by : Ir. Akmal[1]
Al-Biruni (juga dikenal di dunia
Barat dengan sebutan Aliboron) adalah
salah satu ilmuwan terbesar dalam sejarah Islam. Sebagian ahli bahkan tak ragu menyebutnya
sebagai ilmuwan terbesar yang pernah ada.
Namanya dikenal luas jauh melampaui jamannya, baik di dunia Islam maupun
Barat. Sejarawan sains sekelas George
Sarton menyebut abad kesebelas Masehi sebagai ‘era Al-Biruni’.[2]
Bidang keahlian al-Biruni meliputi fisika,
antropologi, psikologi, astronomi, kimia, sejarah, geografi, geodesi, geologi,
matematika, farmasi, filosofi, dan ia juga seorang guru agama. Ia dikenal sebagai kritikus ilmu kimia dan
astrologi, penyusun ensiklopedi, penjelajah, dan seorang ulama pengikut aliran
Asy’ariyah.[3]
Ia adalah sarjana Muslim pertama
yang secara khusus mempelajari seluk-beluk tradisi dan kehidupan bangsa India
sehingga dinobatkan sebagai Bapak Indologi.
Al-Biruni juga dikenal sebagai Bapak Geodesi dan Antropolog pertama di
dunia. Dalam bidang metode eksperimen
ilmiah, ia adalah salah satu pelopor yang menerapkan metode tersebut dalam ilmu
mekanika. Dialah orang pertama yang menggunakan berbagai eksperimen yang
berhubungan dengan fenomena astronomis, dan juga seorang pelopor dalam bidang
psikologi eksperimental.[4]
Perjalanan Hidup
Nama lengkapnya adalah Abu ar-Raihan
Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi al-Biruni.
Ia lahir di Khwarizm, Asia Tengah, pada tahun 362 H
(973 M). Tempat kelahirannya kini berada
di wilayah Uzbekistan, tepatnya di kota Khiva.
Nama “al-Biruni” berasal dari kata “Birun” dalam bahasa Persia yang
berarti “pinggiran kota”, sesuai dengan tanah kelahirannya yang terletak di
pinggiran kota Kats yang merupakan pusat kota Khwarizm.[5]
Bahasa ibu al-Biruni adalah bahasa
Persia, demikian juga kebudayaan masyarakat kampung halamannya menginduk pada
kebudayaan Persia. Selain bahasa Persia,
al-Biruni juga menguasai banyak bahasa lain, yaitu Arab, Iberia, Suryani,
Sansekerta, dan Yunani.[6]
Selama tinggal di kampung halaman,
al-Biruni sempat belajar astronomi dan matematika dari Abu Nashr Manshur. Beliau adalah seorang ilmuwan yang merupakan
keturunan berdarah biru di wilayah Khwarizmi.
Guru sekaligus partner al-Biruni ini dikenal sebagai ilmuwan yang
banyak mengeksplorasi karya-karya ilmuwan Yunani, seperti Ptolemeus dan
Menelaus. Salah satu hasil pencapaian
terbesarnya di bidang trigonometri adalah persamaan yang disebut sebagai Hukum
Sinus (The Sine Law).[7]
Al-Biruni hidup semasa dengan
ilmuwan Muslim lainnya yang cukup kontroversial, yaitu Abu Ali al-Husin bin
Abdullah bin Sina, atau yang biasa dikenal dengan sebutan Ibnu Sina. Selain memiliki hubungan yang cukup akrab,
keduanya juga terlibat dalam perdebatan seru melalui korespondensi.[8]
Akhir abad kesepuluh dan awal abad
kesebelas Masehi adalah masa-masa yang penuh pergolakan di wilayah
Khwarizmi. Pada saat itu, Khwarizmi
adalah bagian dari sebuah negara yang pusat pemerintahannya berada di
Bukhara. Ada beberapa kerajaan lain yang
berdiri di sekitarnya dan salah satunya adalah dinasti Ghaznawi yang berpusat
di Ghaznah, Afghanistan.
Pada usia dua puluh tahun, al-Biruni
pergi ke negeri Jurjan dan bekerja pada Pangeran Syamsul Ma’ali Qabus bin
Wasykamir. Pada kesempatan ini,
al-Biruni sempat berkenalan dengan para ilmuwan besar yang bekerja di istana
tersebut, salah satunya adalah Ibnu Sina.
Di Istana Jurjan ini pula al-Biruni mulai menulis buku.
