Oleh: Irwan
Malik Marpaung
Abstrak
Dengan perspektif sejarah antropologis, nabi disebut
Arkoun sebagai production of great men dan menolak segala bentuk
keterlibatan Tuhan dalam setiap sejarah. Dengan kajiannya, ia berharap bisa
membebaskan umat Islam dari belenggu doktrinitas yang telah berlaku sejak
meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Arkoun dengan proyek kritik nalar Islamnya hendak
menggiring sejarah Islam pada fase pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Menempatkan agama sebagai pengetahuan yang bersifat mitos dan ia berada di
pihak pengetahuan yang bersifat rasional. ia ingin menunjukkan pada umat Islam
bahwa al-QurÉn tidak lepas dari historisitas, dan bahkan seluruh disiplin ilmu
pengetahuan yang lahir dari padanya didakwakan sebagai penyebab kejumudan nalar
Islam. Disadari atau tidak, Arkoun tampak tergila-tergila dengan babak-babak perubahan sosiAl-dan
institusionAl-agama yang kemudian mengantarkan Eropa pada era modern: filsafat
pencerahan serta serentetan kronologi sejarah “rationalization”. Kemudian Arkoun
mencoba mempraktekannya terhadap ranah keislaman dengan harapan akan datangnya
pencerahan model Islam.
Prolog
Tradisi mengkaji al-QurÉn dikalangan
orientalis telah berjalan cukup lama. Tapi kajian mereka tentu tidak sama
dengan kajian para ulama. Ketika para orientalis mengkaji al-QurÉn, mereka
memang merujuk kepada sumber-sumber Islam. Namun sikap mereka yang selektif
terhadap fakta-fakta sejarah al-QurÉn menunjukkkan adanya suatu kepentingan
tertentu. Upaya untuk meruntuhkan otentisitas MushÉf UthmnÉi tampak
lebih menonjol dibanding tujuan lainnya. Syubhat ini kemudian
dilanjutkan oleh intelektual Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Arkoun. Bahkan, di atas syubhat tersebut ia membangun mega proyeknya
yaitu ‘kritik nalar Islam’. Proyek inipun langsung menyentuh sisi paling
sensitif dalam bangunan epistemologi Islam. dengan kajian ini, ia berharap bisa
membebaskan umat Islam dari belenggu doktrinitas yang telah berlaku sejak
meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Ia berusaha memutus jalur ilmu pengetahun
Islam. Namun, sebagaimana mereka orientalis dan para penyeru nihilisme, Arkoun
tidak menyuguhkan solusi bagi kebangkrutan nalar yang sudah ia bongkar. Ia
hanya mengkaji, mendekonstruksi dan disaat yang sama ia membiarkan ideiologi
Islam tercerai berai.
Sehubungan
dengan masalah ini, berikut akan dibahas epistemologi yang digagas oleh
Muhammad Arkoun, seorang cendikiawan Muslim asal Aljazair yang kini banyak
dirujuk oleh cendikiawan Muslim Indonesia. Ia dikenal karena kritiknya atas
bangunan epistemologi yang telah terbangun dalam tradisi intelektual Islam.
Menurutnya masyarakat Muslim dewasa ini telah dikuasai oleh nalar Islami yang
memiliki karakter logosentrism[1] dengan
ruang perkembangan yang sangat sempit, belum membuka diri pada kemodernan
pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi ummat
Muslim kontemporer.
Muhammad Arkoun dan Gerakannya
Muhammad Arkoun
adalah seorang pemikir terkenal di hadapan intelektual yang concern dengan pemikiran dan kajian tradisi di dunia Arab.[2] Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 1928 dari keluarga biasa di perkampungan Berber
yang berada di sebuah desa di kaki-gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah
timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosiAl-yang
rendah (ibunya buta huruf)[3] dengan bahasa Kabilia Berber sebagai
bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair.[4] Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di
desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran,
sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian,
Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir
(1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di
al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair.[5]
Pada
saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjutkan
studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika
itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris
serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah
timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas
Strasbourg (1956-1959). Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di
Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan
pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis
desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M),
seorang pemikir Arab di Persia pada abad 10 M yang menekuni kedokteran dan
filsafat.[6] Semenjak
menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan
menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang
islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosiAl-di dunia Barat, terutama
di dunia tradisi keilmuan Perancis.
Karya-karya Muhammad Arkoun
Sebagai
ilmuwan yang produktif, Arkoun telah menulis banyak buku dan artikel di
sejumlah jurnAl-terkemuka seperti Arabica (Leiden/Paris), Studia Islamica
(Paris), Islamo-Christiana (Vatican), Diogene (Paris), Maghreb-Machreq (Paris),
Ulumul Qur’an (Jakarta), di beberapa buku dan ensiklopedi. Arkoun juga
menerbitkan beberapa kumpulan makalah dan karya bersama yang dilakukan dengan
cendekiawan lain. Beberapa karya Arkoun yang penting adalah, Traite d’ethique
(tradution francaise avec introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq)
(sebuah pengantar dan catatan-catatan tentang etika dari TahdzÊb al-AkhlÉq
Miskawaih), Contribution a l’etude de l’humanisme arabe au IVe/Xe siecle:
Miskawayh philosophe et historien (sumbangan terhadap pembahasan humanisme
Arab abad IV H/ X M: Miskawaih sebagai filosof dan sejarahwan), La pensee
arabe (pemikiran Arab), dan Ouvertures sur l’islam (catatan-catatan
pengantar untuk memahami Islam). Buku-buku Arkoun yang merupakan kumpulan
artikelnya di beberapa jurnal antara lain adalah Essais sur la pensee
islamique (Esai-esai tentang pemikiran Islam), Lectures du Coran
(Pembacaan-pembacaan Alqur’an), dan Pour une critique de la raison islamique
(Demi kritik nalar islami). Buku-bukunya yang lain adalah Aspects de la
pensee musulmane calssique (Aspek-aspek pemikiran Islam klasik), Deux
Epitres de Miskawayh (Dua surat Miskawaih), Discours coranique et pensee
scientifique (Wacana-wacana al-QurÉn dan pemikiran ilmiah), L’islam,
hier, demain (Islam, kemarin dan esok, karya bersama Louis Gardet), dan L’islam,
religion et societe (Islam, agama dan masyarakat). Selain itu, masih banyak
lagi beberapa karya lainnya yang belum diterbitkan, di samping beberapa artikel
penting, seperti pada Encyclopaedia Universalis dalam entri “Islam, les
expression de l’islam”, “Rethinking Islam Today” dalam buku LiberAl-Islam:
A Source Book, “History as an Ideology of Legitimation: A Comparative Approach
in Islamic and Eurepan Contexts” dalam buku Islam, Modernism and the West dan
sebagainya.
