Jumat, 26 April 2013

Kajian Orientalis Terhadap al-Quran (Kajian Singkat)


Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggeris, mengumumkan bahwa :"Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur'an sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Koran to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)." Mengapa Misionaris satu ini menyerukan hal demikian..??
 
Seruan semacam ini dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur'an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendikiawan Kristen sudah lama meragukan autentisitas Bibel. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias `aspal'. Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland :"Until the beginning of the fourth century, the text of the New Testament developed freely…Even for later scribes, for example, the parallel passages of the Gospel were so familiar that they would adapt the text of the one Gospel to that of another. They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more substantively." 
 
St. Jerome juga dikatakan mengeluh soal banyaknya penulis Bibel yang "wrote down not what they find but what they think is the meaning; and while they attempt to rectify the errors of others, they merely expose their own." Kecewa dengan kenyataan semacam itu, R. Bentley, Master of Trinity College pada tahun 1720 menghimbau umat Kristen agar mencampakkan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru versi Paus Clement 1592 (…the `textus receptus' to be abandoned altogether..!). Seruan tersebut dilanjutkan dengan munculnya `edisi kritis' Perjanjian Baru hasil `utak-atik' Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892).
 
Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan imbauan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum itu, tepatnya  pada 1834 di Leipzig, seorang Orientalis Jerman bernama Gustav Fluegel menerbitkan `mushaf' hasil kajian filologinya. Naskah yang ia namakan Corani Textus Arabicus tersebut sempat dipakai `tadarrus'  oleh sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Kemudian datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksikan sejarah Al-Qur'an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal. Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin merekonstruksi al-Mushaf al-Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University, Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University  ini,  konon merekonstruksi teks Al-Qur'an berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistaani, yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (yang ia istilahkan dengan `rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzi yang pernah bertungkus-lumus (bekerja-keras) mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Qur'an dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Qur'an (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-2 berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di-echo-kan oleh taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira'at-qira'at pinggiran alias `nyeleneh' (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh. Bagi para Orientalis ini. `isnad' tidak penting dan, karena itu, riwayat yang `shaadh' bisa saja dianggap `sahih', yang `ahad' dan `gharib' bisa saja menjadi `mutawaatir' dan `mashhuur', dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Yang demikian ini merupakan teknik dan strategi utama mereka menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan yang fundamental dan menonjolkan yang `trivial'.
 
Maka yang digembar-gemborkan adalah isu naasikh-mansuukh, soal adanya surat tambahan versi Shi'ah, isu `Ghanaariq' dan lain sebagainya. Ada pula yang apriori mau merombak susunan ayat dan surah Al-Qur'an secara kronologis, mau `mengkoreksi' bahasa Al-Qur'an ataupun ingin mengubah redaksi ayat-ayat tertentu. Kajian Orientalis terhadap Al-Qur'an tidak sebatas mempersoalkan autentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain sebagainya terhadap Islam dan isi kandungan Al-Qur'an (theories of borrowing and influence), baik yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi `teori pinjaman dan pengaruh' tersebut seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall dan lain-lain), maupun yang membandingkannya dengan adat istiadat Jahiliyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Qur'an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.
 
Sikap anti Islam tersebut tersimpul dalam pernyataan `miring' seorang Orientalis Inggeris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson:"Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Qur'an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisiting of legends from the Haggada and Apocrypha". Namun ibarat buih, segala usaha mereka muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil mengubah keyakinan dan penghormatan mayoritas umat Islam terhadap kitab suci Al-Qur'an, apalagi sampai membuat mereka murtad.
 
II. Kesalahan dan Khayalan Orientalis
 
Al-Qur'an merupakan target utama serangan Misionaris dan Orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah sallalaahu `alaihi wa-sallam. Mereka mempertanyakan status kenabian Muhammad sallalaahu `alaihi wa-sallam, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari sekedar legenda dan cerita fiktif. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan konco-konconya. Karena itu mereka sibuk untuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad sallalaahu `alaihi wa-sallam khususnya, dan sejarah umat Islam umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi `Isa alaihis salam (a.s). Bagi mereka `Moses' cuma tokoh fiktif (invented, mythical figure) dalam dongeng Bible, sementara tokoh `Jesus' masih diliputi misteri dan cerita-cerita isapan jempol.
 
Kalau ada upaya pencarian `Jesus historis', mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah tentang Nabi Muhammad sallalaahu `alaihi wa-sallam ? Maka Arthur Jeffery pun menulis The Quest of the Historical Mohammad, dimana tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad sallalaahu `alaihi wa-sallam sebagai `kepala perampok' (robber chief). Diteruskan kemudian oleh F.E. Peters, dan belum lama ini oleh orang dengan nama samaran `Ibn Warraq'. Misionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan hati) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat :"The studies carried out in the west….have demonstrated only one thing; the anti-Muslim prejudice of their authors". Sikap semacam itu juga tampak dalam kajian mereka terhadap hadist. Mereka menyamakan sunnah dengan tradisi apocrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi.
 
