Kesimpulan
Edward Said bahwa para orientalis
mengkaji Islam menurut pengalaman Barat adalah benar adanya. Sebab ketika
mengkaji al-Qur’Én, para
orientalis itu menggunakan kritik Bibel (biblical criticism). Namun dibalik penggunaan metodologi Bibel yang
diklaim sebagai metode ilmiah, mereka ingin menunjukkan bahwa al-Qur’Én sebenarnya telah mengalami berbagai
penyimpangan (taÍrÊf). Dengan begitu mereka dapat mendobrak keimanan
kaum Muslimin yang selama ini masih saja meyakini bahwa al-Qur’Én adalah firman
Allah. Tulisan di bawah ini akan menunjukkan bahwa adopsi metodologi Bibel
tidaklah tepat untuk diaplikasikan kepada al-Qur’Én. Sebab, metode biblical
criticism muncul disebabkan problematika Bibel yang sangat kompleks. Sejarah
al-Qur’Én tidak perrnah memiliki pengalaman sebagaimana yang dialami Bibel.
Problematika Perjanjian Lama[1]
Perjanjian Lama (PL) adalah hasil dari proses
kompilasi yang sangat panjang.Teks PL dipercayai telah ditulis dari zaman Musa
(1400 tahun sebelum Masehi) ke zaman Malachi (400 tahun sebelum Masehi). Jadi,
PL ditulis oleh individu-individu yang hidup dalam zaman yang berlainan. Ini
tentunya menimbulkan sejumlah persoalan. Siapa sebenarnya yang mengarang dan
menyusun PL? Bagaimana sebenarnya PL itu dikarang dan disusun? Bagaimana
perkembangan sejarah PL sehingga menghasilkan teks PL seperti yang ada sekarang
ini? Apa sebenarnya bahasa asal PL?
Setelah ditemukannya mesin cetak,
maka teks PL dicetak untuk pertama kali pada tahun 1488 M. di Soncino, Italia.
Sebelumnya, hampir selama 3000 tahun, yaitu sejak 1400 tahun sebelum Masehi
sehingga tahun 1488 M, teks PL disalin dan diperbanyak dengan tulisan tangan.[2] Penyalinan dengan tangan sangat
rentan dengan kesalahan seperti haplography,
dittography dan homoioteleuton.[3] Selain itu, isi, struktur kalimat,
style dan versi teks PL menjadi berbeda yang mustahil untuk diselesaikan.
Sebabnya, bukan saja manuskrip naskah asal dan asli sudah tidak ada lagi, namun
manuskrip yang dijadikan rujukan pun bukan berasal dari generasi-generasi awal.
Sebelum ditemukannya naskah-naskah di Qumran (Dead Sea scrolls) pada tahun 1947, manuskrip Ibrani yang paling tua adalah pada tahun 895 M.
mengenai keseluruhan Yesaya berasal dari salinan Ben Asher.[4]
Umumnya, para sarjana
Yahudi-Kristen berpendapat PL pada awalnya dan kebanyakannya ditulis dalam
bahasa Ibrani. Hanya sebagian kecil saja yang ditulis dalam bahasa Aram seperti
dalam Kejadian 31:47; Yeremia 10:11, Ezra 4:8-6;18; 7:12-26 dan Daniel 2:4-7:28.[5]
Bagaimanapun, bahasa Ibrani yang
dimaksud sebagai bahasa asal PL sudah mengalami perkembangan-perkembangan yang
berbeda dengan tulisan persegi (square
script) yang tercantum dalam manuskrip-manuskrip PL. Menurut Israil
Wilfinson, seorang sarjana Yahudi terkemuka dalam studi PL, bahasa yang
digunakan oleh orang Yahudi sebelum pengasingan (pre-exilic language) adalah dialek Kanaan. Orang-orang Ibrani
menggunakan dialek Kanaan sebelum menetap di Palestina. Dialek tersebut menjadi
bahasa mereka setelah menetap disana.[6]
Selain itu, istilah bahasa Ibrani
tidak pernah digunakan dalam PL. Dalam Yesaya 36:11 disebutkan: Lalu berkatalah
Elyakim, Sebna dan Yoah kepada juru minuman agung: “Silahkan berbicara dalam
bahasa Aram kepada hamba-hambamu ini, sebab kami mengerti; tetapi jangalah
berbicara dengan kami dalam bahasa Yehuda
sambil didengar oleh rakyat yang ada di atas tembok.”[7] Begitu juga dalam Yesaya 36:13
disebutkan: “Kemudian berdirilah juru minuman agung dan berserulah ia dengan
suara yang nyaring dalam bahasa Yehuda.
