbagai bidang – termasuk hukum, bangunan sosial, seni,
simbol, dan berbagai macam ilmu....”[11]
(dengan demikian “tradisi” adalah kebalikan “modernisme” dan “sekularisme”).
Tradisionalisme dan Pluralisme
Asas-asas “tradisional” yang telah dijelaskan
diatas adalah medium yang mengantarkan para kaum “tradisionalis” kepada satu
kepercayaan secara ijmɑ bahwa semua agama, yang hidup maupun yang mati,
adalah merupakan different theophanies of the same Truth (bentuk-bentuk
penjelmaan yang beragam dari “Kebenaran” yang tunggal).[12]
Nalar “tradisional”, atau mungkin lebih tepatnya: “epistemologi
tradisional”, ini jualah yang membuat “tradisionalisme” ini secara sepintas
nampak berbeda dengan tren-tren pluralistik yang lain. Sebab sebagaimana yang
diklaim kaum “tradisionalis”, tren ini memperlakukan semua agama secara fair
dan mengakui kemutlakan masing-masing agama sepenuhnya serta menolak setiap
gagasan yang ingin merelatifkannya. Dengan kata lain, tren ini mengklaim ingin
menghargai semua agama, baik dalam hal eksistensi, hakikat maupun kesakralannya
tanpa reduksi, sebagaimana yang dilakukan oleh tren-tren humanis sekular, dan
tanpa upaya melunturkan salah satu bentuk-bentuknya sebagaimana yang dilakukan
oleh tren-tren sinkretistik.
Semua ini menunjukkan dengan jelas betapa krusial serta sentralnya
tradisi dan pandangan tradisional, sehingga menurut kaum “tradisionalis” perlu
dihidupkan kembali untuk melakukan tugas suci – menyelamatkan ummat manusia
dari krisis dunia modern.[13]
Krisis ini pada dasarnya muncul sebagai akibat langsung dari sikap permusuhan
dan kebencian akal modern “yang (katanya) tercerahkan” terhadap segala sesuatu
yang berbau sakral, serta kegagalannya memahami hakikat “Kebenaran” (the
Truth) dan “Hakikat” (the Reality), termasuk hakikat warna-warni
agama, dengan pemahaman yang tepat, benar dan integral.
Dalam kerangka upaya-upaya intens kaum “tradisionalis” menghidupkan
kembali “ilmu-ilmu tradisional” dan “ilmu sakral” ini, isu pluralitas agama
kemudian menyembul ke permukaan dan mendapat perhatian yang cukup besar. Sebab,
meskipun isu ini hanyalah salah satu aspek dari sophia perennis,[14]
tetapi sejatinya menurut Nasr merupakan aspek yang penting dan sangat krusial
bagi kehidupan relijius dan spiritual manusia masa kini. Lebih lanjut ia
berkata:
In fact, if there is one really new and significant dimension to the
religious and spiritual life of man today, it is this presence of other worlds
of sacred form and meaning not as archaeological or historical facts and
phenomena but as religious reality.[15]
(Sesungguhnya, jika ada dimensi kehidupan
beragama dan spiritual manusia modern yang memang benar-benar baru dan
signifikan, maka ia adalah kehadiran dunia-dunia sakral yang lain, bukan
sebagai fakta dan fenomena arkeologis atau historis, tapi sebagai realitas
agama.)
Di antaranya yang paling getol mengulas dan menginterpretasikan isu ini
dari sudut pandang tradisional adalah Frithjof Schuon. Schuon, menurut G. Parrinder, termasuk
penganjur sinkretisme,[16]
padahal tidak benar begitu seperti yang akan kita lihat nanti. Bukunya yang
terkenal berjudul The Transcendent Unity of Religions[17]
adalah merupakan buku yang terpenting dalam topik ini. Kemudian disusul
muridnya yang “tercerahkan”, Seyyed Hossein Nasr, yang dengan konsep “Hikmah
Abadi” mendapat pengakuan akademis dunia.
Argumentasi Nasr
Berangkat dari nalar “tradisional” ini, agama-agama yang menurut Nasr
merupakan salah satu dari tiga wujud sosok utama penjelmaan Zat yang Absolut (grand
theophanies of the Principle),[18]
mempunyai dua realitas atau hakikat: esoteric dan exoteric;
substansi (substance) dan aksiden (accident); esensi (essence)
dan bentuk (form); batin (inward) dan lahir (outward). Dua
hakikat ini, sebagaimana Schuon menjelaskan,[19]
dipisahkan oleh sebuah garis horizontal; dan bukan vertikal seperti yang lazim
diasumsikan untuk memisahkan antara yang satu dengan yang lain – Hindu dari
Buddha, Islam, Kristen, dst. Dengan kata lain, garis ini memanjang melintasi
semua agama dan memisahkannya secara horizontal sekaligus, sehingga yang di
atas garis adalah hakikat batiniyah (esoteric) dan yang di bawahnya
adalah hakikat lahiriyah (exoteric).
