Kamis, 25 April 2013

al-Biruni; Ilmuwan Muslim yang Dikenang di Bumi dan Bulan


by : Ir. Akmal[1]

            Al-Biruni (juga dikenal di dunia Barat dengan sebutan Aliboron) adalah salah satu ilmuwan terbesar dalam sejarah Islam.  Sebagian ahli bahkan tak ragu menyebutnya sebagai ilmuwan terbesar yang pernah ada.  Namanya dikenal luas jauh melampaui jamannya, baik di dunia Islam maupun Barat.  Sejarawan sains sekelas George Sarton menyebut abad kesebelas Masehi sebagai ‘era Al-Biruni’.[2]
        Bidang keahlian al-Biruni meliputi fisika, antropologi, psikologi, astronomi, kimia, sejarah, geografi, geodesi, geologi, matematika, farmasi, filosofi, dan ia juga seorang guru agama.  Ia dikenal sebagai kritikus ilmu kimia dan astrologi, penyusun ensiklopedi, penjelajah, dan seorang ulama pengikut aliran Asy’ariyah.[3]
            Ia adalah sarjana Muslim pertama yang secara khusus mempelajari seluk-beluk tradisi dan kehidupan bangsa India sehingga dinobatkan sebagai Bapak Indologi.  Al-Biruni juga dikenal sebagai Bapak Geodesi dan Antropolog pertama di dunia.  Dalam bidang metode eksperimen ilmiah, ia adalah salah satu pelopor yang menerapkan metode tersebut dalam ilmu mekanika. Dialah orang pertama yang menggunakan berbagai eksperimen yang berhubungan dengan fenomena astronomis, dan juga seorang pelopor dalam bidang psikologi eksperimental.[4]

Perjalanan Hidup
            Nama lengkapnya adalah Abu ar-Raihan Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi al-Biruni.  Ia lahir di Khwarizm, Asia Tengah, pada tahun 362 H (973 M).  Tempat kelahirannya kini berada di wilayah Uzbekistan, tepatnya di kota Khiva.  Nama “al-Biruni” berasal dari kata “Birun” dalam bahasa Persia yang berarti “pinggiran kota”, sesuai dengan tanah kelahirannya yang terletak di pinggiran kota Kats yang merupakan pusat kota Khwarizm.[5]
            Bahasa ibu al-Biruni adalah bahasa Persia, demikian juga kebudayaan masyarakat kampung halamannya menginduk pada kebudayaan Persia.  Selain bahasa Persia, al-Biruni juga menguasai banyak bahasa lain, yaitu Arab, Iberia, Suryani, Sansekerta, dan Yunani.[6]
            Selama tinggal di kampung halaman, al-Biruni sempat belajar astronomi dan matematika dari Abu Nashr Manshur.  Beliau adalah seorang ilmuwan yang merupakan keturunan berdarah biru di wilayah Khwarizmi.  Guru sekaligus partner al-Biruni ini dikenal sebagai ilmuwan yang banyak mengeksplorasi karya-karya ilmuwan Yunani, seperti Ptolemeus dan Menelaus.  Salah satu hasil pencapaian terbesarnya di bidang trigonometri adalah persamaan yang disebut sebagai Hukum Sinus (The Sine Law).[7]
            Al-Biruni hidup semasa dengan ilmuwan Muslim lainnya yang cukup kontroversial, yaitu Abu Ali al-Husin bin Abdullah bin Sina, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Ibnu Sina.  Selain memiliki hubungan yang cukup akrab, keduanya juga terlibat dalam perdebatan seru melalui korespondensi.[8]
            Akhir abad kesepuluh dan awal abad kesebelas Masehi adalah masa-masa yang penuh pergolakan di wilayah Khwarizmi.  Pada saat itu, Khwarizmi adalah bagian dari sebuah negara yang pusat pemerintahannya berada di Bukhara.  Ada beberapa kerajaan lain yang berdiri di sekitarnya dan salah satunya adalah dinasti Ghaznawi yang berpusat di Ghaznah, Afghanistan.
            Pada usia dua puluh tahun, al-Biruni pergi ke negeri Jurjan dan bekerja pada Pangeran Syamsul Ma’ali Qabus bin Wasykamir.  Pada kesempatan ini, al-Biruni sempat berkenalan dengan para ilmuwan besar yang bekerja di istana tersebut, salah satunya adalah Ibnu Sina.  Di Istana Jurjan ini pula al-Biruni mulai menulis buku.
