Islam telah
ditulis dalam berjilid-jilid buku sebagai sebuah agama, khusunya mengenai makna
penyerahan diri secara umum. Ada
juga yang menekankan makna Islam dari sisi hukum dan ritualnya. Meskipun
begitu, jarang kita jumpai analisa kritis terhadap konsep dÊn dipandang
dari sisi hakekat penyerahan diri yang terpancar dari rasa keberhutangan,
sebagaimana yang diuraikan oleh al-Attas, yaitu menganalisa konsep dÊn
yang berakar dari Perjanjian antara ruh manusia dan Tuhan. Dalam membangun
pandangan ini, al-Attas menerangkan makna agama dalam Islam sebagaimana yang
terekspresikan dalam terma dÊn.
Kami akan
membuktikan bahwa pandangan al-Attas ini berhasil menjelaskan makna
sesungguhnya dari terma IslÉm yang terefleksikan dalam makna konsepsi
‘agama’, dÊn; karena IslÉm bukan sekedar sebuah konsep, tetapi
sesuatu yang mengejawantah dalam realitas secara intim dan hidup dalam
pengalaman manusia. Konsep ini berakar pada al-Qur’an, yaitu dalam konsep
Perjanjian (al-mÊthÉq). Dia menekankan bahwa nama agama, Islam,
sebenarnya adalah definisi agama: berserah diri kepada Tuhan. Dia menambahkan
bahwa “dalam ide penyerahan diri itu sendiri berimplikasi pada rasa,
kepercayaan dan amal; dan elemen paling mendasar dalam tindakan berserah diri
kepada Tuhan itu adalah adanya rasa keberhutangan manusia kepada Tuhan karena
telah memberinya kewujudan.”
Berdasarkan hal di
atas, artikel ini juga berusaha menyingkap ide-ide dasar dan pendekatan
al-Attas dalam pandangannya mengenai hakekat dÊn, atau agama. Secara
khusus ia menyoroti tiga aspek tentang Islam (i) sebagai penyerahan diri (submission),
(ii) sebagai definisi agama, dan (iii) sebagai nama khusus sebuah agama. Kami
menegaskan bahwa Islam sebagai sebuah agama bukan sekedar suatu kumpulan aturan
hukum, dan juga tidak terbatas pada masalah ritual saja, tetapi meliputi ruang
kehidupan dimana tawÍÊd berfungsi sebagai dasar bagi penyerahan diri (submission).
Istilah bahasa
Arab yang tepat untuk kata religion sebagaimana yang dipahami dan
dipraktekan di Barat dan Timur menurut al-Attas adalah millah dan bukan
dÊn, karena kata dÊn
dalam bahasa Arab kaya akan pengertian, dimana tidak dapat dibatasi dengan
istilah religion/agama saja. Kata
dÊn berasal dari akar kata bahasa Arab dyn. Sebagaimana yang dijelaskan
al-Attas, berbagai pengertian primer dari terma dÊn dapat disarikan
menjadi empat konsepsi utama: keberhutangan (indebtedness), penyerahan
diri (submissiveness), kekuatan hukum (judicious power), dan
kecenderungan atau tendensi alamiah.
Menurut al-Attas,
pemberian terbesar yang diterima oleh tiap orang adalah kewujudannya. Ketika
hidupnya terancam, orang biasanya akan mengorbankan apa saja untuk menyelamatkan
dirinya. Atas alasan inilah manusia itu sesungguhnya berhutang kepada Tuhan
atas keber-ada-annya dan semua karunia duniawi untuk mencukupi hidupnya.
Al-Attas mendiskusikan berbagai derivasi dari kata kerja dÉna, yang
berarti menjadi berhutang, dan bagaimana ia berkaitan erat dengan arti yang
lain, seperti ‘menyerah kepada sang pituang’ atau juga dÉ’in, yaitu rasa
tanggungjawab atau ketaatan kepada piutang, hukuman atau daynËnah, dan
penghukuman atau idÉnah.
Bukan itu saja, al-Attas juga berhasil
menunjukkan akar kata dyn dalam arti baru yang belum pernah dikatakan
oleh ilmuwan sebelumnya. Yaitu hubungannya dengan konsepsi kata tamaddun,
yang berarti peradaban dan perbaikan, maddana yang berarti membangun kota atau membudayakan
dan memanusiakan (civilize and humanize), dan madÊnah yang
berarti kota .
Dari sini terlihat bahwa semua empat pengertian utama beserta lawan katanya
adalah secara logika saling berkaitan, yang menjabarkan Islam sebagai agama.