Gagasan yang sedikit pelik ini bisa disederhanakan dengan sebuah ibarat
piramida dimana Tuhan berada di titik puncak, atau kepala piramida, sementara
semua agama mengalir ke bawah dari titik tersebut; begitu juga dalam waktu yang
sama semua agama naik dari bawah ke atas saling berdekatan dan akhirnya bertemu
di titik tersebut.[20]
Dan inilah gambaran ringkas suatu gagasan yang dituangkan Schuon dalam apa yang
ia sebut “the transcendent unity of religions” (kesatuan transenden
agama-agama), yakni kesatuan yang melampaui segala macam bentuk dan sosok lahiriyah,
eksternal. Oleh karena itu Schuon berpendapat bahwa berhenti pada bentuk dan
sosok eksternal (exoteric) serta menganggapnya sebagai “absolut secara
absolut” (absolutely absolute) adalah kesalahan yang sangat fatal, sebab
kebenaran eksternal (exoteric truth) pada hakikatnya dibatasi oleh
batasan-batasan konseptual ekspresif dan definitif.[21]
Dengan kata lain, bahwa yang mutlak atau absolut dalam semua agama, termasuk
Islam, adalah dimensi esoteriknya, adapun dimensi eksoteriknya harus tetap
relatif untuk berkoeksistensi dengan agama-agama besar yang lain.[22]
Namun meski begitu, relativitas dimensi eksoterik ini sama sekali tidak
akan mempengaruhi kemutlakan atau absolutisme masing-masing agama dalam
kaitannya dengan dunia partikularnya sendiri. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Seyyed Hossein Nasr mencoba memberikan penjelasan mengenai pernyataan yang
secara lahirnya tampak kontradiktif dan confusing ini dengan menggunakan
konsep kunci (key concept) yang telah diperkenalkan oleh gurunya,
Frithjof Schuon, sebelumnya: yaitu konsep “absolut secara relatif” (relatively
absolute).[23]
Konsep ini meskipun tampak kontradikitif, menurut Nasr adalah sangat kaya
dengan makna yang penting dan krusial sekali untuk menyelesaikan problem
pluralitas agama atau klaim-klaim kebenaran yang saling berseberangan (the
conflicting truth-claims). Hal ini menurut Nasr bisa dijelaskan, pertama,
lewat pandangan “tradisional” yang selalu menegaskan apa yang ia sebut sebagai
“Primordial Truth”, yaitu: bahwa “only the Absolute is absolute” (hanya
Zat yang Absolut saja yang absolut). Oleh karena itu, apa saja selain yang
Absolut, baik sosok-sosok jelmaan umumnya dan agama-agama khususnya, masuk ke dalam
wilayah relatif. Namun, oleh karena agama merupakan sosok jelmaan Zat yang
Absolut (the Truth), maka segala sesuatu yang ada dalam agama, termasuk
hal-hal yang diwahyukan melalui wahyu atau Logos: seperti al-Qur’an bagi
Islam dan Yesus Kristus bagi Kristen, sudah barang tentu sakral dan oleh
karenanya absolut tanpa harus menjadi Zat yang Absolut itu sendiri.[24]
Maka dari itu, keabsolutan suatu agama tidaklah mutlak, akan tetapi nisbi atau
relatif – yakni sesuai dengan dunia partikularnya dan lingkungannya sendiri.
Nasr mengibaratkannya seperti matahari persis: dalam sistem tatasurya kita,
matahari kita adalah matahari satu-satunya namun dalam waktu yang sama ia
hanyalah salah satu dari sejumlah matahari yang ada di galaksi ini. Wujudnya
matahari-matahari yang lain sama sekali tidak menjadikan matahari kita berhenti
menjadi matahari kita sendiri dan pusat tatasurya kita serta pemberi kehidupan
alam kita dan seterusnya.[25]
Maka setiap tatasurya mempunyai mataharinya sendiri yang khusus yang, dalam
waktu yang sama, adalah “a sun” (salah satu matahari) dan “ the Sun” (satu-satunya matahari). Jika tidak, bagaimana
mungkin matahari yang terbit setiap pagi dan menyinari jagad kita adalah
sesuatu yang lain dan bukan (satu-satunya) matahari itu sendiri?[26]
Dan demikianlah semua agama, ia adalah agama (nakirah) dan sekaligus
juga agama (ma‘rifah).