            Sekitar tahun 400 H (1010 M), al-Biruni kembali ke Khwarizm dan bekerja pada penguasa Khwarizm pada saat itu, yaitu Abu Abbas al-Ma’mun atau yang biasa disebut sebagai Khwarizmsyah.  Al-Biruni diberi keleluasaan untuk melakukan penelitian, sementara keadaan politik di Khwarizmi tetap penuh gejolak.  Pada akhirnya, Khwarizmsyah terbunuh dan Khwarizmi diambil alih oleh Dinasti Ghaznawiyyah dengan rajanya Mahmud bin Sabkatkin atau Mahmud al-Ghaznawi.
            Karena kecerdasannya, Mahmud al-Ghaznawi membiarkan al-Biruni hidup.  Al-Biruni kemudian diajak ikut serta dalam ekspedisi penaklukan di India.  Di India, Al-Biruni pun segera menyibukkan diri dengan meneliti corak kehidupan masyarakat di sana.  Karya al-Biruni tentang India adalah salah satu masterpiece yang dikenang sepanjang masa.
            Setelah tinggal cukup lama di India, al-Biruni pergi ke Ghaznah dan terus memelihara hubungan baik dengan pihak istana.  Al-Biruni melakukan penelitian dan terus menulis hingga akhir hayatnya.  Sepanjang hidup, al-Biruni telah menulis tidak kurang dari 146 buku (sebagian ahli bahkan mengatakan bahwa al-Biruni telah menulis 180 buku) yang terdiri dari 35 buku tentang astronomi, 4 buku tentang astrolab, 23 buku tentang astrologi, 9 buku tentang geografi, 10 buku tentang geodesi dan teori perpetaan, 15 buku tentang matematika, 2 buku tentang mekanika, 2 buku tentang obat-obatan dan farmakologi, 1 buku tentang meteorologi, 2 buku tentang mineralogi, 4 buku tentang sejarah, 2 buku tentang India, 3 buku tentang agama dan filsafat, dan masih banyak lagi.  Dari sekian banyak, hanya 22 yang diketahui keberadaannya sekarang, dan 13 saja yang pernah dipublikasikan.[9]
            Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa al-Biruni wafat pada tahun 440 H (1048 M), kecuali sebagian yang berpendapat bahwa ia hidup hingga tahun 442 H (1050 M).  Al-Biruni dikenang baik oleh dunia Islam maupun dunia Barat dan mendapatkan banyak penghargaan dalam berbagai bentuk meskipun ia telah lama wafat.

Astronomi
            Al-Biruni adalah orang pertama yang melakukan eksperimen untuk memahami fenomena astronomis.  Di Khurasan ia mengamati dan menjelaskan secara rinci  peristiwa gerhana matahari dan gerhana bulan, sekaligus memberikan posisi bintang-bintang secara akurat pada saat gerhana bulan.