Pengertian ini sangat komprehensip karena mencakupi rasa keberhutangan dan
penyerahan diri kepada Tuhan. Hal ini pada akhirnya akan membentuk peradaban
imbang yang menghargai aspek kehidupan materi tetapi tidak meninggalkan dimensi
spiritual.
Dengan adanya
pemahaman yang holistik ini, pikiran seseorang akan dapat menghargai secara
lebih baik petunjuk ilahi dalam al-Qur’an dan sabda Nabi yang menyoroti empat
pengertian utama ini. Untuk mengakui berhutang sepenuhnya kepada Tuhan atas
kewujudannya, seseorang haruslah mengakui bahwa sebelum dia ada di dunia ini
dia adalah tidak ada (nothing). Ayat-ayat al-Qur’an seperti al-Mu’minËn
(23):12-14, al-insÉn (76): 1-2, memberikan penekanan logis dua pertanyaan
kepada kepada kaum kafir; Adakah mereka diciptakan dari ketidak-ada-an (nothingness),
atau mereka menciptakan dirinya sendiri. Jika manusia nyatanya tidak
menciptakan dirinya sendiri, dan tidak juga mereka muncul dari ketidak-ada-an,
maka satu-satunya kemungkinan adalah mereka diciptakan oleh Tuhan.
Selanjutnya,
al-Attas berpendapat bahwa arti dari kata ‘submission’ dapat dilacak
kembali kepada ide bahwa agama berakar dari Perjanjian (al-A‘rÉf
(7):176). Dia menerangkan bahwa terma IslÉm pada dasarnya adalah definisi
agama; peneyerahan diri kepada Tuhan. Elemen mendasar dari kepasrahan diri
manusia kepada Tuhan adalah rasa keberhutangan kepada Tuhan atas kewujuduannya
sebagai karunia dariNya. Ketika seseorang itu dalam keadaan berhutang maka ia hanya
dapat membayar hutangnya dengan cara mengembalikan dirinya kepada pemiliknya
karena inti dari hutangnya adalah dirinya itu sendiri. Mengembalikan dirinya
berarti menjadi hamba Tuhan dengan melakukan ‘ibÉdah, mengabdikan
dirinya sepenuhnya kepada Tuannya. Karena itulah al-Attas menegaskan keunikan konsep
ini bahwa penyerahan diri (penyerahan diri atau IslÉm sebagai nama
agama) itu bukan hanya sekedar konsep umum dan bukan juga agama yang menekankan
lebih banyak kepada aspek hukum atau ritual yang ketat, yang dinamakan aspek
eksternal Islam saja, tetapi ia juga merujuk kepada dimensi internal; keduanya
sama-sama penting.
Ketika membedakan
secara jelas antara penyerahan diri yang pasrah dan tepat dan penyerahan diri
yang terpaksa, Al-Attas menolak ide kesatuan transenden agama-agama.
Berdasarkan analisa teks yang dia jelaskan, menurut dia, tidak semua jenis
penyerahan diri itu benar dan dapat diterima. Penyerahan diri yang benar dan
agama yang diterima oleh Tuhan adalah agama yang terpancar dari konsepsi
keesaan Tuhan yang benar sebagaimana yang diwahyukan kepada Nabi Ibrahim dan
para penerusnya dan dicontohkan oleh mereka dan direstui Tuhan. Konsepsi
kesatuan Tuhan (tawÍÊd) yang betul akan menentukan jenis penyerahan diri
dan dengan begitu juga menentukan kebenaran dan kepalsuan suatu agama. Ada perbedaan antara
penyerahan diri dalam Islam dan penyerahan diri dalam agama lain yang telah
mengembangkan sistem kepercayaannya sendiri berdasarkan tradisi budaya yang
belum tentu berasal dari millah Nabi Ibrahim (a.s.).
Analisa linguistik al-Attas
Senada dengan konsep diatas, al-Attas
memberikan penjelasan secara mendetail konsep
dÊn mengunakan analisa
linguistik; dia mempertahankan bahwa pengertian dasar dari istilah dÊn adalah dapat dijelaskan menjadi
empat hal: keberhutangan, penyerahan diri, kekuatan hukum dan kecondongan atau
kecenderungan alami.[1] Pengertian dasar ini menunjukan keimanan,
keyakinan, amalan-amalan dan ajaran-ajaran sebagaimana tafsiran menenai tujuan
Islam.