Ia berkata: ‘Dengarlah perkataan raja agung, raja Asyur![8] Dalam Yesaya 19:18 disebutkan:
“Pada waktu itu akan ada lima kota di tanah Mesir yang berbicara bahasa Kanaan dan yang bersumpah demi
TUHAN semesta alam. Satu diantaranya akan disebutkan Ir-Heres.”[9]
Seandainya saat itu bahasa Ibrani telah
digunakan, tentunya PL akan memberikan informasi mengenai bahasa tersebut,
bukan menggunakan kata-kata “bahasa orang Yahudi” atau “bahasa Kanaan.” Jadi,
bisa disimpulkan ketika bangsa Israel berpecah menjadi Kerajaan Israel dan
Yehuda, mereka tidak memiliki bahasa yang khusus.[10]
Selain itu, pada masa pengasingan (exilic period), tulisan Yahudi berasal
dari bahasa Kanaan. Saat itu, bahasa Aram yang menjadi bahasa dominan di
kawasan Timur Dekat dan orang Yahudi mengadopsi bahasa tersebut dan juga
tulisannya yang dikenal dengan Asyur. Jadi, ketika PL dalam bahasa Ibrani yang
ditulis dengan menggunakan square script
(tulisan persegi), maka bentuk asal dari square
script adalah tulisan Asyur. Disebabkan tulisan Asyur yang merupakan bentuk
Aram dari tulisan Phonesia telah digunakan sejak abad ke-8 S. M., maka dalam
manuskrip-manuskrip awal teks PL, tulisan Asyur terlebih dahulu digunakan. Square script baru dianggap secara
formal sebagai tulisan Ibrani setelah munculnya tulisan-tulisan Bin Sira dan
Yosephus pada abad pertama Masehi dalam Misnah serta Talmud dan itu semua
merupakan perkembangan-perkembangan yang terjadi sangat belakangan. Oleh sebab
itu, pada asalnya salinan PL mengalami proses. Dari tulisan Kanaan berubah
menjadi Aramaik (Asyur), dan akhirnya berubah lagi menjadi persegi yang
kemudiannya dianggap sebagai tulisan Ibrani. Kesimpulannya, sebelum kepulangan
mereka dari pengasingan Babilonia pada tahun 538 S. M., orang Yahudi tidak
memiliki alat komunikasi tertulis khas milik mereka sendiri.[11]
Selain disalin dengan tulisan
persegi (square script), Taurat juga
telah disalin oleh orang-orang Samaria (Samaritan
Torah) dengan tulisan Ibrani kuno-Phonesia (Phonecian-paleo-Hebrew). Tulisan orang-orang Samaria tersebut
berbeda dengan tulisan persegi (square
script) orang-orang Yahudi. Selain itu, berbeda dengan orang-orang Yahudi,
kaum Samaria meyakini hanya Taurat yang dianggap otentik. Mereka menolak Nevi’im (Nabi-Nabi) dan Kethubim sebagai bagian dari “kitab
suci.”[12]
Selain itu, Bibel Ibrani (Biblia Hebraica) juga telah
diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Aramaik (Targum), Yunani kuno (Septuagint),[13] Syiriak (Peshitta)[14] dan Latin (Vulgata).[15] Konsekwensinya, distorsi terhadap
naskah terjadi. Penerjemahan Biblia
Hebraica kepada Septuagint,
misalnya, telah merubah isi, susunan, makna, gaya bahasa, struktur kalimat teks
PL. Akibatnya, orang-orang Yahudi, Katolik Roma dan Ortodoks serta Protestant
memiliki sikap yang berbeda terhadap naskah PL.
Bagi orang-orang Yahudi, PL
diklasifikasikan kepada 24 buku. Bagi penganut Protestant PL diklasifikasikan
kepada 39 buku. Sedangkan bagi penganut Katolik Roma dan Ortodoks, PL
diklasifikasikan kepada 46 buku.[16]
Jadi, buku-buku yang dalam Katolik
Roma (Roman Catholic) ada, tapi dalam
Protestant tidak ada, sebanyak 7 buku yaitu Tobit, Judith, Hikmah Salomo,
Ecclesiasticus (Wisdom of Ben Sirach), Baruch, I Maccabees dan II Maccabees.
Perbedaan tambahan 7 buku tersebut disebabkan ketika orang-orang Yahudi
menerjemahkan ke bahasa Yunani kuno (Septuagint),
susunannya menjadi 46 bagian. Susunannya menjadi berbeda dengan yang biasanya
diterima kalangan Yahudi yang berbicara bahasa Ibrani dan Aramik di Palestina.
Gereja yang termasuk pertama kali mengkodifikasi dan mengkanonisasi 46 buku
tersebut adalah Dewan Gereja Katolik di Afrika Utara pada abad ke-empat: di
Hippo pada tahun 393, dan di Carthage pada tahun 397 dan 417 M termasuk yang.[17] Sebaliknya, kalangan Protestant
menganggap 7 bagian tambahan yang ada pada kitab Perjanjian Lama Katolik
sebagai apocrypha. Selain
itu, PL menjadi “textus receptus”
ketika sekelompok sarjana Yahudi pada 8 hingga abad ke-11 para Masoretes (penafsir) meletakkan
tanda-tanda vokal ke dalam teks dan “menetapkan” (fix) kata-kata dalam bentuk definitif. Teks standart Perjanjian
Lama disebut dengan nama Masoretic text.[18]
Bagaimanapun, teks tetap tersebut
lebih banyak menimbulkan permasalahan dibanding menyelesaikan persoalan. Salah
satu cara untuk menyelesaikan persoalan tersebut adalah dengan menggunakan
berbagai terjemahan Biblia Hebraica
seperti dalam bahasa Yunani kuno (Septuagint),
Syiriak (Peshitta), Latin (Vulgata) dan Aramaik (Targum).[19]
Studi Kritis PL
Selama berabad-abad kalangan Yahudi
dan Katolik ortodoks meyakini Musa sebagai pengarang keseluruhan Taurat.
Bagaimanapun, saat ini, keyakinan tersebut ditolah oleh mayoritas teolog
Yahudi-Kristen. Salah seorang yang menyatakan bahwa Musa bukanlah pengarang
keseluruhan isi Taurat adalah Jerome (±342-420). Ia menerjemahkan Septuagint ke dalam bahasa Latin (Vulgata) dan terjemahannya dianggap textus receptus bagi kalangan Kristen.
Menurut Jerome, terdapat sejumlah paragraph dalam Taurat yang bukan karangan
Musa. Namun, paragraf-paragraf tersebut telah dimasukkan oleh penulis lain.
Menurutnya, “until this day” dalam
Kejadian 35:4 (LXX) dan Ulangan (34:5-6) menunjukkan paragraph-paragraf
tersebut ditulis setelah periode Musa.[20]
Pada abad kedua belas, Abraham ibn
Ezra (1092-1167), seorang sarjana Yahudi berpendapat sejumlah paragraph di
dalam Taurat yang menunjukkan bahwa Musa bukanlah pengarang Taurat. [21] Pada tahun 1520, Andreas
Bodenstein, yang lebih dikenal dengan Karlstadt dalam karyanya menulis buku
kecil mengenai Kanonisasi Kitab Suci
(De canonicis Scripturis libellus).