Sekitar
tahun 400 H (1010 M), al-Biruni kembali ke Khwarizm dan bekerja pada penguasa
Khwarizm pada saat itu, yaitu Abu Abbas al-Ma’mun atau yang biasa disebut
sebagai Khwarizmsyah. Al-Biruni diberi
keleluasaan untuk melakukan penelitian, sementara keadaan politik di Khwarizmi
tetap penuh gejolak. Pada akhirnya,
Khwarizmsyah terbunuh dan Khwarizmi diambil alih oleh Dinasti Ghaznawiyyah dengan
rajanya Mahmud bin Sabkatkin atau Mahmud al-Ghaznawi.
Karena
kecerdasannya, Mahmud al-Ghaznawi membiarkan al-Biruni hidup. Al-Biruni kemudian diajak ikut serta dalam
ekspedisi penaklukan di India. Di
India, Al-Biruni pun segera menyibukkan diri dengan meneliti corak kehidupan
masyarakat di sana. Karya
al-Biruni tentang India adalah salah satu masterpiece yang dikenang
sepanjang masa.
Setelah
tinggal cukup lama di India, al-Biruni pergi ke Ghaznah dan terus memelihara
hubungan baik dengan pihak istana.
Al-Biruni melakukan penelitian dan terus menulis hingga akhir
hayatnya. Sepanjang hidup, al-Biruni
telah menulis tidak kurang dari 146 buku (sebagian ahli bahkan mengatakan bahwa
al-Biruni telah menulis 180 buku) yang terdiri dari 35 buku tentang astronomi,
4 buku tentang astrolab, 23 buku tentang astrologi, 9 buku tentang geografi, 10
buku tentang geodesi dan teori perpetaan, 15 buku tentang matematika, 2 buku
tentang mekanika, 2 buku tentang obat-obatan dan farmakologi, 1 buku tentang
meteorologi, 2 buku tentang mineralogi, 4 buku tentang sejarah, 2 buku tentang
India, 3 buku tentang agama dan filsafat, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak, hanya 22 yang diketahui
keberadaannya sekarang, dan 13 saja yang pernah dipublikasikan.[9]
Sebagian
besar sejarawan sepakat bahwa al-Biruni wafat pada tahun 440 H (1048 M),
kecuali sebagian yang berpendapat bahwa ia hidup hingga tahun 442 H (1050
M). Al-Biruni dikenang baik oleh dunia
Islam maupun dunia Barat dan mendapatkan banyak penghargaan dalam berbagai
bentuk meskipun ia telah lama wafat.
Astronomi
Al-Biruni
adalah orang pertama yang melakukan eksperimen untuk memahami fenomena
astronomis. Di Khurasan ia mengamati dan
menjelaskan secara rinci peristiwa
gerhana matahari dan gerhana bulan, sekaligus memberikan posisi bintang-bintang
secara akurat pada saat gerhana bulan.
Penemuan-penemuannya
di bidang astronomi dimuat dalam salah satu karya terbesarnya, yaitu kitab Al-Qanun
Al-Mas’udi Fii Al-Hai’ah wa An-Nujum (didedikasikan pada Mas’ud, putra
Mahmud al-Ghaznawi) yang dikenal dalam bahasa latin sebagai Canon Mas’udicus.
Dalam buku ini, al-Biruni membuat tabel
astronomi sekaligus mengkritisi tabel-tabel astronomi yang dibuat oleh para
ilmuwan pendahulunya. Buku ini juga
memperkenalkan teknik perhitungan matematis untuk menganalisa percepatan gerak
planet, sekaligus menegaskan bahwa jarak antara Bumi dan Matahari lebih besar
daripada yang dikemukakan oleh Ptolemeus.[10]
Kitab Al-Qanun Al-Mas’udi pertama kali dibuat untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan Mas’ud al-Ghaznawi yang begitu tertarik pada sains dan mempertanyakan
sebab terjadinya perbedaan panjang siang dan malam di berbagai tempat di
dunia. Sebagai ucapan terima kasih atas
pembuatan kitab yang tebalnya nyaris 1500 halaman itu, Mas’ud memberikan koin
perak sebanyak muatan seekor gajah.