Dalam menjelaskan makna hutang yang
berasal dari akar kata dÉna
yang bermakna berhutang, jelaslah bahwa dɑin mengacu pada seorang yang membawa dirinya sendiri dalam pengertian mau mengerjakan yang orang
lain perintahkan untuknya dan mematuhinya. Oleh karena itu, seorang manusia
yang berada dalam kewajiban ini (dyn) menyerahan pembalasan (daynËnah) dan hukuman dirinya (idÉnah)
kepada Tuhannya. Seorang yang menyadari konsep
dÊn mensyaratkan adanya cara
bertindak-tanduk yang konsisten dengan apa yang tercermin dalam aturan-aturan
hukum (code of conduct). Dengan demikian ini menjadi sebuah kebiasaan,
dan fiÏrah
untuk siapa saja yang mengikuti konsep dÊn ini.[2]
Selanjutnya, al-Attas menjelaskan
pertentangan dari keempat pengertian dasar dari kata dÊn yang mengacu pada kata dÉ’in
dimana para sarjana sebelumnya belum
pernah mengungkapkannya. Dia menghubungan pertentangan ini dengan sifat manusia dan psikologi
pembawaannya. Dia berpendapat bahwa dalam menterjemahkan sebuah konsep
trasedental Islam ke dalam realitas kehidupan manusia, pertentangan semacam itu
tidak dapat dihindari karena ini sesuai dengan sifat manusia itu sendiri:
Karena kita berhubungan dengan
konsep Islam yang diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan yang secara intim
dan mendalam hidup dalam pengalaman manusia, pertentangan yang jelas dalam
pengertian dasarnya sungguh bukan disebabkan karena ketidakjelasan dari
pengertian tersebut. Namun ini lebih disebabkan karena pertentangan yang ada
dalam sifat manusia itu sendiri.[3]
Al-Attas berpendapat dengan cara yang
sangat koheren dan menyakinkan bahwa bahwa empat pengertian dari hutang,
penyerahan diri, kekuatan hukum, dan kecondongan atau kecenderungan alami dan
pengertian-pengertian dibawahnya hanya dapat dipraktekan di dalam sebuah
masyarakat yang tertata dengan kehidupan perdagangannya dan hubungan
masyarakatnya di dalam sebuah kota (madÊnah).
Kata bahasa Arab untuk kota
adalah mudun atau madÉ’in yang mungkin merupakan turunan
dari kata dÉna. Karena tidak akan
pernah ada sebuah masyarakat yang berperadaban tanpa seorang hakim, penguasa,
gubernur atau dayyÉn, kita menemukan
bahwa keberadaaan fisik dan kehidupan yang berperadaban yang berkembang dalam
sebuah kota
merupakan cerminan secara linguistik
berasal dari istilah dÉna. Dengan demikian, al-Attas menggambarkan
pentingnya hubungan atara konsep dÊn
dan madÊnah, sebagai berikut:
Ini menurut pemikiran saya
sangatlah penting untuk melihat secara mendalam hubungan signifikan dan erat
antara konsep dÊn dan konsep madÊnah
yang berasal dari kata dÊn tersebut,
dan peranan orang-orang yang beriman secara perseorangan dalam hubungannya
dengan konsep yang pertama dan secara kolektif dalam hubungannya dengan konsep
yang kedua. Relevansi yang dapat dipertanggungjawabkan pasti dapat dilihat
didalam pentingnya perubahan nama kota
tersebut dari nama lama Yathrib
menjadi al-MadÊnah: lebih jelasnya, MadÊnat-l-Nabiy: Kota Nabi yang mana
perubahan ini terjadi segera setelah Nabi Muhammad S.A.W melakukan perjalanan
bersejarahnya (hijrah) dan tinggal
disana. Komunitas orang-orang beriman pertama dibentuk pertama di sana pada waktu itu, dan
peristawa Hijrahlah yang memandai Era Baru dalam sejarah Umat manusia. Di sana orang-orang beriman
mengabdikan diri di bawah kekuasaan dan hukum dari Nabi Muhammad, sebagai dayyÉn-nya; disanalah realisasi hutang kepada Tuhan mempunyai bentuk
yang jelas, dan cara serta metode pembayaran yang disetujui mulai dibuka. Kota
Nabi menandakan tempat dimana dÊn yang
sebenarnya diundangkan di bawah kekuasaan dan hukumnya.[4]
Namun, ketika seseorang membaca analisa
mendetail dari empat pengertian dasar
al-Attas tersebut, dia akan mendapatkan inspirasi akan adanya pertentangan dari
keempatnya yang secara rapi menggambarkan konsep dÊn secara keseluruhan seperti bagian-bagian yang berbeda dari
sebuah jigsaw puzzle. Untuk memahami pengertian-pengertian yang
dikembangkan oleh al-Attas ini, kita perlu melihat secara singkat arti dimana istilah dÊn
ini digunakan dengan mengamati konotasinya masing-masing.