Di dalam karya tersebut, Karlstadt menegaskan Musa bukanlah pengarang
keseluruhan isi Taurat.[22]
Pada zaman modern, kritik terhadap
pendapat Musa sebagai pengarang keseluruhan isi Taurat semakin bergema. Thomas
Hobbes (1588-1679), seorang filosof dari Inggris dalam karyanya Leviathan, yang diterbitkan pada tahun
1651, misalnya menyatakan Kejadian 12:6 dan Bilangan 21:14, bukanlah karangan
Musa.[23]
Isaac de la Peyrère (1592-1676), seorang pastor Protestant, berpendapat
bahwa pengarang Taurat lebih dari seorang. Sebabnya, banyak kisah dalam Taurat
yang kabur (obscurity), membingungkan
(confusion), tidak lengkap (unfinished), terdistorsi (distorted), dan bertentangan (contradictions).[24]
Baruch Spinoza (1632-1677), yang
mengganti nama Yahudinya dengan bahasa Latin Benedict de Spinoza, adalah
seorang filosof dan teolog Yahudi yang menolak keimanan sebagai titik tolak
untuk mengkaji Alkitab. Baginya, Alkitab harus dikaji dengan semangat penuh
kebebasan tanpa prejudis keimanan.[25] Spinoza, yang diusir dari
komunitas Yahudi di Amsterdam, menegaskan Musa bukanlah pengarang Taurat.
Alasannya sebagai berikut: (1) Penulis Taurat bukan saja berbicara tentang Musa
sebagai orang ketiga, tetapi juga menyaksikan berbagai perkara yang detil
mengenainya. Seperti ‘God talked with Moses,’ ‘God spake with Moses face to
face,’ Moses was the meekest of men,’ (Numbers 12:3), ‘Moses was wrath with the
captains of the host,’ (Numbers 31:14), ‘Moses, the man of God,’ (Deuteronomy,
33:1), Moses, the servant of God, died,’ ‘There has never arisen in Israel a
prophet like Moses, ‘ dan lain sebagainya. (2)
Taurat bukan saja memuat kematian Musa, penguburannya, dan 30 hari
ratapan orang-orang Yahudi, tetapi juga perbandingan antara Musa dengan semua
Nabi-Nabi yang datang setelahnya. (3) Taurat memuat berbagai nama tempat yang
ada setelah zaman Musa. (4) Berbagi kisah terkadang bersambung setelah
meninggalnya Musa.[26]
Akhirnya, Spinoza menyimpulkan:
“Jadi, dari pemaparan yang telah disebutkan adalah jelas diluar bayangan
keraguan bahwa Taurat tidaklah ditulis oleh Musa, tetapi oleh seseorang yang
hidup dalam banyak generasi setelah Musa.”[27]
Richard Simon (1638-1712), seorang
pendeta Katolik berasal dari Perancis, dalam karyanya, Histoire critique du Vieux Testament (Historis-Kritis Perjanjian
Lama, pada tahun 1678), menyatakan Taurat adalah hasil dari proses kompilasi
yang panjang (the result of a long
process of compilation).[28] Jean le Clerc (1654-1736), pada
tahun 1685 memberikan garis panduan yang kemudian disebut sebagai “higher criticism,” yang bermaksud
kebutuhan dan metode untuk menentukan kapan dan tujuan penulisan sebuah karya,
dan sebagainya. Menurut Jean le Clerc, Taurat ditulis oleh seorang Pendeta yang
kembali dari tahanan ke Samari untuk mengajar kepada penduduk baru tentang
agama Israel. Pendeta tersebut telah menggabungkan berbagai sumber untuk
memenuhi kebutuhan yang khusus. Dengan usahanya, Jean le Clerc telah
menenjukkan unsur yang penting dalam studi kritis-historis: dokumen-dokumen
Bibel telah dihasilkan dalam situasi-situasi historis khusus untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
khusus dengan maksud-maksud yang khusus.[29]
Kajian yang serius untuk meneliti
bagaimana Taurat dihimpun, disusun sehingga menjadi sebuah teks yang utuh
dilakukakan oleh Jean Astruc (1684-1766). Ia meneliti sumber-sumber yang
digunakan untuk Musa untuk menyusun Taurat. Dalam pandangannya, Musa menulis
Taurat berdasarkan beberapa dokumentasi tertulis. Belakangan para editor yang
tidak diketahui namanya menggabungka dokumentasi-dokumentasi tersebut ke dalam
kisah yang bersambung. Jadi, mereka lah yang sebenarnya bertanggung jawab atas
susunan Kejadian (Genesis) yang ada
sekarang ini.[30]
Untuk mendukung wujudnya
dokumentasi tertulis, Jean Astruc berargumentasi bahwa Kejadian 1 menggunakan
kata Elohim untuk menyebut nama
Tuhan, sedangkan cerita dalam Kejadian 2 dan 4 menggunakan kata Yahweh. Berdasarkan kepada fakta ini,
Jean Astruc menyimpulkan Musa memiliki dua sumber dokumen. Dokumen pertama yang
dengan teratur menggunakan Elohim dan
dokumen yang kedua secara teratur menggunakan kata Yahweh.[31]
Dengan meneliti sumber yang
digunakan untuk mengarang PL, Jean Astruc telah memformulasi apa yang kelak
disebut dengan metode kritik sumber (source
criticism). Source criticism
mendapat wajah baru setelah Julius Wellhausen (1844-1918) menulis Prolegomena to the History of Israel
(1878). Menurut Wellhausen, sumber bagi
Musa untuk menulis Taurat berasal dari 4 dokumen, yang disebut dengan dokumen
J, E, D dan P. Materi dalam dokumen “J” (disebut demikian sebagai singkatan
kepada Yahweh [Jehovah]) diduga telah ditulis sekitar 850 S.M di kawasan
Kerajaan bagian selatan. Dokumen dalam “J” itu adalah personal, biografis dan
anthropormofis. Dokomen dalam “J” meliputi kenabian seperti etika dan refleksi
teologis. Materi dalam dokumen “E” (disebut demikian sebagai singkatan kepada
Elohim [Tuhan]) dan ditulis sekitar tahun 750 S. M. di kawasan Kerajaan bagian
Utara. Dokumen dalam “E” lebih objektif, kurang menyentuh masalah etika dan
refleksi teologis serta cenderung kepada kasus partikular yang konkrit. Menurut
beberapa sarjana setelah Wellhausen, kedua dokumen tersebut digabungkan sekitar
tahun 650 S. M. oleh seorang editor yang tidak diketahui. Hasilnya menjadi
“JE.” Karangan tersebut menjadi lengkap dangan materi “D” dan “P”. “D” ditulis
sekitar tahun 621 S.M., dan “P” ditulis sekitar 570 sampai 445 S.M. Materi
dalam dokumen “P” menyentuh asal-mula dan institusi teokrasi, genealogi, ritual
dan pengorbanan (sacrifices).[32]
Bagaimanapun, dalam pandangan
Hermann Gunkel (1862-1932), kritik sumber (source
criticism), yang memfokuskan penelitian kepada pengarang dan kapan
pengarang tersebut berkarya, bukanlah prioritas dalam studi kritis PL.