Karya-karya
Arkoun hampir semua ditulis dengan bahasa Prancis. Karyanya diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh muridnya, HasyÊm ShÉleh. Arkoun lebih suka menulis
karyanya dalam bahasa Prancis karena menurutnya, ia menemukan banyak masalah
dalam mengungkapkan pemikirannya dalam bahasa Arab. Bukan karena ia kurang
menguasai bahasa Arab, akan tetapi menurut Arkoun, kemajuan pesat pemikiran
ilmah modern dengan segala istilah-istilahnya belum siap direspon oleh bahasa
Arab. Acuan pada epistemologi kritis, kritik wacana dan sejarah dekonstruktif
contohnya, belum bisa ditransfer ke dalam bahasa Arab, sebab, persoalan
tersebut belum dipikirkan oleh pemakai bahasa Arab. [7] Rupanya,
Arkoun sudah memiliki pandangan rendah terhadap sistem bahasa Arab. Hal ini
diakibatkan oleh sistem pemikiran pemilik bahasa Arab yang menurutnya tidak
mendukung. Jadi sumber keterbelakangan bahasa bagi dia bersumber dari keterbelakangan
epistemologi pemilik bahasa. [8] Mungkin
saja, pilihan Arkoun terhadap bahasa Prancis sebagai bahasa untuk mengungkapkan
pemikirannya adalah tepat. Sebab, epistemologi yang ‘dipaksakan’ untuk
diterapkan akan membongkar tradisi Islam. Apakah epistemologi yang ditawarkan
akan membawa kemajuan dalam Islam? Belum ada bukti konkrit untuk menguatkan
alasannya. Pemaksaan yang dilakukan Arkoun menimbulkan problem epistemologi
baru. Sebagai seorang postmodernis, terlihat jelas Arkoun menunjukkan
inkosistensinya dalam metodologi dan penggunaan term. Di satu sisi ia juga
mengajukan krtitik kepada orientalis, akan tetapi pada lain tempat ia justru
secara ‘istiqamah’ menggunakan metodologi orientalis dalam studi Qur’an, bahkan
term-term linguistik modern ia adopsi secara tidak kritis.[9] Oleh
sebab itulah Syekh Mohammad BadÊsy menyebut Arkoun adalah Orientalis ‘wajah’
Arab. Mengutip buku al-Fikr al-’ArabÊ wa al-Fikr al-MusytasyriqÊn ia
menyebutkan bahwa Arkoun termasuk pengimpor ide-ide orientalis. [10]
Metodologi dan Landasan Epitemologi
Gagasan Arkoun
Sebagaimana
banyak intelektual baik Muslim dan
nonmuslim yang belajar di Prancis. Arkoun memiliki kecenderungan berpikir yang
terbilang rumit, cukup radikal dan kritis terhadap epistemology Islam.
Pemikirannya merupakan perpaduan dari berbagai jenis perkembangan wacana ilmu
yang digandrungi di sana, seperti Derrida (Dekonstruksi-grammatologi), Lacan
(psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi), Poststrukturalisme ala
Saussure (linguistik), Levi Strauss (antropologi), Politik (Voltaire),
Eksistensialisme (Nietzche dan Sartre), Rasionalisme (Descartes), juga
ilmu-ilmu arkeologi-sosial-sejarah Mazhab Analle Prancis. Hal ini tampak
jelas dengan banyaknya konsep-konsep kaum post-strukturalisme yang
diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus,
epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang tak terpikir dan
dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain.
Corak
pemikirannya merupakan respon terhadap keberadaan epistemologi Islam yang
dianggapnya gagal membawa kemajuan. Menurutnya, selama berabad-abad masyarakat
Muslim telah dikuasai oleh nalar Islam yang memiliki karakter logosentrism,
belum membuka diri pada kemodernan pemikiran, khususnya yang datang dari Barat.
Sistem pemikiran yang juga disebut Arkoun sebagai ortodoksi Islam ini, menjadi
faktor utama keterbelakangan dunia Islam. Keterbelakangan-keterbelakangan ini
menimpa berbagai aspek penting seperti sistem, sarana produksi, struktur dan
interaksi sosial, praktik-praktik budaya, teknologi dan sitem ekonomi. Maka,
tugas besar yang perlu dilakukan menurut Arkoun adalah, membongkar sistem
ortodoksi Islam yang telah mengendap lama dalam nalar umat Islam. Sumber utama
sistem ortodoksi yang rigid itu adalah al-QurÉn. Oleh sebab itu, langkah
pertama yang perlu dibenahi adalah, membangun pandangan baru terhadap al-QurÉn,
yang menurut Arkoun selama ini telah disalah gunakan untuk kepentingan ideologi
dan politik. Dogma-dogma kaku dalam agama tidak lain lahir karena
ketidakmampuan muslim untuk menangkap pesan orisinil al-QurÉn sebagaimana pada
periode awAl-(periode kenabian) sebagai korpus yang terbuka.
Demi
kepentingan ini, Arkoun menggunakan metode Dekonstruksi, metode yang digunakan
oleh Jacques Derrida. Ia berharap besar tuk mengungkap Hal ‘yang belum
terpikirkan’, ‘Fakta tersembunyi’ yang terselubung dari sejarah dan konsep
al-QurÉn. Bagi Arkoun, Al-QurÉn tunduk pada sejarah (the QurÉn is subject to
historicity).[11]
Corak inilah yang mengantarkannya menjadi pemikir liberAl-yang radikal. Dibandingkan
dengan pemikir liberAl-Arab lainnya, seperti Naşr HÉmid Abū Zayd, Hassan Hanafī,
dan Muhammad Syahrūr[12], corak pemikiran liberAl-Arkoun lebih kentAl-dengan aliran
postmodernisme[13].
Menurut Leonard Binder, pemikiran Arkoun memperlihatkan kecenderungan dan
kekaguman kepada akademisi Prancis beraliran potsmodern seperti Paul Ricoer
(1913), Michel Foucault (1926-1984) dan Jacques Derrida (1930-2004).[14]
Kecenderungan itu tidak lepas dari latar belakang pendidikannya yang dibesarkan
di lingkungan pendidikan Prancis.