            Penemuan-penemuannya di bidang astronomi dimuat dalam salah satu karya terbesarnya, yaitu kitab Al-Qanun Al-Mas’udi Fii Al-Hai’ah wa An-Nujum (didedikasikan pada Mas’ud, putra Mahmud al-Ghaznawi) yang dikenal dalam bahasa latin sebagai Canon Mas’udicus.  Dalam buku ini, al-Biruni membuat tabel astronomi sekaligus mengkritisi tabel-tabel astronomi yang dibuat oleh para ilmuwan pendahulunya.  Buku ini juga memperkenalkan teknik perhitungan matematis untuk menganalisa percepatan gerak planet, sekaligus menegaskan bahwa jarak antara Bumi dan Matahari lebih besar daripada yang dikemukakan oleh Ptolemeus.[10] 
Kitab Al-Qanun Al-Mas’udi pertama kali dibuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Mas’ud al-Ghaznawi yang begitu tertarik pada sains dan mempertanyakan sebab terjadinya perbedaan panjang siang dan malam di berbagai tempat di dunia.  Sebagai ucapan terima kasih atas pembuatan kitab yang tebalnya nyaris 1500 halaman itu, Mas’ud memberikan koin perak sebanyak muatan seekor gajah.  Al-Biruni menolak pemberian tersebut dan memberikannya kepada Baitul Maal serta meyakinkan Mas’ud bahwa ia bisa hidup tanpa kekayaan tersebut.[11]
            Al-Biruni memperkenalkan metode observasi astronomi baru yang disebut sebagai ‘observasi tiga titik’.  Sebelum era al-Biruni para astronom menggunakan metode Hipparchus yang relatif tidak akurat, yaitu menggunakan interval musim untuk memperhitungkan berbagai parameter yang berkaitan dengan matahari.  Metode perhitungan dengan observasi tiga titik ala al-Biruni adalah kontribusi yang sangat penting dan masih digunakan enam abad setelahnya oleh para astronom, antara lain Taqiyyuddin ad-Dimasyqi, Tycho Brahe dan Nicolaus Copernicus.[12]
            Selain menyumbang berbagai metode perhitungan dalam bidang astronomi, al-Biruni juga menciptakan berbagai instrumen.  Ia merumuskan pembuatan astrolab dan planisfernya sendiri, juga merancang sextant yang pertama.  Al-Biruni juga menciptakan hodometer sederhana, dan kalender lunisolar mekanik pertama yang merupakan contoh awal dari mesin pemroses data.  Dengan berbagai peralatan dan metode yang diciptakannya sendiri, al-Biruni dapat menentukan kiblat dari tempat mana pun di muka bumi dan menentukan waktu shalat secara tepat.
            Ide dan penjelasan mengenai ‘tabung observasi’ telah ditemukan dalam sebuah karya al-Biruni.  Meskipun tabung observasi sederhana ini tidak menggunakan lensa, namun memungkinkan pengamat untuk memfokuskan pengamatan pada sebuah bagian langit dengan menyingkirkan gangguan-gangguan cahaya.  Tabung observasi ini kemudian diadopsi oleh para ilmuwan setelahnya dan mempengaruhi perkembangan teleskop modern.
            Al-Biruni banyak membaktikan waktunya untuk mengamati matahari, pergerakannya, dan fenomena gerhana.  Ia juga salah seorang ilmuwan pertama yang berpendapat bahwa Bumi berotasi terhadap sumbunya dan terlibat dalam berbagai diskusi mengenai teori heliosentris.
            Al-Biruni secara tegas menarik garis pembatas antara astronomi dan astrologi.  Ia adalah astronom yang secara tegas menolak astrologi karena metode yang digunakan lebih berdasarkan asumsi belaka dan juga karena pandangan-pandangan astrologi yang bertentangan dengan ajaran Islam.[13]

Ilmu-Ilmu Kebumian
            Al-Biruni memberikan banyak kontribusi dalam ilmu-ilmu kebumian.  Karena jasa-jasanya di bidang perpetaan, ia dinobatkan sebagai Bapak Geodesi.  Ia juga memberikan kontribusi yang sangat banyak dalam bidang ilmu kartografi, geografi, geologi dan mineralogi.  Pada usia 22 tahun, al-Biruni telah menulis berbagai karya ilmiah, termasuk sebuah penelitian mengenai proyeksi peta atau kartografi, yang di dalamnya tercakup sebuah metode memroyeksikan sebuah hemisfer ke sebuah bidang datar.[14]  Al-Biruni adalah salah satu ilmuwan pertama yang menemukan metode untuk menentukan garis lintang dan bujur secara akurat.[15]
            Pada usia 17 tahun, al-Biruni menghitung ketinggian kota Kath di Khwarazm.  Ia juga memecahkan persamaan geodesi yang rumit untuk menghitung diameter Bumi.  Hasil perhitungannya (yaitu 6.339,9 km) hanya meleset 16,8 km dari hasil perhitungan modern, yaitu 6.356,7 km.  Sementara para pendahulunya menghitung diameter Bumi dengan mengamati matahari secara terus-menerus dari dua lokasi yang berbeda, al-Biruni mengembangkan metode baru dengan perhitungan-perhitungan trigonometri berdasarkan sudut antara suatu tempat di dataran rendah dengan puncak gunung yang menghasilkan perhitungan yang lebih akurat dan memungkinkan untuk dihitung oleh seorang pengamat dari satu lokasi saja.[16]
            Al-Biruni dikenal sebagai ilmuwan yang paling ahli dalam soal memetakan kota-kota dan mengukur jarak di antaranya.  Buku Al-Qanun Al-Mas’udi-nya mencantumkan koordinat lebih dari enam ratus tempat di dunia.  Ia seringkali memadukan hasil pengamatan astronomi dengan perhitungan matematis dalam mengembangkan metode-metode untuk menentukan lokasi secara akurat.  Teknik-teknik yang serupa juga digunakannya untuk mengukur ketinggian gunung, kedalaman lembah, dan luas horison.