Kemudian, kedua, lewat apa yang Nasr sebut “archetype”
(model dasar, atau model di alam ideal). Ia berpendapat bahwa setiap agama
sejatinya adalah penjelmaan atau manifestasi dari model dasar yang merupakan salah satu aspek
dari hakikat ketuhanan. Hakikat utuh suatu agama, seperti Kristen dan Islam,
sebagaimana yang wujud dalam meta-sejarah (meta-history) dan sebagaimana
manifest secara nyata sepanjang sejarahnya, tidak lain adalah sesuatu yang
telah tertulis dalam model dasarnya di alam ideal. Oleh karena itu perbedaan dalam
model-model dasar ini adalah yang sejatinya menentukan perbedaan tabiat setiap
agama, dan pada gilirannya timbullah keberagaman agama. Namun meski begitu,
model-model dasar ini selalu merefleksikan atau mengekspresikan fokus yang
tunggal dan terangkum dalam jangkauan lingkaran yang tunggal pula. Oleh karena
itu, setiap satunya pada hakikatnya merefleksikan atau mengekspresikan hakikat
ketuhanan yang sekaligus adalah merupakan fokus dan lingkaran yang inklusif.[27]
Memandang agama-agama melalui model-model dasarnya, atau bahwa
agama-agama mempunyai model-model archetypal, beserta kewujudannya dan
penjelmaannya di alam sejarah yang riil, menurut Nasr, menunjukkan secara
meyakinkan bahwa agama-agama sesungguhnya adalah “mutlak secara relatif” (relatively
absolute), dan bahwa setiap agama adalah agama (a religion) dan
agama (the religion) pada waktu yang sama,[28]
dan bahwa hanya Zat yang Mutlak sajalah yang selalu “mutlak secara mutlak” (absolutely
absolute).
Seluruh interpretasi dan analisis “tradisional” ini dari awal sampai
akhir menegaskan apa yang digagas dan dianjurkan serta dipertahankan oleh kaum
perennialis, yakni gagasan “kesatuan transenden agama-agama” yang diungkapkan
dengan fasih oleh Frithjof Scuon di atas tadi. Kesatuan ini terjadi pada level
“mutlak” yang adalah “Kebenaran” (the Truth) dan sekaligus “Riil” (the
Real), dan sumber segala wahyu dan kebenaran. Hal ini menurut Seyyed Hossein
Nasr adalah juga yang dimaksudkan dari sebuah ungkapan dalam tradisi
gnostisisme Islami (sufisme) “al-tawÍÊdu wÉÍid” (the doctrine of
unity is unique), dan juga yang dikenal dalam tradisi Hindu sebagai “sanatana
dharma”. Bahkan lebih dari itu pemahaman ini, menurut Nasr,
adalah “agama yang ÍanÊf” (primordial religion) itu sendiri yang
ditegaskan dan diejawantahkan oleh Islam dengan sangat sempurna.[29] Adapun di bawah level
ini, kemutlakan agama-agama adalah nisbi, layaknya seperti beragamnya bahasa
yang mengungkapkan Kebenaran yang Esa yang menjelma di dunia yang beragam
sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan model dasarnya (archetypal
possibilities).[30]
Untuk lebih menguatkan argumen-argumen tentang keaslian dan orisinalitas
semua agama serta keabsahannya untuk diikuti di setiap saat dan semua tempat, Seyyed
Hossein Nasr menambahkan hujjah-hujjah teologis yang sangat krusial, yaitu Íikmah
(kebijakan), ‘adl (keadilan), dan irÉdah (kehendak) Tuhan. Ia
berpendapat bahwa, adalah bertentangan dengan “kebijakan” dan “keadilan” Tuhan
untuk membiarkan agama-agama dunia dalam kesesatan selama beribu-ribu tahun,
padahal berjuta-juta manusia telah mencari jalan keselamatan dan pencerahan melaluinya.
Maka dengan demikian, pluralisme agama memang merupakan “kehendak” Tuhan, dan
sebagai konsekwensi logisnya, semua agama adalah benar dan absah untuk diikuti.
