Selasa, 23 April 2013

Epistemologi Islam Menurut Naquib al-Attas

Prof. Naquib al-Attas

by
Adi Setia

Pendahuluan
Banyak persoalan epistemologi Islam yang masih perlu dibahas dan dikembangkan. Yang akan diuraikan dibawah ini adalah rumusan epistemologi Islam yang dikemukakan oleh  Professor Syed Muhammad Naquib al-Attas yang terdapat dalam Prolegomena dan beberapa karyanya yang lain. Uraian beliau ini penting sebab di dalamnya terdapat gambaran umum tentang epistemologi Islam dan perbedaan pokoknya dengan epistemologi Barat. 

Epistemologi dan psikologi
Epistemologi (faham ilmu) Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu teori psikologi (ilmu jiwa=‘ilm al-nafs) rasional atau teori kognitif (cognitive theory) insan. Teori kognitif bersangkut-paut dengan cara bagaimana manusia dapat tahu, tentang daya dan upaya akal (cognitive facultives=quwwah ‘aqliyyah) yang mencapai ilmu. Maka epistemologi al-Attas merupakan suatu proses akli dalam jiwa manusia yang membolehkannya mencapai ilmu. Beliau menerima faham tradisional yang melihat akal sebagai faktor utama yang membedakan manusia dari hewan. Faham tradisional ini disepakati oleh filosof, sufi dan mutakallim. Karena akal merupakan ciri paling utama yang mentakrifkan insan sebagai insan, maka psikologi atau faham tentang kejiwaan insan pada asasnya adalah kajian tentang hakekat akal insan. Dengan itu maka insan mampu menjelaskan hubungannya dengan Tuhan dan dengan alam, termasuk hubungan dengan dirinya sendiri dan hubungan dengan sesama insan. Ini juga bermakna bahwa akal itu bersifat refleksif dan introspektif (reflexive and introspective), karena akal mampu melihat dan menghukumi dirinya sendiri. Dari sudut pandang ini, maka boleh difahami bahwa sains Islam melibatkan penggunaan pancaindera yang sehat (sound senses) untuk mengalami kenyataan (reality=al-ÍaqÊqah) serta melibatkan penggunaan akal sehat (sound mind) demi memahami kebenaran (truth=al-Íaqq).[1] Apabila disebut sains Islam, maka yang dimaksudkan ialah semua disiplin pengkajian yang tersusun (any systematic inquiry), termasuk sains alam, sains insani dan sains akli (natural, human and intellectual sciences).
Sesuai dengan psikologi daya Islam (Islamic faculty psychology) yang pernah diuraikan oleh ibn SÊnÉ, al-GhazÉlÊ dan ibn ‘Arabi, al-Attas mengagas apa yang disebut sebagai epistemologi dalam kerangka psikologi (psychological framework of epistemology).[2] Al-Attas berhujah bahwa karena filsafat tentang alam pancaindera (‘Élam al-syahÉdah=world of sense and sensible experience) difahami dan diuraikan oleh akal insan (man’s intellect), maka kita mula-mula hendaklah memahami sedikit-banyak tentang akal dalam “melihat” kenyataan (ÍaqÊqah) dan kebenaran (Íaqq).[3]

Sumber-sumber ilmu[4]

Seperti yang telah dirumuskan oleh al-Nasafi (w. 537/1142),[5] al-Attas menyatakan bahwa ilmu yang datang dari Tuhan, merupakan sumber hakiki dan tertinggi (ultimate source) dari ilmu. Ilmu dari Tuhan ini dicapai oleh insan melalui jalan atau saluran (channels) pancaindera yang sehat (sound senses=ÍawÉss salÊmah), khabar yang benar dan otoritatif (authoritative true reports=khabar ÎÉdiq), akal sehat (sound reason=aql salÊm) dan ilhÉm (intuition=hads, wijdÉn). Epistemologi yang akan diuraikan secara ringkas di bawah ini akan membuktikan bahwa akal sehat dan ilham itu terangkum dalam satu kategori, yaitu intelek=intellect.[6]