            Dalam bidang geologi, al-Biruni memberikan banyak sumbangan dalam menentukan masa lalu sebuah negeri.  Dengan mengamati bebatuan di India, ia berkesimpulan bahwa dataran India dulunya adalah lautan yang kemudian menjadi dangkal oleh endapan.[17]  Ia juga menjelaskan bagaimana jazirah Arab dahulunya pernah tenggelam di bawah laut dengan mengamati bekas-bekasnya pada batu dan karang.
            Dalam bidang pertambangan, al-Biruni menggagas dasar-dasar ilmiah bagi serta cara menambang dalam bukunya Al-Jamaahir fii Ma’rifat Al-Jawaahir.  Buku ini menjelaskan berbagai macam logam, tempat-tempat asalnya, cara mengeluarkannya dari tambang, campuran dan jenis kotoran yang ada padanya, dan berbagai manfaatnya.[18]  Al-Biruni melakukan ratusan eksperimen untuk menghasilkan pengukuran yang terdokumentasikan dengan baik dalam berbagai bahasa.  Perhitungan berat mineral yang dilakukannya akurat hingga tiga angka desimal, dan nyaris sama akuratnya seperti pengukuran modern untuk jenis-jenis mineral yang sama.[19]
           
Fisika dan Matematika
            Al-Biruni sejak dulu telah merumuskan gravitasi sebagai gaya yang menarik segala benda ke arah pusat bumi.[20]  Ia adalah ilmuwan pertama yang melakukan eksperimen dalam bidang statika dan dinamika, khususnya dalam menentukan berat spesifik.  Melalui eksperimennya, al-Biruni berhasil menunjukkan perbedaan berat antara air tawar dan air laut, dan antara air panas dan air dingin.
            Bersama Ibnu al-Haitsam, al-Biruni adalah ilmuwan pertama yang menyadari bahwa kecepatan cahaya dapat diukur.  Ia juga yang pertama sekali menyatakan bahwa kecepatan cahaya jauh lebih cepat daripada kecepatan suara.  Al-Biruni menyanggah pendapat Galenus yang mengatakan bahwa cahaya bersumber dari mata ke objek benda yang dilihat dan bukan sebaliknya.
            Al-Biruni memberikan sumbangan yang sangat besar dalam disiplin ilmu matematika, terutama dalam bidang aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, dan aritmetika.  Dalam bidang aljabar, al-Biruni meneruskan pekerjaan al-Khawarizmi dan memberikan banyak tambahan.  Dalam bidang geometri, al-Biruni adalah pelopor dalam merumuskan metode untuk menggambar pada permukaan bola, juga menghitung diameter bumi dengan rumus-rumus matematika.[21]  Sebagaimana Abu Nashr Manshur, al-Biruni juga mahir dalam menggunakan rumus-rumus trigonometri.  Al-Biruni-lah yang pertama kali memperkenalkan konsep tangen dan kotangen.[22]  Al-Biruni juga menggunakan prinsip-prinsip geometri untuk membuktikan rumus kalkulus yang ditemukan oleh Tsabit bin Qurah.  Penemuan ini di kemudian hari diklaim sebagai temuan Isaac Newton oleh dunia Barat.  Selain itu, al-Biruni menulis beberapa buku tentang aritmetika.  Ia juga memaparkan sejarah angka India dan perpindahannya ke Arab serta pengembangannya kemudian.[23]

Kimia, Biologi dan Farmakologi
            Bersama al-Kindi dan Ibnu Sina, al-Biruni adalah salah satu ahli kimia pertama yang menolak teori transmutasi logam sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ilmuwan pada masa tersebut.  Al-Biruni juga menyusun kitab yang merupakan ensiklopedi farmakologi yang merupakan gabungan dari seni pengobatan Islam dengan seni pengobatan India.  Dalam bukunya, al-Biruni memaparkan penggunaan berbagai jenis tanaman, termasuk berbagai jenis jamur, untuk keperluan pengobatan.[24]
