Kamis, 25 April 2013

Makna dan Arti Islam Sebagai Din Menurut al-Attas


Islam telah ditulis dalam berjilid-jilid buku sebagai sebuah agama, khusunya mengenai makna penyerahan diri secara umum. Ada juga yang menekankan makna Islam dari sisi hukum dan ritualnya. Meskipun begitu, jarang kita jumpai analisa kritis terhadap konsep dÊn dipandang dari sisi hakekat penyerahan diri yang terpancar dari rasa keberhutangan, sebagaimana yang diuraikan oleh al-Attas, yaitu menganalisa konsep dÊn yang berakar dari Perjanjian antara ruh manusia dan Tuhan. Dalam membangun pandangan ini, al-Attas menerangkan makna agama dalam Islam sebagaimana yang terekspresikan dalam terma dÊn.

Kami akan membuktikan bahwa pandangan al-Attas ini berhasil menjelaskan makna sesungguhnya dari terma IslÉm yang terefleksikan dalam makna konsepsi ‘agama’, dÊn; karena IslÉm bukan sekedar sebuah konsep, tetapi sesuatu yang mengejawantah dalam realitas secara intim dan hidup dalam pengalaman manusia. Konsep ini berakar pada al-Qur’an, yaitu dalam konsep Perjanjian (al-mÊthÉq). Dia menekankan bahwa nama agama, Islam, sebenarnya adalah definisi agama: berserah diri kepada Tuhan. Dia menambahkan bahwa “dalam ide penyerahan diri itu sendiri berimplikasi pada rasa, kepercayaan dan amal; dan elemen paling mendasar dalam tindakan berserah diri kepada Tuhan itu adalah adanya rasa keberhutangan manusia kepada Tuhan karena telah memberinya kewujudan.”

Berdasarkan hal di atas, artikel ini juga berusaha menyingkap ide-ide dasar dan pendekatan al-Attas dalam pandangannya mengenai hakekat dÊn, atau agama. Secara khusus ia menyoroti tiga aspek tentang Islam (i) sebagai penyerahan diri (submission), (ii) sebagai definisi agama, dan (iii) sebagai nama khusus sebuah agama. Kami menegaskan bahwa Islam sebagai sebuah agama bukan sekedar suatu kumpulan aturan hukum, dan juga tidak terbatas pada masalah ritual saja, tetapi meliputi ruang kehidupan dimana tawÍÊd berfungsi sebagai dasar bagi penyerahan diri (submission).

Istilah bahasa Arab yang tepat untuk kata religion sebagaimana yang dipahami dan dipraktekan di Barat dan Timur menurut al-Attas adalah millah  dan bukan  dÊn, karena kata  dÊn dalam bahasa Arab kaya akan pengertian, dimana tidak dapat dibatasi dengan istilah religion/agama saja. Kata  dÊn  berasal dari akar kata bahasa Arab dyn. Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas, berbagai pengertian primer dari terma dÊn dapat disarikan menjadi empat konsepsi utama: keberhutangan (indebtedness), penyerahan diri (submissiveness), kekuatan hukum (judicious power), dan kecenderungan atau tendensi alamiah.

Menurut al-Attas, pemberian terbesar yang diterima oleh tiap orang adalah kewujudannya. Ketika hidupnya terancam, orang biasanya akan mengorbankan apa saja untuk menyelamatkan dirinya. Atas alasan inilah manusia itu sesungguhnya berhutang kepada Tuhan atas keber-ada-annya dan semua karunia duniawi untuk mencukupi hidupnya. Al-Attas mendiskusikan berbagai derivasi dari kata kerja dÉna, yang berarti menjadi berhutang, dan bagaimana ia berkaitan erat dengan arti yang lain, seperti ‘menyerah kepada sang pituang’ atau juga dÉ’in, yaitu rasa tanggungjawab atau ketaatan kepada piutang, hukuman atau daynËnah, dan penghukuman atau idÉnah. 

Bukan itu saja, al-Attas juga berhasil menunjukkan akar kata dyn dalam arti baru yang belum pernah dikatakan oleh ilmuwan sebelumnya. Yaitu hubungannya dengan konsepsi kata tamaddun, yang berarti peradaban dan perbaikan, maddana yang berarti membangun kota atau membudayakan dan memanusiakan (civilize and humanize), dan madÊnah yang berarti kota. Dari sini terlihat bahwa semua empat pengertian utama beserta lawan katanya adalah secara logika saling berkaitan, yang menjabarkan Islam sebagai agama. Pengertian ini sangat komprehensip karena mencakupi rasa keberhutangan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Hal ini pada akhirnya akan membentuk peradaban imbang yang menghargai aspek kehidupan materi tetapi tidak meninggalkan dimensi spiritual.