1) DÊn
sebagai Pertanggungjawaban
Dalam wahyu yang turun dalam periode awal,
penekanannya adalah dalam sikap manusia dalam merespon wahyu Tuhan tersebut.
Respon ini berwujud dalam bentuk takdhÊb
dan taÎdÊq.[5] TakdhÊb berarti penolakan terhadap
kekuasaan Tuhan, penolakan dan pengabaian keberadaan dan kemuliaanNya.[6] Sebaliknya, taÎdÊq bermakna penyambutan dan
penerimaan terhadap semua hal tersebut.[7] Manusia
yang merespon wahyu Tuhan yang disampaikan kepada rasulNya menerima dan
menyambut Tuhan sebagai ilÉh maupun rabb.[8] Respon positif dari orang-orang yang menerima
adanya yawm al- dÊn adalah dari
orang-orang yang beriman yang tabah dalam menjalankan shalat, dalam mengabdikan
diri kepada Tuhan, dan juga dalam menjalankan tanggung-jawab social, yakni
dengan melakukan kebajikan, membantu bagi orang yang membutuhkan, menganjurkan
perbuatan yang baik dan melarang perbuatan yang mungkar {al-Baqarah (2): 177; al-Ma‘Érij
(70): 26}. Ini merupakan hasil dari kesadaran diri akan kenyataan bahwa dia
merasa berhutang kepada Tuhan yang telah menjadikannya berada di dunia ini dan
terus-menerus ditolong olehNya. Di luar kesadaran ini perbuatan baik manusia
berlangsung. Basis yang mendasari
manusia untuk menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengabdikan diri kepada
Tuhannya adalah pengembalian dirinya kepada fitrahnya –kepada jati dirinya
dengan jalan mengabdikan diri kepada Tuhannya atau merendahkan diri di hadapanNya.
Pengembalian manusia kepada fitrahnya merupakan sebuah konsep spiritual, bukan
aspek fisik dari keberadaannya. Oleh karena itu, manusia yang mendapat petunjuk
dengan benar dengan sepenuh hati dan penuh kesadaran mengabdikan diri untuk
kepentingan Tuhan agar supaya dapat memenuhi perintah, hukum-hukum dan
menghindari laranganNya.[9] Ketika sampai
pada kesimpulan ini, tampaklah jelas bahwa dÊn
dalam makna pertanggungjawaban kepada Tuhan secara internal berhubungan dengan
konsep penyerahan diri sebagaimana dipahami
dalam realitas prakteknya.
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu,
pengembalian jati dirinya kepada sang Pencipta dengan jalan menundukkan jiwa
kebinatangan, dalam bentuk penyerahan diri semua pengabdian dan merendahkan diri secara sadar, tanpa paksaan, penuh keikhlasan
semata-mata untuk Tuhan dapat dicapai dengan jalan mematuhi perintah dari
hukum-hukum Tuhan dan meninggalkan larangan-larangannnya. Sebagai akibat dari
kesadaran untuk kembali ini, manusia akan memperoleh banyak keuntungan – pahala
kebaikan yang berlipatganda pada Hari Pembalasan nanti.[10]
Sebaliknya, manusia yang menolak atau
mengingkari akan adanya Hari Pembalasan yawm
al- dÊn adalah mereka yang tetap terus hidup dalam sikap inkar terhadap
nikmat Tuhan (famÉ yukadhdhibuka ba‘du bi
al-dÊn) (al-TÊn (95): 7). Dalam
hal ini, mereka mengingkari peringatan Tuhan (famÉ lahum ‘an al-tadhkirati mu‘riÌËn (al-Muddaththir (74): 49); dengan demikian mereka tidak mengakui
akan adanya hari pembalasan (yawm al- dÊn). Sebagai pengantinya, mereka terus
meragukan segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang mereka yakini benar
(al-MuÏaffifÊn (83): 11; al- TÊn (95): 7; al-MÉ‘Ën (107): 1; al-Muddaththir
(74): 46). Sikap yang mereka tunjukan yang penting merupakan kebalikan dari
tindakan orang-orang yang beriman yang termasuk penyerahan diri pada Tuhan
tanpa syarat. Penyerahan diri tanpa syarat ini sering disalah-pahami sebagai
penyerahan semua kebebasan diri seseorang dan dengan demikian dia kehilangan
hak atas dirinya sendiri dalam ketidakjelasan fanatisme total. Meskipun demikian, Al-Attas telah menunjukan bahwa kebebasan yang
sebenarnya memang terdiri pada dasarnya jenis penyerah diri dalam pratek
seperti ini. Pada kenyataannya, dengan berdasarkan pada pemahamannya, dia
berpendapat bahwa kebingungan orang muncul dari kesalahpahaman mereka tentang
sifat dari kebebasan yang sebenarnya dalam agama yang asli. Karena itulah
istilah Al Qur’an dÊn akan dijelaskan
disini.
