Revolution |
Pembaruan menjadi kata kunci yang selalu diperdebatkan,
dipasarkan, dan dikampanyekan oleh segenap pemikir muslim dalam mengemukakan
pemikirannya. Pembaruan (tajdīd)
kadang diperdebatkan pada tataran definisi maupun aplikasi. Busthami M. Sa’id
dalam karyanya Mafhūm Tajdīd al-Dīn
misalnya, ia menjelaskan bahwa tajdīd merupakan
penghidupan dan pembentukan kembali.[1]
Artinya, tajdīd bisa mengandung tiga
arti yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pertama, bahwa
sesuatu yang diperbaharui tersebut telah ada permulaannya dan dikenal banyak
orang. Kedua, bahwa sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian
usang dan rusak. Ketiga, sesuatu itu telah dikembalikan kepada keadaan
semula sebelum usang dan rusak.[2]
Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan
dan kemurnian Islam kembali sebagaimana keadaannya pada masa salaf pertama (i’Édah al-dīn ilÉ mÉ kÉna ‘alaihi ‘ahd
al-salaf al-shalih).[3]
[1]
Busthami M. Sa’id, Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, terj. Mahsun
al-Mundzir, (Gontor: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1992), h. 8, 13
[2]
Ibid, h. 3
[3]
Pengertian ini merupakan kutipan Busthami dari pengertian yang dilontarkan Sahl
al-Sha’luki (w. 387 H). Lihat::
Busthami M. Said, Pembaharu
dan Pembaharuan Dalam Islam,
h. 13. Pengertian Busthami tersebut
dikuatkan oleh penjelasan Thahir ibn ‘Asyur yang mengatakan bahwa pembaharuan
agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia.
Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang
benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya
dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan
kekuasaan agama. (Lihat: Muhammad al-Thahir Ibnu ‘Asyur, TahqīqÉt
wa AnzhÉr fi al-Qur’Én wa al-Sunnah, (Tunisia: al-Syarikah al-Tunisiyah), t.th., h. 112-113)
Untuk pembahasan lebih lanjut, klik disini (arabic article by; Dr. Ahmad Khairy Amry)