Dengan adanya pemahaman yang holistik ini, pikiran seseorang akan dapat menghargai secara lebih baik petunjuk ilahi dalam al-Qur’an dan sabda Nabi yang menyoroti empat pengertian utama ini. Untuk mengakui berhutang sepenuhnya kepada Tuhan atas kewujudannya, seseorang haruslah mengakui bahwa sebelum dia ada di dunia ini dia adalah tidak ada (nothing). Ayat-ayat al-Qur’an seperti al-Mu’minËn (23):12-14, al-insÉn (76): 1-2, memberikan penekanan logis dua pertanyaan kepada kepada kaum kafir; Adakah mereka diciptakan dari ketidak-ada-an (nothingness), atau mereka menciptakan dirinya sendiri. Jika manusia nyatanya tidak menciptakan dirinya sendiri, dan tidak juga mereka muncul dari ketidak-ada-an, maka satu-satunya kemungkinan adalah mereka diciptakan  oleh Tuhan.

Selanjutnya, al-Attas berpendapat bahwa arti dari kata ‘submission’ dapat dilacak kembali kepada ide bahwa agama berakar dari Perjanjian (al-A‘rÉf (7):176). Dia menerangkan bahwa terma IslÉm pada dasarnya adalah definisi agama; peneyerahan diri kepada Tuhan. Elemen mendasar dari kepasrahan diri manusia kepada Tuhan adalah rasa keberhutangan kepada Tuhan atas kewujuduannya sebagai karunia dariNya. Ketika seseorang itu dalam keadaan berhutang maka ia hanya dapat membayar hutangnya dengan cara mengembalikan dirinya kepada pemiliknya karena inti dari hutangnya adalah dirinya itu sendiri. Mengembalikan dirinya berarti menjadi hamba Tuhan dengan melakukan ‘ibÉdah, mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada Tuannya. Karena itulah al-Attas menegaskan keunikan konsep ini bahwa penyerahan diri (penyerahan diri atau IslÉm sebagai nama agama) itu bukan hanya sekedar konsep umum dan bukan juga agama yang menekankan lebih banyak kepada aspek hukum atau ritual yang ketat, yang dinamakan aspek eksternal Islam saja, tetapi ia juga merujuk kepada dimensi internal; keduanya sama-sama penting.

Ketika membedakan secara jelas antara penyerahan diri yang pasrah dan tepat dan penyerahan diri yang terpaksa, Al-Attas menolak ide kesatuan transenden agama-agama. Berdasarkan analisa teks yang dia jelaskan, menurut dia, tidak semua jenis penyerahan diri itu benar dan dapat diterima. Penyerahan diri yang benar dan agama yang diterima oleh Tuhan adalah agama yang terpancar dari konsepsi keesaan Tuhan yang benar sebagaimana yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim dan para penerusnya dan dicontohkan oleh mereka dan direstui Tuhan. Konsepsi kesatuan Tuhan (tawÍÊd) yang betul akan menentukan jenis penyerahan diri dan dengan begitu juga menentukan kebenaran dan kepalsuan suatu agama. Ada perbedaan antara penyerahan diri dalam Islam dan penyerahan diri dalam agama lain yang telah mengembangkan sistem kepercayaannya sendiri berdasarkan tradisi budaya yang belum tentu berasal dari millah Nabi Ibrahim (a.s.).

Analisa linguistik al-Attas
Senada dengan konsep diatas, al-Attas memberikan penjelasan secara mendetail konsep  dÊn mengunakan analisa linguistik; dia mempertahankan bahwa pengertian dasar dari istilah dÊn adalah dapat dijelaskan menjadi empat hal: keberhutangan, penyerahan diri, kekuatan hukum dan kecondongan atau kecenderungan alami.[1]  Pengertian dasar ini menunjukan keimanan, keyakinan, amalan-amalan dan ajaran-ajaran sebagaimana tafsiran menenai tujuan Islam.