Kritik-kritiknya
Sebagai
seorang pemikir post-modern,[15] Arkoun
adalah pengkritik tradisi kemapanan. Metodologi yang sedang berkembang di
peradaban Barat, ia coba gunakan tuk mengkritik nalar Islam.[16] Arkoun
berargumen bahwa nalar Islam yang saat ini mendominasi ummat Islam, dibangun
oleh para alim ulama atas dasar interpretasi doktriner dan kebutuhan politis
untuk mengontrol penafsiran atas wahyu dan maknanya.[17]
Menurutnya, pembakuan al-QurÉn sebagai mushÉf resmi (kopus resmi tertutup) yang
dilakukan oleh khalifah UtsmÉn tidak luput dari intres politik dan ideologi
tertentu, demikian juga pembakuan konsep-konsep tafsir oleh mufassirin, sunnah
oleh muhadditsin dan UshËl fiqh oleh ahlu Al-UshËl.[18] Dengan
demikian, korpus-korpus tersebut, baik primer (al-QurÉn) dan sekunder (tafsÊr,
sunnah dan ushūl) adalah produk budaya yang terkait dengan konteks kulturAl-yang
melatarbelakanginya.[19]
Pembakuan inilah yang kemudian menurut Arkoun, menjadi awAl-ummat Islam
didominasi oleh logosentrisme (cloture logocentrique).
Arkoun
menyematkan term ‘ortodoks’ untuk sistem pemikiran Islam terbentuk atas
korpus-korpus yang dibakukan seperti di atas. Arkoun mendefinisikan ortodoksi
sebagai “sebuah sistem nilai yang berfungsi untuk menjamin perlindungan dan
keamanan kelompok tertentu. Dengan demikian, setiap kelompok tertentu
dipastikan memiliki visi ideologis yang khas dimana orientasinya ditujukan
untuk melindungi intres kelompok tersebut.[20]
Masing-masing kelompok yang mengkukuhkan ortodoksinya kemudian memiliki
tafsir-tafsir yang ditulis untuk menjustifikasi kelompoknya. Lebih lanjut ia
menjelaskan:
“Mayoritas kaum muslim yang mengakui
kepemimpinan bani Umayyah dan Bani Abbasiyah menyebut dirinya Ahl al-Sunnah
wa al-JamÉ’ah, yaitu golongan yang mengikuti tradisi otentik al-QurÉn dan
hadÊst. Dan menyatakan kesetiaan pada komunitas muslim sejati melalui
konsensus. Kaum Suni mencap golongan yang berlawanan sebagai “mereka yang
menolak tradisi yang sesungguhnya” (RawÉfid=SyÊ’ah), sementara SyÊ’ah
menyebut dirinya Ahl al-’Ishmah wa al-AdÉlah, dan sama sekali menolak
korpus-korpus hadÊst yang diklaim oleh golongan Sunni”[21]
Dengan
uraian di atas, Arkoun menjelaskan bahwa “Nalar Islam” sejatinya tidak tunggal.
Kemudian, nalar yang plurAl-itu berfragmentasi menjadi beragam, seperti nalar
tasawwuf, nalar filsuf, nalar SyÉfi’Ê, nalar HambÉli, nalar Mu’tazilah dan lain
sebagainya. Nalar tersebut selanjutnya menjadi piranti yang
menghasilkan produk-produk pengetahuan Islam dalam bentangan sejarah.[22] Ia menyebut proses fragmentasi nalar tersebut dengan taqdÊs
al-afkÉr al-dÊniyyah (pensakralan pemikiran keagamaan).[23] Pensakralan
pemikiran dilakukan oleh masing-masing pengikut nalar Islam tertentu. Maka
terjadilah ideologisasi Islam yang begitu menguat di dalam sistem pemikiran
Islam tradisional. Idiom-idiom dalam khazanah Islam tradisional memunculkan bahasa-bahasa teologis yang kerap
memaksakan dominasinya atas kelompok-kelompok lain. Dalam Hal ini, posisi
al-QurÉn dianggap sebagai sumber proses ideologisasi yang disalahgunakan. “Wahyu
memiliki kepentingan kulturAl-dan historis” kata Arkoun. Oleh sebab itu,
dalam Islam jika ada perubahan atau isu yang dilontarkan dan tidak sefaham
dengan lembaga ortodoksi, maka Hal itu akan memancing emosionAl-para penganut
Islam. [24]
Geologi
nalar Islam yang telah melapis inilah yang ingin dibongkar Arkoun. Namun,
pembongkaran Arkoun tidak lepas dari menciptakan “nalar Islam baru”. Yang
tentunya belum dijamin menjadi nalar yang universAl-yang bisa berdialog dengan
siapa saja. Sebab, nalar baru yang dikreasi Arkoun diramu berdasarkan
pengalaman nalar Barat. Padahal, nalar Barat sendiri merupakan proses yang
belum selesai, karena menganut filsafat evolusi. Pengalaman Barat pun belum
tentu akan bisa diadopsi kepada komunitas masyarakat lainnya. Sebab, para
filosof Barat sendiri menciptakan teorinya bukan berdasarkan pengalaman
universal, akan tetapi hanya memenuhi selera lokalitas masyarakat Barat saja.
Dengan
proyek Kritik Nalar Islam-nya, Arkoun berusaha mendekonstruksi wacana
keagamaan.Wacana al-QurÉn menurutnya tidaklah tetap, ia terus berkembang sesuatu
kondisi budaya dan ideologi. Dalam Hal ini ia menerapkan metode historis untuk
kajian al-QurÉn. Peristiwa kodifikasi mushÉf yang dilakukan oleh Khalifah
UstmÉn bin AffÉn mengandung problem serius. Problem serius tersebut adalah
terjadinya kerancuan pemikiran yang memperlebar ‘gap’ antara wahyu periode
kenabian yang berbentuk ujaran lisan dengan periode korpus tertulis. Ia
mengusulkan menggunakan metode historis untuk menguraikan problem ini, sebab
dengan metode ini akan tersingkap peristiwa yang terjadi. Penguraian benang
kusut sejarah menurut Arkoun tidaklah mudah sebab, dalam pemikiran Islam
terdapat kendala yaitu kendala politis dan psikologis. Hambatan politis
maksudnya adalah mekanisme demokratis telah hilang dalam perpolitikan Islam,
sehingga al-QurÉn dengan mudahnya digunakan untuk melegitimasi bagi
pergerakan-pergerakan yang berkenan dengan keagamaan. Sedangkan kendala
psikologis adalah kesadaran ilmiah umat Islam telah tiada sejakh kekalahan
golongan Mu’tazilah mengkampanyekan tentang kemakhlukan al-QurÉn. [25]
Problem
politis dan psikologis ini telah menjadi ‘tabir’ mengurung pemikiran Islam
dalam logosentrisme. Bahkan logosentrisme tersebut merambah aspek rasional,
yakni dalam filsafat Islam[26]. Ciri
logosentrisme adalah: Pertama, setiap kegiatan pemikiran dikuasai oleh gambaran
dogmatis dari suatu nalar yang mampu mencapai keberadaan Allah, nalar-nalar
tunduk kepada wahyu tanpa kecuali. Kedua, aktifitas dari nalar dalam usahanya
kembali ke landasan-landasan, adalah menganjurkan hubungan-hubungan keidentikan,
analogi, kemiripan, implikasi, atau oposisi dengan bertitik tolak dari
definisi-definisi universal, dari substansi-substansi pertama, dari
esensi-esensi tak berubah. Ketiga, terkungkungnya pemikiran Islam ke dalam
logosentrisme itu dalam prakteknya ditunjang oleh agama, budaya, dan Negara,
mereka memberi penghormatan terhadap otoritas imam mujtadhid dalam setiap
madzhab.[27]
Fenomena
terkungkungnya pemikiran Islam oleh logosentrisme ini semakin lama semakin
menciptakan timbunan dogma-dogma tebAl-yang diproduksi oleh kelompok penguasa.