Dengan demikian pada awal-awal pengunaannya,
istilah yawm al-dÊn mengimplikasikan
pertangggungjawaban sebagai salah satu maksud pengertan yang ada dalam konsep dÊn. Pertanggungjawaban manusia menjadi
berarti hanya melalui kesadaran akan siapakah Tuhan itu dan apa yang Dia
kerjakan..[11]
Pemahaman ini mempunyai implikasi langsung
terhadap siapakah manusia dan apakah tanggunggungjawabnya kepada Tuhan. Pada
masa permulaan diturunkannya Wahyu yang menyebutkan kepastian datangnya Hari
Pembalasan (yawm al- dÊn) sebagai waktu penghitungan, hal tersebut
dicemooh dan ditertawakan oleh para
pendengarnya.[12] Ada
janji bahwa orang yang bersalah harus dihukun dalam api neraka jahanam:
Bukan
saja begitu! bahkan kamu mendustakan hari pembalasan!
Yang
manakah mereka akan masuki di hari Pembalasan?
Dan
sudahkah engkau ketahui apa (yang dikatakan) hari Pembalasan?
Lagi
sudahkah, engkau ketahui apa (yang dikatakan) hari Pembalasan? (al-InfiÏar (82): 9-18)
Orang-orang
yang mendustakan hari Pembalasan (al-MuÏaffifÊn (83):11).
Ini merupakan sebuah janji yang akan dipenuhi
ketika manusia yang lemah dan kekuatan abosolut Tuhan itu ada, dan manusia
harus berdiri di hadapan Tuhan. Karena Tuhan adalah Penguasa Hari Akhir yang
pasti akan datang, pada saat itulah manusia dimintai pertanggungjawaban atas
semua perbuatannya:
Dan siapakah yang lebih bagus
agamanya daripada orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, pada hal ia
berbuat kebaikan, dan ia menurut agama Ibrahim yang ikhlas? Lantaran Allah
telah jadikan Ibrahim itu kekasihNya.(al-NisÉ’
(4): 125).
2) DÊn
sebagai Penyerahan Diri Total
Sesungguhnya arti dasar agama yang sesuai
dengan makna dÊn adalah penyerahan
diri dengan kepatuhan beribadah kepada Tuhan.[13] Konsep ini sangat
tergantung kepada pengertian berikut, yakni konsep hutang manusia kepada Tuhan
karena keberadaanya. Dalam hal ini, kita tahu bahwa hampir semua ayat-ayat
Al-Qur’an berhubungan dengan tawÍÊd
dan komitmen kepada Tuhan mensyaratkan timbal balik yang tepat, manusia harus
beribadah untuk Dia sendiri saja, bukan untuk yang lainnya:
Maka serulah Allah dengan mengikhlaskan ibadat bagiNya, walaupun tidak disukai oleh orang-orang kafir. (GhÉfir (40): 14)Dialah yang hidup, tidak ada Tuhan melainkan Dia, maka serulah dia dalam keadaan mengikhlaskan ibadat bagiNya. Puji-pujian bagi Allah Tuhan semesta alam! (GhÉfir (40): 65)Sesungguhnya kami turunkan Kitab kepada engkau dengan sebenarnya, maka sembahlah Allah, serta mengikhlaskan agama bagiNya (jangan dipersekutukan dengan lainNya) (al-Zumar (39): 2)Katakanlah: Hanya Allah aku sembah, serta mengikhlaskan agamaku bagiNya. (al-Zumar (39): 14)Apabila mereka berlayar dengan kapal, mereka bermohon kepada Allah, serta mengikhlaskan agama kepadaNya(tidak mempersekutukanNya). (al-‘AnkabËt (29): 65)Dia (Allah) memperjalankan kamu di darat dan di laut, sehingga ketika kamu dalam kapal dan kapal itu berlayar dengan angin yang baik, sedang mereka bergembira, tiba-tiba bertiuplah angin topan dan datanglah ombak dari tiap-tiap penjuru, sehingga mereka menduga, bahwa mereka akan ditimpa bahaya, (ketika itu) mereka memohon kepada Allah, serta mengikhlaskan agama kepadaNya: Demi jika engkau lepaskan kami dari pada bahaya ini, niscaya kami berterimakasih. (YËnus (10): 22)Katakanlah : “Tuhanku menyuruh dengan keadilan. Hadapkanlah mukamu lurus-lurus tiap-tiap sembahyang dan mintalah kepadaNya serta mengikhlaskan agama kepadaNya. Sebagaimana Allah telah memulai kejadianmu, begitu pula kamu kembali kepadaNya.” (al-A‘rÉf (7):29).
