Oleh Hamid Fahmy Zarkasyi*
Pendahuluan
Hermeneutika
adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia kemudian
di adopsi oleh orang-orang Kristen untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks
Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini berkembang menjadi aliran
filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut latar belakang budaya,
pandangan hidup, politik, eknomi dan lain-lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan
bahwa hermeneutika adalah ilmu yang lahir dengan latar belakang pandangan hidup
Yunani, Kristen dan Barat. Makalah ini akan membuktikan bahwa hermeneutika hermeneutika
adalah ilmu yang merupakan produk dari pandangan hidup dan peradaban tersebut.
Mengapa pandangan
hidup?
Mengapa
kita perlu melihat hermeneutika dalam konteks pandangan hidup? Sebab setiap ilmu,
konsep atau teori, termasuk hermeneutika, pasti merupakan produk dari
masyarakat, atau bangsa yang memiliki peradaban dan pandangan hidup (worldview).
Pandangan hidup suatu masyarakat adalah cara pandang mereka terhadap alam dan
kehidupan. Ada beberapa faktor penting dalam padangan hidup manusia, dan yang
terpenting adalah faktor kepercayaan terhadap Tuhan. Faktor ini penting karena
mempunyai implikasi konseptual. Masyarakat atau bangsa yang percaya pada wujud
Tuhan akan memiliki pandangan hidup berbeda dari yang tidak percaya pada Tuhan.
Dalam buku Thinking Critically about Philosophical Problem, Thomas F
Wall, menyebutkan bahwa Tuhan adalah:
the
most important element in any worldview. …if we are consistent, we will also
believe that the source of moral values is not just human convention but divine
will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe that
knowledge can be of more than what is observable and that there is a higher
reality – the supernatural world.[1]
Implikasi
negatifnya berarti bahwa bagi masyarakat yang tidak percaya pada Tuhan nilai
moralitas adalah kesepakatan manusia (human convention), yang standarnya
adalah kebiasaan, adat, norma atau sekedar kepantasan. Demikian pula realitas
hanyalah fakta-fakta yang bersifat empiris yang dapat diindera atau difahami
oleh akal sebagai kebenaran. Kekuatan disebalik realitas empiris, bagi mereka, tidak
riel dan tidak dapat difahami dan dibuktikan kebenarannya meskipun sejatinya akal
dapat memahaminya.
Pandangan
hidup dalam Islam tidak hanya sebatas pandangan terhadap alam dan kehidupan nyata,
tapi keseluruhan realitas wujud, yang oleh al-Attas di definisikan
sebagai ru’yatal-Islam li al-wujud. Karena wujud Tuhan adalah wujud yang
mutlak dan tertinggi sedangkan alam semesta seisinya adalah bagian dari wujud
itu, maka konsep Tuhan sangat sentral dalam pandangan hidup Islam dan sudah
tentu memiliki konsekuensi konseptualnya.
Namun
tidak semua masyarakat yang percaya pada Tuhan memiliki worldview yang
sama. Sebab konsep dan pengertian Tuhan
berbeda antara satu agama dengan agama lain. Konsep inilah sebenarnya yang
membedakan karakateristik dan elemen pandangan hidup antara suatu bangsa dengan
bangsa lain. Elemen pandangan hidup Islam seperti yang diformulasikan al-Attas,
misalnya, terdiri dari konsep Tuhan, konsep wahyu, konsep penciptaan, konsep
psikologi manusia, konsep ilmu, konsep agama, konsep kebebasan, konsep nilai
dan kebajikan, konsep kebahagiaan dsb. Dari elemen-elemen ini dapat diketahui
dengan mudah konsep moralitas dan ilmu, dan bahkan peran elemen-elemen itu
dalam menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development)
dan kemajuan (progess) dalam Islam.[2]
Bagaimana
pandangan hidup suatu peradaban dapat melahirkan suatu ilmu (science),
telah dikaji secara mendasar oleh Alparslan dalam buku Islamic Science Towards
a Definition. Dalam buku ini ditegaskan bahwa “ilmu hanya lahir dari pandangan
hidup tertentu saja” (science arises within certain worldview only),
meskipun ada pandangan hidup yang tidak dapat melahirkan ilmu.[3]
Dalam teorinya, Alparslan menjelaskan bahwa suatu ilmu lahir didorong oleh tiga
faktor penting yaitu:
1) Adanya komunitas ilmuwan yang memiliki pandangan
hidup yang pada dataran konsep mereka memiliki apa yang disebut “lingkungan
konseptual:” (conceptual environment).
2) Adanya keterkaitan (network) antara
satu konsep dengan konsep keilmuan yang lain yang membentuk apa yang disebut
sebagai “kerangka konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme)
3) Dari adanya keterkaitan konsep itu
terjadilah suatu ‘cara pandang” (outlook) terhadap sesuatu yang
pada gilirannya akan menghasilkan saling hubungan antara satu dengan kosa-kata
teknis (technical vocabulary) lainnya.[4]
Meskipun terdapat
proses kelahiran yang lebih detail lagi namun proses diatas telah cukup untuk
menguji bagaimana hermeneutika sebagai ilmu lahir dari pandangan hidup (worldview). Untuk itu sebaiknya kita lihat bagaimana
milieu masyarakat dimana teori hermeneutika berkembang. Sebagaimana disebutkan
diatas bahwa suatu ilmu lahir dengan diawali oleh adanya komunitas ilmuwan yang
membentuk sebuah lingkungan, demikian pula hermenetika. Werner menyebutkan tiga
milieu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu
atau teori interpretasi:
Pertama milleu masyarakat
yang terpengaruh oleh pemikiran Yunani.
Kedua milieu masyarakat
Yahudi dan Kristen yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan
berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi untuk itu.
Ketiga milieu masyarakat Eropah di zaman
Pencerahan (Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi dan otoritas
keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.[5]
Ketiga milieu
penting ini bukan satu komunitas tapi lebih merupakan komunitas-komunitas yang
secara periodik mengiringi perkembangan hermeneutika. Oleh sebab itu dengan
menggunakan data tentang milllieu yang mengitari perkembangan hermeneutika seperti
yang dikemukakan oleh Werner diatas kita dapat menggambarkan pengaruh pandangan
hidup terhadap perkembangan hermeneutika dalam tiga fase yaitu: pertama dari
mitologi Yunani ke teologi Yahudi dan Kristen dan kedua dari teologi
Kristen yang problematik kepada gerakan rasionalisasi dan filsafat. Ketiga dari
hermeneutika filosofis menjadi filsafat hermeneutika. Dari ketiga fase
tersebut akan dilihat terjadinya perubahan pandangan hidup masyarakat dan
pergeseran makna konseptual hermeneutika.
[1] Thomas F Wall,
Thinking Critically about Philosophical Problem, A modern introduction,
Wadworth, 2001, hal. 60.
[2] Untuk lebih
jelasnya lihat S.M.N, al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam An
Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, Kuala
Lumpur, ISTAC, 1995, ix).
[3]Alparslan
Acikgence, Islamic Science,
Towards Definition, Kuala Lumpur,
ISTAC 1996, 30
[4] Ibid, 60
[5] Werner G.Jeanrond, Theological
Hermeneutic, Development and Siginificance, Macmillan, London, 1991,
hal.12-13