Kelompok penguasa bertanggung jawab terhadap tertutupnya pemikiran Islam yang
semula terpikirkan menjadi tak terpirkirkan. Peristiwa kekalahan Mu’tazilah
dalam mengkampanyekan kemakhlukan al-QurÉn adalah juga karena hegemoni penguasa
Sunni. Peristiwa ini menjadi faktor tertutupnya idoleologi di luar Sunni untuk
hidup. Ideologi ‘asing’ tidak diizinkan karena bertentangan dengan kelompok
penguasa[28].
Oleh sebab itulah, masing-masing kelompok menulis karya-karnya demi mengikuti
selera madzhab agar diakui kebenarannya.
Fase
ideologisasi tersebut menurutnya menumpuk, bagaikan lapisan geologis bumi.
Sehingga, Arkoun menggunakan analisis arkeologis untuk membongkar
lapisan-lapisan itu. Dengan menggunakan analisis arkeologis ini maka dapat
dilakukan klarifikasi historis (al-idhÉ’ah al-tÉrÊkhiyyah) terhadap
teks-teks penafsir (al-nÉsh al-tafsirÊ), atau yang ia sebut sebagai teks
hermeneutiks dari pemikiran tertentu. Lapisan itu diungkap, diperjelas dan
disapu dari debu-debu sejarah yang mengotorinya. Sebab, teks-teks tersebut
adalah dokumen sejarah yang telah melalui proses yang panjang, terkait dengan
kepentingan konteks sosial, generasi, serta gerakan pemikiran keagamaan[29].
Arkoun
beralasan, bahwa kegiatan dekonstrukis dengan metode arkeologi pemikiran ini
sangat signifikan untuk membongkar timbunan lapisan-lapisan geologis berupa
teks-teks hermeneutis. Kegiatan ini akan menyibak fakta menuju tampilan teks
pembentuk (al-nÉsh al-mu’ashshis), sebagaimana sedia kala. Dimana pada
mulanya teks pembentuk – yang tidak lain adalah al-QurÉn itu bersifat terbuka.
Inilah jalan Arkoun untuk menegaskan pemikirannya bahwa, teks-teks hermeneutis
tersebut tidak lain adalah episteme yang pembentukannya bukan lagi orisinil
rabbaniyah tapi ia terkotori debu-debu sejarah dan proses kemanusiaan.[30]
Kritik Untuk Arkoun
Dalam
worldview Islam, konsep agama adalah elemen dasar setelah konsep Tuhan,
yang memiliki jalinan dengan konsep lainnya[31]. Prof.
al-AttÉs menekankan pada pentingnya konsep Tuhan dan agama sebagai elemen
paling mendasar dalam pandangan hidup Islam. Konsep-konsep lainnya saling
berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik.
Bagi al-AttÉs untuk menentukan sesuatu itu benar dan riel dalam setiap
kebudayaan, berkaitan erat dengan sistim metafisika masing-masing yang
terbentuk oleh worldview.[32]Dari
pandangannya tentang konsep agama ini, akan terlihat corak pemikirannya dan
konsep ini tentu akan berpengaruh terhadap konsep-konsep yang lainnya.
Arkoun
menguraikan konsep agama-agama berdasarkan pendekatan sosiologis. Untuk
mengkaji dan mengindentifikasi agama, Arkoun menetapkan lima bidang. Yaitu,
wilayah intelektual , politik, ekonomi dan wilayah kultural. Hal ini dilakukan
agar agama-agama tidak terjebak kepada kungkungan ideologis. Kelima wilayah
tersebut disebut dengan wilayah sosio-historis[33]. Akibat
dari pendekatan sosiologis ini, dalam pemikiran Arkoun, terlihat tidak ada lagi
perbedaan ideologis yang signifikan antar agama. Ia tidak lagi membedakan
antara agama-agama pagan dan agama wahyu. Sebab, kedua-duanya sama dalam
teropong metode sosiologis. Pendekatan yang non-teistik ini tidak akan
menemukan akar perbedaan dari ranah teologis.
Konsep
pemikiran yang demikian lebih tepatnya disebut pendekatan yang humanis. Yaitu,
sebuah pendekatan yang hanya melihat dari sisi selera keberagamaan masyarakat
berdasarkan kebutuhan keagamaan dan menurut kedalaman setiap individu atau
masyarakat manusia. Dalam kaca mata sosiologis-antropologis, manusia beragama
karena manusia memiliki kepentingan manusiawi. Berarti, karena perbedaan
teologis sudah dikaburkan, maka pendekatan ini melihat kenyataan keberagamaan
umat manusia itu pada hakikatnya sama. Sebab, umat manusia memiliki kebutuhan
yang sama dalam beragama. Spiritualitas yang beragama adalah sebuah kenyataan
sosiologis karena itu pilihan manusia. Mereka berada dalam satu payung yang
sama: memenuhi kebutuhan manusia mencari kepuasan spiritualitas. Dari sinilah
pendekatan yang sosiologis melahirkan pemahaman yang relativis. Dan pendekatan
yang humanis akan membentuk mentAl-beragama yang pluralis.
Secara
historis, pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan telah terjadi di Eropa.