Dalam menjelaskan makna hutang yang berasal dari akar kata  dÉna  yang bermakna berhutang, jelaslah bahwa dÉ‘in mengacu pada seorang yang membawa dirinya sendiri  dalam pengertian mau mengerjakan yang orang lain perintahkan untuknya dan mematuhinya. Oleh karena itu, seorang manusia yang berada dalam kewajiban  ini (dyn) menyerahan pembalasan (daynËnah) dan hukuman dirinya  (idÉnah) kepada Tuhannya. Seorang yang menyadari konsep  dÊn mensyaratkan adanya cara bertindak-tanduk yang konsisten dengan apa yang tercermin dalam aturan-aturan hukum (code of conduct). Dengan demikian ini menjadi sebuah kebiasaan, dan  fiÏrah untuk siapa saja yang mengikuti konsep  dÊn ini.[2]

Selanjutnya, al-Attas menjelaskan pertentangan dari keempat pengertian dasar dari kata dÊn yang mengacu pada kata dÉ’in  dimana para sarjana sebelumnya belum pernah mengungkapkannya. Dia menghubungan pertentangan  ini dengan sifat manusia dan psikologi pembawaannya. Dia berpendapat bahwa dalam menterjemahkan sebuah konsep trasedental Islam ke dalam realitas kehidupan manusia, pertentangan semacam itu tidak dapat dihindari karena ini sesuai dengan sifat manusia itu sendiri:

Karena kita berhubungan dengan konsep Islam yang diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan yang secara intim dan mendalam hidup dalam pengalaman manusia, pertentangan yang jelas dalam pengertian dasarnya sungguh bukan disebabkan karena ketidakjelasan dari pengertian tersebut. Namun ini lebih disebabkan karena pertentangan yang ada dalam sifat manusia itu sendiri.[3]

Al-Attas berpendapat dengan cara yang sangat koheren dan menyakinkan bahwa bahwa empat pengertian dari hutang, penyerahan diri, kekuatan hukum, dan kecondongan atau kecenderungan alami dan pengertian-pengertian dibawahnya hanya dapat dipraktekan di dalam sebuah masyarakat yang tertata dengan kehidupan perdagangannya dan hubungan masyarakatnya di dalam sebuah kota (madÊnah). Kata bahasa Arab untuk kota adalah mudun atau madÉ’in yang mungkin merupakan turunan dari kata dÉna. Karena tidak akan pernah ada sebuah masyarakat yang berperadaban tanpa seorang hakim, penguasa, gubernur atau dayyÉn, kita menemukan bahwa keberadaaan fisik dan kehidupan yang berperadaban yang berkembang dalam sebuah kota merupakan cerminan secara linguistik  berasal dari istilah dÉna.  Dengan demikian, al-Attas menggambarkan pentingnya hubungan atara konsep dÊn dan madÊnah, sebagai berikut:

Ini menurut pemikiran saya sangatlah penting untuk melihat secara mendalam hubungan signifikan dan erat antara konsep dÊn dan konsep  madÊnah yang berasal dari kata dÊn tersebut, dan peranan orang-orang yang beriman secara perseorangan dalam hubungannya dengan konsep yang pertama dan secara kolektif dalam hubungannya dengan konsep yang kedua. Relevansi yang dapat dipertanggungjawabkan pasti dapat dilihat didalam pentingnya perubahan nama kota tersebut dari nama lama Yathrib menjadi al-MadÊnah: lebih jelasnya, MadÊnat-l-Nabiy: Kota Nabi yang mana perubahan ini terjadi segera setelah Nabi Muhammad S.A.W melakukan perjalanan bersejarahnya (hijrah) dan tinggal disana. Komunitas orang-orang beriman pertama dibentuk pertama di sana pada waktu itu, dan peristawa Hijrahlah yang memandai Era Baru dalam sejarah Umat manusia. Di sana orang-orang beriman mengabdikan diri di bawah kekuasaan dan hukum dari Nabi Muhammad, sebagai dayyÉn-nya; disanalah realisasi hutang kepada Tuhan mempunyai bentuk yang jelas, dan cara serta metode pembayaran yang disetujui mulai dibuka. Kota Nabi menandakan tempat dimana dÊn yang sebenarnya diundangkan di bawah kekuasaan dan hukumnya.[4]

Namun, ketika seseorang membaca analisa mendetail  dari empat pengertian dasar al-Attas tersebut, dia akan mendapatkan inspirasi akan adanya pertentangan dari keempatnya yang secara rapi menggambarkan konsep dÊn secara keseluruhan seperti bagian-bagian yang berbeda dari sebuah jigsaw puzzle. Untuk memahami pengertian-pengertian yang dikembangkan oleh al-Attas ini, kita perlu melihat secara singkat  arti dimana istilah  dÊn ini digunakan dengan mengamati konotasinya masing-masing.