Al-Biruni menolak pemberian tersebut dan memberikannya kepada Baitul
Maal serta meyakinkan Mas’ud bahwa ia bisa hidup tanpa kekayaan tersebut.[11]
Al-Biruni
memperkenalkan metode observasi astronomi baru yang disebut sebagai ‘observasi
tiga titik’. Sebelum era al-Biruni
para astronom menggunakan metode Hipparchus yang relatif tidak akurat, yaitu
menggunakan interval musim untuk memperhitungkan berbagai parameter yang
berkaitan dengan matahari. Metode
perhitungan dengan observasi tiga titik ala al-Biruni adalah kontribusi
yang sangat penting dan masih digunakan enam abad setelahnya oleh para
astronom, antara lain Taqiyyuddin ad-Dimasyqi, Tycho Brahe dan Nicolaus
Copernicus.[12]
Selain
menyumbang berbagai metode perhitungan dalam bidang astronomi, al-Biruni juga
menciptakan berbagai instrumen. Ia
merumuskan pembuatan astrolab dan planisfernya sendiri, juga merancang sextant
yang pertama. Al-Biruni juga
menciptakan hodometer sederhana, dan kalender lunisolar mekanik pertama yang
merupakan contoh awal dari mesin pemroses data.
Dengan berbagai peralatan dan metode yang diciptakannya sendiri,
al-Biruni dapat menentukan kiblat dari tempat mana pun di muka bumi dan
menentukan waktu shalat secara tepat.
Ide
dan penjelasan mengenai ‘tabung observasi’ telah ditemukan dalam sebuah karya
al-Biruni. Meskipun tabung observasi
sederhana ini tidak menggunakan lensa, namun memungkinkan pengamat untuk
memfokuskan pengamatan pada sebuah bagian langit dengan menyingkirkan
gangguan-gangguan cahaya. Tabung
observasi ini kemudian diadopsi oleh para ilmuwan setelahnya dan mempengaruhi
perkembangan teleskop modern.
Al-Biruni
banyak membaktikan waktunya untuk mengamati matahari, pergerakannya, dan
fenomena gerhana. Ia juga salah seorang
ilmuwan pertama yang berpendapat bahwa Bumi berotasi terhadap sumbunya dan
terlibat dalam berbagai diskusi mengenai teori heliosentris.
Al-Biruni
secara tegas menarik garis pembatas antara astronomi dan astrologi. Ia adalah astronom yang secara tegas menolak astrologi
karena metode yang digunakan lebih berdasarkan asumsi belaka dan juga karena
pandangan-pandangan astrologi yang bertentangan dengan ajaran Islam.[13]
Ilmu-Ilmu Kebumian
Al-Biruni
memberikan banyak kontribusi dalam ilmu-ilmu kebumian. Karena jasa-jasanya di bidang perpetaan, ia
dinobatkan sebagai Bapak Geodesi. Ia
juga memberikan kontribusi yang sangat banyak dalam bidang ilmu kartografi,
geografi, geologi dan mineralogi. Pada
usia 22 tahun, al-Biruni telah menulis berbagai karya ilmiah, termasuk sebuah
penelitian mengenai proyeksi peta atau kartografi, yang di dalamnya tercakup
sebuah metode memroyeksikan sebuah hemisfer ke sebuah bidang datar.[14] Al-Biruni adalah salah satu ilmuwan pertama
yang menemukan metode untuk menentukan garis lintang dan bujur secara akurat.[15]
Pada
usia 17 tahun, al-Biruni menghitung ketinggian kota Kath di Khwarazm. Ia juga memecahkan persamaan geodesi yang
rumit untuk menghitung diameter Bumi.
Hasil perhitungannya (yaitu 6.339,9 km) hanya meleset 16,8 km dari hasil
perhitungan modern, yaitu 6.356,7 km.
Sementara para pendahulunya menghitung diameter Bumi dengan mengamati
matahari secara terus-menerus dari dua lokasi yang berbeda, al-Biruni
mengembangkan metode baru dengan perhitungan-perhitungan trigonometri
berdasarkan sudut antara suatu tempat di dataran rendah dengan puncak gunung
yang menghasilkan perhitungan yang lebih akurat dan memungkinkan untuk dihitung
oleh seorang pengamat dari satu lokasi saja.[16]
Al-Biruni
dikenal sebagai ilmuwan yang paling ahli dalam soal memetakan kota-kota dan
mengukur jarak di antaranya. Buku Al-Qanun
Al-Mas’udi-nya mencantumkan koordinat lebih dari enam ratus tempat di
dunia. Ia seringkali memadukan hasil
pengamatan astronomi dengan perhitungan matematis dalam mengembangkan
metode-metode untuk menentukan lokasi secara akurat. Teknik-teknik yang serupa juga digunakannya
untuk mengukur ketinggian gunung, kedalaman lembah, dan luas horison.
