berpikir |
1. Esensi
Pada hakikatnya seseorang berpikir
secara esensi (inti) terlebih dahulu. Tanpa berpikir hal yang esensi maka tidak
akan berujung pada suatu kebenaran apalagi kebangkitan. Pemikiran yang esensi
dalam kehidupan ini adalah untuk menjawab sebuah pertanyaan dasar, “Untuk apa
kita berada di dunia ini?” Juga pertanyaan asasi, “Dari mana asal kita dan akan
kemanakah kita setelah mati?” Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus dijawab.
Dari awal pertanyaan tadi akan berkembang pemikiran esensial tersebut bahwa
sesungguhnya keberadaan kita di bumi ini adalah untuk mengabdi kepada Tuhan alam
semesta ini. Keberadaan kita di muka bumi sebagai khalifatullah.
Oleh karena itu, manusia sebelum
berkiprah di dunia harus melakukan perenungan, tafakur dan berpikir mengenai
hal yang esensi ini. Dalam ajaran Islam, hal yang esensi adalah aqidah. Keimanan
terhadap Tuhan. Keyakinan inilah yang menjadi pendorong seseorang dalam
berpikir dan berntidak selanjutnya. Keimanan juga menjadi dasar bagi setiap
muslim dalam beraktivitas.
2. Prinsip
Setelah berpikir tentang hal yang
esensi maka selanjutnya baru hal-hal yang prinsip. Hal yang prinsip berbeda
dengan esensi. Prinsip adalah hal yang membatasi esensi. Sesuatu yang esensi
adalah sebuah inti. Tanpa suatu pembatas maka ia bukan lagi inti. Pembatas dari
inti adalah hal-hal yang prinsip. Kalau esensi itu satu (karena ia adalah
inti), maka prinsip bisa beberapa. Namun tidaklah banyak.
Berpikir tentang hal-hal prinsip juga
penting. Sebab hal itu menjadi penjabaran dari hal yang esensi. Seseorang yang
berpikir dalam kerangka Islam, ia melihat masalah aqidah adalah hal yang
esensi. Sedangkan rukun iman dan rukun Islam adalah prinsip yang harus
dijalankan. Juga ilmu ushul fiqih (ilmu mengenai dasar agama islam) adalah
hal-hal prinsip yang merupakan pokok dari ajaran Islam. Kaidah tersebut
merupakan rumus dari penjabaran aqidah maupun ajaran Islam.
Seseorang kadang sudah memahami hal
yang esensi tapi gagal dalam menerjemahkan kepada prinsip-prinsip. Kadang pula
prinsip yang dijabarkan melenceng dari esensinya. Sebuah contoh konkret yang
sekarang ini berkembang adanya asas pluralitas dalam beragama. Seorang berpikir
sistematik akan menyadari bahwa puncak segitiga adalah satu, yaitu hal yang
esensi. Oleh karena itu, hal yang esensi tersebut, sebagaaimana dijelaskan
bahwa hal itu adalah ini, adalah satu pula. Sebuah kebenaran tentang hal
esensial adalah tunggal yaitu keesaan Allah S.W.T..
Di atas sudah dijelaskan bahwa hal yang
esensial adalah aqidah Islam. Aqidah Islam adalah keimanan bahwa Tuhan adalah
satu, yaitu tauhiid. Namun demikian, ada pula kalangan yang menganut ajaran
Islam yang berarti tauhiid, menganut pula prinsip pluralisme yang menyatakan
semua agama adalah benar. Dia atas mengakui hanya satu, kemidian di bawah
mengakui yang lainnya juga. Pluralisme memang baik, tapi bukan untuk masalah
aqidah atau hal yang esensial, seperti keyakinan terhadap suatu agama. Orang
yang berprinsip pluralisme dalam beragama gagal membuat prinsip yang
menjabarkan esensi dalam sistem berpikirnya.
3. Praktis
Baru setelah berpikir masalah prinsip,
seseorang bisa memikirkan masalah-masalah praktis, berdasarkan hal yang esensi
dan prinsip tersebut. Hal yang praktis banyak sekali dan merupakan penjabaran
dari esensi maupun prinsip. Jumlahnya bisa tidak terbatas, tapi tidak lepas
dari koridor segitiga di atas. Dalam ajaran Islam, hal-hal praktis merupakan
kajian fiqih mengenai perbuatan seseorang. Di sana akan dibahas
perbuatan-perbuatan yang wajib, sunnah, mubah, haram dan juga makruh. Tak
ketinggalan masalah akhlak atau perbuatan moral yang sesuai dengan kaidah
islami.
