Senin, 02 Januari 2012

Konsep Ilmu Dalam Islam

Oleh: Irwan Malik Marpaung

Abstrak
Ilmu sebagaimana akan kita uraikan nanti, merupakan system pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang didukung oleh rasio dan intuisi. Dengan proses nadzar dan fikr, rasio akan dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik kesimpulan. Dalam worldview Islam, ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwah. Tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi ilmu juga merupakan suatu metodologi. Dimana metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq. Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara buta. Sikap ini tentu saja menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya identitas. Maka, upaya menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang genuine.

A. Prolog
Ilmu dan derivasinya muncul berulang kali dalam al-Quran dan menempati posisi kedua setelah kata tauhid. Dalam shahih Bukhari, bab ilmu (kitab al-`ilm) disandingkan dengan bab iman (Kitab al-iman). Hal ini menunjukkan betapa konsep terpenting dan komprehensif yang terkandung dalam al-Qur`an dan as-Sunnah adalah ilmu (`ilm) setelah iman. Signifikansi ini dapat dilihat dari fakta lima ayat pertama yang diturunkan dalam al-Qur`an, serta puluhan hadith nabi yang menegaskan wajibnya mencari ilmu. Senada dengan hal ini, Franz Rosental mengungkapkan bahwa di dalam Islam ilmu menempati posisi yang tidak ada padanannya dalam peradaban atau agama lain.

Namun seiring berjalannya waktu, hegemoni dan kolonialisme menyebabkan umat Islam cenderung meniru dan mengadopsi konsep ilmu pengetahuan Barat secara buta. Kecenderungan sikap imitative ini menyebabkan kebingungan (confusition) yang berlanjut pada hilangnya identitas. Dengan demikian, upaya membangkitkan kembali konsep ilmu dalam Islam, urgen dan krusial. Tentu saja dengan menggali dan mengembangkan konsep ilmu dalam al-Qur`an dapat dijadikan landasan bagi upaya merumuskan kerangka integrasi ilmu pengetahuan yang genuine.

Berangkat dari pemikiran ini, makalah ini mencoba mendeskripsikan konsep ilmu dalam Islam sesuai dengan al-Qur`an dan as-Sunnah. Berikut akan dikemukakan defenisi ilmu, ilmu dan kaitannya dengan pandangan hidup (worldview) , sumber, metode, klasifikasi dan tujuan memperoleh ilmu dalam Islam.

B. Defenisi Ilmu
Secara etimologis, kata `ilmu berasal dari bahasa Arab al-`ilm yang berarti mengetahui hakekat sesuatu dengan sebenar-benarnya. Badr al-Din al-‘Aini mendefinisikan, bahwa ilmu secara bahasa merupakan bentuk masdar dari pecahan kata kerja ‘alima yang berarti tahu; meskipun demikian, tambahnya, kata ilmu berbeda dengan kata ma’rifah. Kata ma’rifah memiliki makna yang lebih sempit dan spesifik, sementara ilmu mempunyai makna yang lebih umum.

Tidak sedikit upaya yang telah dilakukan para pemikir Muslim terdahulu untuk mendefinisikan kata ilmu. berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli teolog dan ahli hukum, filsuf dan linguists. Yang pertama menurut al-Raghip al-Ishfahani (443/1060). Dalam Mufradat Alfaz al-Qur’annya, ilmu didefinisikan sebagai "Persepsi akan realitas sesuatu" (al-ilmu idrak al-shay’ bi-haqiqatihi) Ini berarti bahwa hanya memahami kualitas (misalnya bentuk, ukuran, berat, volume, warna, dan properti lainnya) dari suatu hal bukan merupakan ilmu. Definisi ini didasari pandangan filosofis bahwa setiap substansi terdiri dari esensi dan eksistensi. Esensi adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu itu, sesuatu itu akan tetap dan sama sebelum, selama, maupun setelah perubahan. Artinya, ilmu adalah semua yang berkenaan dengan realitas abadi itu.