Dari ayat-ayat yang dikutip diatas, kata mukhliÎËna atau mukhliÎan digunakan, yang diterjemahkan dengan arti mengikhlaskan,
penuh keimanan, atau murni..”[14] kenyataannya, ikhlÉÎ merupakan faktor penentu diterimanya amal perbuatan
seseorang. Ibn KathÊr berpendapat bahwa Tuhan tidak akan menerima amal
perbuatan seseorang kecuali dilengkapi dengan dua syarat. Syarat yang pertama
adalah dorongan untuk melakukan amal
perbuatan tersebut semata-mata hanya karena Allah SWT, dan yang kedua, setiap
amal perbuatan tersebut harus sesuai dengan SharÊ‘ah.[15] Pernyataan ini didukung dengan sebuah Hadith yang menyatakan: “Ikhlaslah dalam
setiap amal perbuatanmu sehingga Tuhan akan menerimanya.” [16] Konsep ikhlas ini juga merupakan akibat dari rasa berhutang yang ada dalam
konsep dÊn. Al Qur’Én menyatakan bahwa manusia tidak dapat lari dari
kenyataan hidup dalam sebuah dÊn,
karena semua makhluk harus tunduk dengan kehendak Tuhan..[17] Makna keikhlasan dan penyerahan diri total
kepada kehendak Tuhan menjadikan dÊn
Islam berbeda dengan agama-agama yang
lain. Konsep penyerahan diri sebagai sebuah dimensi penting dÊn telah terjelaskan.
Ikhlas tidak hanya sebatas kata-kata atau
komitmen, ini harus dijalankan dalam bentuk amal perbuatan, hidup secara
totalitas sebagai abdi Tuhan,[18] karena seseorang
benar-benar tidak mempunyai apa-apa untuk membayar hutangnya kepada Tuhan
kecuali jati-dirinya sendiri. Untuk
membayarkan jati-dirinya, dia harus mengembalikan dirinya sendiri kepada
Tuhan. Pengembalian diri, sebagaimana
disebutkan diatas, dilakukan dalam bentuk penyerahan dirinya sendiri sebagai
abdi Tuhan. Karena inilah tujuan diciptakannya manusia (al-DhËriyÉt (51):56).[19]
Perintah berbuat ikhlas yang merupakan sebuah definisi Islam itu
sendiri,[20] dalam konteks ini
merupakan sebuah komitmen total kepada dÊn
Allah, sebuah komitmen tanpa
syarat, sebuah komitmen yang tidak
berfluktuasi, sebuah komitmen yang manusia tidak berhak merevisi; inilah sebuah komitmen pokok kepada Yang Esa
dan satu-satunya Tuhan..[21]
Sangatlah wajar bagi seseorang untuk
memenuhi tujuan dari penciptaan atau keberadaannya. Dengan demikian, kewajiban
manusia untuk mengabdi kepada Tuhan merupakan bagian dari kecenderungan natural
ini. Kecenderungan natural dalam manusia untuk mengabdi kepada Tuhan dianggap
sebagai satu aspek dÊn, sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karena itu, salah satu
arti penting dari istilah dÊn adalah
, ‘kebiasaan’, ‘adat’, dan ‘kecenderungan alamai’. Dalam hal ini, manusia dan totalitasnya
adalah harmonis dan pas dengan pola ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, fiÏrah sama dengan sunnat
AllÉh. Pada kenyataanya, dÊn
juga berarti fiÏrah.[22]
Al Qur’an mengungkapkan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan sifat yang dia dapat mengambil pengetahuan dari
keberadaanNya, Sang Pencipta satu-satunya, dan Penguasa dimana manusia harus
menyerahkan dirinya sendiri untuk mengabdi (‘abd) (al-RËm (30): 30). Manusia, dengan sifat bawaan dari lahir ini,
lahir sebagai abdi untuk Penciptanya.