Dalam
bidang geologi, al-Biruni memberikan banyak sumbangan dalam menentukan masa
lalu sebuah negeri. Dengan mengamati
bebatuan di India, ia berkesimpulan bahwa dataran India dulunya adalah lautan
yang kemudian menjadi dangkal oleh endapan.[17] Ia juga menjelaskan bagaimana jazirah Arab
dahulunya pernah tenggelam di bawah laut dengan mengamati bekas-bekasnya pada
batu dan karang.
Dalam
bidang pertambangan, al-Biruni menggagas dasar-dasar ilmiah bagi serta cara
menambang dalam bukunya Al-Jamaahir fii Ma’rifat Al-Jawaahir. Buku ini menjelaskan berbagai macam logam,
tempat-tempat asalnya, cara mengeluarkannya dari tambang, campuran dan jenis
kotoran yang ada padanya, dan berbagai manfaatnya.[18] Al-Biruni melakukan ratusan eksperimen untuk
menghasilkan pengukuran yang terdokumentasikan dengan baik dalam berbagai
bahasa. Perhitungan berat mineral yang
dilakukannya akurat hingga tiga angka desimal, dan nyaris sama akuratnya
seperti pengukuran modern untuk jenis-jenis mineral yang sama.[19]
Fisika dan Matematika
Al-Biruni
sejak dulu telah merumuskan gravitasi sebagai gaya yang menarik segala benda ke
arah pusat bumi.[20] Ia adalah ilmuwan pertama yang melakukan
eksperimen dalam bidang statika dan dinamika, khususnya dalam menentukan berat
spesifik. Melalui eksperimennya,
al-Biruni berhasil menunjukkan perbedaan berat antara air tawar dan air laut,
dan antara air panas dan air dingin.
Bersama
Ibnu al-Haitsam, al-Biruni adalah ilmuwan pertama yang menyadari bahwa
kecepatan cahaya dapat diukur. Ia juga
yang pertama sekali menyatakan bahwa kecepatan cahaya jauh lebih cepat daripada
kecepatan suara. Al-Biruni menyanggah
pendapat Galenus yang mengatakan bahwa cahaya bersumber dari mata ke objek
benda yang dilihat dan bukan sebaliknya.
Al-Biruni
memberikan sumbangan yang sangat besar dalam disiplin ilmu matematika, terutama
dalam bidang aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, dan aritmetika. Dalam bidang aljabar, al-Biruni meneruskan
pekerjaan al-Khawarizmi dan memberikan banyak tambahan. Dalam bidang geometri, al-Biruni adalah
pelopor dalam merumuskan metode untuk menggambar pada permukaan bola, juga
menghitung diameter bumi dengan rumus-rumus matematika.[21] Sebagaimana Abu Nashr Manshur, al-Biruni juga
mahir dalam menggunakan rumus-rumus trigonometri. Al-Biruni-lah yang pertama kali
memperkenalkan konsep tangen dan kotangen.[22] Al-Biruni juga menggunakan prinsip-prinsip
geometri untuk membuktikan rumus kalkulus yang ditemukan oleh Tsabit bin
Qurah. Penemuan ini di kemudian hari
diklaim sebagai temuan Isaac Newton oleh dunia Barat. Selain itu, al-Biruni menulis beberapa buku
tentang aritmetika. Ia juga memaparkan
sejarah angka India dan perpindahannya ke Arab serta pengembangannya kemudian.[23]
Kimia, Biologi dan Farmakologi
Bersama
al-Kindi dan Ibnu Sina, al-Biruni adalah salah satu ahli kimia pertama yang
menolak teori transmutasi logam sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian
ilmuwan pada masa tersebut. Al-Biruni
juga menyusun kitab yang merupakan ensiklopedi farmakologi yang merupakan
gabungan dari seni pengobatan Islam dengan seni pengobatan India. Dalam bukunya, al-Biruni memaparkan
penggunaan berbagai jenis tanaman, termasuk berbagai jenis jamur, untuk
keperluan pengobatan.[24]
Al-Biruni
juga termasuk ilmuwan yang paling awal dalam mengamati fenomena-fenomena
‘menyimpang’ pada tumbuhan, hewan dan manusia, termasuk fenomena kembar
siam. Ia juga mengamati fenomena
perkawinan pada beberapa jenis bunga.[25]
Pada
tahun 1051 M, Al-Biruni menulis sebuah kitab berjudul Kitab As-Saydalah (The Book
of Drugs). Kitab ini adalah salah
satu karya ilmuwan Muslim paling berharga di bidang farmakologi. Dalam buku ini ia memberikan penjelasan
mendetil tentang kandungan obat-obatan dan menggarisbawahi peranan farmasi dan
tugas-tugas seorang ahli farmasi.[26]
Ilmu-Ilmu Sosial dan Sastra
Di
masa mudanya, yaitu ketika masih tinggal di Istana Jurjan, al-Biruni telah
meneliti dan memperbandingkan banyak aspek dalam kehidupan berbagai
bangsa. Ia merangkum perbedaan sistem
kalender dan hari raya bagi berbagai bangsa di dunia dalam bukunya yang
berjudul Al-Atsar Al-Baqiyah min Al-Qurun
Al-Khaliyah.