1) DÊn sebagai Pertanggungjawaban
Dalam wahyu yang turun dalam periode awal, penekanannya adalah dalam sikap manusia dalam merespon wahyu Tuhan tersebut. Respon ini berwujud dalam bentuk takdhÊb dan taÎdÊq.[5] TakdhÊb berarti penolakan terhadap kekuasaan Tuhan, penolakan dan pengabaian keberadaan dan kemuliaanNya.[6] Sebaliknya, taÎdÊq bermakna penyambutan dan penerimaan terhadap semua hal tersebut.[7]  Manusia  yang merespon wahyu Tuhan yang disampaikan kepada rasulNya menerima dan menyambut Tuhan sebagai ilÉh maupun rabb.[8]  Respon positif dari orang-orang yang menerima adanya yawm al- dÊn adalah dari orang-orang yang beriman yang tabah dalam menjalankan shalat, dalam mengabdikan diri kepada Tuhan, dan juga dalam menjalankan tanggung-jawab social, yakni dengan melakukan kebajikan, membantu bagi orang yang membutuhkan, menganjurkan perbuatan yang baik dan melarang perbuatan yang mungkar {al-Baqarah (2): 177; al-Ma‘Érij (70): 26}. Ini merupakan hasil dari kesadaran diri akan kenyataan bahwa dia merasa berhutang kepada Tuhan yang telah menjadikannya berada di dunia ini dan terus-menerus ditolong olehNya. Di luar kesadaran ini perbuatan baik manusia berlangsung. Basis yang mendasari  manusia untuk menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengabdikan diri kepada Tuhannya adalah pengembalian dirinya kepada fitrahnya –kepada jati dirinya dengan jalan mengabdikan diri kepada Tuhannya atau merendahkan diri di hadapanNya. Pengembalian manusia kepada fitrahnya merupakan sebuah konsep spiritual, bukan aspek fisik dari keberadaannya. Oleh karena itu, manusia yang mendapat petunjuk dengan benar dengan sepenuh hati dan penuh kesadaran mengabdikan diri untuk kepentingan Tuhan agar supaya dapat memenuhi perintah, hukum-hukum dan menghindari laranganNya.[9] Ketika sampai pada kesimpulan ini, tampaklah jelas bahwa dÊn dalam makna pertanggungjawaban kepada Tuhan secara internal berhubungan dengan konsep penyerahan diri sebagaimana dipahami  dalam realitas prakteknya.

Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, pengembalian jati dirinya kepada sang Pencipta dengan jalan menundukkan jiwa kebinatangan, dalam bentuk penyerahan diri semua pengabdian dan  merendahkan diri  secara sadar, tanpa paksaan, penuh keikhlasan semata-mata untuk Tuhan dapat dicapai dengan jalan mematuhi perintah dari hukum-hukum Tuhan dan meninggalkan larangan-larangannnya. Sebagai akibat dari kesadaran untuk kembali ini, manusia akan memperoleh banyak keuntungan – pahala kebaikan yang berlipatganda pada Hari Pembalasan nanti.[10]

Sebaliknya, manusia yang menolak atau mengingkari akan adanya Hari Pembalasan yawm al- dÊn adalah mereka yang tetap terus hidup dalam sikap inkar terhadap nikmat Tuhan (famÉ yukadhdhibuka ba‘du bi al-dÊn) (al-TÊn (95): 7). Dalam hal ini, mereka mengingkari peringatan Tuhan (famÉ lahum ‘an al-tadhkirati mu‘riÌËn (al-Muddaththir (74): 49); dengan demikian mereka tidak mengakui akan adanya hari pembalasan (yawm al- dÊn). Sebagai pengantinya, mereka terus meragukan segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang mereka yakini benar (al-MuÏaffifÊn (83): 11; al- TÊn (95): 7; al-MÉ‘Ën (107): 1; al-Muddaththir (74): 46). Sikap yang mereka tunjukan yang penting merupakan kebalikan dari tindakan orang-orang yang beriman yang termasuk penyerahan diri pada Tuhan tanpa syarat. Penyerahan diri tanpa syarat ini sering disalah-pahami sebagai penyerahan semua kebebasan diri seseorang dan dengan demikian dia kehilangan hak atas dirinya sendiri dalam ketidakjelasan fanatisme total.  Meskipun demikian, Al-Attas  telah menunjukan bahwa kebebasan yang sebenarnya memang terdiri pada dasarnya jenis penyerah diri dalam pratek seperti ini. Pada kenyataannya, dengan berdasarkan pada pemahamannya, dia berpendapat bahwa kebingungan orang muncul dari kesalahpahaman mereka tentang sifat dari kebebasan yang sebenarnya dalam agama yang asli. Karena itulah istilah Al Qur’an dÊn akan dijelaskan disini.