Sebabnya, metode tersebut tidak cukup untuk menemukan akar-akar pemikiran
keagamaan. Menurut Gunkel, fokus penelitian yang lebih penting untuk dilakukan
adalah menelusuri latar-belakang teks dan fikiran keagamaan para pengarang,
mencari asal mula (Sitz im Leben)
dari bentuk (Gattungen) yang
digunakan, serta menelusuri asal-mula motif dan tema di dalam dokumen-dokumen.
Oleh sebab itu, kembali kepada sejarah ketika zaman transmisi oral, suatu
keadaan dimana kehidupan sebenarnya ditemukan sangat penting untuk dikaji.[33]
Menurut Gunkel, kritik-kritik
sumber telah mengabaikan puisi lisan dan bentuk-bentuk primitif yang masih ada
dalam Taurat.[34] Padahal, memahami struktur,
setting dan maksud dari setiap unit susastra dibelakang materi PL yang eksis, merupakan hal yang lebih penting.
Gunkel mengibaratkan penafsir yang memulai dengan pengarang dan dokumen (yang
menjadi fokus penelitian source criticism)
bagaikan membangun rumah dengan atap. Gunkel tidak bermaksud menolak pendekatan
source criticism yang dilakukan
Wellhausen. Namun, dalam pandangannya, penelitian genre (Gattungsforschung)
adalah penelitian yang lebih mendasar dan prioritas. Baginya, dengan mengetahui
genre atau jenis-jenis sastra (literary types) yang terwakili di dalam
PL, maka kesusastraan Israel kuno secara
menyeluruh, yaitu hubungannya yang fungsional dengan seluruh kehidupan
masyarakat beserta sejarahnya dapat dipahami.[35]
Terinspirasi dengan analisa sejarah
bentuk (Formgeschichte) yang
diformulasikan Gunkel, para sarjana lain seperti Gerhard von Rad (1901-1971)
dan Martin Noth (1902-1968) memfokuskan perhatian kepada proses transmisi
materi di dalam fase-fase yang berikutnya, bukan kepada fase-fase awal. Mereka
meneliti unit-unit yang lebih kecil yang selama berabad-abad mengalami
perobahan di dalam bentuk serta isi dan dimasukkan ke dalam Taurat dan
sebagainya. Metode ini disebut dengan metode kritis-historis (überlieferungsgeschichtliche).[36]
Berdasarkan pemaparan ringkas di
atas, tampak jelas biblical criticism
dalam studi PL telah berkembang dengan sangat mapan. Berikut ini diungkapkan
secara ringkas perkembangan studi kritis Perjanjian Baru.
Studi
Kritis Perjanjian Baru
Biblical criticism juga telah mapan dalam studi Perjanjian Baru (PB). Naskah
PB dalam bahasa Yunani kuno baru pertama kali dicetak pada tahun 1514 di
Spanyol oleh Universitas Alcalá. Tapi, naskah Perjanjian Baru dalam bahasa
Yunani Kuno yang pertama kali mendapat sambutan di pasaran adalah adalah edisi
naskah yang diterbitkan oleh Desiderius Erasmus (1469-1536) dari Rotterdam,
Belanda pada tahun 1516. Naskah teks tersebut dijadikan textus receptus
dan teks standar hingga tahun 1881.[37]
Perjanjian
Baru versi Erasmus yang dijadikan textus receptus mendapat kritikan
untuk pertama kalinya dari Richard Simon (1638-1712), seorang pendeta Perancis,
yang dijuluki the ‘father of Biblical criticism’.[38]
Memanfaatkan karya-karya Simon, John Mill (1645-1707), Dr. Edward Wells
(1667-1727), Richard Bentley (1662-1742), Johann Albrecht Bengel (1687-1752), Johann Salomo Semler (1725-1791), Johann
Jakob Griesbach (1745-1812), Johann Gottfried Herder (1744-1803) dan Friedrich
Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) telah menganalisa secara kritis textus receptus Perjanjian Baru.[39]
Di
bawah pengaruh Schleiermacher, Karl Lachmann (1793-1851), seorang profesor
filologi di Berlin, untuk pertama kalinya meninggalkan textus receptus
secara total. Ia menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani kuno pada
tahun 1831. Edisi baru tersebut menggunakan analisa teks ketika mengevaluasi
varian bacaan. Dalam pandangannya, tidak mungkin teks orisinal Perjanjian Baru
akan dapat dihasilkan lagi. Setelah Lachmann, banyak sekali para sarjana Kristen
menganalisa teks dan menolak textus receptus, seperti Lobegott Friedrich
Constantin von Tischendorf (1815-1874), Samuel Prideaux Tregelles (1813-1875),
Henry Alford (1810-1871), Brooke Foss Westcott (1825-1901), Bernhard Weiss
(1827-1918), Hermann Freiherr von Soden (1852-1914), dan lain-lainnya.[40]
Uraian
ringkas di atas menunjukkan pada abad 19, textus receptus Perjanjian
Baru sudah ditolak.