‘Antropolog pertama’ adalah gelar
yang diberikan kepada al-Biruni, terutama berkat penelitiannya yang
komprehensif terhadap seluk-beluk kehidupan masyarakat India. Ia sempat lama tinggal di India, dan waktu
itu dimanfaatkannya dengan menuliskan catatan yang lengkap tentang negeri itu,
termasuk sejarah politik dan militer, budaya, corak sosial, keagamaan,
filsafat, sastra, adat istiadat, dan tradisinya. Hasil penelitian ini dirangkum dalam masterpiece-nya yang berjudul Tahqiq maa lii al-Hindi min Maqulah Maqbulah
fi Al-‘Aqli aw Mardzawilah. Karena
penelitiannya yang sangat mendalam terhadap kehidupan masyarakat India, seperti
sudah disebutkan di awal tulisan ini, ia pun dijuluki sebagai ahli Indologi
yang pertama di dunia.
Buku al-Biruni tentang India
menjadi rujukan para ahli hingga berabad-abad setelah masanya. Sebagai cabang ilmu, Indologi sendiri baru
banyak ditekuni pada abad 18 Masehi, atau tujuh abad setelah era al-Biruni.[27]
Agama dan Pemikiran
Selain
sebagai ilmuwan, al-Biruni juga dikenal sebagai ahli agama. Ia memahami filsafat Yunani dan filsafat
India, sekaligus juga memberikan berbagai kritik terhadapnya. Al-Biruni terlibat dalam perdebatan yang
hangat dengan Ibnu Sina mengenai pemikiran filsafat dan sufi. Al-Biruni adalah pengikut aliran Asy’ariyah
dan kerap terlibat dalam perdebatan dengan aliran Mu’tazilah. Karena keseriusannya dalam mempelajari
agama-agama, al-Biruni pun dianggap sebagai pelopor yang mengilhami kelahiran
ilmu perbandingan agama sebagaimana yang dikenal kini.[28]
Al-Biruni
juga tidak memisahkan antara agama dan sains.
Baginya, mempelajari fenomena-fenomena alam adalah sebuah kewajaran bagi
manusia dalam usahanya memahami kebesaran Allah SWT. Berbagai penemuan di bidang sains semakin
membuatnya yakin bahwa ada Sumber Kekuatan yang Maha Besar yang mengatur alam
semesta ini sehingga tercapai keteraturan yang sedemikian rupa. Menurutnya, Al-Qur’an tidak pernah
bertentangan dengan sains. Indera
pendengaran dan penglihatan dianggapnya sebagai modal terpenting karena
keduanya adalah alat bantu yang memungkinkan manusia untuk mengamati
tanda-tanda kekuasaan Allah SWT.[29]
Karena
keyakinannya terhadap ajaran Islam, al-Biruni senantiasa menolak segala asumsi
yang lahir dari khayalan. Dengan alasan
tersebut ia menolak ilmu astrologi dan filsafat India yang menurutnya lebih
condong kepada ilmu kira-kira belaka.
Dalam segala hal, al-Biruni menghendaki dasar pemikiran yang logis dan
dapat dibuktikan secara empiris.
Hasil
dari pemikiran semacam ini adalah metode ilmiah yang selalu dipergunakan
al-Biruni dalam setiap penelitiannya.
