Minggu, 28 April 2013

Konsep Berpikir

berpikir
Tentu tidak semua berpikir menghasilkan kebangkitan. Hanya proses berpikir yang hakiki saja yang menghasilkan kebangkitan itu. Kadang seseorang tidak memperhatikan apakah yang dilakukannya dalam berpikir merupakan hal yang esensi, prinsip atau praktis. Ketiganya tentu berbeda. Mari kita lihat piramida sistem berpikir.

1. Esensi
Pada hakikatnya seseorang berpikir secara esensi (inti) terlebih dahulu. Tanpa berpikir hal yang esensi maka tidak akan berujung pada suatu kebenaran apalagi kebangkitan. Pemikiran yang esensi dalam kehidupan ini adalah untuk menjawab sebuah pertanyaan dasar, “Untuk apa kita berada di dunia ini?” Juga pertanyaan asasi, “Dari mana asal kita dan akan kemanakah kita setelah mati?” Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus dijawab. Dari awal pertanyaan tadi akan berkembang pemikiran esensial tersebut bahwa sesungguhnya keberadaan kita di bumi ini adalah untuk mengabdi kepada Tuhan alam semesta ini. Keberadaan kita di muka bumi sebagai khalifatullah.

Oleh karena itu, manusia sebelum berkiprah di dunia harus melakukan perenungan, tafakur dan berpikir mengenai hal yang esensi ini. Dalam ajaran Islam, hal yang esensi adalah aqidah. Keimanan terhadap Tuhan. Keyakinan inilah yang menjadi pendorong seseorang dalam berpikir dan berntidak selanjutnya. Keimanan juga menjadi dasar bagi setiap muslim dalam beraktivitas.

2. Prinsip
Setelah berpikir tentang hal yang esensi maka selanjutnya baru hal-hal yang prinsip. Hal yang prinsip berbeda dengan esensi. Prinsip adalah hal yang membatasi esensi. Sesuatu yang esensi adalah sebuah inti. Tanpa suatu pembatas maka ia bukan lagi inti. Pembatas dari inti adalah hal-hal yang prinsip. Kalau esensi itu satu (karena ia adalah inti), maka prinsip bisa beberapa. Namun tidaklah banyak.

Berpikir tentang hal-hal prinsip juga penting. Sebab hal itu menjadi penjabaran dari hal yang esensi. Seseorang yang berpikir dalam kerangka Islam, ia melihat masalah aqidah adalah hal yang esensi. Sedangkan rukun iman dan rukun Islam adalah prinsip yang harus dijalankan. Juga ilmu ushul fiqih (ilmu mengenai dasar agama islam) adalah hal-hal prinsip yang merupakan pokok dari ajaran Islam. Kaidah tersebut merupakan rumus dari penjabaran aqidah maupun ajaran Islam.

Seseorang kadang sudah memahami hal yang esensi tapi gagal dalam menerjemahkan kepada prinsip-prinsip. Kadang pula prinsip yang dijabarkan melenceng dari esensinya. Sebuah contoh konkret yang sekarang ini berkembang adanya asas pluralitas dalam beragama. Seorang berpikir sistematik akan menyadari bahwa puncak segitiga adalah satu, yaitu hal yang esensi. Oleh karena itu, hal yang esensi tersebut, sebagaaimana dijelaskan bahwa hal itu adalah ini, adalah satu pula. Sebuah kebenaran tentang hal esensial adalah tunggal yaitu keesaan Allah S.W.T..

Di atas sudah dijelaskan bahwa hal yang esensial adalah aqidah Islam. Aqidah Islam adalah keimanan bahwa Tuhan adalah satu, yaitu tauhiid. Namun demikian, ada pula kalangan yang menganut ajaran Islam yang berarti tauhiid, menganut pula prinsip pluralisme yang menyatakan semua agama adalah benar. Dia atas mengakui hanya satu, kemidian di bawah mengakui yang lainnya juga. Pluralisme memang baik, tapi bukan untuk masalah aqidah atau hal yang esensial, seperti keyakinan terhadap suatu agama. Orang yang berprinsip pluralisme dalam beragama gagal membuat prinsip yang menjabarkan esensi dalam sistem berpikirnya.