Khusus yang menyangkut Kristen, dalam hal ini Nasr menyatakan:
If this was simply a mistake, how could God
allow, with his infinite wisdom and justice, one of the major religions of the
world within which millions of people have sought their salvation, to be
misguided for two thousand years? Was this simply a mistake? That is a very
important theological question to consider.
So I believe that
. . . it was divinely willed.[31]
(Jika hal ini hanyalah sebuah kesilapan,
bagaimana Tuhan dengan kebijakan dan keadilanNya yang tak terbatas dapat
membiarkan salah satu agama besar dunia di mana di dalamnya berjuta-juta manusia telah mencari
keselamatan, untuk tersesat selama dua ribu tahun? Apakah ini hanya sekedar
sebuah kesilapan? Masalah ini merupakan suatu pertanyaan teologis yang sangat
penting untuk dipertimbangkan.
Jadi saya yakin bahwa . . . itu semua memang
dikehendaki Tuhan).
Dalam konteks pandangan “tradisional” terhadap keberagaman agama ini,
pertanyaan tentang superioritas agama tertentu di atas yang lain secara
teoretis menjadi tidak relevan. Sebab semua agama adalah orisinil dan berasal
dari asal yang sama. Dan oleh sebab itu Nasr berpendapat, bahwa memeluk atau
mengimani agama apa saja, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secara sempurna
berarti memeluk dan mengimani semua agama, maka dari itu tiada tindakan yang
lebih sia-sia dan lebih berbahaya daripada upaya-upaya menciptakan sinkretisme
yang dipilih-pilih dari berbagai agama untuk sekedar mencapai universalisme.[32]
Pernyataan ini merupakan kritik pedas terhadap tren sinkretistik yang menurut
Nasr lebih didasarkan pada emosionalisme daripada rasionalisme, dan sekaligus
bukti konkrit bahwa kaum “tradisionalis”, penganjur filsafat perennial,
bukanlah penganjur sinkretisme sebagaimana yang dikira oleh sementara peneliti
semacam Parrinder.[33]
Para penganjur filsafat perennial sangat concern dengan
menghidupkan kembali tradisi-tradisi sakral dan memelihara kesemuanya secara
adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain dan
tanpa berusaha mengingkari kesakralan hal-hal yang memang sepatutnya
disakralkan, juga tanpa berusaha mencampur-adukkan antara sesuatu yang mutlak
dan yang nisbi. Oleh karena itu, Nasr kemudian menyimpulkan bahwa semua agama adalah
ibarat “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all paths lead
to the same summit”).[34]
Catatan Kritis
Barangkali
yang sangat menarik dari tesis Nasr ini, dan oleh karena itu perlu dicermati
secara kritis, adalah ambisinya untuk menghidupkan dan mengefektifkan kembali “tradisi” untuk menangkis arus dan
banjir bandang reduksionisme, relativisme dan desakralisasi yang melanda dunia
modern akibat proses sekularisasi yang demikian kuat. Tapi apakah ikhtiyar
“tradisionalisme” yang diusung oleh kaum “tradisionalis” ini valid dan solid?
Di kalangan
peneliti, banyak yang meragukan validitasnya. William C. Chittick, misanya, berpendapat bahwa tesis ini dari sudut
pandang epistemologi modern tampak asing, dan tidak sesuai dengan konteks
keilmuan kontemporer.[35]
Penilaian yang hampir serupa juga dilontarkan oleh Adnan Aslan, bahwasanya
tesis “tradisionalisme” ini mengandung permasalahan krusial dalam dirinya.
