Hermeneutika,
baik dalam bentuk intepretasi alegoris maupun katatabahasaan, adalah metode
pemahaman yang merupakan produk kebudayaan, mitologi dan filsafat Yunani. Jadi
ia tidak bebas nilai. Ia pada mulanya masuk dan berkembang dalam milieu teologi
Kristen tanpa resistensi, karena dalam tradisi intelektual Kristen sendiri
tidak terdapat Ilmu intepretasi yang lahir dari konsep teologi mereka. Tapi hermeneutika
kemudian justru menimbulkan perpecahan dikalangan penganut Kristen. Pertentangan
antara pendukung intepretasi alegoris dan literal atau grammatical hakekatnya
bukan menunjukkan resistensi tapi justru merupakan bukti dominasi pemikiran Plato
dan Aristotle. Bahkan Van A Harvey menyatakan dengan jelas bahwa karena
perdebatan dalam soal hermeneutika inilah akhirnya mengakibatkan timbulnya dua
kelompok Protesan Liberal dan Kristen Ortodoks.[1]
Masalahnya, mereka memerlukan hermeneutika karena problem otentisitas Bible,
tapi dengan mengadopsi hermeneutika berarti mereka mengubur otoritas dalam
tradisi mereka. Terlepas dari problem otentisitas Bible dan otoritas
memahaminya, impak yang ditimbulkan akibat mengadopsi hermeneutika bagi Kristen
sudah merupakan bukti bahwa hermeneutika itu tidak netral.
Ini
juga bukti bahwa hermeneutika itu tidak dapat di’adopsi’ begitu saja, ia perlu
di’adapsi’ kedalam realitas teologi Kristen. Namun, nampaknya mekanisme untuk
itu tidak terdapat dalam tradisi intelektual Kristen, sehingga kajian
hermeneutika secara teologis segera melompat kepada kajian filsafat. Ketika
makna hermeneutika memasuki diskursus filsafat, tradisi intelektual Barat telah
siap dengan mekanisme pem-Baratan. Nilai-nilai pandangan hidup Barat yang
sekuler dan anti agama ikut mulai memberi makna baru terhadap hermeneutika.
Oleh sebab itu ketika hermeneutika telah menjadi metode filsafat ia sudah bukan
lagi metode interpretasi kitab suci, dan jika ditrapkan untuk kajian kitab suci
ia akan merusak sendi-sendi agama itu. Terbukti Bible yang dalam diskursus
teologi diletakkan sebagai kitab sacral, dalam diskursus filsafat dianggap sama
dengan teks-teks lain dan bahkan dianggap tidak dapat dijadikan pedoman untuk
mengartikulasikan keimanan Kristen.
Karena ilmu dilahirkan oleh pandangan hidup maka ia
memiliki presupposisi sendiri dalam bidang etika, ontologi, cosmologi dan
metafisika. Disinilah sejatinya yang menentukan bahwa ilmu (khususnya ilmu-ilmu
sosial), termasuk hermeneutika, itu tidak netral. seperti yang telah dibahas
bahas diatas. Karena setiap konsep dalam suatu peradaban selalu diwarnai oleh
pandangan hidup masing-masing, maka Alparslan menegaskan bahwa suatu peradaban
tidak dapat begitu saja mengimport suatu konsep kecuali dengan proses modifikasi
konseptual atau apa yang disebut “borrowing process”.[2] Jika modifikasi konsep itu melibatkan
konsep-konsep dasar yang lebih utama maka perubahan paradigma (Paradigm
Shift) tidak dapat dielakkan lagi.
Filsafat
hermeneutika yang diklaim sebagai metode universal dan netral sejatinya juga
tidak demikian. Filsafat hermeneutika Schleiermacher yang membawa presupposisi
bahwa keberagamaan adalah sesuatu yang a priori (tidak memerlukan
pengalaman), mendorong hermeneutika menjadi proses subyektif dan intuitif yang
ekstrim. Prinsipnya tentang universalitas filsafat hermeneutika telah
meletakkan hermeneutika teologis menjadi partikular. Yang partikular hanya dapat difahami dengan yang universal.
Agama disubordinasikan dibawah filsafat. Prinsip pemahaman psikologisnya sangat
mustahil ditrapkan untuk semua jenis teks, khususnya teks al-Qur’an. Hermeneutika
Dilthey yang ingin menjadikannya metodologi sains kemanusiaan yang universal dengan
menekankan pada aspek kesejarahan juga masih belum bisa diterima oleh kalangan
pemikir kontemporer. Disiplin Ilmu yang berkembang saat ini tidak pula
mengikuti hermeneutika yang digagas Dilthey. Hermeneutika Habermas yang
mensyaratkan agar setiap pemahaman mempertimbangkan kepentingan kekuasaan
adalah khas bahasa filsafat social Marxis. Ketika hermeneutika masuk kedalam
milieu filsafat eksistensialis, utamanya Kierkgaard dan dikembangkan oleh Heidegger, ia berubah
menjadi intepretasi eksitensialis. Penekanan Heidegger pada aspek ontologis
menyerang habis metafisika yang menjadi domain dari diskurus masalah ketuhanan
dan pemikiran keagamaan. Jadi ketika Gadamer berkata bahwa universalitas
hermeneutika masih bermasalah dapat kita fahami bahwa hermeneutika itu sarat
nilai.