Sumber dan kaedah ilmu dalam Islam

Ilmu yang datang dari Tuhan itu diperoleh melalui jalan:
I.                   Pancaindera sehat (ÍawÉss salÊmah)
(i)                pancaindera eksternal: peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing), penglihatan (sight)
(ii)              pancaindera internal: indera bersama (common sense=al-Íiss al-musytarak), representasi (representation=al-khayÉliyyah), estimiasi (estimation=al-wahmiyyah), rekoleksi (retention/recollection=al-ÍÉfiÐah/al-dhÉkirah), imaginasi (imagination=al-khayÉl/al-mutakhalliyyah)
II.                Laporan benar (khabar ÎÉdiq) berdasarkan autoritas (naql):
(i)                otoritas mutlak (absolute authority)
(a)   otoritas ketuhanan, yaitu al-Qur’an
(b)  otoritas kenabian, yaitu Rasulullah
(ii)              autoritas nisbi  (relative authority)
(a)   kesepakatan alim ulama (tawÉtur)
(b)  khabar dari orang terpercaya secara umum
III.             Intelek (intellect=‘aql)
(i)                akal sehat (sound reason=ratio)
(ii)              ilham (intuition=hads, wijdÉn)


Ilmu dari Tuhan yang melalui saluran tersebut ditanggapi oleh akal (intellect), yang merupakan realitas ruhani dalam kalbu (heart=qalb) insan. Kalbu ialah anggota ruhani yang mengendalikan proses kognitif insan. Melalui kalbu, jiwa rasional (al-nafs al-nÉÏiqah) bisa membedakan antara kebenaran (Íaqq) dengan kepalsuan (bÉÏil).[7] Akal dalam arti kata ratio=reason tidak berlawanan dengan ilham=hads, wijdÉn, intuition. Malah keduanya, akal dan ilham, saling berkaitan dan bersatu melalui pengantara intelek (intellect).[8] Dengan ini dapat difahami bahwa akal sebenarnya adalah kesatuan ratio dan intellectus.[9]

Kemampuan akal

Al-Attas menjelaskan bahwa kemampuan akal dan ilham tidak terbatas kepada pentafsiran dan pengalaman hal-hal yang berkaitan dengan alam pancaindera, atau hal-hal fisikal, material dan duniawi semata-mata. Malah kemampuan akal dan ilham insan mampu juga meliputi pemahaman secara langsung terhadap kebenaran-kebenaran agama, wujud Tuhan, dan segala sesuatu yang wujud (mawjËdÉt=existences). Malah kekuatan akal dan ilham insan mampu mencapai pemahaman langsung (direct apprehension=idrÉk mubÉsyir) terhadap wujud (WujËd=Existence) itu sendiri, sebagai suatu kenyataan mutlak (Ultimate Reality). Melalui kekuatan intelek, bidang akal mampu juga meneliti secara tersusun kebenaran-kebenaran ilhami ini (intuitive truths). Melalui pencerahan ilhami (intuitive insight), susunan kenyataan yang terpadu (sistem of integrated reality) ini menjadi jelas secara sepotong-spotong (partially revealed) bagi saintis tetapi menjadi jelas secara keseluruhan (wholly revealed) bagi sufi. Jadi saintis dan sufi memiliki pencerahan ilhami: yang satu bersifat serpihan, sedangkan yang lain bersifat menyeluruh.[10]
Kejelasan secara sepotong-sepotong terjadi karena saintis cuma terlatih untuk mengalami dan berfikir pada tahap kesadaran berdasarkan pada kebiasaan, yaitu  tahap kesadaran inderawi biasa. Sedangkan sufi terlatih lebih dari itu, karena mereka mengembangkan disiplin terhadap daya-upaya etika-ruhani internal yang mengalami dan menaggapi kebenaran mutlak secara langsung.[11] Abd al-KarÊm al-JÊli (w. 1408) berkata bahwa insan adalah penghubung antara Tuhan dan Alam. Setiap insan melambangkan kesempurnaan Ilahi, karena itu setiap insan mempunyai potensi (daya) menjadi insÉn kÉmil, insan sempurna. Ini berarti bahwa, pada dasarnya, realitas mutlak mampu dicapai oleh setiap insan.[12]