Sebab, tesis ini mengklaim ingin memberikan solusi bagi orang-orang yang
terkena krisis kemodernan, namun sayang sekali treatment ini disampaikan
dalam bentuk yang tidak menarik mereka, atau dalam bahasa yang tidak mereka
fahami.[36]
Ditambah lagi, menurut Aslan, konsep pluralisme yang dikembangkan kaum
“tradisionalis” boleh jadi bisa merangkul seluruh agama dalam suasana yang
sakral, tapi selama ia meyakini keabsahan seluruh bentuk tradisi, maka tidak
akan mampu memberikan solusi apapun terhadap konflik-konflik antar-agama baik
yang berkenaan dengan akidah maupun moral-etika.[37]
Kritikan-kritikan semacam ini
menunjukkan betapa asing dan anehnya tesis ini dalam konteks epistemologi
modern. Sumber utama keasingan dan keanehan ini adalah ketidaksolidan
dasar-dasar bangunan tesis ini, juga ketidak-definitif-an sumber-sumber
acuannya –yakni, hakikat Íikmah abadi, atau sophia perennis, atau
scientia sacra, atau tradisi, atau wahyu. Semuanya ini
merupakan istilah-istilah yang tidak jelas, tidak definitif dan tidak ada
batasannya yang jelas kecuali apa yang didiskripsikan Rene Guenon, pelopor gagasan
ini, sebagai “adat-istiadat atau nilai-nilai atu prinsip-prinsip tradisional
yang diwarisi dan diterima manusia dari berbagai latar belakang agama dan
tradisi secara positif dari generasi ke generasi sepanjang sejarah baik di
Timur maupun di Barat.”[38]
Akan tetapi apa sebenarnya “tradisi” atau “warisan” ini? Pertanyaan ini muncul
dengan sendirinya, karena fenomena keberagamaan dalam semua masyarakat
sepanjang sejarah menunjukkan bahwa setiap komunitas masyarakat memeluk atau
memiliki agama atau tradisi tertentu, dan agamanya atau tradisinya adalah yang
paling benar (dalam komunitas Yahudi, agama Yudaisme adalah satu-satunya agama
yang benar, begitu juga dalam Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dst.). Namun di
dalam masyarakat-masyarakat ini tidak pernah diketahui sama sekali adanya
sebuah filsafat yang sophisticated yang disebut perennial philosophy
atau hikmah abadi yang mengarah pada persatuan agama-agama. Dengan
demikian, tradisi yang mana yang dijadikan sandaran kaum “tradisionalis” untuk
membangun gagasan pluralismenya? Jika mereka mengklaim bersandar pada kaum
mistik semisal Ibn ‘ArabÊ dan Meister Ekhart, maka jelas sandaran ini njomplang.
Benar, keduanya adalah tradisionalis, tapi bukan tradisional dalam arti yang
dimaksudkan oleh kaum “tradisionalis”. Pertama, karena keduanya,
sebagaimana yang disinyalir Aslan, tidak pernah mengungkapkan gagasan-gagasannya
yang berkenaan dengan keragaman agama, dalam berbagai karangannya, sebagai
upaya untuk meyakinkan nalar manusia modern.[39]
Kedua, karena Ibn ‘ArabÊ khususnya, sikapnya terhadap fenomena keragaman
agama tidaklah seperti kaum “pluralis” yang cenderung kepada prinsip persamaan,
relativisme, dan reduksionisme; dan tidak juga seperti kaum “tradisionalis”,
para pengusung Íikmah abadi, yang cenderung memilah-milah antara
kebenaran esoterik yang absolutely absolute dan kebenaran eksoterik yang
relatively absolute.
Lebih dari itu, gagasan ini mengidap self-inconsistency. Karena
untuk berlaku adil kepada semua agama, kaum “tradisionalis” ini telah dengan
terpaksa membuat pemilahan antara kebenaran esoterik yang absolutely
absolute dan kebenaran eksoterik yang relatively absolute. Maka
dengan demikian, gagasan “tradisional” ini sejatinya tak ada bedanya
dengan gagasan-gagasan pluralis pada umumnya kecuali hanya dalam kadar (degree).
Yakni jika kadar relativisme agama-agama dalam gagasan-gagasan pluralis secara
umum cenderung negatif, maka dalam gagasan “tradisional” ini cenderung agak
positif. Dan hal ini jelas tidak dapat melepaskan gagasan ini dari aib
relativisme yang justeru ingin dihindarinya. Dan yang membuatnya sangat rentan
dan tidak mampu mewujudkan cita-citanya, adalah pandangannya kepada agama yang
“reduksionistik”, di mana ia tidak mengakui jurisdiksi agama kecuali dalam
wilayah kehidupan manusia yang sangat pribadi dan sempit, dan membiarkan
dimensi-dimensi kehidupannya yang lain untuk diatur oleh sistem-sistem
non-agama (sekular). Dengan demikian, gagasan ini tanpa disadari telah terjebak
dalam sekularisasi dan bahkan menyahami secara aktif proses sekularisasi.
Selain itu, gagasan
“tradisional” ini seringkali membasiskan tesisnya atau menalarkannya melalui,
prinsip-prinsip dan terminologi-terminologi Islam, satu hal yang membuat
sebagian peneliti untuk mengkategorikannya sebagai Islami, padahal belum tentu ada
sangkut-pautnya dengan Islam.[40] Diantaranya yang sangat
penting adalah konsep “al-dÊn al-ÍanÊf” (agama primordial) dan konsep
atau istilah yang dikenal dalam gnostisisme Islam atau sufisme dengan “al-tawÍÊdu
wÉÍid” yang diinggriskan Nasr menjadi “the doctrine of Unity is unique”.