Berbagai jenis disiplin ilmiah untuk mengkritik Bibel (biblical criticism)
telah mapan. Kata kritik (criticism) ketika dikaitkan dengan Perjanjian
Baru bukan lagi sesuatu yang negatif. Kata tersebut justru sesuatu yang
positif. Kata criticism berasal dari kata kerja Yunani, krinō: memisahkan, membedakan, memilih,
menentukan atau menilai. Sarjana yang menggunakan metode kritis-historis
bertindak sebagai sejarawan dan hakim yang berusaha untuk menentukan kebenaran
problema yang sedang dikaji.[41]
Salah satu bentuk dari biblical
criticism adalah metode kritis-historis (historical-critical method).
Ketika diterapkan pada studi Bibel, kritik-historis melibatkan penentuan teks
yang paling lama, watak kesastraannya, kondisi-kondisi yang memunculkannya, dan
makna asalnya. Ketika diterapkan utuk mengkaji Yesus dan Bibel, kritis-historis
melibatkan usaha untuk memisahkan legenda dan mitos dari fakta, mengkaji
mengapa para penulis Bibel melaporkan dengan versi yang berbeda-beda, dan
berusaha menentukan mana yang betul-betul perkataan Yesus.[42]
Dalam metode yang luas ini,
terdapat beberapa jenis kritik lain yang saling terkait diantaranya kritik teks
(textual criticism), kajian filologis (philological study),
kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk (form criticism)
dan kritik redaksi (redaction criticism).[43]
Studi
Kritis Al-Qur’Én
Studi kritis PL dan PB, yang telah
berkembang dengan mapan dalam Bibel diadopsi oleh para orientalis untuk
diterapkan kepada al-Qur’Én. Salah seorang tokoh orientalis yang mulai
menerapkan metodologi Bibel secara sistematis ke dalam studi al-Qur’Éan adalah
Theodore Nöldeke, dengan karyanya Sejarah
al-Qur’Én (Geschichte des Qorans).[44]
Pendeta Edward Sell (m. 1932),
salah seorang tokoh misionaris terkemuka di Madras, India, mendesak agar kajian
kritis-historis al-Qur’Én dilakukan dengan menggunakan kritik Bibel (biblical
criticism). Ia sendiri merealisasikan gagasannya dengan menulis Historical
Development of the Qur’Én, yang diterbitkan pada tahun 1909 di Madras, India.[45] Ia juga menjadikan karya Theodore
Nöldeke, Geschichte des Qorans, sebagai model untuk kajian kritis
al-Qur’Én.[46]
Senada dengan Sell, Pendeta
Alphonse Mingana (m. 1937) menyatakan: “Sudah tiba masanya untuk melakukan
kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel
Yahudi yang berbahasa Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa
Yunani.”[47]
Menyamakan problematika semua kitab
suci dengan al-Qur’Én, Arthur Jeffery (m. 1959), seorang orientalis berasal
dari Australia berpendapat bahwa sebuah kitab itu dianggap suci karena tindakan
komunitas masing-masing agama. Jeffery mengatakan: “Komunitaslah yang
menentukan masalah ini suci dan tidak. Komunitaslah yang memilih dan
mengumpulkan bersama tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang
mana komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan yang otentik
yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.”[48]
Menurut Jeffery, fenomena seperti
itu umum terjadi di dalam komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian
community) misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun
sebuah korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan
(Acts) dan Apocalypse yang kesemua itu membentuk Perjanjian
Baru (New Testament). Sama halnya dengan komunitas Islam. Penduduk Kufah, misalnya, menganggap MuÎÍaf
‘AbdullÉh ibn Mas‘Ëd sebagai al-Qur’Én edisi mereka (their Recension of the Qur’Én).
Penduduk Basra menganggap MuÎÍaf AbË MËsÉ, penduduk Damaskus dengan MuÎÍaf
MiqdÉd ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan MuÎÍaf Ubay.[49]
Menegaskan persamaan, Jeffery
menyatakan sikap awal kaum Muslimin tersebut paralel sekali dengan sikap
masing-masing pusat-pusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri
beragam variasi teks untuk Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki
berbagai versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text),[50] teks Netral (Neutral text),[51] teks Barat (Western text),[52] dan teks Kaisarea (Caesarean
text).[53] Masing-masing teks tersebut
memiliki varian bacaan tersendiri.
Bagaimanapun, Jeffery menyayangkan
sikap para sarjana Muslim yang belum melakukan kritik teks kepada al-Qur’Én,
sebagaimana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut Jeffery,
karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang menafsirkan al-Qur’Én secara kritis. Ia mengharapkan
agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’Én bisa diwujudkan. Caranya dengan mengaplikasikan
metode kritis ilmiah (biblical criticism).
Jeffery meyatakan: “Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir
kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern
sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir
al-Qur’an.”[54]
Dengan menggunakan “metode-metode
penelitian kritis modern” (biblical criticism), Jeffery merancang proyek
ambisius yaitu mengedit al-Qur’Én secara kritis (a critical editon of the Qur’Én). Sekalipun proyek Jeffery gagal disebabkan kematian
kolega-koleganya dan perang dunia ke-2 yang menghancurkan 40.000 naskah lebih
yang telah dihimpun Di Munich, usaha untuk mengadopsi metodologi Bibel kepada
al-Qur’Én, masih terus berlanjut.
Pada pertengahan abad ke 20, John
Wansbrough (m. 2002) dalam karyanya Quranic Studies yang terbit pada
tahun 1977, menggunakan kritik sumber (source
criticism) ke dalam studi al-Qur’Én. Ia menyatakan: “As a document susceptible of
analysis by the instruments and techniques of Biblical criticism it is
virtually unknown.”[55]
Berlanjut sehingga kini, orientalis
terus-menerus mengaplikasikan metodologi Bibel dalam studi al-Qur’Én. Baru-baru
ini ketika mereview Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur
Entsclüsselung der Koransprache (Cara
membaca al-Qur’Én dengan bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya
pemecahan kesulitan memahami bahasa al-Qur’Én), karya Christoph Luxernberg (nama samaran), Robert R.