Definisi kedua diajukan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali (w. 505/1111) yang menggambarkan ilmu sebagai “pengetahuan akan sesuatu sebagaimana adanya” (ma‘rifat al-shay’ ‘ala mahuwa bihi) : Pada definisi ini, untuk mengetahui sesuatu adalah dengan mengenali sesuatu sebagaimana ia. Artinya, ilmu adalah pengakuan, merupakan keadaan pikiran-yaitu, suatu kondisi dimana sebuah objek tidak lagi asing bagi seseorang sejak objek itu diakui oleh pikiran seseorang. Pemaknaan ini tentu tidak seperti istilah idrak (digunakan dalam definisi al-Ishfahani) yang tidak hanya menyiratkan aktivitas olah fikir atau perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi juga menunjukkan bahwa pengetahuan datang ke dalam pikiran seseorang dari luar, dalam definisi Imam al-Ghazali istilah ma'rifah menyiratkan fakta bahwa ilmu selalu merupakan jenis penemuan makna pada diri subjek akan suatu objek. Pada pemaknaan ini; firasat, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos, dan sejenisnya tidak bisa dikatakan sebagai ilmu.

Definisi lain ditawarkan oleh pemikir yang dikenal sebagai ahli logika Atsir al-Din al-Abhari (d. 663/1264). Ilmu, ia tegaskan adalah sampainya gambar maupun abstraksi dari suatu hal dalam akal subjek (حصول صورة الشيئ في العقل) . Konon definisi ini berasal dari Ibnu Sina (w. 428/1037) pemaknaan ini menjelaskan bahwa upaya mengetahui suatu objek adalah membentuk ide tentang objek tersebut, untuk memiliki gambar hal ini diwakili dalam pikiran. Dengan kata lain, upaya mengetahui adalah konseptualisasi. Pengetahuan adalah representasi atau konsepsi dari hal yang dikenal.

Al-Sharif Al-Jurjani (w. 816/1413) dalam at-Ta’rifatnya mendefinisikan ilmu sebagai sampainya pikiran pada makna dari suatu objek. Definisi al-Jurjani dan definisi yang dikemukakan Ibnu Sina dan al-Abhari selanjutnya dipadukan oleh Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam monografnya yang berjudul The Concept of Education in Islam. Menurut al-Attas, definisi terbaik atas ilmu adalah 'sampainya makna dalam jiwa serta sampainya jiwa pada makna' العلم هو حصول معني الشيئ في النفس و حصول النفس إلي معني الشيئ)) Satu hal yang jelas dalam definisi ini; ilmu adalah tentang makna. Objek apapun, fakta maupun suatu peristiwa dikatakan diketahui seseorang jika bermakna baginya. Dengan demikian, dalam proses kognisi, pikiran tidak sekedar penerima pasif, tetapi ia aktif dalam arti mempersiapkan diri untuk menerima apa yang ia ingin terima (mengolah dan menyeleksi makna yang diterima secara sadar).
Dari sekian defenisi yang dikemukan, tampak bahwa sebenarnya untuk mendefinisikan ilmu bukanlah hal yang mudah. Definisi ilmu telah jadi bahan perdebatan yang melibatkan tidak sedikit dari pemikir Muslim. Namun fakta tersebut mengukuhkan betapa dalam peradaban Islam, ilmu mendapat perhatian yang tiada bandingannya dalam peradaban lain.

C. Ilmu dan Pandangan Hidup (worldview)
Setiap masyarakat dalam kehidupannya senantiasa dipenuhi oleh nilai-nilai, aturan-aturan, dan sistem kepercayaan yang mampu membentuk pola berfikir dan berperilaku para anggotanya. Dalam kehidupan sosial, biasanya seperangkat nilai, aturan, dan kepercayaan itu akan teralirkan dari satu generasi ke generasi melalui suatu proses sosialisasi yang pada akhirnya membentuk suatu tradisi di tengah masyarakat. Itu sebabnya, sebagai suatu konsep sosio-logis, tradisi biasa diartikan meliputi worldview yang terkait dengan nilai-nilai, aturan-aturan, sistem kepercayaan, dan pola berfikir masyarakat dalam keseluruhan tata cara hidupnya.