            Al-Biruni juga termasuk ilmuwan yang paling awal dalam mengamati fenomena-fenomena ‘menyimpang’ pada tumbuhan, hewan dan manusia, termasuk fenomena kembar siam.  Ia juga mengamati fenomena perkawinan pada beberapa jenis bunga.[25]
            Pada tahun 1051 M, Al-Biruni menulis sebuah kitab berjudul Kitab As-Saydalah (The Book of Drugs).  Kitab ini adalah salah satu karya ilmuwan Muslim paling berharga di bidang farmakologi.  Dalam buku ini ia memberikan penjelasan mendetil tentang kandungan obat-obatan dan menggarisbawahi peranan farmasi dan tugas-tugas seorang ahli farmasi.[26]

Ilmu-Ilmu Sosial dan Sastra
            Di masa mudanya, yaitu ketika masih tinggal di Istana Jurjan, al-Biruni telah meneliti dan memperbandingkan banyak aspek dalam kehidupan berbagai bangsa.  Ia merangkum perbedaan sistem kalender dan hari raya bagi berbagai bangsa di dunia dalam bukunya yang berjudul Al-Atsar Al-Baqiyah min Al-Qurun Al-Khaliyah
‘Antropolog pertama’ adalah gelar yang diberikan kepada al-Biruni, terutama berkat penelitiannya yang komprehensif terhadap seluk-beluk kehidupan masyarakat India.  Ia sempat lama tinggal di India, dan waktu itu dimanfaatkannya dengan menuliskan catatan yang lengkap tentang negeri itu, termasuk sejarah politik dan militer, budaya, corak sosial, keagamaan, filsafat, sastra, adat istiadat, dan tradisinya.  Hasil penelitian ini dirangkum dalam masterpiece-nya yang berjudul Tahqiq maa lii al-Hindi min Maqulah Maqbulah fi Al-‘Aqli aw Mardzawilah.  Karena penelitiannya yang sangat mendalam terhadap kehidupan masyarakat India, seperti sudah disebutkan di awal tulisan ini, ia pun dijuluki sebagai ahli Indologi yang pertama di dunia.
Buku al-Biruni tentang India menjadi rujukan para ahli hingga berabad-abad setelah masanya.  Sebagai cabang ilmu, Indologi sendiri baru banyak ditekuni pada abad 18 Masehi, atau tujuh abad setelah era al-Biruni.[27]

Agama dan Pemikiran
            Selain sebagai ilmuwan, al-Biruni juga dikenal sebagai ahli agama.  Ia memahami filsafat Yunani dan filsafat India, sekaligus juga memberikan berbagai kritik terhadapnya.  Al-Biruni terlibat dalam perdebatan yang hangat dengan Ibnu Sina mengenai pemikiran filsafat dan sufi.  Al-Biruni adalah pengikut aliran Asy’ariyah dan kerap terlibat dalam perdebatan dengan aliran Mu’tazilah.  Karena keseriusannya dalam mempelajari agama-agama, al-Biruni pun dianggap sebagai pelopor yang mengilhami kelahiran ilmu perbandingan agama sebagaimana yang dikenal kini.[28]
            Al-Biruni juga tidak memisahkan antara agama dan sains.  Baginya, mempelajari fenomena-fenomena alam adalah sebuah kewajaran bagi manusia dalam usahanya memahami kebesaran Allah SWT.  Berbagai penemuan di bidang sains semakin membuatnya yakin bahwa ada Sumber Kekuatan yang Maha Besar yang mengatur alam semesta ini sehingga tercapai keteraturan yang sedemikian rupa.  Menurutnya, Al-Qur’an tidak pernah bertentangan dengan sains.  Indera pendengaran dan penglihatan dianggapnya sebagai modal terpenting karena keduanya adalah alat bantu yang memungkinkan manusia untuk mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah SWT.[29]
            Karena keyakinannya terhadap ajaran Islam, al-Biruni senantiasa menolak segala asumsi yang lahir dari khayalan.  Dengan alasan tersebut ia menolak ilmu astrologi dan filsafat India yang menurutnya lebih condong kepada ilmu kira-kira belaka.  Dalam segala hal, al-Biruni menghendaki dasar pemikiran yang logis dan dapat dibuktikan secara empiris.