Pertarungan keduanya semakin gencar dan “blak-blakan seiring dengan
penemuan-penemuan ilmiah yang dihasilkan ilmu pengetahuan modern yang dimulai
sejak revolusi politik di Prancis dan revolusi industri di Inggris. Sejak masa
itu, dominasi kaum Clergy (rahib, atau kalangan gerejawi)—sebagai
kelompok elit kecil—yang sejak ribuan tahun mendominasi dan menghegemoni
kekuasaan dalam bidang sosial-kemasyarakatan sebagai penentu kebijakan
(decision maker) runtuh hancur-lebur tatkala teologi yang selama ini menjadi
legitimasi mereka harus berhadapan dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan.
Isu-isu sosiAl-yang pada awalnya berkenaan dengan sosial, ekonomi dan politik
berkembang menjadi isu-isu yang menggugat dimensi transendental, yakni agama.
Dialog inipun kemudian berujung pada pemisahan dua kebenaran yang tidak bisa
disatukan satu sama lain. Kebenaran agama pada satu sisi, dan kebenaran ilmu
pengetahuan pada sisi lain. Karena itu, muncullah istilah yang saat ini disebut
“sekularisme”.
Namun, dalam
sejarah Islam ‘event’ pertarungan antara kaum intelektual
dengan ‘ulama tidaklah terjadi, para ulama bermartabat Islam menghargai
pengetahuan sebagaimana Islam menghargai keyakinan pada Rasulullah. Al-QurÉn
sebagai kitab suci yang tiada satupun
keterangan di dalamnya yang tidak dapat diuraikan untuk penelitian ilmiah, baik
yang berhubungan dengan realitas-realitas alam, genetika, atau kajian-kajian
tentang kedalaman laut. Bahkan, sungguh Al-Qur’Én telah membuktikan
kebenarannya lewat keterangan yang mendetail tentang pertumbuhan janin, seperti
yang kita kenAl-sekarang yang tidak mungkin dibuktikan, kecuali dengan
menggunakan alat pendeteksi dalam rahim.
Sekalipun demikian, al-QurÉn adalah
hakikat-hakikat yang berhubungan dengan ushūluddin, bukan hakikat-hakikat ilmiah, dan bukan dengan
elaborasi penyingkapan ilmiah, kebenaran wahyu hakiki akan tergapai, karena
al-QurÉn bukanlah ringkasan ilmu-ilmu fisika, biologi, atau kimia. Sekalipun
demikian, sejarah telah mencatat keberhasilan ulama-ulama terdahulu yang telah
melahirkan disiplin-disiplin pengetahuan dari pendalaman mereka terhadap
al-QurÉn, sesuai dengan afiliasinya masing-masing.
Sepertinya
Arkoun dengan proyek kritik nalar Islamnya hendak menggiring sejarah Islam pada
fase pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Menempatkan agama sebagai
pengetahuan yang bersifat mitos dan ia berada di pihak pengetahuan yang
bersifat rasional. Dengan menggunakan disiplin ilmu humaniora, antropologi,
arkeologi pemikiran dll, ia ingin menunjukkan pada umat Islam bahwa al-QurÉn
tidak lepas dari historisitas, dan bahkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan
yang lahir dari padanya didakwakan sebagai penyebab kejumudan nalar Islam.
Arkon tidak memperhitungkan seluruh informasi yang menyatakan ke-otentikan
transmisi dan kompilasi al-QurÉn. Sekalipun seluruh informasi itu bisa diuji
dan dibuktikan keilmiyahannya.
Perlu kita
ketahui, sosiologi sebagai disipilin ilmu
humaniora, demikian juga antropologi sebagai anak cabangnya, bukan merupakan
disiplin ilmu normatif melainkan suatu disiplin yang kategoris, artinya
sosiologi membatasi pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa
yang seharusnya terjadi. Sebagai suatu pengetahuan, sosiologi membatasi diri
terhadap “penilaian ideologis” atau subjektivitas tertentu. Artinya tidak
menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan
petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan maupun keagamaan
dari proses lawatan sejarahnya. Pandangan-pandangan sosiologis tidak dapat
menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah
serta segala seuatu yang bersangkut terhadap nilai kemanusian.
Dengan demikian, sosiologi hanya merupakan ilmu
pengetahuan murni (pure science) dan sama sekali bukan merupakan ilmu
pengetahuan terapan atau terpakai (applied science).[34] Dari sudut
penerapannya ilmu pengetahuan menjadi dua bagian. Ilmu pengetahuan murni adalah
ilmu yang bertujuan membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak
hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakan dalam masyarakat. Ilmu
pengetahuan terapan adalah ilmu yang bertujuan untuk mempergunakan dan
menerapkan ilmu tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan
masyarakat maupun keagamaan. Dalam Hal ini, sosiologi bukanlah pengetahuan ilmu
terapan, sebab hanya bertujuan mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin
dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan.[35]
Kebanyakan
karya yang membicarakan sejarah dengan pendekatan sosiologi-antropologi
terjebak atau terbagi dalam dua hal. Pertama, pendekatan biografis, yakni
penguraian bahwa sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini
secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada
unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Sebab, bagaimanapun, pemikiran tak
bisa dilepaskan dari jejaring para pemikir yang menghasilkan pemikiran
tersebut. Dengan menjelaskan biografi dan perjalanan sejarah pemikir: diskursus
pemikiran dengan sendirinya praktis tereksplorasi. Kedua, pendekatan
taksonomis. Sebuah penguraian sejarah pemikiran berdasarkan
kecenderungan-kecenderungan tertentu. Fenomena pemikiran ini didekati lewat
hasil klasifikasi-klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of
thought). Misalnya, membagi mazhab pemikiran tersebut pada SyÊah, SunnÊ, Muktazilah
dan sebagainya. Dan kebanyakan, ekses menampilkan pendekatan ini, penulis
kadang tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada salah satu arus
pemikiran tertentu. Selalu ada bias-bias dari penulis untuk menampilkan ide
pemikiran tertentu dan, demi ideologi kepentingannya, kadang mengaburkan
pandangan lainnya. PadaHal ini merupakan kecacatan etika pengetahuan –dalam
konteks keilmuan sosialisme– karena tidak boleh ada keberpihakan atau pra
asumsi penilaian.