Dengan demikian pada awal-awal pengunaannya, istilah yawm al-dÊn mengimplikasikan pertangggungjawaban sebagai salah satu maksud pengertan yang ada dalam konsep dÊn. Pertanggungjawaban manusia menjadi berarti hanya melalui kesadaran akan siapakah Tuhan itu dan apa yang Dia kerjakan..[11]  Pemahaman ini mempunyai implikasi langsung terhadap siapakah manusia dan apakah tanggunggungjawabnya kepada Tuhan. Pada masa permulaan diturunkannya Wahyu yang menyebutkan kepastian datangnya Hari Pembalasan (yawm al- dÊn) sebagai waktu penghitungan, hal tersebut dicemooh dan  ditertawakan oleh para pendengarnya.[12]  Ada janji bahwa orang yang bersalah harus dihukun dalam api neraka jahanam:
            Bukan saja begitu! bahkan kamu mendustakan hari pembalasan!
            Yang manakah mereka akan masuki di hari Pembalasan?
            Dan sudahkah engkau ketahui apa (yang dikatakan) hari Pembalasan?
            Lagi sudahkah, engkau ketahui apa (yang dikatakan) hari Pembalasan? (al-InfiÏar (82): 9-18)
            Orang-orang yang mendustakan hari Pembalasan  (al-MuÏaffifÊn (83):11).

Ini merupakan sebuah janji yang akan dipenuhi ketika manusia yang lemah dan kekuatan abosolut Tuhan itu ada, dan manusia harus berdiri di hadapan Tuhan. Karena Tuhan adalah Penguasa Hari Akhir yang pasti akan datang, pada saat itulah manusia dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya:

Dan siapakah yang lebih bagus agamanya daripada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, pada hal ia berbuat kebaikan, dan ia menurut agama Ibrahim yang ikhlas? Lantaran Allah telah jadikan Ibrahim itu kekasihNya.(al-NisÉ’ (4): 125).

2) DÊn sebagai Penyerahan Diri Total
Sesungguhnya arti dasar agama yang sesuai dengan makna dÊn adalah penyerahan diri dengan kepatuhan beribadah kepada Tuhan.[13] Konsep ini sangat tergantung kepada pengertian berikut, yakni konsep hutang manusia kepada Tuhan karena keberadaanya. Dalam hal ini, kita tahu bahwa hampir semua ayat-ayat Al-Qur’an berhubungan dengan tawÍÊd dan komitmen kepada Tuhan mensyaratkan timbal balik yang tepat, manusia harus beribadah untuk Dia sendiri saja, bukan untuk yang lainnya:

Maka serulah Allah dengan mengikhlaskan ibadat bagiNya, walaupun tidak disukai oleh orang-orang kafir. (GhÉfir (40): 14)
 
Dialah yang hidup, tidak ada Tuhan melainkan Dia, maka serulah dia dalam keadaan mengikhlaskan ibadat bagiNya. Puji-pujian bagi Allah Tuhan semesta alam! (GhÉfir (40): 65)
 
Sesungguhnya kami turunkan Kitab kepada engkau dengan sebenarnya, maka sembahlah Allah, serta mengikhlaskan agama bagiNya (jangan dipersekutukan dengan lainNya) (al-Zumar (39): 2)
 
Katakanlah: Hanya Allah aku sembah, serta mengikhlaskan agamaku bagiNya. (al-Zumar (39): 14)
 
Apabila mereka berlayar dengan kapal, mereka bermohon kepada Allah, serta mengikhlaskan agama kepadaNya(tidak mempersekutukanNya).  (al-‘AnkabËt (29):  65)
 