            Hasil dari pemikiran semacam ini adalah metode ilmiah yang selalu dipergunakan al-Biruni dalam setiap penelitiannya.  Al-Biruni adalah pelopor metode eksperimental ilmiah dalam bidang mekanika, astronomi, bahkan psikologi.  Ia menghendaki agar setiap teori dilahirkan dari eksperimen dan bukan sebaliknya.
            Al-Biruni juga menekankan pentingnya melakukan eksperimen secara berulang-ulang.  Hal itu dianggap perlu untuk meminimalkan kesalahan yang terjadi akibat kesalahan sistematis atau acak, misalnya kesalahan akibat penggunaan instrumen-instrumen kecil atau human error.  Jika sebuah alat menghasilkan kesalahan acak karena adanya cacat maka eksperimen harus diulang beberapa kali dan kemudian dianalisa secara kualitatif sehingga menghasilkan penilaian yang tepat.  Metode yang digunakan al-Biruni dalam eksperimen-eksperimennya nyaris tak berbeda dengan metode penelitian yang digunakan dewasa ini.[30]
            Dalam segala hal, al-Biruni memandang penting sikap objektif dan melepaskan diri dari hawa nafsu yang dapat melalaikan manusia dari mendapatkan pemahaman yang benar.  Dalam kitab Al-Atsar Al-Baqiyah min Al-Qurun Al-Khaliyah, ia berpesan dalam kata pengantarnya, “Kita mesti membersihkan jiwa kita dari semua sebab-sebab yang membutakan manusia terhadap kebenaran – kebiasaan lama, semangat berkelompok, persaingan pribadi atau nafsu (dan) keinginan untuk mempengaruhi.”[31]
            Meski menyibukkan diri dengan mempelajari berbagai bidang keilmuan dengan serius, al-Biruni juga dikenal karena sifat humorisnya yang seringkali mengejutkan, namun digunakannya secara efektif.  Salah satu contohnya adalah kata-kata yang ia gunakan untuk memperkenalkan metodenya dalam menghitung diameter Bumi, “Inilah metode lainnya untuk menentukan diameter Bumi.  Metode ini tidak mengharuskan kita untuk berjalan menembus padang-padang pasir.”[32]

Penghargaan
            Segudang prestasi yang telah ditorehkan oleh al-Biruni menjadikannya pantas untuk menyandang gelar sebagai ilmuwan Muslim terbesar sepanjang masa.  Bahkan sebagian ahli di Barat sepakat untuk menyebut al-Biruni sebagai ilmuwan terbesar yang pernah ada dalam sejarah dunia.  Penghargaan diberikan bukan saja karena penelitian-penelitiannya yang sangat cermat dan akurat, namun juga karena penguasaannya yang sangat mendalam terhadap berbagai disiplin ilmu secara komprehensif dan fakta bahwa al-Biruni telah meletakkan dasar bagi metode penelitian ilmiah yang tetap digunakan hingga lebih dari seribu tahun setelah masa kehidupannya.
            Al-Biruni telah memberikan sumbangan multidimensi terhadap dunia sains.  Karya-karya peninggalannya adalah bukti keluasan ilmunya terhadap berbagai disiplin ilmu sekaligus.  Kitab At-Tafhim li Awa’il Shina’ah At-Tanjim, misalnya, dianggap sebagai karya yang mumpuni di bidang astronomi[33] sekaligus juga sebagai karya besar yang paling terdahulu mengenai ilmu-ilmu matematika.[34]
            Selain mendapat pujian dari umat Islam, al-Biruni juga mendapatkan penghargaan yang tinggi oleh bangsa-bangsa Barat.  Karya-karyanya melampaui Copernicus, Isaac Newton, dan para ahli Indologi yang berada ratusan tahun di depannya.  Baik ulama maupun orientalis sama-sama memujinya.  Dan meskipun dipuji sebagai ahli perbandingan agama yang sangat objektif oleh Montgomery Watt dan Arthur Jeffery, al-Biruni tak pernah menggadaikan keimannya.  George Sarton dalam bukunya yang berjudul Introduction to the History of Science menyebut masa kehidupan al-Biruni sebagai ‘era al-Biruni’ (The Time of Al-Biruni), sekedar untuk menunjukkan betapa besar dominasi al-Biruni dalam khazanah keilmuan dunia pada masa itu.