Dan
Arkoun tampaknya mengikut pada pendekatan kedua. Bahkan, disadari atau tidak,
ikut hanyut untuk menjadi bagian pemain di dalamnya. Menampilkan mazhab yang
terpinggirkan menjadi aktor utama dalam proyek Kritik nalar Islamnya –seperti
pembelaan kentAl-terhadap rasionalitas Muktazilah atau filsafat Ibn Rusyd. Ia,
dengan demikian, melanggar rambu-rambu etika sosiologi-antropologis, dengan
inkonsistensinya terhadap aturan pengetahuan tersebut. Dari sini, setidaknya
sudah menyiratkan kepentingan tertentu. Ada bias-bias ideologis yang bersemayam
dalam buncahan pemikiran Arkoun. Bahkan ditengarai, gara-gara “kepanasan”
dengan sejarah pencerahan Eropa. Sebab Eropa, dalam dongeng sejarahnya, terbagi
menjadi atas fase modern dan post modern.
Pada
masa modern, munculnya kejayaan science, Revolution of
Science abad XVII, telah memberi keyakinan bahwa manusia dapat mencapai
kejayaan tanpa harus patuh pada otoritas agama. Agama dianggap sebagai
penghambat kemajuan dan bertentangan dengan filsafat pencerahan. Agama Katolik
hanya identik dengan zaman pertengahan yang statis dan tidak progresif. Nalar
menjadi dewa dan agama (iman) tersungkur dipecundangi. Namun demikian,
pandangan pemikir-pemikir zaman pencerahan di abad XVIII banyak berubah.
Mengembalikan enlightenment dan kemodernan Eropa terhadap induk agama seperti
pemikir Locke, Thomas Aquinas, dan Kant. Namun penerimaan mereka bukanlah
berdasarkan kepercayaan atau penerimaan otoritas Gereja semata, melainkan lebih
didasarkan pada pemikiran dan argumentasi rasionAl-terhadap agama. Problemnya
adalah bahwa terma modernitas terlanjur identik dengan kemewahan akal dan
mempecundangi agama. Artinya secara esensiAl-sudah ada kontradiksi dengan ruh
modernitas sendiri, sehingga inilah yang kemudian melahirkan era post modernisme
di mana akal seiring seirama dengan agama.[36]
Pada
zaman pencerahan juga terlihat adanya perkembangan epistemologi dan filsafat.
Para ahli epistemologi mulai mencoba mengupas persoalan mendasar sifat ilmu,
serta peranan yang dimainkan oleh akal budi manusia dalam menghasilkan ilmu.
Tujuannya ialah untuk memahami bentuk ilmu yang dihasilkan oleh manusia, dan
sejauh mana ia bisa dipercayai serta mewujudkan suatu landasan rasionAl-bagi
penerimaan ilmu, yang kini asas penerimaannya tidak lagi didasarkan pada otoritas
agama. Akal digunakan untuk mendirikan landasan kebenaran sendiri bagi filsafat
keilmuan. Pendekatan “foundationalisme” ini merupakan satu ciri zaman
pencerahan yang sangat menggantungkan pada kemampuan akal manusia serta
rasionalitas. Di
sinilah Arkoun tampak tergila-tergila dengan babak-babak perubahan sosiAl-dan
institusionAl-agama yang kemudian mengantarkan Eropa pada era modern: filsafat
pencerahan serta serentetan kronologi sejarah “rationalization”
–meminjam bahasa Max Weber. Rationalization nampak terlihat terhadap
adanya upaya reinterpretasi agama Katolik, Rasionalisasi agama. Kemudian Arkoun
mencoba mempraktekannya terhadap ranah keislaman dengan harapan akan datangnya
pencerahan model Islam. Namun, menurut Muhammad almzogy,
Arkoun tidaklah mendatangkan pencerahan, bahkan justru mendatangkan
keragu-raguan pada kemampuan Akal.
Dalam Kritik
Nalar Arabnya, Abed
al-JÉbÊrÊ menyatakan retakan epistemologi antara Andalusia-Maghrib dan Masyriq:
di mana Barat tidak hanya dibedakan secara geografis melainkan juga
epistemologis: antara representasi rasionalisme empirik Barat dan representasi
illuminatif dan kecenderungan irrasionAl-Timur, maka pemaknaan retakan
epistemologi bagi Arkoun pun memiliki kecenderungan tipologi sendiri, bahkan
lebih luas tidak hanya sekedar lokalitas Arab namun Islam secara umum.
Sebagaimana telah maklum, ide ini pertama kali dimunculkan oleh Gaston
Bachelard pada kisar tahun tiga puluhan di abad XIX, kemudian diadopsi oleh
Luis al-Tuser dan Michel Foucault. Dalam perjalanannya, ide ini terus
berkembang dan menjadi trend keilmuan yang mampu diaplikasikan dalam filsafat
humaniora dan cabang ilmu lainnya.[37]
Tak terkecuali agama. Di tangan Arkoun-lah terma diskontinuitas diterapkan
dalam melacak lapisan dasar nalar pemikiran Islam silam.
Sejatinya,
jika menelusuri pemikiran menggunakan pisau analisa retakan epistemologi sangat
berbahaya dan terlalu mengambil resiko tinggi. Sebab, efeknya akan menimbulkan
pembelahan dikotomik dan menyerang terhadap pengetahuan itu sendiri. Di samping
resiko dihadapkan pada satu pilihan. Ide ini cenderung mengakibatkan wilayah
hitam dan putih pengetahuan: antara pilihan benar dan salah: ilmiah dan
khurafat: rasionAl-dan irrasional. Ini juga yang dialami pemikir Maroko Abed
al-JÉbÊrÊ, dengan mengunggulkan nalar Barat atas nalar Timur. Menjadikan
terkotak-kotaknya pengetahuan secara geografis. Sementara Arkoun, dalam
persepsi AlÊ Harb, menjadikan nalar pengetahuan Islam tercerai berai secara
ideologis.[38]
Dalam
pembacaan Ron Haleber, seorang islamolog kontemporer asAl-Belanda, Arkoun
menyatakan bahwa retakan epistemologi dalam agama (Islam dan Kristen di Barat)
ada tiga bagian. (1) Transformasi budaya orAl-menuju budaya tulis serta ruang
jeda masa transisi keduanya. (2) Transformasi dari nalar murni ilmu, agama, dan
politik menuju lampauan ideologis terhadap ketiganya. (3) Transformasi dari
diskursus ortodoksi dan mitologi menuju diskursus modern dan rasionalitas serta
jeda masa transisi keduanya. Dalam Hal ini Michel Foucalt memainkan peranannya
sebagai pendobrak kemapanan yang ada dan menjadi inspirator bagi lainnya.[39]
Tampaknya
Arkoun, aku Ron Haleber, tidak begitu memahami secara menyeluruh parade-parade
persitiwa pencerahan di Eropa atau filsafat pencerahan Barat. Sebab jika benar
ia paham tentunya tidak akan menganalogikan persis dengan pemaknaan yang
serupa, antara epistema Barat dan Islam. Bagi Ron Haleber kesimpulan Arkoun ini
terlalu ceroboh dan mereduksi sejarah pencerahan Barat sendiri. Bahkan
semena-mena dalam menerapkan metode karena menyalahi logika metodologi itu
sendiri. Betapa, Arkoun mencampur aduk antara metodologi mazhab strukturalis
dan metodologi mazhab post strukturalis. PadaHal kedua mazhab ini bertentangan.