Dalam khayalan mereka teori evolusi juga berlaku untuk hadist; mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadist muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad sallalaahu `alaihi wa-sallam wafat, artinya bahwa hadist mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadist secara sistematis (isnad), menurut mereka baru muncul pada zaman al-Daulah al-Abaasiyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadist hanya sedikit saja yang autentik sementara sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook dan para pengikutnya. Orientalis-misionaris ini inginkan umat Islam membuang tuntutan Rasulullah sallalaahu `alaihi wa-sallam sebagaimana orang Krsiten meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Yesus.
 
III. Autentisitas Al-Qur'an
 
Kembali ke masalah autentisitas kitab suci Al-Qur'an, ada beberapa hal yang perlu di garis-bawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, pada prinsipnya Al-Qur'an bukanlah `tulisan' (rasm atau writing) tetapi merupakan `bacaan (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun (pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan (transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Dari dahulu, yang dimaksud dengan `membaca' Al-Qur'an adalah `membaca dari ingatan' (qara'a `an zhahri qalbin; to recite from memory). Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an dicatat - yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun dan lain sebagainya – berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qaari/muqri. Proses transmisi semacam ini dilakukan dengan isnad yang mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibril a.s kepada Nabi sallalaahu `alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini. Ini berbeda dengan kasus Bible, dimana tulisan – manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll dan sebagainya – memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.
 
Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran Orientalis bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrought dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Qur'an sebagai `dokumen tertulis' atau teks, bukan sebagai `hafalan yang dibaca' atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking the Qur'an as text) mereka lantas mau menerapkan metode-meode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur'an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekeliling mereka. Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti) dan karena itu mereka lantas membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, maupun membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada. Bahwa mereka menyamakan Al-Qur'an dengan Bible diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig :"Bercermin dari [sejarah Kristen], dimana ajaran dan riwayat hidup Yesus dibentuk secara kerygmatis dan dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Yesus sejarah [yang sesungguhnya] nyaris mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kasus ini] boleh jadi tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad sallalaahu `alaihi wa-sallam-pun [yakni Al-Qur'an dan hadist] melalui proses serupa".
 
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Qur'an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Hingga wafatnya Rasulullah sallalaahu `alaihi wa-sallam hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para sahabat nabi, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purpose only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) dipinggir ataupun disela-sela ayat yang mereka tulis.. Baru kemudian, menyusul susutnya jumlah penghafal Al-Qur'an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam')-pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a hingga Al-Qur'an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawaatir dari Nabi sallalaahu `alaihi wa-sallam. 
 
Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira'at yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standard yang masing-masing mengandung qira'at mtawaatirah yang disepakati keshahihan periwayatannya dari Nabi sallalaahu `alaihi wa-sallam. Jadi sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya. Para Orientalis yang ingin mengutak-atik Al-Qur'an biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9M. Jeffery, misalnya seenaknya berkata :"That he [i.e Abu Bakr r.a] ever made an official recension as the orthodox theory demands is exceedingly doubtful". Ia juga mengklaim bahwa :"the text with Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text". Disini kelihatan Jeffery tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur'an tidak sama dengan Bible; Al-Qur'an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya; manuskrip lahir dari Al-Qur'an.
 
Ketiga, Salah paham tentang rasm dan qira'at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur'an ditulis `gundul', tanpa tanda baca sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Uthmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum muslimin saat itu belajar Al-Qur'an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Jadi, Orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah paham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings sebagaimana terjadi dalam Bible serta keliru menyamakan qira'at dengan `readings', padahal qira'at adalah recitation from memory dan bukan reading the text. Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaidahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallalaahu `alaihi wa-sallam dan bukan sebaliknya.
 
Orientalis juga salah paham mengenai rasm Al-Qur'an. Dalam bayangan keliru mereka, munculnya bermacam-macam qira'at disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca `sesuka-hatinya'. Padahal ragam qira'at telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur'an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung berbagai qira'at yang diterima. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Sha'ban Muhammad Ismail dari Universitas Al-Azhar, Cairo, jumlah qira'at yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mushaf Uthmani, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata. Dari sini jelas, masahif yang dikirim oleh Khalifah Uthmani r.a ke berbagai kota itu beragam rasm-nya, sesuai dengan bacaan Sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung kepada teks. Dan memang, qira'at Sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama. Boleh saja seorang imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya : Imam Hafs di Kufah membaca QS az-Zukhruf:71 'tashtahiihi al-anfus' (dengan dua ha) seperti tertera dalam mushaf Madinah dan Syam, padahal dalam mushaf Kufah tertulis dengan satu ha (tashtahii). hal ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira'at adalah sesuai dengan salah satu rasm al-Mushaf al-Uthmani. Sebaliknya, jika suatu qira'at tidak tercatat dalam salah satu al-Mushaf al-Uthmani, qira'at tersebut dianggap `shadh' dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan rasm yang disepakati, rasm 
yang telah menampung semua qira'at yang mutawaatir. Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para Orientalis semacam Bellamy, Puin, Luxenberg wa man tabi'ahum sudah pasti a fortiori ditolak.
 