Dengan menjalankan sistematika berpikir
ini maka seseorang akan mudah dalam menjalankan kehidupannya. Tidak
terombang-ambing oleh suasana kehidupan. Pemikirannya focus. Tidak ke sana
kemari tanpa juntrungan. Juga akan mudah menyelesaikan problematika
hidup. Yaitu dari hal-hal yang praktis ditarik kepada masalah prinsip dan
kembali kepada esensinya. Seorang muslin yang tahu akan potensi ini sudah
seyogianya mengacu pada sistem berpikir seperti ini. Demikianlah yang dilakukan
Rasullah dan para sahabat serta generasi perama dulu sehingga mereka menjadi
bangsa yang memimpin dunia.
Seseorang yang selalu hanya berpikir
praktis akan susah mendapatkan kebenaran, meski bukannya tidak mungkin. Ia akan
lelah karena tidak berhasil menemukan norma atau pattern yang berlaku.
Ia menjadi bingung karena kasus satu dengan lainnya beda. Bagaimana cara
menanganinya? Oleh karena itu, penting menarik garis lurus kepada hal yang
prinsip serta esensi. Bagi mereka yang tidak memliki hal prinsip maupun esensi
tentu akan kelimpungan. Itulah yang dialami oleh orang yang kosong hatinya.
Mereka yang tidak bertuhan dan tidak peduli dengan hakikat hidup.
Dalam konteks kekinian, seseorang yang
hanya bepikir praktis dan sulit menemukan kebenaran bisa dilihat pada contoh di
bawah ini. Misalkan ada sebuah persamaan matematika katakanlah,
(9x + 2) + (5x – 9) = 8x + 23,
berapakah x ?
Bagi orang awam yang hanya berpikir
praktis maka ia akan memasukkan setiap nilai agar persaman tersebut menjadi
benar. Ia akan coba dengan sebuah angka, misalnya 8.
(72 + 2) + (40-9) = 74 + 31 = 105,
ternyata tidak sama dengan 64 + 23 atau 87. Jadi x = 8 salah.
Ia masukkan lagi 9. (81 + 2) + (45 – 9)
= 83 + 36 = 119, ternyata juga tidak sama dengan 72 + 23 atau 95. Jadi,
lagi-lagi salah. Ia coba angka yang lainnya. Mungkin saja suatu ketika ia akan
menemukan angka yang tepat bagi x, tapi berapa peluangnya?
Seseorang yang mempunyai konsep
berpikir yang sistemik akan mengerjakan soal ini dengan mengembalikan kepada
prinsip dan esensi sebuah persamaa. Soal akan dikerjakan dahulu dengan mencari
nilai x yang sebenarnya. Sebagaimana kita tahu, persamaan tersebut dapat
disederhanakan menjadi,
(9x + 2) + (5x – 9) = 8x + 23
14x – 7 = 8x + 23
6x = 30
x = 30/6 atau x = 5.
14x – 7 = 8x + 23
6x = 30
x = 30/6 atau x = 5.
Dengan hanya sedikit waktu ia menemukan
jawabannya yaitu x = 5, tanpa repot-repot memasukkan setiap nilai x. Begitulah
perumpamaan perbedaan seseorang yang berpikir hanya yang praktis-praktis dengan
yang berpikir kembali ke prinsip serta esensinya.
Seseorang yang mampu berpikir secara
sistematis dengan mulai dari esensi kemudian prinsip dan akhirnya praktis akan
menjadi seseorang yang ahli piker. Seorang yang ahli piker pada dasarnya mereka
yang dapat mengetahui dan menggali potensi dirinya agar bermanfaat dan optimal.
Dengan potensinya maka ia akan merencanakan segala sesuatunya dengan benar.
Setiap sesuatu masalah yang ia hadapi akan dikembalikan kepada prinsip dan
esensinya.
Namun demikian, berpikir sehingga
menjadi manusia yang potensial tidaklah cukup. Seseorang yang sudah dapat
mengoptimalkan dirinya sehingga membawa manfaat bagi sesame, harus disertai
dengan kemampuan zikir. Ia tidak saja kuat secara fisik maupun materi, tapi
juga mental atau batinnya menjadi kokoh, penung semangat dan tak mengenal putus
asa. Maka kemampuan berpikir dan berzikir harus disinergikan, harus digabungkan.