Al-Biruni adalah pelopor metode eksperimental ilmiah dalam bidang
mekanika, astronomi, bahkan psikologi. Ia
menghendaki agar setiap teori dilahirkan dari eksperimen dan bukan sebaliknya.
Al-Biruni
juga menekankan pentingnya melakukan eksperimen secara berulang-ulang. Hal itu dianggap perlu untuk meminimalkan
kesalahan yang terjadi akibat kesalahan sistematis atau acak, misalnya
kesalahan akibat penggunaan instrumen-instrumen kecil atau human error. Jika sebuah
alat menghasilkan kesalahan acak karena adanya cacat maka eksperimen harus
diulang beberapa kali dan kemudian dianalisa secara kualitatif sehingga
menghasilkan penilaian yang tepat.
Metode yang digunakan al-Biruni dalam eksperimen-eksperimennya nyaris
tak berbeda dengan metode penelitian yang digunakan dewasa ini.[30]
Dalam
segala hal, al-Biruni memandang penting sikap objektif dan melepaskan diri dari
hawa nafsu yang dapat melalaikan manusia dari mendapatkan pemahaman yang
benar. Dalam kitab Al-Atsar Al-Baqiyah min Al-Qurun Al-Khaliyah, ia berpesan dalam
kata pengantarnya, “Kita mesti membersihkan jiwa kita dari semua sebab-sebab
yang membutakan manusia terhadap kebenaran – kebiasaan lama, semangat
berkelompok, persaingan pribadi atau nafsu (dan) keinginan untuk mempengaruhi.”[31]
Meski
menyibukkan diri dengan mempelajari berbagai bidang keilmuan dengan serius,
al-Biruni juga dikenal karena sifat humorisnya yang seringkali mengejutkan,
namun digunakannya secara efektif. Salah
satu contohnya adalah kata-kata yang ia gunakan untuk memperkenalkan metodenya
dalam menghitung diameter Bumi, “Inilah metode lainnya untuk menentukan
diameter Bumi. Metode ini tidak
mengharuskan kita untuk berjalan menembus padang-padang pasir.”[32]
Penghargaan
Segudang
prestasi yang telah ditorehkan oleh al-Biruni menjadikannya pantas untuk
menyandang gelar sebagai ilmuwan Muslim terbesar sepanjang masa. Bahkan sebagian ahli di Barat sepakat untuk
menyebut al-Biruni sebagai ilmuwan terbesar yang pernah ada dalam sejarah
dunia. Penghargaan diberikan bukan saja
karena penelitian-penelitiannya yang sangat cermat dan akurat, namun juga
karena penguasaannya yang sangat mendalam terhadap berbagai disiplin ilmu
secara komprehensif dan fakta bahwa al-Biruni telah meletakkan dasar bagi
metode penelitian ilmiah yang tetap digunakan hingga lebih dari seribu tahun
setelah masa kehidupannya.
Al-Biruni
telah memberikan sumbangan multidimensi terhadap dunia sains. Karya-karya peninggalannya adalah bukti
keluasan ilmunya terhadap berbagai disiplin ilmu sekaligus. Kitab
At-Tafhim li Awa’il Shina’ah At-Tanjim, misalnya, dianggap sebagai karya
yang mumpuni di bidang astronomi[33]
sekaligus juga sebagai karya besar yang paling terdahulu mengenai ilmu-ilmu
matematika.[34]
Selain
mendapat pujian dari umat Islam, al-Biruni juga mendapatkan penghargaan yang
tinggi oleh bangsa-bangsa Barat.
Karya-karyanya melampaui Copernicus, Isaac Newton, dan para ahli
Indologi yang berada ratusan tahun di depannya.
Baik ulama maupun orientalis sama-sama memujinya. Dan meskipun dipuji sebagai ahli perbandingan
agama yang sangat objektif oleh Montgomery Watt dan Arthur Jeffery, al-Biruni
tak pernah menggadaikan keimannya.
George Sarton dalam bukunya yang berjudul Introduction to the History of Science menyebut masa kehidupan
al-Biruni sebagai ‘era al-Biruni’ (The
Time of Al-Biruni), sekedar untuk menunjukkan betapa besar dominasi
al-Biruni dalam khazanah keilmuan dunia pada masa itu.