Memang, apa yang dipaparkan Nasr tentang konsep “al-dÊn al-ÍanÊf” tidak
ada yang bertentangan dengan akidah Islam, dalam arti bahwa agama tawÍÊd
adalah satu-satunya agama yang diturunkan Allah swt. untuk seluruh umat manusia
lewat serangkaian para rasul dan nabi sepanjang zaman. Oleh karena itu agama tawÍÊd
ini merupakan a melting pot seluruh agama atau titik persatuan semua
agama (atau lebih tepatnya: syaria’at-syari’at samawi).[41] Namun kejanggalan segera
kita temukan ketika Nasr (mengikuti jejak gurunya, Frithjof Schuon) mencoba
menyederhanakan “al-dÊn al-ÍanÊf” ini menjadi kebenaran esoterik yang “absolutely
absolute”, dan sementara itu semua agama yang dianggapnya sebagai
penjelmaan-penjelmaan kebenaran esoterik ini juga absolut atau benar tapi
relatif, yakni “relatively absolute”. Artinya Islam, Kristen, Yudaisme,
Hinduisme, Buddhisme dan lain-lain adalah sama persis dalam kebenaran
relatifnya.
Sebetulnya, relativisme
ini jika yang dimaksudkan Nasr adalah merujuk pada masa partikularnya (temporal
relativism), maka masih dapat dibenarkan. Tapi sayangnya bukan ini yang
dimaksudkan oleh Nasr dan para gurunya, melainkan adalah relatif yang absolut.
Bahkan, untuk mempertegas gagasan ini, Nasr
berargumentasi dengan
hujjah-hujjah teologis yang sangat krusial, yaitu Íikmah (kebijakan), ‘adl
(keadilan), dan irÉdah (kehendak) Tuhan. Namun ia lupa atau pura-pura
lupa bahwa membiarkan suatu agama hidup dalam ketersesatan selama dua
ribu tahun bagi Allah swt tidaklah
menyalahi Íikmah ilÉhiyyah dan ‘adl ilÉhÊ sama sekali. Boleh jadi disitu ada manfaat
dan hikmah yang lebih besar bagi umat manusia secara umum, seperti kompetisi
yang dinamis yang sangat berguna bagi manusia menuju kehidupan yang lebih baik.[42]
Begitu juga,
seakan-akan Prof. Nasr mengabaikan bahwa
Allah swt. kadang menciptakan sesuatu dan Dia menghendakinya secara ontologis
(kawniyyah) dan legalistis (shar‘iyyah), namun kadang juga
menciptakan sesuatu dan Dia menghendakinya secara ontologis tapi tidak secara
legalistis. Dalam hal Divine will (kehendak Tuhan) ini, seorang Muslim
sepenuhnya yakin bahwasanya segala sesuatu yang dikehendakiNya mesti terjadi,
tak ada yang bisa menahan dan menyoal, dan bahwasanya apa saya yang
dikehendakiNya mesti baik dan penuh dengan hikmah di sebaliknya. Allah
menciptakan cahaya sebagaimana juga menciptakan kegelapan, iman juga kufr,
surga dan neraka. Semuanya itu mengandung kebaikan dan sekaligus hikmah.
Demikianlah,
konsep “al-dÊn al-ÍanÊf” telah mengalami distorsi yang demikian dahsyat
agar sesuai dengan gagasan “tradisionalisme” hikmah abadi yang berujung
pada kesetaraan agama-agama. Dengan demikian, gagasan ini tidak saja semakin
menjauh dari Islam yang diklaimnya sebagai basis utama bangunannya, tapi juga
semakin menjauh dari harapan-harapan yang dicitakannya. Oleh karena itu ia
lebih merupakan problem dari pada solusi bagi masalah keragaman agama. Maka
tidaklah mengherankan jika kemudian Al-FÉrËqÊ berkesimpulan bahwa: “. . . it avails
nothing. It does not provide criteria for settling differences among the
religions of the world, nor does it provide positive indications for conduct.”[43]
[1] Seyyed Hossein Nasr telah membeberkan tesisnya perennial
philosophy atau philosophia perennis ini secara detail dan panjang
lebar dalam berbagai karyanya. Lihat: Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the
Sacred (Lahore: Suhail Academy, [1981] 1988); --------, The Need for a
Sacred Science (Surrey: Curzon Press, 1993); --------, Islam and the
Plight of Modern Man (Lahore: Suhail Academy, [1988] 2nd impression 1994),
Bab 3, 27-36; --------, Sufi Essays (Albany: State University of New
York Press, 1972), Bab IX, 123-51; --------, ‘The Philosophia Perennis
and the Study of Religion,’ dalam Whaling, Frank (ed.), The World’s
Religious Traditions: Current Perspectives in Religious Studies
(Edinburgh: T. & T. Clark, 1984), 181-200.