Dia (Allah) memperjalankan kamu di darat dan di laut, sehingga ketika kamu dalam kapal dan kapal itu berlayar dengan angin yang baik, sedang mereka bergembira, tiba-tiba bertiuplah angin topan dan datanglah ombak dari tiap-tiap penjuru, sehingga mereka menduga, bahwa mereka akan ditimpa bahaya, (ketika itu) mereka memohon kepada Allah, serta mengikhlaskan agama kepadaNya: Demi jika engkau lepaskan kami dari pada bahaya ini, niscaya kami berterimakasih. (YËnus (10): 22)
 
Katakanlah : “Tuhanku menyuruh dengan keadilan. Hadapkanlah mukamu lurus-lurus tiap-tiap sembahyang dan mintalah kepadaNya serta mengikhlaskan agama kepadaNya. Sebagaimana Allah telah memulai kejadianmu, begitu pula kamu kembali kepadaNya.” (al-A‘rÉf (7):29).


Dari ayat-ayat yang dikutip diatas, kata mukhliÎËna atau mukhliÎan digunakan, yang diterjemahkan dengan arti mengikhlaskan, penuh keimanan, atau murni..”[14]  kenyataannya, ikhlÉÎ merupakan faktor penentu diterimanya amal perbuatan seseorang. Ibn KathÊr berpendapat bahwa Tuhan tidak akan menerima amal perbuatan seseorang kecuali dilengkapi dengan dua syarat. Syarat yang pertama adalah  dorongan untuk melakukan amal perbuatan tersebut semata-mata hanya karena Allah SWT, dan yang kedua, setiap amal perbuatan tersebut harus sesuai dengan SharÊ‘ah.[15]  Pernyataan ini didukung dengan sebuah Hadith yang menyatakan: “Ikhlaslah dalam setiap amal perbuatanmu sehingga Tuhan akan menerimanya.” [16]  Konsep ikhlas ini  juga merupakan  akibat dari rasa berhutang yang ada dalam konsep  dÊn. Al Qur’Én menyatakan bahwa manusia tidak dapat lari dari kenyataan hidup dalam sebuah dÊn, karena semua makhluk harus tunduk dengan kehendak Tuhan..[17]  Makna keikhlasan dan penyerahan diri total kepada kehendak Tuhan menjadikan dÊn Islam  berbeda dengan agama-agama yang lain. Konsep penyerahan diri sebagai sebuah dimensi penting dÊn telah terjelaskan.

Ikhlas tidak hanya sebatas kata-kata atau komitmen, ini harus dijalankan dalam bentuk amal perbuatan, hidup secara totalitas sebagai abdi Tuhan,[18] karena seseorang benar-benar tidak mempunyai apa-apa untuk membayar hutangnya kepada Tuhan kecuali jati-dirinya sendiri.  Untuk membayarkan jati-dirinya, dia harus mengembalikan dirinya sendiri kepada Tuhan.  Pengembalian diri, sebagaimana disebutkan diatas, dilakukan dalam bentuk penyerahan dirinya sendiri sebagai abdi Tuhan. Karena inilah tujuan diciptakannya manusia (al-DhËriyÉt (51):56).[19]

Perintah berbuat ikhlas  yang merupakan sebuah definisi Islam itu sendiri,[20] dalam konteks ini merupakan sebuah komitmen total kepada dÊn Allah,  sebuah komitmen tanpa syarat,  sebuah komitmen yang tidak berfluktuasi, sebuah komitmen yang manusia tidak berhak merevisi;  inilah sebuah komitmen pokok kepada Yang Esa dan satu-satunya Tuhan..[21]

Sangatlah wajar bagi seseorang untuk memenuhi tujuan dari penciptaan atau keberadaannya. Dengan demikian, kewajiban manusia untuk mengabdi kepada Tuhan merupakan bagian dari kecenderungan natural ini. Kecenderungan natural dalam manusia untuk mengabdi kepada Tuhan dianggap sebagai  satu aspek dÊn, sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, salah satu arti penting dari istilah dÊn adalah , ‘kebiasaan’, ‘adat’, dan ‘kecenderungan alamai’.  Dalam hal ini, manusia dan totalitasnya adalah harmonis dan pas dengan pola ciptaan Tuhan.  Oleh karena itu, fiÏrah sama dengan sunnat AllÉh. Pada kenyataanya,  dÊn juga berarti  fiÏrah.[22]