Sudah
tak terhitung banyaknya buku dan artikel yang didedikasikan untuk ilmuwan besar
yang satu ini. Akbar S. Ahmed menulis Al-Beruni : The First Anthropologist
pada tahun 1984. Pendapat al-Biruni
mengenai perbedaan astronomi dan astrologi dibahas secara khusus oleh S. Pines
dalam The Semantic Distinction between
the Terms Astronomy and Astrology According to Al-Biruni. Rafik Berjak dan Muzaffar Iqbal membahas
korespondensi antara al-Biruni dan Ibnu Sina dalam artikel Ibn Sina – Al-Biruni Correspondence yang dimuat dalam beberapa
edisi di majalah Islam & Science. Kedalaman pengetahuan al-Biruni tentang
sejarah politik India dibahas oleh M.S. Khan dalam Al-Biruni and the Political History of India. William Montgomery Watt membahas secara
khusus kepeloporan al-Biruni dalam ilmu perbandingan agama dalam artikelnya
yang berjudul Biruni and the Study of
Non-Islamic Religions. Secara umum nama al-Biruni tak
pernah bisa ditinggalkan dalam pembahasan mengenai sains dalam peradaban Islam.
Untuk mengenang al-Biruni, para
ilmuwan astronomi memiliki caranya sendiri yang sangat unik. Pada tahun 1970, International Astronomical Union (IAU) menyematkan nama al-Biruni kepada salah
satu kawah di bulan.[35] Kawah yang memiliki diameter 77,05 km itu
diberi nama Kawah Al-Biruni (The
Al-Biruni Crater).
[1] Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Ibnu Khaldun, Bogor Studi Pendidikan dan Pemikiran Islam, lulusan
Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB)
[2] Mehmet Aydin, Muslim
Contributions to Philosophy – Ibn Sina, Farabi, Beyruni, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=473
[3] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[4] Ibid.
[5]
Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan
Terkemuka dalam Sejarah Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm.
248-249.
[6] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[7] Abu Nasr Mansur, http://en.wikipedia.org/wiki/Abu_Nasr_Mansur
[8]
Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan
Terkemuka, hlm. 249.
[9] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[10] Ibid.
[11]
FSTC Limited, Al Biruni, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=690
[12] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia
Intelektual Barat, (Surabaya : Risalah Gusti, 1996), hlm. 233.
[16] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[17] Ibid.
[18]
Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka,
hlm. 256.
[19] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[20] Ibid.
[21]
Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan
Terkemuka, hlm. 253.
[22] Mahbub Ghani, Sine, Cosine and the Measurement of the Earth, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=662
[23] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka, hlm. 254.
[24] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[25]
Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan
Terkemuka, hlm. 260.
[26] FSTC Limited, Pharmacology in the Making, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=226
[27] Indology, http://en.wikipedia.org/wiki/Indology
[28] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib Al-Attas (Bandung
: Mizan, 2003), hlm. 344.
[29] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[30] Abu Rayhan al-Biruni, http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Biruni
[31] Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam, hlm.
225.
[32] Mahbub Ghani, Sine, Cosine and the Measurement of the Earth, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=662
[33] Muhammad Gharib Jaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka, hlm. 257.
[34] Wan Mohd. Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,
hlm. 250.
[35] FSTC Limited, Illustrious Names in the Heavens : Arabic and Islamic Names of the Moon
Craters, http://muslimheritage.com/topics/default.cfm?ArticleID=815
[8] Smith, Huston, Beyond
The Post-Modern Mind, 5.
[9] Ibid, 4.
[10]
David Harvey, The Condition of Postmodernity, Cambridge, Blackwell,
1991, 12-3.
[11]
James E.Crimmins, (ed) Religions, Secularizatin dan Political Thought,
London, Routledge, 1990, 7.
[12]
Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind, (trans. by Judith Friedlander, New York
Columbia University Press, 1995, 18.
[13] Ibid, 19.
[14]
Hugh J.Silverman, “The Philosophy of Postmodernism”, 5.
[15]
Untuk diskusi yang lebih detail mengenai hal ini lihat Nancy Love, Marx,
Nietzsche, and Modernity, New York,
Columbia University Press, 1986, khususnya bab satu, 1-7 dan empat,
113-134.
[16] Gianni
Vattimo, The End of Modernity, 167.
[17]Nietzsche, F, Will To Power, 8-9.
[18]
Gianni Vattimo, The End of Modernity, 19.
[19]
Jon R.Snyder, (trans.) in Gianni Vattimo, The End of Modernity, , xi.