Phenix Jr. and Cornelia B. Horn menyatakan: “Tidak di dalam
sejarah tafsir al-Qur’Én karya seperti ini pernah dihasilkan. Karya-karya yang
sama hanya dapat ditemukan di dalam bentuk kesarjanaan kritis teks Bibel.”
(Not in the history of commentary on the Qur’Én has a work like this been
produced. Similar works can only be found in the body of text-critical
scholarship on the Bible.)[56]
Akibat penerapkan biblical
criticism dalam studi al-Qur’Én, para orientalis melontarkan berbagai pendapat yang
kontroversial mengenai al-Qur’Én seperti:
al-Qur’Én telah mengalami berbagai penyimpangan; standartisasi al-Qur’Én
disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah
karena telah mengkodifikasi al-Qur’Én; perlunya mewujudkan al-Qur’Én edisi
kritis; al-Qur’Én ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik;
al-Qur’Én adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan
al-Qur’Én; tidak ada di dalam al-Qur’Én yang orisinal dan berasal dari langit
karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’Én,
menyamaratakan qira’Éh mutawÉtirah dengan qira’Éh shÉdhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’Én dan
lain sebagainya.
Kesimpulan
Menerapkan
metodologi yang berbeda bisa menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Karena
metodologi kajian orientalis terhadap al-Qur’Én berdasarkan pengalaman mereka
dalam metode kajian Bibel, maka sudah tentu kajian itu absen dari keimanan.
Padahal, sebagai kitab suci agama Islam pengkajian terhadap al-Qur’Én mensyaratkan
adanya keimanan. Sebab pengkajian yang hanya berdasarkan akal belaka hanya akan
menimbulkan keraguan ketika menemui masalah-masalah yang tidak bisa dijangkau
oleh akal. Oleh sebab itu, jika kaum Muslimin membaca karya orientalis mengenai
al-Qur’Én, mereka perlu bersikap hati-hati dan kritis. Abu Hurayrah, Ibn
ÑAbbas, Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri, al-Dahhak, Ibrahim
al-Nakhai menyatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah din (agama). Oleh sebab
itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.” (inna hadza al-Ñilm din fanzuru Ñamman ta´khuzuna dinakum).[57]
Selain itu, para orientalis tidak
bisa dianggap sebagai pakar dalam studi al-Qur’Én, lebih-lebih dalam
menafsirkan makna-makna didalamnya. Sebabnya, mereka tidak memenuhi beberapa
persyaratan untuk menafsirkan al-Qur’Én, seperti akidah yang sahih, komitmen
dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-ÙabarÊ, misalnya, menegaskan bahwa syarat
utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan komitmen mengikut sunnah
Nabi. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk mengemban amanah
yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan keagamaan! (min
shartihi ÎiÍÍat al-i‘tiqÉd, wa luzËm
sunnat al-dÊn, fainna man kÉna magmËÎan ‘alayhi fÊ dÊnihi, lÉ yu’taaamana ‘alÉ
al-dunyÉ, fa kaifa ‘alÉ al-dÊn!).[58] Senada dengan al-ÙabarÊ, al-SuyËÏÊ mengatakan bahwa sikap sombong,
cenderung kepada bid‘ah, tidak tetap iman dan mudah goyah dengan godaan,
cinta dunia yang berlebihan dan terus-menerus melakukan dosa bisa menjadi hijab
dan penghalang dari menerima anugerah ilmu Allah swt.[59]
Jadi, keimanan dan keyakinan akan
kebenaran al-Qur’Én sangat penting bagi seorang yang mengkaji al-Qur’Én. Ini disebabkan status al-Qur’Én berbeda dengan teks-teks yang
lain. Oleh sebab itu, metodologi sembarangan tidak bisa begitu saja diterapkan
kepada al-Qur’Én. Metodologi yang tidak sesuai untuk mengkaji
al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru bertentangan dengan esensi
al-Qur’an sendiri. Metodologi Bibel memang hanya tepat
diterapkan untuk Bibel, karena Bibel hasil karangan beberapa orang penulis yang
hidup dalam zaman yang berlain-lainan. Latar belakang penulis yang beragam
mewarnai isi Bibel. Oleh sebab itu, textus receptus dan teks standar
Bibel memang harus ditolak karena justru menghilangkan keaneka-ragaman yang
memang sejak awal sudah terjadi.
Alasan yang pasti mengapa Bibel
tidak tepat untuk ditrapkan kepada al-Qur’Én adalah karena kaum
Muslimin telah memiliki metodologi tersendiri. Metodologi kajian al-Qur’Én yang
diwarisi dari para ulama itu adalah ‘ulËm al-Qur’Én. Meskipun ada beberapa persamaan
antara ‘ulËm al-Qur’Én dan biblical criticism, namun terdapat sejumlah perbedaan
yang mendasar terutamanya status teks itu sendiri. Jika teks Bibel bisa
disamakan dengan teks-teks lain yang dikarang oleh manusia, maka al-Qur’Én
tidak demikian, karena ia adalah tanzÊl
yang tidak bisa disamakan dengan teks karangan manusia. Bahkan anggapan
sementara orang bahwa al-Qur’an telah tercampur oleh perkataan Nabi Muhammad
telah terbantah oleh firman Allah SWT yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan
sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan
kanannya, kemudia benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.[60] Allah juga berfirman yang artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(al-Qur’Én)
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).[61] Allah juga berfirman yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan
yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[62]
[1] Perjanjian Lama (PL) adalah
istilah yang diperkenalkan oleh penganut agama Kristen. Melito (m. ± 190 M),
seorang Pendeta dari Sardis
mungkin orang Kristen pertama yang menyebut istilah PL. Ia menyebutnya dalam
bahasa Yunani kuno. Lihat Stephen Bigger, “Introduction” dalam Creating the Old Testament: The Emergence of
the Hebrew Bible, editor Stephen Bigger (Oxford: Basil Blackwell, 1989),
xiii.