Saintis dan sufi

Apa hubungan antara sufi dan saintis sehingga keduanya dapat dan perlu dibandingkan? Sufi dan saintis mencari hakekat (realitas) dibalik alam fenomenal yang tampak pada pancaindera ini, yaitu  suatu hakekat atau prinsip dibalik yang tampak yang mampu menyatukan kebinekaan yang tampak ini. Hakekat yang menyatukan ini memberi makna atau rujukan kepada pelbagai fenomena yang datang-pergi serta muncul-tenggelam setiap saat. Tetapi epistemologi kebanyakan saintis terbatas, karena mereka hanya menggunakan indera dan akal diskursif (discursive reason=ratio) dan lalai membina daya ilhami dan daya etika-ruhani. Mengapa keterbatasan ini terjadi? Karena mereka terbatas ontologinya; mereka terbatas dalam faham mereka tentang wujud. Mereka anggap secara a priori bahwa yang wujud hanya alam fisikal yang ditangkap indera, sekaligus menolak kemungkinan ilmu yang sampai  dari sumber yang mengatasi alam fisik ini. Adapun sufi, mereka menerima hakekat Wahyu yang menyampaikan ilmu tentang kedua alam, ‘Élam al-ghayb dan ‘alam al-syahÉdah. Bagi mereka ilmu itu amanah moral yang mengharuskan perhatian akal dan amal sekaligus, demi mencari, memahami dan memelihara ilmu itu sendiri. Keran itulah mengapa al-Attas berkata bahwa sufi mencapai pencerahan menyeluruh, sedangkan saintis menerima pencerahan parsial.[13]


Takrif ilmu

Dari keterangan di atas, dapatlah difahami bahwa akal atau intelek merupakan jembatan yang menghubungkan di antara alam inderawi yang lebih rendah tahap wujudinya dengan alam ruhani yang lebih tinggi tahap wujudinya serta yang menjadi sumber kepada alam inderawi. Melalui akal, insan mampu mengalami (experience) tahap wujudi yang lebih tinggi ini, dan melalui akal juga insan mampu memadukan aspek jasmaninya dengan aspek ruhaninya. Dari sudut pandang wujudi terpadu ini (integrated ontological perspective) al-Attas mentakrifkan ilmu (knowledge) atau proses pengilmuan (knowing) sebagai ketibaan makna ke dalam jiwa (arrival of meaning to the soul). Takrif ini melihat kepada Tuhan sebagai pemberi aktif dan insan sebagai penerima pasif. Apabila melihat insan sebagai penerima aktif maka al-Attas mentakrifkan ilmu atau proses pengilmuan sebagai sampainya jiwa kepada makna (arrival of the soul at meaning).[14] Dalam pengalaman keilmuan insani, kedua proses, pasif dan aktif, ini terjadi dan dan saling merespon.


            Dari uraian atas dapat difahami juga bahwa akal insan mampu mencapai ilmu tentang phenomena dan noumena sekaligus. Insan adalah mercu ciptaan Ilahi, sedangkan akal adalah mercu sifat keinsanannya, yaitu mercu yang menghubungkan insan dengan hakekat, yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, dalÊl dengan madlËl, makhlËq dengan khÉliq, nisbi dengan mutlak, fanÉ’ dengan baqÉ’, jasad dengan jiwa. Maka kita menolak gagasan Kant yang menklaim ilmu hanya mencakup fenomena dan gagal mencapai noumena. Malah kita katakan: We know the thing-in-itself, namely that the thing-in-itself is other than itself, for it points to other than itself, and that other than itself is God Who Alone is truly Itself.[15]


Bahasa dan akal

Bahasa dan akal saling berkait erat karena ilmu yang dikandung akal batin menjelma ke alam lahir untuk diketahui bersama sesama insan. Al-Attas menarik perhatian kita kepada takrif tradisional terhadap insan yaitu al-ÍayawÉn al-nÉÏiq=hewan bertutur=hewan berfikir, karena tuturan waras mencerminkan akal waras. Dalam kata lain, penuturan hanyalah merupakan pen-zahiran akal ke alam nyata. Melalui bahasa/penuturan yang bersifat obyektif/zahir, maka akal/ilmu yang bersifat subjektif/batin menjadi nyata dan dapat diketahui umum. Pandangan ini didukung juga oleh tokoh-tokoh bidang psikolinguistik seperti Noam Chomsky dan Ray Jackendoff.[16]