Sebab munculnya kaum post strukturalis merupakan reaksi protes dari kaum
strukturalis. Namun Arkoun tampaknya tidak menyadari itu. Terkesan cuek bebek
mana kala mencomot sana-sini demi kepentingannya tanpa memperhatikan dari
prosedurAl-bakunya sehingga berakibat menghasilkan konklusi yang kerap tidak
sesuai dengan tujuan metodologi itu sendiri.[40] Wajarlah jika ia tak mau disebut pengikut aliran
strukturalis maupun post strukturalis, akibat oportunismenya.[41] Sehingga wajar jika Ron Haleber tampak geram dan seakan,
dengan bukunya, ingin menghabisi (metodologi) Arkoun, bahwa metodologi Arkoun
mengalami kecacatan dan ketimpangan akut –jika dihadapkan langsung di depan
altar pencerahan Barat. Ia dianggap telah memutus urat nadi pengetahuan (fishÉm
al-ma’rifiyah). Semata-mata demi mendahulukan ideologi ilmiah
rasionalitas-nya dibanding
“aturan main” serta syarat-syarat ontologi pengetahuan.[42] Semata-semata berambisi menampilkan di mata Islam
kontemperer (lebih-lebih Barat) adanya eksistensialisme Islam, humanisme Islam,
dan rasionalisme Islam.
Dalam konteks yang demikian, mestinya Arkoun memilah dan
harus lebih berhati-hati dalam melakukan percobaan menjadikan pengalaman Eropa
sebagai acuan bagi gerakan revolusi keagamaan. Tidak terperosok terhadap yang
hampir-hampir menyerupai ‘taqlid buta’. Dan jika ‘taqlid buta’ yang terjadi,
maka ijtihad Arkoun telah terperangkap ke dalam kubangannya sendiri: dogmatisme
baru.
Epilog
Tradisi mengkaji al-QurÉn dikalangan orientalis telah
berjalan cukup lama. Tapi kajian mereka tentu tidak sama dengan kajian para
ulama. Ketika para orientalis mengkaji al-QurÉn, mereka memang merujuk kepada
sumber-sumber Islam. Namun sikap mereka yang selektif terhadap fakta-fakta
sejarah al-QurÉn menunjukkkan adanya suatu kepentingan tertentu. Upaya untuk
meruntuhkan otentisitas MushÉf UthmÉnÊ tampak lebih menonjol dibanding
tujuan lainnya. Syubhat ini kemudian dilanjutkan oleh intelektual Islam
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Arkoun. Bahkan, di atas syubhat tersebut
ia membangun mega proyeknya yaitu ‘kritik nalar Islam’. Proyek inipun langsung
menyentuh sisi paling sensitif dalam bangunan epistemologi Islam. dengan kajian
ini, ia berharap bisa membebaskan umat Islam dari belenggu doktrinitas yang
telah berlaku sejak meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Ia berusaha memutus
jalur ilmu pengetahun Islam. Namun, sebagaimana mereka orientalis dan para
penyeru nihilisme, Arkoun tidak menyuguhkan solusi bagi kebangkrutan nalar yang
sudah ia bongkar. Ia hanya mengkaji, mendekonstruksi dan disaat yang sama ia
membiarkan ideiologi Islam tercerai berai.
DAFTAR PUSTAKA
AlÊ Harb, Naqd al-NÉsh, al-Markaz al-TsaqÉfÊ
al-ArabÊ, Beirut, cet. IV 2005
Farid Esack, QurÉn,
Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity
against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997)
Hasyim Sholeh, MadkhÉl ila al-TanwÊr al-Uruba, DÉr al-AhÉliah,
cet. I, 2005
Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan
Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, cet. II
(Yogyakarta: LkiS, 1996)
Leonard Binder, Islam Liberal, Kritik terhadap
Idiologi-ideologi Pembangunan, alih bahasa Imam Muttaqin, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta, 2001
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of
Development Ideologies(Chicago: Universitiy of Chicago Press, 1988)
M. Amin Abdullah,Falsafah Kalam di Era Postmodernisme
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Mohammed Arkoun, “Logocentrisme et
verite religieuse dans la pensee Islamique” dalam Studia Islamica XXXV,
Paris, 1972
Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern:Berbagai
Tantangan dan Jalan Baru(terj). (Jakarta: INIS, 1994)
Mohammed Arkoun,Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar
gama, terj. Ruslani(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Mohammed Arkoun, Memikirkan Islam Kembali Saat ini,
dalam Azim Nanji (ed) Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam
di Barat, terj.Mapping Islamic Studies:Geneology,Continuity and Change
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,2003)
Mohammed Arkoun,TÉrÊkhiyyah al-Fikr al-’ArabÊ al-IslÉmÊ
(Beirut: Markaz al-ImÉ’ al-QaumÊ, 1986)
MukhtÉr al-FajjÉri, Naqd al-’Aql
al-IslÉmÊ ‘inda Muhamad Arkoun, DÉr al-Thali’ah
Robby H Abror,Kritik Epistemologi Mohammed Arkoun
dalam Listiyono Santoso, Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media,2009)
Robert D. Lee, “Foreword” dalam Mohammed Arkoun, Rethinking
Islam, Common Question, Uncommon Answers (Ouvertures sur l’Islam), Robert D.
Lee (editor dan translator) (Oxford: Westview Press, 1994), hlm. viii.
Ron Haleber, al-Aql al-IslÉm amÉm TurÉts Ushru al-AnwÊr
fi al-Gharb: al-Juhūd
al-Falsafiyah inda Arkoun, cet. I, Syria, Al-Ahali, 2001
S.M.N, al-AttÉs, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening
Adress”, dalam Sharifah Shifa al-AttÉs ed. Islam and the Challenge of
Modernity, Proceeding of the inaugurAl-Symposium on Islam and the Challenge of
Modernity: HistoricAl-and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5,
1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996
S.M.N, al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam
An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam,
Kuala Lumpur, ISTAC, 1995
Sholihan, Mohammed Arkoun dan Kritik Nalar Islam,
Mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, (Semarang: Walisongo
Press, 2002)
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Ssuatu Pengantar,
Rajawali Press, cet. XXVI, 1990
Suadi Putro, Mohammed Arkoun,
Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998)
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The
Concept of Education In Islam: a Framework for an Islamic Phlilosophy of
Education (Kuala Lumpur: ISTAC, 1999)
Wan Mohd Nor Wan
Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-AttÉs
(terj), (Bandung: Mizan, 2003),
[1] Mohammed Arkoun, “Logocentrisme et verite religieuse dans
la pensee Islamique” dalam Studia Islamica XXXV, Paris, 1972, h. 12-15,
yang dikutip dalam Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan
Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 38.