[20]
Nietzsche, Friedrich, Twilight of the Idol, trans. R.J. Hollingdale
(Harmondsworth: Penguin, 1968), 41. Dalam Will To Power, dia mengatakan,
“Truth is the kind of error”, lihat
Nietzsche, Friedrich, The Will To Power, 493.
[21]
Jon R.Snyder, in Gianni Vattimo, The End of Modernity, xii.
[22] Ibid,
xiii.
[23]
Pernyataan aslinya adalah sbb: everything is text, that the basic material
of text, societies and almost anything is meaning, that meaning are there to be
decoded or ‘deconstructed’, that the notion of objective reality is suspect. Lihat
Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion, 23.
[24]
Fuerbach, Ludwig, The Essence of Christianity, terjemahan George Eliot,
New York:Harper and Row, 1957, xii, xli.
[25]
Karl Marx, Early Writing, Quinton Hoare, ed.; Gregor Benton and Rodney
Livingston, trs. New York: Random House, 1975, 1:378.
[26]
Sebagaimana dikutip oleh Nancy S.Love, dalam Nancy S.Love, Marx, Nietzsche,
and Modernity, 124.
[27]
Huston Smith, Beyond The Post-Modern Mind, 8
[28]
Akbar S.Ahmed, Postmodernisme and Islam, 27.
[29]
P. Rabinow, Harmonsworth, ed. “The Foucoult Reader”, Penguin, 1984, seperti
dikutip oleh David Owen, dalam Maturity and Modernity, London,
Routledge, 1994, 200.
[30] Nietzsche,
Friedrich, Beyond Good and Evil, trans. by R.J.Hollingdale, London, Penguin
Classic, 1972, 62.
[31]
Nietzche, Friedrich, The Will To Power, 86-87.
[32] Cuplikan
pernyataannya adalah sbb:“The Christian way of life is no more a fantasy than
the Buddhist way of life: it is a means to being happy“ Ibid, 98.
[33] Pernyatannya
penuh sbb: “Christianity is still possible at any time”, but it does not
necessarily rely on dogma, require neither the doctrine of personal God nor
that of immortality, nor that of redemption, nor that of faith and it has
absolutely no need of metaphysics. Ibid, 124-125.
[34]
John D.Caputo, “Heidegger and Theology”, dalam Charles B.Guignon ed. The
Cambridge Companion to Heiddeger, (Cambridge, Cambridge University Press,
1993), 285
[35]
Engelmann, Paul, “Letter from Ludwig Wittgenstein with a Memoir”, ed.
B.F.McGuinness, diterjemahkan oleh Lfurtmuller, Oxford, Blackwell, 77. Cf.
Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, ed. Peter
Winch, Ithaca, Cornell University Press,
1994, 9.
[36]
L.Wittgenstein, “Notebooks 1914-1916” ,
edisi ke 2, ed. G.H.von Wright and G.E. M.Anscombe, diterjemahkan oleh G.E.
M.Anscombe, Oxford, Blackwell, 1979, 74,
dikutip dalam Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of
View, 10.
[37]
L. Wittgenstein, Lecture and Conversation on Aesthetics, Psychology and
Religious Belief, ed. C.Barret, (Oxford, Blackwell, 1966), 56.
[38]
Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 11.
[39] Wittgenstein’s
Vermischte Bemerkungen, 85-6, dikutip dari Norman Malcolm, Wittgenstein:
A Religious Point of View, 19
[40] Rush
Rhees (ed) “Ludwig Wittgenstein’s Personal Collections”, 129, dikutip dari
by Norman Malcolm, Wittgenstein: A Religious Point of View, 20.
[41]
Louis Dupre, “Truth in Religion and Truth of Religion” dalam Daniel Guerriere
(ed), Phenomenology of the Truth Proper to Religion, New York, SUNY,
1990, 19, 28.
[42]
Nietzsche, Will to Power, 249-255.
[43]
Martin Heidegger, “On The Essence of Truth” diterjemahkan oleh John Sallis, dalam
Basic Writings, ed.David F.Krell (New York: Harper & Row, 1976)
129-33. Juga lihat dalam Magda King, Heidegger’s Philosophy, New York,
The Macmillan Company, 1964, 148-49. Cf. Ernst Tugendhat, “Heiddeger’s Idea of
Truth”, dalam Christopher Macann (ed), Martin Heidegger, vol.III:Language, London,
Routledge, , 1992, 80.
[44]
Huston Smith, Beyond The Post-modern Mind, 233.
[45] David Harvey, The Condition of
Postmodernity, 41.