            Sudah tak terhitung banyaknya buku dan artikel yang didedikasikan untuk ilmuwan besar yang satu ini.  Akbar S. Ahmed menulis Al-Beruni : The First Anthropologist pada tahun 1984.  Pendapat al-Biruni mengenai perbedaan astronomi dan astrologi dibahas secara khusus oleh S. Pines dalam The Semantic Distinction between the Terms Astronomy and Astrology According to Al-Biruni.  Rafik Berjak dan Muzaffar Iqbal membahas korespondensi antara al-Biruni dan Ibnu Sina dalam artikel Ibn Sina – Al-Biruni Correspondence yang dimuat dalam beberapa edisi di majalah Islam & Science.  Kedalaman pengetahuan al-Biruni tentang sejarah politik India dibahas oleh M.S. Khan dalam Al-Biruni and the Political History of India.  William Montgomery Watt membahas secara khusus kepeloporan al-Biruni dalam ilmu perbandingan agama dalam artikelnya yang berjudul Biruni and the Study of Non-Islamic ReligionsSecara umum nama al-Biruni tak pernah bisa ditinggalkan dalam pembahasan mengenai sains dalam peradaban Islam.
            Untuk mengenang al-Biruni, para ilmuwan astronomi memiliki caranya sendiri yang sangat unik.  Pada tahun 1970, International Astronomical Union  (IAU) menyematkan nama al-Biruni kepada salah satu kawah di bulan.[35]  Kawah yang memiliki diameter 77,05 km itu diberi nama Kawah Al-Biruni (The Al-Biruni Crater).


[1] Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun, Bogor Studi Pendidikan dan Pemikiran Islam, lulusan Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB)
[2] Mehmet Aydin,  Muslim Contributions to Philosophy – Ibn Sina, Farabi, Beyruni, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=473
[3] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[4] Ibid.
[5] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 248-249.
[6] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[7] Abu Nasr Mansur, http://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Nasr_Mansur
[8] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka, hlm. 249.
[9] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[10] Ibid.
[11] FSTC Limited, Al Biruni, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=690
[12] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), hlm. 233.
[16] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[17] Ibid.
[18] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka, hlm. 256.
[19] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[20] Ibid.
[21] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka, hlm. 253.
[22] Mahbub Ghani, Sine, Cosine and the Measurement of the Earth, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=662
[23] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka, hlm. 254.
[24] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[25] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka, hlm. 260.
[26] FSTC Limited, Pharmacology in the Making,  http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=226
[27] Indology, http://en.wikipedia.org/wiki/Indology
[28] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas (Bandung : Mizan, 2003), hlm. 344.
[29] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[30] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[31] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam, hlm. 225.
[32] Mahbub Ghani, Sine, Cosine and the Measurement of the Earth,  http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=662
[33] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka, hlm. 257.
[34] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hlm. 250.
[35] FSTC Limited, Illustrious Names in the Heavens : Arabic and Islamic Names of the Moon Craters, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=815
`�<<i�3�-mso-element:footnote' id=ftn8>
[8]  Smith, Huston, Beyond The Post-Modern Mind, 5.
[9]  Ibid, 4.
[10] David Harvey, The Condition of Postmodernity, Cambridge, Blackwell, 1991, 12-3.
[11] James E.Crimmins, (ed) Religions, Secularizatin dan Political Thought, London, Routledge, 1990, 7.
[12] Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind,  (trans. by Judith Friedlander, New York Columbia University Press, 1995, 18. 
[13]  Ibid, 19.
[14] Hugh J.Silverman, “The Philosophy of Postmodernism”, 5.
[15] Untuk diskusi yang lebih detail mengenai hal ini lihat Nancy Love, Marx, Nietzsche, and Modernity, New York,  Columbia University Press, 1986, khususnya bab satu, 1-7 dan empat, 113-134. 
[16] Gianni Vattimo, The End of Modernity, 167.
 [17]Nietzsche, F, Will To Power, 8-9.
[18] Gianni Vattimo, The End of Modernity, 19.