[2] Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (London:
Fontana Books, [1946] 3rd impression 1961), 9.
[3] Dalam berbagai karyanya, Nasr menyebut mereka sebagai
“The Master”. Bandingkan dengan analisis dan pengamatan Adnan Aslan dalam
bukunya, Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy (Surrey:
Curzon Press, 1998), 43.
[4] Perlu diketahui bahwa dunia akademis ilmiah di Barat
mempunyai ukuran dan standar tersendiri dalam mengapresiasi dan mengakui
karya-karya ilmiah dan para pelakunya. Gifford lectures yang pertama
kali dipresentasikan pada tahun 1889 di Universitas Edinburgh merupakan puncak
apresiasi pengakuan ilmiah ini. Kuliyah-kuliyah Gifford ini lengket dengan
nama-nama besar para sarjana, filosuf dan teolog yang pernah menyampaikan
serial kuliyahnya, seperti F. Max Muller dalam ilmu perbandingan agama, dan
William James dalam bidang ilmu jiwa dan filsafat pragmatisme. Dan pada tahun
1981, Seyyed Hossein Nasr mendapat kehormatan untuk menyampaikan serial
kuliyahnya dalam bidang filsafat perennis di arena ilmiah yang sangat bergengsi
ini dengan judul Knowledge and the Sacred.
[5] Huxley, The Perennial Philosophy, 9.
[6] Hal ini adalah yang ditegaskan juga oleh Huxley di
bagian lain dalam bukunya. Ibid,
136-7.
[7] Rene Guenon, Crisis of the Modern World (Lahore:
Suhail Academy, [1942] 1981), 15.
[8] Ibid, 15-27.
[9] Ibid,
47. Guenon menjelaskan hakikat “ilmu sakral” ini dan karakteristiknya secara
gamblang, dengan menunjukkan perbedaan-perbedaanya dengan “ilmu profan”. [Lihat:
ibid, 37-50]. Kemudian “ilmu
sakral” ini menjadi kosakata penting tren pemikiran ini, dan Seyyed Hossein Nasr
merasa perlu menjabarkannya dan mengembangkannya dalam sebuah buku yang ia beri
judul dengan ilmu ini, yakni The Need for A Sacred Science, dan dalam
salah satu bab dalam kitabnya yang lain yang terbit sebelumnya Knowledge and
the Sacred, hal. 130-59.
[10] Lihat: Paul Valliere, ‘Tradition’, dalam Mircea Eliade (ed.),
The Encyclopedia of Religion, vol. 15, 1-16; juga Nicholas Abercrombie et
al (eds.), The Penguin Dictionary of Sociology (London: Penguin Books,
[1984] 2nd ed. 1988).
[11] Definisi ini diambil dari Nasr, Knowledge and the
Sacred, 67-8. Penjelasan lebih lanjut tentang “tradisi” menurut para
penganjur Hikmah Abadi, lihat: ibid, 65-92.
[12] Lebih lanjut Guenon menjelaskan
makna ini, bahwa:
The
real traditional outlook is always and everywhere the same, regardless of what
form it may assume; the various forms that are specially adapted to suit
different mental conditions and different circumstances of time and place are
but expressions of one and the same truth. [Guenon, Crisis of the Modern World, 25]. (cetak
miring dari penulis).
Dan
di bagian lain Guenon juga menjelaskannya, bahwa “Meskipun bentuk-bentuk
(tradisi) itu mungkin banyak dan beragam..., tapi metafisik tetaplah satu,
sebagaimana Kebenaran (the Truth) tidak lain hanyalah satu.” [Ibid, 38.]
[13] Klaim ini sangat jelas sekali bagi siapa saja yang
menatap judul-judul buku yang ditulis oleh kaum “tradisionalis”. Lihat,
misalnya, Crisis of the Modern World oleh Rene Guenon; dan Islam and
the Plight of Modern Man oleh Seyyed Hossein Nasr.