Kesadaran akan sang Pencipta, Tuhan dan Penguasa, diberikan kepada manusia
dalam bentuk kemampuan yang dibawa sejak lahir untuk memperoleh dan mendapatkan
pengetahuan, dicontohkan dalam salah satu peristawa perjanjian dengan Tuhan (al-A‘rÉf (7): 172-173). Kemampuan yang
diperoleh sejak lahir ini merupakan fiÏrat
AllÉh, yang juga diungkapkan dengan
kiasan sebagai agama Tuhan dimana manusia dicipta dan ini merupakan sifat yang
digambarkan sebagai al- dÊn al-qayyim, agama yang lurus..[23]
Dengan penjelasan seperti diatas, kita
mempertahankan makna agama yang benar dimana semua manusia dipandang sama
dengan nilai-nilai kemanusiaan, seolah-olah mereka semua itu satu komunitas
tunggal (ummat wÉÍidah) (al-Baqarah (2): 213; YËnus (10): 19). Dengan begitu, dÊn al-fiÏrah dalam bentuk yang sebenarnya juga berarti
realisasi dari komunitas tunggal tersebut. Dengan demikian, konsep persaudaraan
akhirnya dapat dilacak balik sampai pada periode penutupan Perjanjian, adanya
di luar realitas ruang dan waktu.[24]
Walau bagaimanapun, kesadaran dari sejak
lahir (dÊn al-fiÏrah) sebagai sebuah agama yang satu tidak
diterapkan untuk manusi atau juga tidak mengikatnya. Manusia diharapkan untuk
menyerahkannya tanpa paksaan, dia dengan demikian diberikan kebebasan memilih,
yakni memilih dengan bebas untuk kebaikan.[25] Pentingnya dari
penutupan sebuah perjanjian, dimana manusia dalam bentuk ruh menyaksikan
keEsaan Tuhan, adalah untuk mencegah
manusia dari pebutan yang melengahkan. (al-A‘rÉf (7): 172).[26] Pendeknya, manusia diberikan hak istimewa
kebebasan dan kemampuan yang basisnya adalah akal dan intiusi. Oleh karenanya, manusia ditunjuk sebagai
wakil Tuhan (kalifah) di muka bumi. (al-Baqarah
(2): 30-39). Meskipun demikian, hak istemewa manusia tersebut secara adil
diimbangi dengan konsep pertanggungjawaban manusia atas semua perbuatannya. Hak
istimewa dan pertanggungjawaban tersebut
merupakan dasar untuk Hari Pembalasan. (al-A‘rÉf
(7): 156).[27]
Sebagai sebuah konsekuensi manusia dari
anugerah yang diberikan kepadanya di dunia, kesatuan agama lama kelamaan
hilang. Karena manusia berinteraksi dengan lingkungan (alam), agama fiÏrah mulai lambat laun bergeser ke arah
yang menyimpang, dalam banyak bentuk polytheisme dan penyembahan berhala,
banyak agama kemudian terbentuk {al-Baqarah
(2): 213; al-MÉ’idah (5): 48; YËnus (10): 19; HËd (11):1 18; IbrÉhÊm
(14): 93}. Setiap bangsa menemukan agamanya sendiri-sendiri yang semuanya
mempunyai formalitas dan ritualnya sendiri {al-MÉ’idah
(5): 48, 107, 148; al-An‘ÉÉm (6): 35,
149; al-Tawbah (9): 118; YËnus (10): 99; al-NaÍl
(16): 9, 35, 93; al-Sajdah (32):
13; al-Ra‘d (13): 31}.[28]
Berdasarkan pada kerangkapikir Qur’ani
ini, al-Attas menunjukan bahwa pandangan
hidup yang menyimpang atau millah
(bentuk agama) disebabkan oleh dua faktor: pertama, kelalaian dan yang kedua
adalah tradisi yang diikuti secara membabi-buta {al-A‘rÉf (7): 172-173; al-Baqarah
(2): 213}. Faktor pertama mengacu kepada pribadi manusia yang tidak sepenuhnya
berdiri sendiri di atas pribadi yang lain dan lingkungan, sementara yang kedua
mengacu pada hubungan manusia dengan yang manusia yang lain aspek-aspek negatif potensial dari kehidupan
didunia ini telah disiratkan dengan jelas didalam Al-Qur’an sebagai dunyÉ dari akar kata danÉ yang artinya “menjadi dekat”.[29] Al-Attas
menafsirkan bahwa yang diacu oleh kata ‘menjadi dekat’ adalah kesadaran. Lawan
katanya adalah al-Ókhirah yang
menunjukan sebagai hal yang jauh.[30] Dunia mengalihkan perhatian seseorang,
memenuhi kesadarannya dan membuatnya lupa akan al-Ókhirah (GhÉfir (40):
39; FÉÏir (35): 5; al-AÍqÉf (46): 20; al-Najm (53): 29).[31]
[1] Al-Attas, Islam and Secularism, 48
[2] Ibid.