Sains dan bahasa

Intelek mencerminkan kenyataan, sedangkan bahasa mencerminkan akal, maka secara tidak langsung bahasa ikut mencerminkan kenyataan. Dalam hal ini al-Attas berkata bahwa pertuturan bahasa adalah pen-zahir-an terhadap hakekat batin yang bernama akal.[17] Beliau berkata lagi bahwa bahasa Arab sebagai bahasa Islam berfungsi memancarkan pandangan Islam tentang kenyataan dan kebenaran.[18] Dalam arti kata lain, bahasa mencerminkan kenyataan yang dipersepsi pancaindera, yang diilhami kalbu dan yang disusun dalam akal. Ini berarti bahwa cara seseorang menggunakan bahasa menunjukkan cara bagaimana dia mempersepsikan kenyataan. Secara khusus, cara saintis membentuk rangkaian kata-kunci yang membentuk sistem makna untuk memaparkan dan menyusun alam inderawi menguak status ontologi alam inderawi dalam pandangan alam (worldview[19]) saintis tersebut. Ini juga bermakna bahwa pemaparan sains terhadap alam inderawi bukanlah pemaparan yang bebas-nilai (value-free), karena pemaparan ini turut menghadirkan suatu hukum konsepsi yang bersifat subyektif terhadap hakekat asli alam semesta. Jika demikian maka timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa tahu bahwa sesuatu hukum konsepsi telah mampu menanggapi secara objektif, tepat dan benar akan alam inderawi dan kemudian hakekat kewujudan di sebaliknya?


Wahyu, fitrah dan ilmu

Bagi al-Attas, pertanyaan ini terjawab apabila adanya iman kepada Wahyu dan tradisi yang terpancar dari Wahyu sebagai sumber ilmu benar tentang Wujud Mutlak.[20] Ini berarti noumena wujud dan kewujudannya dapat diketahui secara tak langsung (secara diskursif) melalui kajian terhadap fenomena, serta dapat juga diketahui secara langsung (secara ilhami, intuitive) melalui latihan intelekto-ruhani seperti yang diuraikan dalam ilmu taÎawwuf (atau ilmu tentang iÍsÉn=an ta‘buda AllÉha ka annaka tarÉhu).  Ilmu yang diperolehi melalui kajian diskursif ini disahkan benar secara subjektif sebagai benar melalui ilham/intuisi serta disahkan benar secara objektif melalui Wahyu, Tradisi dan pengalaman intelekto-ruhani yang disepakati atau yang diketahui bersama oleh ahli sufi. Maka konsepsi diskursif terhadap alam semesta adalah benar kalau konsepsi itu sesuai dengan apa yang ditanggapi daya ilham dalam jiwa insan dan dengan susunan kewujudan sebenarnya, yaitu al-fiÏrah, yang meliputi susunan alami dalam alam semesta serta susunan alami dalam jiwa insan; dan fitrah ini tidak akan bertentangan dengan Wahyu karena Wahyu diturunkan sesuai dengan fitrah insan dan fitrah alam.[21]


Epistemologi Islam hanya sah bagi orang Islam?

Kita telah rumuskan empat prinsip utama faham ilmu Islam, yaitu  indera, otoritas, akal dan intuisi, tetapi apakah ini prinsip epistemologi yang universal atau hanya sah bagi orang Islam semata-mata? Agama Islam agama kebenaran mutlak dan universal, maka prinsip-prinsip dasar epistemologinya sah juga bagi orang bukan Islam, baik mereka sadari atau tidak, mereka kui atau tidak. Dalam sains modern pun, keempat sumber ilmu ini diakui beroperasi dalam proses penemuan sains, dan hal ini diakui oleh banyak saintis dan filosof sains. Peter Medawar,[22] sebagai contoh, mengakui peranan intuisi dalam sains. Michael Polyanyi[23] mengakui peranan otoritas dan tradisi, baik peranannya bersifat positif atau negatif. Konsep “science-forming capacity” yang diutarakan oleh Noam Chomsky[24] jelas mempertimbangkan peranan andaian latar????, tahap ilmu kontemporer dan pengalaman inderawi dalam berinteraksi dengan akal untuk mencapai ilmu yang mendekati benar tentang alam sekitar.
Yang dikatakannya sebagai “lucky discovery” itu sebenarnya penemuan melalui intuisi yang kemunculannya sulit difahami, namun bisa dialami saintis dan ahli seni yang berdedikasi terhadap bidang permasalahan masing-masing. Riwayat hidup para saintis terkenal penuh dengan cerita penemuan yang muncul tiba-tiba dalam mimpi, dalam bar, ketika bercakap-cakap dan sebagainya setelah sekian lama menghadapi jalan buntu.