[14] Bandingkan Adnan Aslan yang berpendapat bahwa issue
pluralitas agama bagi tren “tradisionalisme” hanyalah issue sekunder, sebab
segenap perhatian kaum tradisionalis sebetulnya hanya tertumpu pada upaya
menghidupkan kembali ilmu-ilmu tradisional. Lihat: Aslan, Religious
Pluralism.., 114.
[15] Nasr, Knowledge and the Sacred, 292.
[16] Parrinder menganggap Frithjof Schuon sebagai salah satu
penganjur sinkretisme (Geoffrey Parrinder, Comparative Religion, hal.
79), karena dalam kata-katanya ada yang mungkin bisa ditafsirkan seperti itu.
Tapi jika diteliti dengan seksama tidaklah demikian seperti yang akan disinggung
di belakang nanti.
[17] Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Perancis pada
tahun 1948. Di sini saya berpegangan pada Frithjof Schuon, The Transcendent
Unity of Religions, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh Peter Townsend
(New York, London: Harper Torchbooks, [1948] 1975).
[18] Nasr, Knowledge and the Sacred, 282.
[19] Untuk menjelaskan teorinya tentang pluralisme agama dari
sudut pandang tradisional atau sophia perennis, Schuon telah menulis
banyak buku. Di antara yang terpenting, di samping buku yang telah disebutkan
di atas, adalah: Frithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy,
diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh J. Peter Hobson (Lahore: Suhail
Academy, [1976] 1985); -------, Esoterism as Principle and as Way,
diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh William Stoddart (Pates Manor, Bedfont,
Middlesex: Perennial Books, [1978] 1981); -------, Sufism: Veil and
Quintessence, diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh William Stoddart
(Lahore: Suhail Academy, [1979] 1985).
[20] Huston Smith, salah seorang tokoh sophia perennis,
mencoba menyederhanakan gagasan pelik ini dengan gambar berbentuk piramida.
Lihat dalam kata pengantarnya untuk buku Schuon, The Transcendent Unity of
Religions, hal. xii. Kata pengantar ini banyak membantu kita dalam memahami
tesis-tesis Schuon yang kompleks.
[21] Uraian detail mengenai keterbatasan hakikat eksternal (The Limitations of
Exoterism) ini, lihat: Ibid.,
6-30. Lebih lanjut ia, misalnya,
berkata:
The
exoteric claim to the exclusive possession of unique truth, or of Truth without
epithet [absolutely Absolute], is therefore an error purely and simply; in
reality, every expressed truth necessarily assums a form, that of its
expression, and it is metaphysically impossible that any form should possess a
unique value to the exclusion of other forms; for a form, by definition, cannot
be unique and exclusive, that is to say, it cannot be the only possible expression
of what it expresses. Form implies specification or distinction, and the
specific is only conceivable as a modality of a “species,” that is to say, of a
category that includes a combination of analogous modalities. [Ibid., 17].
[23]
Schuon sendiri mengakui bahwa konsep “relatively
absolute” yang ia perkenalkan dan kembangkan untuk menjelaskan hakikat
eksoterik mungkin tampak kontradiktif, tapi menurutnya sangat cocok dan sesuai
dengan fakta yang nyata. Lihat: Schuon, The Transcendent Unity of Religions,
86.
[25]
Lihat: Ibid.,
292; juga bukunya The Need for A Sacred Science, 63-4; dan karyanya yang
lain ‘The Philosophia Perennis,’ 191-2.
[31]
Interview Nasr dengan Adnan Aslan yang dimuat dalam
appendix bukunya Religious Pluralism, dengan judul ‘Religions and the
Concept of the Ultimate,’ 262.
[33]
Parrinder menganggap bahwa Frithjof Schuon mewakili
aliran sinkretisme dari kalangan akademis. Lihat: Parrinder, Comparative
Religion, 79.
[40] Dr. Adnan Aslan, misalnya, dalam bukunya Religious
Pluralismin Christian and Islamic Philosophy, menjadikan Seyyed Hossein
Nasr sebagai representatif pemikiran Islam tentang pluralisme agama.
[42] MukhtÉr Al-AsadÊ, ‘Al-Ta‘addudiyyah al-DÊniyyah: Ru’É LÉhËtiyyah
wa KalÉmiyyah,’ dalam Al-TawÍÊd, Th. 19, No. 105, (Musim Gugur
1421H./2000M.), 88.