3. Praktis
Baru setelah berpikir masalah prinsip, seseorang bisa memikirkan masalah-masalah praktis, berdasarkan hal yang esensi dan prinsip tersebut. Hal yang praktis banyak sekali dan merupakan penjabaran dari esensi maupun prinsip. Jumlahnya bisa tidak terbatas, tapi tidak lepas dari koridor segitiga di atas. Dalam ajaran Islam, hal-hal praktis merupakan kajian fiqih mengenai perbuatan seseorang. Di sana akan dibahas perbuatan-perbuatan yang wajib, sunnah, mubah, haram dan juga makruh. Tak ketinggalan masalah akhlak atau perbuatan moral yang sesuai dengan kaidah islami.

Dengan menjalankan sistematika berpikir ini maka seseorang akan mudah dalam menjalankan kehidupannya. Tidak terombang-ambing oleh suasana kehidupan. Pemikirannya focus. Tidak ke sana kemari tanpa juntrungan. Juga akan mudah menyelesaikan problematika hidup. Yaitu dari hal-hal yang praktis ditarik kepada masalah prinsip dan kembali kepada esensinya. Seorang muslin yang tahu akan potensi ini sudah seyogianya mengacu pada sistem berpikir seperti ini. Demikianlah yang dilakukan Rasullah dan para sahabat serta generasi perama dulu sehingga mereka menjadi bangsa yang memimpin dunia.

Seseorang yang selalu hanya berpikir praktis akan susah mendapatkan kebenaran, meski bukannya tidak mungkin. Ia akan lelah karena tidak berhasil menemukan norma atau pattern yang berlaku. Ia menjadi bingung karena kasus satu dengan lainnya beda. Bagaimana cara menanganinya? Oleh karena itu, penting menarik garis lurus kepada hal yang prinsip serta esensi. Bagi mereka yang tidak memliki hal prinsip maupun esensi tentu akan kelimpungan. Itulah yang dialami oleh orang yang kosong hatinya. Mereka yang tidak bertuhan dan tidak peduli dengan hakikat hidup.

Dalam konteks kekinian, seseorang yang hanya bepikir praktis dan sulit menemukan kebenaran bisa dilihat pada contoh di bawah ini. Misalkan ada sebuah persamaan matematika katakanlah,
(9x + 2) + (5x – 9) = 8x + 23, berapakah x ?

Bagi orang awam yang hanya berpikir praktis maka ia akan memasukkan setiap nilai agar persaman tersebut menjadi benar. Ia akan coba dengan sebuah angka, misalnya 8.
(72 + 2) + (40-9) = 74 + 31 = 105, ternyata tidak sama dengan 64 + 23 atau 87. Jadi x = 8 salah.

Ia masukkan lagi 9. (81 + 2) + (45 – 9) = 83 + 36 = 119, ternyata juga tidak sama dengan 72 + 23 atau 95. Jadi, lagi-lagi salah. Ia coba angka yang lainnya. Mungkin saja suatu ketika ia akan menemukan angka yang tepat bagi x, tapi berapa peluangnya?

Seseorang yang mempunyai konsep berpikir yang sistemik akan mengerjakan soal ini dengan mengembalikan kepada prinsip dan esensi sebuah persamaa. Soal akan dikerjakan dahulu dengan mencari nilai x yang sebenarnya. Sebagaimana kita tahu, persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi,
(9x + 2) + (5x – 9) = 8x + 23
14x – 7 = 8x + 23
6x = 30
x = 30/6 atau x = 5.

Dengan hanya sedikit waktu ia menemukan jawabannya yaitu x = 5, tanpa repot-repot memasukkan setiap nilai x. Begitulah perumpamaan perbedaan seseorang yang berpikir hanya yang praktis-praktis dengan yang berpikir kembali ke prinsip serta esensinya.

Seseorang yang mampu berpikir secara sistematis dengan mulai dari esensi kemudian prinsip dan akhirnya praktis akan menjadi seseorang yang ahli piker. Seorang yang ahli piker pada dasarnya mereka yang dapat mengetahui dan menggali potensi dirinya agar bermanfaat dan optimal. Dengan potensinya maka ia akan merencanakan segala sesuatunya dengan benar. Setiap sesuatu masalah yang ia hadapi akan dikembalikan kepada prinsip dan esensinya.

Namun demikian, berpikir sehingga menjadi manusia yang potensial tidaklah cukup. Seseorang yang sudah dapat mengoptimalkan dirinya sehingga membawa manfaat bagi sesame, harus disertai dengan kemampuan zikir. Ia tidak saja kuat secara fisik maupun materi, tapi juga mental atau batinnya menjadi kokoh, penung semangat dan tak mengenal putus asa. Maka kemampuan berpikir dan berzikir harus disinergikan, harus digabungkan.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...