Kesimpulan: Perbedaan epistemologi Islam dengan epistemologi barat moden

Jadi yang sebenarnya membedakan epistemologi Islam dengan epistemologi Barat modern ialah faham tentang skop atau kemampuan inderawi, autoritas, akal dan intuisi. Perbedaan faham ini akhirnya menjadi titik-tolak keyakinan wujudi (ontological commitment) masing-masing. Bagi kita Wujud meliputi alam yang tampak (‘Élam al-syahÉdah) dan alam tak tampak (‘Élam al-ghayb), dan kedua alam ini bersepadu dalam genggaman al-dhÉt al-WÉjib al-WujËd, dan insan mampu mencapai ilmu sekedar kemampuannya tentang ketiga kategori wujudi ini.
Bagi saintis modern, Wujud dibatasi pada alam yang nampak, yaitu alam phenomena ini semata-mata, maka ilmu insan hanya mencapai alam tampak karena itu sajalah yang wujud. Tetapi kini, pembatasan dogmatik terhadap bidang kemampuan ilmu insan ini menimbulkan banyak masalah, karena sains empiris sendiri sedang berhadapan dengan hakekat yang melampaui dan mengatasi alam yang nampak.
Permasalahan ini boleh dikatakan permasalahan “materialism transcends itself[25] (materialisme mengatasi dirinya sendiri), suatu istilah dalam bidang ilmu jiwa, ataupun “the dematerialization of materialism” (penghapusan material pada materialisme) dalam bidang fisika.[26] Permasalahan ini timbul ketika semakin mendalam penyelidikan terhadap ‘matter’ yang “solid” ternyata semakin tak solid. Permasalahan yang agak rumit ini memaksa saintis barat merombak ontologi, sekaligus epistemologi mereka, sehingga semakin hari semakin mirip kepada ontologi dan epistemologi keagamaan dan keruhanian.[27]









[1] Syed Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of IslÉm (Kuala Lumpur: ISTAC, 2002), 112.
[2] Moha Zaidi Ismail, The Sources of Knowledge in al-GhazÉli’s Thought: A Psychological Framework of Epistemology (Kuala Lumpur: ISTAC, 2004).
[3] Syed Naquib al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf (Kuala Lumpur: ASASI, 1981), 3.
[4] Bandingkan dengan makalah Syamsuddin Arif, “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam,” dalam Islamia, thn 2 no. 5 (2005).
[5] Syed Naquib al-Attas, The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the Aqa‘id of al-Nasafi (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1988).
[6] Diringkaskan daripada Prolegomena, 118—23 dan 149—154 passim.
[7] Syed Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 14.
[8] Prolegomena, 119.
[9] Positive Aspects of Tasawwuf, 3.
[10] Prolegomena, 119--120, 177—215 passim.
[11] Prolegomena, 120.
[12] Syed Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), 92.
[13] Prolegomena, 120.
[14] Prolegomena, 133.
[15] Mysticism, 92n157, 103—110, 194—195;
[16] Lihat makalah saya, “Hakikat Bahasa Menurut Chomsky dan al-Attas,” dalam Islamia, thn. 1 no. 2 (2004).
[17] Prolegomena, 122.
[18] Concept of Education, 1—13 passim.
[19] Untuk uraian lanjut lihat tentang istilah ‘worldview’, lihat makalah Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview sebagai Asas Epistemologi Islam,” Islamia thn. 2 no. 5 (2005).
[20] Prolegomena, 117—18, 140—41.
[21] Prolegomena, 41, 51-52, 130—31, 144.
[22] Induction and Intuition in Scientific Thought (Philadelphia: American Philosophical Society, 1969), 42—59.
[23] Personal Knowledge (London: Routledge, 1998), 53—54; idem, Science, Faith and Society (Chicago: University of Chicago Press, 1964), 42—62.
[24] Language and Problems of Knowledge (Cambridge, MA: MIT, 1989), 156—60.
[25] Karl  Popper dan Charles Eccles, The Self and Its Brain (London: Routledge, 2003), 3—35.
[26] Gaston Bachelard, The New Scientific Spirit (Boston: Beacon Press, 1984),  69.
[27] Antara contoh paling ketara, David Bohm, Wholeness the Implicate Order (London: Routledge, 2002).

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...