[2] Ellis R. Brotzman, Old Testament Textual Criticism: A Practical
Introduction (Michigan: Grand Rapids, 1994), 37.
[3] J. Alberto Soggin, Introduction to the Old Testament: From
its origins to the closing of the Alexandrian canon, pen. John Bowden
(London: SCM Press LTd, 1976), 32.
[4] Geza Vermes, The Complete Dead Sea Scrolls in
English (New York: Penguin Group, 1997), 15.
[5] Henry Jackson Flanders, Jr.,
Robert Wilson Crapps & David Antony Smith, An Introduction to the Old Testament: People of the Covenant (Oxford:
Oxford University Press, 1988, edisi ketiga), 20.
[6] Dikutip dari Muhammad Mustafa
Azami, The History of the Qur’Énic Text
from Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New
Testaments (Leicester : UK Islamic Academy,
2003), 232, selanjutnya diringkas The
History of the Qur’Énic Text.
[7] Alkitab (Lembaga Alkitab Indonesia : 2000).
[8] Ibid.
[9] Ibid., Garis miring sebagai
penekanan berasal dari penulis.
[10] Muhammad Mustafa Azami, The History of the Qur’Énic Text, 233.
[11] Ibid., 233-34.
[12] Samaria adalah ibukota kerajaan Israel Utara
sejak raja Omri (1 Raj 16:24). Pada tahun 722 S.M. direbut tentara Asyur (2
Raj. 17:5). Penduduknya dicampur dengan bangsa-bangsa lain, sehingga juga agama
dicampur (2Raj. 17:24-41). Dalam Perjanjain Baru Samaria adalah daerah di
antara Galilea (Utara) dan Yudea (selatan). Penduduknya dibenci oleh orang-orang
Yahudi karena perbedaan agama dan kebiasaan. Dikutip dari Alkitab, 326.
[13] Menurut legenda yang ditemukan
dalam Surat Aristeas (±100 SM), Ptolemy II Philadelphus dari Mesir (285-247)
telah menugaskan tujuh puluh dua sarjana untuk menerjemahkan Taurat (Torah),
yang mereka sempurnakan dalam tujuh puluh dua hari. Nama terjemahan ini disebut
Septuagint (Septuaginta), bermkana tujuh pulh (dalam angka Romawi LXX) yang
merujuk kepada seluruh Tenakh yang diterjemahkan oleh Yahudi di Alexandria ke dalam bahasa
Yunani.
[14] Tidak jelas apakah Peshitta adalah
hasil dari terjemahan Biblia Hebraica atau dari Targum. Bagaimanapun, dalam
perkembangannya Peshitta yang direvisi banyak dipengaruhi dari Septuagint.
Lihat Ellis R. Brotzman, Old Testament
Textual Criticism: A Practical Introduction (Michigan: Baker Book House
Company, 1994), 81.
[15] Ketika Bahasa Latin digunakan pada
abad ke-3 M, Bibel dalam bahasa Latin tidak dapat dihindari. Versi Latin lama
diterjemahkan dari Septuagint. Terjemahan tersebut disebut dengan Vulgata (Vulgate).
Vulgata yang pertama dari Bibel Ibrani disempurnakan oleh Jerome (±342-420)
pada tahun 405 M.
[16] James King West, Introduction to the Old Testament (New
York: Macmillan Publishing Co., Inc., edisi kedua, 1981), 6-7.
[17] Lawrence Boadt, Reading the Old Testament: An Introduction
(New York: Paulist Press, 1984), 16-18, selanjutnya disingkat Reading.
[18] Ibid., 74.
[19] Ibid., 74-75.
[20] C. Houtman, ‘The Pentateuch,”
dalam The World of the Old Testament:
Bible Handbook, ed. A. S. Vand Der Woulde (Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1989), 2:168, selanjutnya disingkat The Pentateuch.
[21] Lihat lebih mendetil kritikan Ibn
Ezra dalam Baruch Spinoza, Tractatus
Theologico-Philosophicus, Pen. Samuel Shirley (Leiden: E. J. Brill, 1991),
162-63, selanjutnya disingkat Tractatus.
[22] Dikutip dari C. Houtman, The Pentateuch, 2:167.
[23] Dikutip dari John H. Hayes, An Introduction to Old Testament Study
(Tennessee: Abingdon, 1979), 107-08, selanjutnya diringkas An Introduction.
[24] C. Houtman, The Pentateuch, 2:169.
[25] John H. Hayes, An Introduction, 110.
[26] Baruch Spinoza, Tractatus, 164-65.
[27] Baruch Spinoza menyatakan: “Thus from the foregoing it is clear beyond a
shadow of doubt that the Pentateuch was not written by Moses, but by someone
who lived many generations after Moses.” Lihat Tractatus,
165.
[28] C. Houtman, Pentateuch, 2: 169.
[29] John H. Hayes, An Introduction, 112-13.
[30] C. Houtman, Pentateuch, 2: 170.
[31] Ibid., 2: 171.
[32] Allen P. Ross, “Genesis,” dalam The Bible Knowledge Commentary: An
Exposition of the Scriptures, editor John F Walvoord dan Roy B. Zuck (Sp
Publications, Inc., 1985), 15-16.
[33] C. Houtman, Pentateuch, 2: 176.
[34] Lawrence
Boadt, Reading , 106.
[35] Dikutip dari John H. Hayes, An Introduction, 127-29.
[36] C. Houtman, Pentateuch, 2: 180-82.
[37] Bruce M. Metzger, The Text of
the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration
(Oxford: Oxford University Press, edisi kedua, 1968), 96-106, selanjutnya
diringkas The Text of the New Testament.
[38] Richard Simon menulis beberapa
karya kritis mengenai Bibel. Awal tahun 1678, ia menerbitkan Histoire
critique du Vieux Testament (Sejarah Kritis Perjanjian Lama).
Sebelas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1689, ia menerbitkan Histoire
critique du texte Nouveau Testament (Sejarah Kritis Teks Perjanjian Baru).