Sebagai
sebuah metode filsafat sejatinya hermeneutika penuh dengan presuposisi
epistemologis yang bersumber pada konsep realitas dan kebenaran dalam
perspektif Barat. Pemahaman terhadap realitas hanya dibatasi dalam konteks
kesejarahan, sosial, kekuasaan yang kesemuanya bersifat subyektif. Pemahaman terhadap manusia yang inheren
dengan eksistensi dirinya merupakan basis bagi setiap proses pemahaman. Aspek-aspek
realitas bersifat metafisis, kosmologis, dan ontologis tidak menjadi
pertimbangan penting. Lebih-lebih ketika metafisika disingkirkan dari diskursus
filsafat hermeneutika, ia semakin bertambah jauh dari mungkin untuk ditrapkan
dalam diskurus keagamaan.
Dalam
kata pengantar buku Jean Grondin yang berjudul Introduction to Philosophical
Hermeneutic Hans-Georg Gadamer (1900-1998) seroang tokoh filsafat
heremenutika menulis begini:
Istilah hermeneutika merujuk kepada
sejarah yang panjang dan masih banyak yang perlu dipelajari untuk hari ini.
Jadi universalitas (hermeneutika) pun masih merupakan tantangan, bukan dalam
konteks pandangan filsafat tapi sebagai tugas filsafat. ….Ketika era metafisika
mulai berakhir, dan klaim sains modern dalam memonopoli ilmu pengetahuan
berkurang secara otomatis, maka sebagai suatu upaya awal (starting point)
untuk mengembangkan suatu universalitas yang murni kita dapat melihat konsep
kuno ini (maksudnya hermeneutic pen.). Namun, di zaman Romantis (antara
1775-1830 pen.), hermeneutika berkembang hingga kesuatu titik yang meliputi
teori tentang sains kemanusiaan secara menyeluruh. Jadi ia tidak hanya meliputi
jurisprudensi dan teologi, tapi juga filologi dan semua disiplin terkait.[3]
Dalam pernyataan
Gadamer diatas ada tiga implikasi penting yang bisa ditangkap. Pertama hermeneutika
yang berasal dari Yunani dan diadopsi para teolog Kristen sebagai Tafsir Bible
itu dicoba dikembangkan menjadi teori sains kemanusiaan.Kedua,
hermeneutika muncul dari suatu milleu ilmiah (scientific environment)
yang mulai meninggalkan pemikiran metafisis. Ketiga, universalitas
hermeneutika sebagai metode masih merupakan tantangan. Dari ketiga implikasi
diatas sejatinya sudah dapat difahami bahwa hermeneutika lahir dan berkembang
dari suatu peradaban dan pandangan hidupnya (worldview). Oleh karena itu
maka hermeneutika sebagai ilmu itu value-laden atau tidak bebas nilai.
Ia diwarnai oleh nilai-nilai kultural, religius dan filosofis yang dicerminkan oleh “pandangan hidup”
Barat.
Gellner
bahkan menganggap kolonialisme di Barat seperiode dengan positivisme, suatu
bentuk imperialisme pemikiran, sedangkan dekolonisasi seperiode dengan era
hermeneutika, yang secara perlahan-lahan berkulminasi pada postmodernisme. Ia
kemudian menghubungkan secara parallel kecenderungan dekolonisasi ini dengan
gerakan liberalisasi, feminisme, gerakan minoritas yang tertindas yang marak
akhir-akhir ini. Jadi nalar kita dapat memahami dengan jelas bahwa hermeneutika
bukan ilmu yang dihasilkan oleh fikiran yang tanpa aspek historisitas dan latar
belakang pandangan hidup dan karena itu ia value laden.
Selain
itu dari berbagai konsep yang muncul dapat difahami bagaimana problematiknya
konsep hermeneutika dalam tradisi intelektual Barat dan juga Kristen.
Problematika mana sejatinya tidak terdapat dalam tradisi intelektual Islam.
Dalam Islam al-Qur’an telah jelas menekankan keimanan pada sesuatu yang ghaib
yang tidak dapat dibukutikan secara empiris. Selain itu antara pesan Tuhan yang
universal dan realitas kehidupan manusia tidak ada masalah, karena adanya
prinsip harmoni antara ayat-ayat al-Qur’an, ayat-ayat Kauniyyah dan ayat-ayat
dalam diri manusia (fÊ anfusikum). Ibn Taymiyyah bahkan memformulasikan
kesatuan fitrah, yaitu bahwa alam semesta ini diciptakan dengan fitrah
sebagaimana juga manusia. Untuk melengkapi fitrah manusia itu Allah menurunkan
al-Qur’an yang ia sebut sebagai fitrah munazzzalah.
Tren dikalangan
modernis Muslim untuk meng’adopsi’ filsafat hermeneutika sebagai alternatif
Tafsir al-Qur’an adalah absurd. Kritik-kritik mereka terhadap Tafsir dan
ulum al-Qur’an yang lain hakekatnya adalah bukti kegagalan mereka
menangkap konsep “tafsir” atau “memahami” (tafaqquh) dalam tradisi
intelektual Islam. Kegairahan mereka menggunakan hermeneutika dalam kajian
Islam tidak disertai pemahaman terhadap presuposisi-presupposisi metafisis,
epistemologis dan ontologis yang mendasarinya. Mereka nampaknya juga tidak
mencoba memahami konsep realitas dan kebenaran yang mendasari konsep dan teori
hermeneutika dan membedakannya dengan konsep Islam. Akibatnya, secara tidak
sadar mereka telah melakukan “dekonstruksi” dan bukan rekonstruksi Islam dan elemen-elemen
pandangan hidupnya.
[1] Van A Harvey,
“Hermeneutic” dalam The Encyclopedia of Religion, ed. Mercea Eliade,
MacMillan Publishing Company, New
York , 1987, hal. 280-281
[2] Alparslan Acikgence, Islamic Science, Towards Definition, Kuala Lumpur , ISTAC 1996, 29
[3] Jean Grondin, Introduction to Philosophical
Hermeneutic,Yale University Press, New
York , London ,
1994, hal X)