Masyarakat muslim adalah suatu kelompok masyarakat yang dikenal memiliki akar-akar tradisi yang kokoh, karena Islam yang mereka peluk menjadi bagian dari mata rantai sistem kepercayaan universal yang telah ada -mungkin- ratusan abad sebelumnya, sejak masa Nabi Adam. Pandangan ini didasarkan pada penegasan berbagai surat di dalam al-Qur’an, bahwa para nabi dan rasul terdahulu mewariskan paham Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) kepada umatnya masing-masing sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkannya pada umat Islam. Kokohnya akar tradisi ini juga dikarenakan al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang Islam agar menjadikan tawhid sebagai titik temu ‘kalimah sawa’ dan pandangan hidup bersama di antara sesama agama samawi. Dengan kata lain, Tuhan menegaskan kepada umat Islam agar terus menghidupkan tauhid itu sebagai akar-akar tradisinya, yang menjadi sumber nilai, aturan, norma, dan landasan kepercayaan hidup di berbagai fase sejarah dan dalam sistuasi sosio-kultural apapun.
Berangkat dari makna ilmu sebagaimana didefinisikan oleh al-Attas, jelas bahwa dalam worldview Islam ilmu berkaitan erat dengan iman, ‘aql, qalb, dan taqwah. Ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu metodologi. Dimana metodologi yang haq tentu tidak akan bertentangan dengan yang haq.

D. Sumber Ilmu dan Metode Memperoleh Ilmu
Sumber ilmu adalah bahasan fundamental dalam bahasan epistemology. Dari mana kita mendapatkan pengetahuan? Adakah suatu sumber ilmu? Dalam hal ini, tidak sedikit ditemukan ayat-ayat dalam al-Quran yang mengisyaratkan bahwa realitas (tampak maupun tidak ) bisa menjadi sumber ilmu. Walau dalam kedudukannya, realitas sebagai sumber ilmu berada setelah Allah dan wahyu. Dalam surat al-ghasiyah misalnya, terdapat isyarat bahwa realitas fisik, jika diteliti akan menyampaikan informasi yang bisa dikembangkan jadi sebuah ilmu bagi penelitinya. Atau dengan kata lain, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa dalam proses pencapaian ilmu dibutuhkan proses penalaran yang melibatkan rasio. Senada dengan hal ini, Imam al-Bazdawiy menyatakan (cara manusia mengetahui sesuatu itu) ada tiga; Perspektif indera, reportase (khabar) dan Pembuktian (akal/rasio).

Al-Attas menyatakan ilmu dapat diperoleh melalui empat jalan. (1), Panca indera yang sehat (sound senses). Panca indera kemudian dibagi menjadi dua, yakni eksternal dan internal. (2), Khabar yang benar dan otoritatif (authoritative true reports). Di sini, khabar tersebut di bagi menjadi dua, yakni mutlak (absolute authority) yang meliputi otoritas ketuhanan yang berasal dari Al-Qur’an dan otoritas kenabian yang berasal dari Rasulullah. Sedangkan yang nisbi (relative authority) meliputi kesepakatan ulama dan khabar dari orang terpercaya secara umum. (3) Akal yang sehat (sound reason). (4), Ilham (intuition).

Dengan demikian ilmu dari Allah yang sampai pada manusia melalui empat jalan di atas, ditanggapi oleh akal sebagai realitas ruhani dalam kalbu manusia sekaligus yang mengendalikan proses kognitif manusia. Melalui kalbu, jiwa rasional (an-nafsu an-natiqah) bisa membedakan antara kebenaran (al-haq) dari kesalahan (al-bathil). Akal dalam arti kata ratio atau reason tidak berlawanan dengan intuisi (wijdan). Artinya, dalam hal ini, akal dan intuisi saling berkaitan dan bersatu melalui intelek (intellect).