IV. Kasus Luxenberg dan Bukunya
 
Misionaris-orientalis ibarat `zombie', patah tumbuh hilang berganti menyerang Islam. Baru-baru ini muncul lagi seorang dengan nama samaran `Christoph Luxenberg'. Ia mengklaim bahwa Al-Qur'an hanya bisa dimengerti kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa Aramaic dengan dialek Syriac). Dalam bukunya yang berjudul "Cara membaca Al-Qur'an dengan bahasa Syro-aramaic; Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Al-Qur'an (Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache) itu, Luxenberg dengan nekad mengklaim bahwa (1) bahasa Al-Qur'an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, menurut dia, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit dipahami (in einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde) kecuali dengan merujuk pada bahasa Syro-aramaic yang konon merupakan bahasa lingua franca pada masa itu, (2) bukan hanya kosakatanya berasal dari Syro-aramaic, bahkan isi ajarannya-pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen Syria (Peshitta), (3) Al-Qur'an yang ada tidak autentik, perlu ditinjau kembali dan diedit ulang (Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes ist eine kritische Edition… sicherlich wuenschenwert). Disini tampak bagaimana Orientalis-misionaris mengklaim tahu tentang Al-Qur'an dan `ngotot' meskipun sudah jelas keliru dan sesat. Juga tampak bagaimana mereka membentuk suatu jaringan untuk saling menyokong dan mendukung satu sama lain.
 
Untuk meyakinkan para pembaca bukunya, Luxenberg menyebut sejumlah contoh. Menurut dia, kata `qaswarah' dalam QS 74:51 mestinya dibaca `qasuurah', lalu kata `sayyi'at' QS 4:18, dibaca `saniyya' dari bahasa Syria `sanyata', juga kata `aadhannaaka' QS 41:47 harusnya dibaca `idh-dhaka. Yang lebih parah lagi, ia mengutak-utik surat al-`Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya, seperti mana surat al-Fatehah, diklaim diambil dari liturgi Kristen-Syria tentang jamuan makan malam terakhir Yesus. Perlu diketahui bahwa yang dilakukan Luxenberg sebenarnya bukan baru. Jauh sebelum dia, Mingana telah mengorek-ngorek isu ini, diikuti oleh Jeffery dan Spitaler.
 
Tidak sulit untuk membantah dan menolak Luxenberg, sebab seluruh uraiannya dibangun atas asumsi-asumsi yang keliru. Pertama, ia mengira bahwa Al-Qur'an dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga dia boleh seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan. Kedua, ia menganggap bahwa tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai patokan, sehingga suatu bacaan harus disesuaikan dengan dan mengacu kepada teks. Ketiga, ia menyamakan Al-Qur'an dengan Bible, dimana pembaca boleh mengubah dan mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sulit untuk dipahami. Ketiga asumsi ini dijadikan titik-tolak dan fondasi argumen-argumennya taken for granted tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya. Apakah benar bacaan Al-Qur'an bergantung pada rasm-nya..? Apakah benar bahwa teks adalah segalanya..?? dan apakah benar bahwa Al-Qur'an sama dengan Bible..?? Luxenberg harus menjawab dulu pertanyaan-pertanyaan ini secara ilmiah sebelum membicarakan yang lain.
 
Epilogu
 
"Kenalilah musuhmu!", merupakan motto sekaligus senjata Orientalis-misionaris Yahudi-Kristen dibalik semua kegiatan dan kegigihan mereka dalam mengkaji Islam dan seluk-beluknya dari segala aspek. Adalah `naُve' kalau kita, umat Islam, bersangka baik terhadap orang yang `tidak akan pernah ridha' pada kita dan senantiasa memusuhi kita. Adalah tidak bijak kalau kita menelan mentah-mentah apa yang mereka katakan atau mereka tulis. Lebih naif lagi, kalau kita membeo dan ikut-ikutan, apalagi melakukan apa yang mereka suruh, seperti merendahkan Rasulullah sallalaahu `alaihi wa-sallam, menjelek-jelekan para sahabat dan tabi'in, meremehkan para ulama salaf, meragukan otoritas dan otentisitas tradisi keimuan Islam, lalu dengan arogan mau membuat edisi kritis Al-Qur'an, menolak hadist secara total (inkarsunnah), membuat tafsir dan hukum tanpa metode yang bertanggung-jawab serta jauh dari pedoman Al-Qur'an.
 
Tulisan dari : Dr. Syamsuddin Arif, dari Majalah AL-INSAN `Jurnal 
kajian Islam, Vol 1 No.1 Januari 2005.
(Dikutip dengan menghilangkan beberapa tulisan yang bersifat 
Terlalu teknis dan catatan kakinya).

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...