Setahun setelah itu, ia menerbitkan Histoire critique des versions du
Nouveau Testament (Sejarah Kritis beragam versi Perjanjian Baru). Pada tahun 1693, ia menerbitkan Histoire
critique des principaux commentateurs du Nouveau Testament, depuis le
commencement du Christianisme jusques á nôtre temps (Sejarah Kritis
Komentator-Komentator Utama Perjanjian Baru dari Awal Kristen sehingga Zaman
Sekarang). Lihat Werner
Georg Kümmel, The New Testament: The History of the Investigation of Its
Problems, Pen. S. McLean Gilmour dan Howard C. Kee (Tennessee: Abingdon
Press, 1972), 40; 412-13.
[39] Mengenai kritikan mereka terhadap textus receptus Perjanjian Baru, lihat
karya penulis, Metodologi Bibel dalam
Studi Al-Qur’Én: Kajian Kritis (Jakarta :
GIP, 2005), 36-43, selanjutnya diringkas Metodologi
Bibel.
[40] Bruce M. Metzger, The Text of
the New Testament, 124-46.
[41] Edwin D. Freed, The New
Testament: A Critical Introduction (California: Wadsworth Publishing
Company, edisi kedua 1991), 77, selanjutnya diringkas A Critical Introduction.
[42] Ibid.
[43] Pemaparan mengenai istilah-istilah
tersebut, lihat karya penulis, Metodologi
Bibel, 45-46.
[44] Mengenai latar belakang sejarah
penulisan dan usaha bersama para orientalis Jerman menulis Geschichte des
Qorans, lihat karya penulis, Metodologi
Bibel, 49-50; 54-57.
[45] Lihat Canon Sell, Studies in
Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama kali terbit tahun
1928) 253-56.
[46] Arthur Jeffery, “The Quest of the
Historical Mohammed,” The Moslem World
16 (1926) 330.
[47] Mingana menyatakan: “The time
has surely come to subject the text of the Kur’Én to the same criticism as that to
which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of
the Christian Scriptures.”
Lihat Alphonse Mingana, “Syiriac Influence on the Style of the Kur’Én,” Bulletin
of the John Rylands Library 11: 1927.
[48] Arthur Jeffery menyatakan: “It
was the community which decided this matter of what was and what was not
Scripture. It was the community which selected and gathered together for its
own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of
religious authority valid for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur
Jeffery, “The Qur’Én as Scripture,” The
Moslem World 40 (1950), 43.
[49] Arthur Jeffery, The Qur’Én as Scripture (New York: Russell F. Moore Company, 1952),
94-95.
[50] Menurut Westcott dan Hort, teks
Alexandria dalam tahap tertentu terjaga di dalam kodeks Ephraemi (C), kodeks
Regius (L), kodeks 33, dan versi-versi Koprik (Khususnya Bohairik), sebagaimana
juga kutipan-kutipan dari Gerejawan Alexandria, Klement, Origen, Dionysius,
Didymus dan Cyril. Dikutip dari Bruce M. Metzger, The Text of the New
Testament, 133.
[51] Dalam pandangan Westcott dan Hort,
teks Netral adalah teks yang paling bebas dari kerusakan dan percampuran dan
yang paling dekat dengan teks otograf. Kodeks Vaticanus (B) dan kodeks
Sinaiticus (א) yang
paling mewakili teks Netral. Lihat lebih lanjut Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament,
133.
[52] Teks Barat terjaga di dalam
manuskrip-manuskrip inci tertentu yang dalam dua bahasa (certain bilingual
uncial manuscripts), utamanya kodeks Bezae tentang Bibel dan
Perbuatan-Perbuatan (D) dan kodeks Claromontanus tentang Surat-Surat (Dp) dalam
versi Latin Kuno (s) dan dalam manuskrip-manuskrip Kuretonia (Curetonian)
yang berbahasa Syiriak Kuno. Lihat penjelasan lebih lanjut di Bruce M. Metzger,
The Text of the New Testament, 132; 213-14.
[53] Mungkin teks Kaesarea berasal dari
Mesir dan dibawa oleh Origen ke Kaesarea, dan dari situ dibawa ke Israil.
Karakteristik khusus dari teks Kaesarea adalah percampuran antara bacaan Barat
(Western readings) dan Alexandria (Alexandria
readings). Lihat Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament,
214-15.
[54] Arthur Jeffery menulis: “What
we needed, however, was a critical commentary which should embody the work done
by modern Orientalists as well as apply the methods of modern critical research
to the elucidation of the Koran. Lihat Arthur Jeffery, Progress in
the Study of the Qur’Én Text, The Moslem World 25 (1935), 4.
[55] John Wansbrough, Quranic
Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford
University Press, 1970), ix
[56] Robert R. Phenix Jr. and Cornelia
B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein
Beitrag zur Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac
Studies, 1. Dikutip dari
http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6NO1/HV6N1PRPhenixhorn.html
[57] ImÉm AbÉ HÉtim MuÍammad ibn ×ibbÉn,
Kitab al-MajruhÊn min al-MuhaddithÊn wa
al-ÖuÑafÉ’ wa al-MatrËkÊn, editor MaÍmËd IbrÉhÊm ZÉyid (×alb/Aleppo: DÉr
al-WaÑy, 1396 H), 1: 21-23.
[58] Dikutip dari JalÉl al-DÊn al-SuyËÏÊ, al-ItqÉn fÊ ÑulËm al-Qur’Én (Beirut : DÉr al-KitÉb al-‘ArabÊy, 2003), 854.
[59] Ibid., 854-55.
[60]
Surah al-Haqqah (69: 44-46).
[61] Surah al-Najm (53: 3-4).
[62] Lihat juga firman Allah dalam
surah-surah lain, seperti: Surah Fussilat (41: 42); al-Shu‘ara’ (26: 192); al-Sajdah (32: 2);
al-Zumar (39: 1); al-Mu’min (40: 2); Fussilat (41: 2); al-Jathiyah (45: 2); al-Ahqaf (46: 20)
al-Waqi‘ah (56: 80); al-Haqqah (69: 43).