E. Klasifikasi Ilmu
Berangkat dari keterbatasan potensi yang dimiliki rasio. Dalam proses pencariannya dibutuhkan pembatasan-pembatasan yang berkaitan dengan ilmu itu sendiri. Pembatasan-pembatasan ini kita sebut sebagai klasifikasi ilmu. Pengklasifikasin ini bisa berdasarkan sifat absoluditasnya ilmu, objek yang diteliti, metode ilmu itu dihasilkan ataupun subjek dari objek ilmu itu sendiri. Menurut Imam al-Baqillani ilmu makhluk (yakni pengetahuan manusia) itu ada dua jenis; Pengetahuan yang bersifat pasti dan pengetahuan yang diperoleh melalui nalar akal. Pengetahuan yang bersifat pasti itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan pengetahuan khabar/laporan mutawatir lebih lanjut Imam Ibnu Jawziy mengklasifikasikan ilmu dalam tiga macam. Ilmu pasti yang diperoleh secara a prioriy atau intuitif maupun secara diskursif, Ilmu yang didapat melalui panca indera, dan Ilmu yang diperoleh lewat berita, secara mutawatir maupun perorangan.

Abu Hamid Al-Ghazali membagi ilmu menjadi empat sistem klasifikasi yang berbeda: pertama, berdasarkan pembedaan antara intelek teoretis dan intelek praktis, yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis. Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan huduri dan pengetahuan husuli yang didasarkan atas perbedaan tentang cara-cara mengetahui. Pengetahuan huduri terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama (syari`ah) dan intelektual (`aqli,yah, gayr al-syari`ah), yang didasarkan atas pembedaan sumber wahyu dan sumber akal. Keempat, pembagian ilmu-¬ilmu menjadi fardlu ain dan fardlu kifayah, didasarkan atas perbedaan hukum keharusan dalam pencarian ilmu.

“Ilmu nonagama” masih bisa diklasifikasikan kepada ilmu yang terpuji (mahmud), dibolehkan (mubah) dan tercela (madzmum). Sebagai contoh: ilmu sejarah bisa dikategorikan ilmu mubah; sihir dikategorikan “ilmu” tercela. Ilmu-ilmu terpuji, yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, bisa dikategorikan wajib kifayah. Misalnya; Ilmu tentang obat, matematika, politik dan kerajinan-kerajin¬an yang diperlukan oleh masyarakat.

Al-Ghazali mengklasifikasikan "ilmu agama" dalam dua kelompok: terpuji (mahmud) dan tercela (madzmum). Yang dimaksud dengan "ilmu agama tercela" adalah ilmu yang tampaknya diarahkan kepada syariah, tapi nyatanya menyimpang dari ajaran-ajarannya. Sedangkan "ilmu agama terpuji" dan dikategorikan wajib kifayah, dibagi dalam empat kelompok: pertama; Ilmu Ushul (dasar-dasar; yaitu: Al-Quran, Al-Sunnah, ijma' atau konsensus dan tradisi [kebiasaan] para sahabat Nabi). Kedua; Furu`(masalah-masalah sekunder atau cabang; yaitu: masalah-masalah fiqih, etika, dan pengalaman mistik. Ketiga; Studi-studi pengantar (qaidah, sharaf, bahasa Arab, dan lain¬-lain). Keempat; Studi-studi pelengkap (membaca dan menerjemahkan Al-¬Quran, mempelajari prinsip-prinsip fiqih, `ilm al--rijal atau penyelidikan biografi para perawi hadis-hadis, dan lain-¬lain). Dalam hal ini, Al-Ghazali memandang ilmu yang tercakup di dalam empat ke-lompok di atas sebagai wajib kifayah.