[19] Jon R.Snyder, (trans.) in Gianni Vattimo, The End of Modernity, , xi.
[20] Nietzsche, Friedrich, Twilight of the Idol, trans. R.J. Hollingdale (Harmondsworth: Penguin, 1968), 41. Dalam Will To Power, dia mengatakan, “Truth is the kind  of error”, lihat Nietzsche, Friedrich, The Will To Power, 493.
[21] Jon R.Snyder, in Gianni Vattimo, The End of Modernity, xii.
[22] Ibid, xiii.
[23] Pernyataan aslinya adalah sbb: everything is text, that the basic material of text, societies and almost anything is meaning, that meaning are there to be decoded or ‘deconstructed’, that the notion of objective reality is suspect. Lihat Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, 23.
[24] Fuerbach, Ludwig, The Essence of Christianity, terjemahan George Eliot, New York:Harper and Row, 1957, xii, xli.
[25] Karl Marx, Early Writing, Quinton Hoare, ed.; Gregor Benton and Rodney Livingston, trs. New York: Random House, 1975, 1:378.
[26] Sebagaimana dikutip oleh Nancy S.Love, dalam Nancy S.Love, Marx, Nietzsche, and Modernity, 124.
[27] Huston Smith, Beyond The Post-Modern Mind, 8
[28] Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, 27.
[29] P. Rabinow, Harmonsworth, ed. “The Foucoult Reader”, Penguin, 1984, seperti dikutip oleh David Owen, dalam Maturity and Modernity, London, Routledge,  1994, 200.
[30] Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, trans. by R.J.Hollingdale, London, Penguin Classic, 1972, 62.
[31] Nietzche, Friedrich, The Will To Power, 86-87.
[32] Cuplikan pernyataannya adalah sbb:“The Christian way of life is no more a fantasy than the Buddhist way of life: it is a means to being happy“ Ibid, 98.
[33] Pernyatannya penuh sbb: “Christianity is still possible at any time”, but it does not necessarily rely on dogma, require neither the doctrine of personal God nor that of immortality, nor that of redemption, nor that of faith and it has absolutely no need of metaphysics. Ibid, 124-125.
[34] John D.Caputo, “Heidegger and Theology”, dalam Charles B.Guignon ed. The Cambridge Companion to Heiddeger, (Cambridge, Cambridge University Press, 1993), 285
[35] Engelmann, Paul, “Letter from Ludwig Wittgenstein with a Memoir”, ed. B.F.McGuinness, diterjemahkan oleh Lfurtmuller, Oxford, Blackwell, 77. Cf. Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, ed. Peter Winch,  Ithaca, Cornell University Press, 1994, 9.
[36] L.Wittgenstein,  “Notebooks 1914-1916” , edisi ke 2, ed. G.H.von Wright and G.E. M.Anscombe, diterjemahkan oleh G.E. M.Anscombe, Oxford, Blackwell, 1979, 74,  dikutip dalam Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 10.
[37] L. Wittgenstein, Lecture and Conversation on Aesthetics, Psychology and Religious Belief, ed. C.Barret, (Oxford, Blackwell, 1966), 56.
[38] Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 11.
[39] Wittgenstein’s Vermischte Bemerkungen, 85-6, dikutip dari Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 19
[40] Rush Rhees (ed) “Ludwig Wittgenstein’s Personal Collections”, 129,  dikutip dari  by Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 20.
[41] Louis Dupre, “Truth in Religion and Truth of Religion” dalam Daniel Guerriere (ed), Phenomenology of the Truth Proper to Religion, New York, SUNY, 1990, 19, 28.
[42] Nietzsche, Will to Power, 249-255.
[43] Martin Heidegger, “On The Essence of Truth” diterjemahkan oleh John Sallis, dalam Basic Writings, ed.David F.Krell (New York: Harper & Row, 1976) 129-33. Juga lihat dalam Magda King, Heidegger’s Philosophy, New York, The Macmillan Company, 1964, 148-49. Cf. Ernst Tugendhat, “Heiddeger’s Idea of Truth”, dalam Christopher Macann (ed), Martin Heidegger, vol.III:Language, London, Routledge, , 1992, 80.
[44] Huston Smith, Beyond The Post-modern Mind, 233.
[45]  David Harvey, The Condition of Postmodernity, 41.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...