Al Qur’an mengungkapkan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan sifat yang dia dapat mengambil pengetahuan dari keberadaanNya, Sang Pencipta satu-satunya, dan Penguasa dimana manusia harus menyerahkan dirinya sendiri untuk mengabdi (abd) (al-RËm (30): 30). Manusia, dengan sifat bawaan dari lahir ini, lahir sebagai abdi  untuk Penciptanya. Kesadaran akan sang Pencipta, Tuhan dan Penguasa, diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan yang dibawa sejak lahir untuk memperoleh dan mendapatkan pengetahuan, dicontohkan dalam salah satu peristawa perjanjian dengan Tuhan (al-A‘rÉf (7): 172-173). Kemampuan yang diperoleh sejak lahir ini merupakan fiÏrat AllÉh, yang juga diungkapkan dengan kiasan sebagai agama Tuhan dimana manusia dicipta dan ini merupakan sifat yang digambarkan sebagai al- dÊn al-qayyim, agama yang lurus..[23]

Dengan penjelasan seperti diatas, kita mempertahankan makna agama yang benar dimana semua manusia dipandang sama dengan nilai-nilai kemanusiaan, seolah-olah mereka semua itu satu komunitas tunggal (ummat wÉÍidah) (al-Baqarah (2): 213; YËnus (10): 19). Dengan begitu, dÊn al-fiÏrah  dalam bentuk yang sebenarnya juga berarti realisasi dari komunitas tunggal tersebut. Dengan demikian, konsep persaudaraan akhirnya dapat dilacak balik sampai pada periode penutupan Perjanjian, adanya di luar realitas ruang dan waktu.[24]

Walau bagaimanapun, kesadaran dari sejak lahir (dÊn al-fiÏrah) sebagai sebuah agama yang satu tidak diterapkan untuk manusi atau juga tidak mengikatnya. Manusia diharapkan untuk menyerahkannya tanpa paksaan, dia dengan demikian diberikan kebebasan memilih, yakni memilih dengan bebas untuk kebaikan.[25] Pentingnya dari penutupan sebuah perjanjian, dimana manusia dalam bentuk ruh menyaksikan keEsaan Tuhan, adalah untuk mencegah  manusia dari pebutan yang melengahkan. (al-A‘rÉf (7): 172).[26]  Pendeknya, manusia diberikan hak istimewa kebebasan dan kemampuan yang basisnya adalah akal dan intiusi.  Oleh karenanya, manusia ditunjuk sebagai wakil Tuhan (kalifah) di muka bumi. (al-Baqarah (2): 30-39). Meskipun demikian, hak istemewa manusia tersebut secara adil diimbangi dengan konsep pertanggungjawaban manusia atas semua perbuatannya. Hak istimewa  dan pertanggungjawaban tersebut merupakan dasar untuk Hari Pembalasan. (al-A‘rÉf (7): 156).[27]

Sebagai sebuah konsekuensi manusia dari anugerah yang diberikan kepadanya di dunia, kesatuan agama lama kelamaan hilang. Karena manusia berinteraksi dengan lingkungan (alam), agama fiÏrah mulai lambat laun bergeser ke arah yang menyimpang, dalam banyak bentuk polytheisme dan penyembahan berhala, banyak agama kemudian terbentuk {al-Baqarah (2): 213; al-MÉ’idah (5): 48; YËnus (10): 19; HËd (11):1 18; IbrÉhÊm (14): 93}. Setiap bangsa menemukan agamanya sendiri-sendiri yang semuanya mempunyai formalitas dan ritualnya sendiri {al-MÉ’idah (5): 48, 107, 148; al-An‘ÉÉm (6): 35, 149; al-Tawbah (9): 118; YËnus (10): 99;  al-NaÍl (16): 9, 35, 93; al-Sajdah (32): 13; al-Ra‘d (13): 31}.[28]