Konsep klasifikasi ilmu yang telah dikemukakan baik oleh Imam al-Baqillani, Ibnu Jawziy maupun al-Ghazali diatas dapat dinilai sebagai pendapat yang saling menguatkan dan melengkapi. Kesemua pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan pandangan hidup Islam (worldview Islam), dan sejalan dengan epistemologi Islam. Ini tentu secara tegas berbeda dengan Barat, yang tidak melibatkan Tuhan dalam kelahiran, proses dan arah pengembangan ilmunya. Ilmu yang dikonsepsikan insan bertauhidy tentunya akan melahirkan hasil maupun karya yang sejalan dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai contoh; peneliti biologi yang bertauhidi tentunya tidak akan membenarkan teori evolusi sebagaimana dirumuskan oleh Darwin. Dan satu hal terpenting, berbeda dengan peradaban lain, dalam Islam memperoleh Ilmu adalah upaya sesempurna mungkin untuk memanfaatkan potensi diri. Hal tersebut dilakukan demi mendapatkan derajat yang tinggi dihadapan Sang Khaliq.

F. Epilog
Dari uraian diatas, dapat kita simpulkan betapa Islam sebagai peradaban sangat menaruh perhatian besar pada ilmu. Baik pemaknaan, sumber dan klasifikasinya diwarnai oleh pandangan akan hadirnya Tuhan dalam setiap proses kehidupan manusia. Ilmu sebagaimana diuraikan diatas merupakan system pemaknaan akan realitas dan kebenaran, bersumber pada wahyu yang didukung oleh rasio dan intuisi. Olah rasio tersebut meliputi nalar (nadzar) dan alur fikir (fikr). Dengan proses tersebut akal akan dapat berartikulasi, menyusun proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, membuat analogi, membuat keputusan, serta menarik kesimpulan. Sebagai instrumen penuntun manusia, ilmu memungkinkan manusia untuk mengetahui (‘ilm), mengenal (ma‘rifah), memilih (ikhtiyar), memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) atas segala sesuatu. Wa Allah al-Hadi Ila al-Shawab.


Daftar Pustaka
A. Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (Islamabad, 1970)
Abd al-Rahman Badawi, Mu’allafat al-Ghazali (Kuwait: Wakalat al-Matbu‘at, 1977).
Abdul Hamid Rajih al-Kurdi, Nazariah al-ma`rifah bain al-Qur`an wa al-Falsafah, Riyadh, Makrabah Muayyad wa al-Ma`had al-`Ali li al-Fikr al-Islami, al-Mamlakah al-`Arabiyah al-Su`udiyah
Abi ‘Abdillah al-Bukhari. Sahih Bukhari. Hadits ke 77
Al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Safwan ‘A. Dawudi (Damascus: Dar al-Qalam, 1412/1992)
Dr Syamsuddin Arif, Defining and Mapping Knowledge In Islam, dalam makalah yang disampaikan pada seminar Pascasarjana di ISID
Fazlurrahman, Major Thems of The Qur`an, Minneapolis: Bibliotheca Islamica, 1994,
Franz Rosental, Knowledge Triumphat: The Concept of Knowledge in Medieval Islam, Leiden: E.J.Brill, 1970
Imam al-Ghazali, Freedom and Fulfillment: An Annotated Translation of al-Munqidz min al-dhalal and Other Relevant Works of al-Ghazali, terj. R.J. McCarthy, Boston, 1980
Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/1999), Jilid I
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Muhashal Al-Afkar Al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin, Al-Mathba’ah Al-Husayniyyah, Kairo
Majma` al-Lughah al-Arabiyah, Mu`jam al-Wasith, Istanbul: Dar al-Da`wah, 1990 Badr al-Dîn al-‘Aini. ‘Umdah al-Qârî. Juz 2, (Bairut: Dar al-Fikr). Tth.
Maulana Muhammad Ali, A Manual of Hadith, London: Curzon, 1977
Mehdi Goslani, The Holy Qur`an and Science of Nature, Teheran; Islamic Propagation organization, 1984
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, cetakan pertama, Gema Insani Press, Jakarta: 2008
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, A Commentary on The Hujjat Al-Siddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, The Ministry of Culture, Malaysia: 1986, h. 31.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework for An Islamic Philosophy of Education, ISTAC, Kuala Lumpur: 1991, h. 14.
Wan Muhammad Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam: its Implications for Education In Developing Country
Yasien Mohammed, The Path to Virtue (Kuala Lumpur: ISTAC, 2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...