[3] Ibid., 47.
[4] Ibid.
[5] Haddad, DÊn in The Qur'Én, 116.
[6]TakdhÊb merupakan bentuk radikal dari kufr. Sikap dasar dari kufr terhadap nikmat Tuhan. Ini merupakan penolakan terhadap Tuhan,
NabiNya dan Firman-firmannya. Ini merupaka kebalikan dari ÊmÉn. Lihat Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’Én,
(Montreal: McGill University Press, 1966), 119-124.
[7]
Ibid., TaÎdÊq
bermakna penerimaan atau persetujuan yang merupakan bagian integral dari
definisi ÊmÉn.
[8] Al-Attas, Islam
and Secularism, 133, dan Prolegomena,
8.
[9] Al-Attas, Islam and Secularism, 50.
[10] Ibid., 52.
[11] Terdapat tiga pembagian tawÍÊd: a) tawÍÊd al-ÎifÉt (sifat
Tuhan), b) tawÍÊd al-rubËbiyah, and
c) tawÍÊd al-ulËhiyyah. TawÍÊd al-rubËbiyyah merujuk kepada apa
yang ditentukan Tuhan, sedangkan tawÍÊd
al-ulËhiyyah merujuk kepada siapa Tuhan itu dan apa sifat-sifatNya. Lihat
al-DimashqÊ, al-‘AqÊdat al-ÙaÍÉwÊyah,
78.
[12] Haddad, DÊn in The Qur'Én, 116.
[13] Al-Attas, Islam and Secularism, 2.
[14] IsfahÉnÊ, Al-SharÊ‘ah, 213.
[15] IsmÉ‘Êl b. ‘Umar b. KathÊr. TafsÊr al-‘AÐÊm (Beirut: DÉr
al-Ma‘rifat, 1979), 1: 154; s dikutip
sebagai TafsÊr al-‘AÐÊm; lihat
juga al-GhazzÉlÊ, IÍyÉ’, 4: 346.
[16] JalÉl al-DÊn al-SuyËÏÊ, Al-JÉmi‘ al-ØaghÊr (Beirut : DÉr al-Fikr, tanpa tahun), 1: 49 .
[17] Al-Attas, Islam and Secularism, 59.
[18] Ibn Qayyim al-Jawziyyah, MadÉrij al-SÉlikÊn (Beirut: DÉr al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1972), 1: 83-85.
[19] Ibid., 66.
[20] Al-QushayrÊ dalam menjelaskan
makna dari, al-Baqarah (2):131 (aslamtu
li rabb al-‘ÓlamÊn) mendefinisikan Islam sebagai ikhlÉÎ dan al-khushË‘;
lihat al-QushayrÊ, LaÏÉ’if al-IshÉrÉt
(Egypt: Markaz al-TaÍqÊq al-TurÉth, 1981), 2: 26 ; selanjutnya disingkat al-IshÉrÉt.
[21] Al-×Érith b. Asad al-MuÍÉsibÊ. Al-WaÎÉyÉ (Beirut: DÉr al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1986), 259-260.
[22] Al-Attas, Islam and Secularism, 57.
[23] Al-DimishqÊ, al-‘AqÊdat al-ÙaÍÉwÊyah, 244; see also Aasi, al-DÊn, 70.
[24] Al-Attas, Islam and Secularism, 67.
[25] Al-MÉturÊdÊ, TawÍÊd, 229.
[26] Al-DimishqÊ, al-‘AqÊdat al- ÙaÍÉwÊyah, 244.
[27] Al-MÉturÊdÊ, TawÍÊd, 229.
[28] G. H. Asi, al-DÊn, 72
[29] Al-Attas, Prolegomena, 21.
[30] Ibid.,
[31] Al-Attas, Islam and Secularism, 38-39.