Berdasarkan pada kerangkapikir Qur’ani ini,  al-Attas menunjukan bahwa pandangan hidup yang menyimpang atau millah (bentuk agama) disebabkan oleh dua faktor: pertama, kelalaian dan yang kedua adalah tradisi yang diikuti secara membabi-buta {al-A‘rÉf (7): 172-173; al-Baqarah (2): 213}. Faktor pertama mengacu kepada pribadi manusia yang tidak sepenuhnya berdiri sendiri di atas pribadi yang lain dan lingkungan, sementara yang kedua mengacu pada hubungan manusia dengan yang manusia yang lain  aspek-aspek negatif potensial dari kehidupan didunia ini telah disiratkan dengan jelas didalam Al-Qur’an sebagai dunyÉ dari akar kata  danÉ yang artinya “menjadi dekat”.[29] Al-Attas menafsirkan bahwa yang diacu oleh kata ‘menjadi dekat’ adalah kesadaran. Lawan katanya adalah al-Ókhirah yang menunjukan sebagai hal yang jauh.[30]  Dunia mengalihkan perhatian seseorang, memenuhi kesadarannya dan membuatnya lupa akan al-Ókhirah (GhÉfir (40): 39; FÉÏir (35): 5; al-AÍqÉf (46): 20; al-Najm (53): 29).[31]



[1] Al-Attas, Islam and Secularism, 48
[2] Ibid.
[3] Ibid., 47.
[4] Ibid.
[5] Haddad, DÊn in The Qur'Én, 116.
[6]TakdhÊb merupakan bentuk radikal dari kufr. Sikap dasar dari kufr terhadap nikmat Tuhan.  Ini merupakan penolakan terhadap Tuhan, NabiNya dan Firman-firmannya. Ini merupaka kebalikan dari ÊmÉn. Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’Én, (Montreal: McGill University Press, 1966), 119-124.
[7] Ibid., TaÎdÊq bermakna penerimaan atau persetujuan yang merupakan bagian integral dari definisi  ÊmÉn.
[8] Al-Attas,  Islam and Secularism, 133, dan  Prolegomena, 8.
[9] Al-Attas, Islam and Secularism, 50.
[10] Ibid., 52.
[11] Terdapat tiga pembagian tawÍÊd: a) tawÍÊd al-ÎifÉt (sifat Tuhan), b) tawÍÊd al-rubËbiyah, and c) tawÍÊd al-ulËhiyyah. TawÍÊd al-rubËbiyyah merujuk kepada apa yang ditentukan Tuhan, sedangkan tawÍÊd al-ulËhiyyah merujuk kepada siapa Tuhan itu dan apa sifat-sifatNya. Lihat al-DimashqÊ, al-‘AqÊdat al-ÙaÍÉwÊyah, 78.
[12] Haddad, DÊn in The Qur'Én, 116.
[13] Al-Attas, Islam and Secularism, 2.
[14] IsfahÉnÊ, Al-SharÊ‘ah, 213.
[15] IsmÉ‘Êl b. ‘Umar b. KathÊr. TafsÊr al-‘AÐÊm (Beirut: DÉr al-Ma‘rifat, 1979), 1: 154; s dikutip  sebagai TafsÊr al-‘AÐÊm; lihat juga al-GhazzÉlÊ, IÍyÉ’, 4: 346.
[16] JalÉl al-DÊn al-SuyËÏÊ, Al-JÉmi‘ al-ØaghÊr (Beirut: DÉr al-Fikr, tanpa tahun), 1: 49.
[17] Al-Attas, Islam and Secularism, 59.
[18] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, MadÉrij al-SÉlikÊn (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1972), 1: 83-85.
[19] Ibid., 66.
[20] Al-QushayrÊ dalam menjelaskan makna dari, al-Baqarah (2):131 (aslamtu li rabb al-‘ÓlamÊn) mendefinisikan Islam sebagai ikhlÉÎ dan al-khushË‘; lihat al-QushayrÊ, LaÏÉ’if al-IshÉrÉt (Egypt: Markaz al-TaÍqÊq al-TurÉth, 1981), 2: 26; selanjutnya disingkat al-IshÉrÉt.
[21] Al-×Érith b. Asad al-MuÍÉsibÊ. Al-WaÎÉyÉ (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1986), 259-260.
[22] Al-Attas, Islam and Secularism, 57.
[23] Al-DimishqÊ, al-‘AqÊdat al-ÙaÍÉwÊyah, 244; see also Aasi, al-DÊn, 70.
[24] Al-Attas, Islam and Secularism, 67.
[25] Al-MÉturÊdÊ, TawÍÊd, 229.
[26] Al-DimishqÊ, al-‘AqÊdat al- ÙaÍÉwÊyah, 244.
[27] Al-MÉturÊdÊ, TawÍÊd, 229.
[28] G. H. Asi, al-DÊn, 72
[29] Al-Attas, Prolegomena, 21.
[30] Ibid.,
[31] Al-Attas, Islam and Secularism, 38-39.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...