[2]
Ali Harb, Naqd al-Nash, (Beirut: al-Markaj al-Tsaqafi al-Arabi, cet. IV
2005), h. 88
[3]
Robert D. Lee, “Foreword” dalam Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, Common
Question, Uncommon Answers (Ouvertures sur l’Islam), Robert D. Lee (editor dan
translator) (Oxford: Westview Press, 1994), h. viii.
[4]
Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I
(Jakarta: Paramadina, 1998), h. 14 dan 16.
[5]
Ibid., h. 15.
[6]
Disertasinya diterbitkan dengan judul Traite d’ethique (tradution francaise
avec introduction et notes du Tahdib al-Akhlaq de Miskawayh) (Damas:
Institut francais de Damas, 1969) dan Contribution a l’etude de l’humanisme
arabe au IVe/Xe siecle: Miskawayh philosophe et hostorien (Paris: Vrin,
1982), Lihat: Johan Hendrik Meuleman, “Semiotika dan Batas Semiotika Dalam Ilmu
Agama: Studi Kasus Tentang Pemikiran Mohammed Arkoun”, dalam Johan Hendrik
Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme, Memperbincangkan Pemikiran
Mohammed Arkoun, cet. II (Yogyakarta: LkiS, 1996), h. 40.
[7]Johan
Hendrik Meuleman,Pengantar dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan
Nalar Modern:Berbagai Tantangan dan Jalan Baru(terj). (Jakarta: INIS,
1994),p. 3
[8]Bandingkan
dengan Seyyed MN. Al-AttÉs yang berpendapat bahwa justru ilmu pengetahuan Islam
harus kembali kepada bahasa Arab jika ingin maju. bahasa Arab – menduduki posisi sentrAl-dalam konsepsi dan Islamisasi
pengetahuan. Berposisi sentral, karena bahasa Arab memiliki keunikan. Yakni,
struktur katanya senantiasa merujuk pada sistem akar kata (mashdar).
Selain itu struktur pemaknaan (semantic) bahasa Arab secara jelas
melekat kepada kosa kata secara permanen yang konsisten merujuk pada akar kata.
Ia memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan bahasa lain. Lihat: Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan
Islam Syed M. Naquib al-AttÉs(terj), (Bandung: Mizan, 2003), p.352-355 dan
Syed Muhammad Naquib al-AttÉs, The Concept of Education In Islam: a
Framework for an Islamic Phlilosophy of Education (Kuala Lumpur: ISTAC,
1999)
[9]Di
antara karakteristik pemikiran postmodernisme adalah bahasa yang digunakan
seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga banyak
mengandung paradoks. Paradoks yang dimaksud misalnya mengajukan kritik pedas
terhadap materialism, tetapi pada saat yang sama hidup dengan pola yang sama.
Dalam bidang linguistik Arkoun membebarkan kritik kepada modernism, tapi ia
menggunakan term-term pakar lingusitik modern seperti Ferdinand De Saussere.
[10]Majalah
AL-HUDA mengutip Nu’mÉn al-Samiro’iy, al-Fikr al-’ArabÊ wa al-Fikr
al-MusytasyriqÊn , halaman 128
[11]
Dikutip dari Farid
Esack, QurÉn, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interriligious Solidarity against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h.
69.
[12]Pmikiran-pemikiran
AbË Zaid tentang hermeneutika dituangkan dalam karya-karyanya seperti MafhËm
al-NÉs, Al-NÉs al-Sulthah al-Haqīqah
dan Naqd al-KhitÉb al-Dīnī.
Sedangkan Hassan Hanafi terkenAl-dengan metode hermeneutika materialis
historis, gagasannya dapat dibaca dalam karya-karyanya: Al-TurÉth wa al-Tajdīd,
DirÉsÉt IslÉmiyyah, DirÉsat Falsafiyah dan Fī
FikrinÉ al-Mu’Ésir. Tentang gagasan tentang hermeneutika
Muhammad SyahrËr
dapat dibaca dalam bukunya al-KitÉb wa Al-Qur’Én:
QirÉ’ah Mu’asirah.
[13]M.
Amin Abdullah dalam Falsafah Kalam di Era Postmodernisme memasukkan
Mohammed Arkoun sebagai di antara filosof postmodernisme. Baca M. Amin
Abdullah,Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004)
[14]Lihat:
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (Chicago:
Universitiy of Chicago Press, 1988), p. 162
[15]
Howard M Federspiel menyetarakan kedudukannya dengan Fazlurrahman dan Faruqi. Lihat:
makalahnya “Post-modernist Muslim Thought: Fazlurrahman, Faruqi and Arkoun”
yang didiskusikan di beberapa kampus di Indonesia, Oktober 1994.
[16]
Istilah antara Kritik Nalar Arab-nya Abed al-Jabiri dan Kritik Nalar Islam-nya
Arkoun, tentunya mempunyai siginifikansi dan konsekuensi sendiri-sendiri.
Alasan Arkoun lebih memilih “Nalar Islam” –dibanding “Nalar Arab”– sebab ingin
menuju terhadap jantung langsung: Akidah Islam, di mana, dengan demikian, terma
tersebut mempunyai cakupan melampaui perikehidupan muslim secara
utuh-menyeluruh, tidak hanya terjebak dengan letak geografis Arab dan
bahasanya. Dan secara praktis ketika al-Jabiri lebih banyak mengandalkan
dominasi perangkat metodologinya pada wilayah Arab, maka Arkoun mengunggulinya
terhadap wilayah akidah Islam secara universal. Lihat:: Mukhtar
al-Fajjari, Naqd al-’Aql al-IslamÊ ‘inda Muhamad Arkoun, DÉr al-Thali’ah,
h. 72
[17]
Leonard Binder, Islam Liberal, Kritik terhadap Idiologi-ideologi
Pembangunan, alih bahasa Imam Muttaqin, Pustaka Pelajar, Jog(Jakarta, 2001,
h. 239
[18]
Mohammed Arkoun,TÉrÊkhiyyah al-Fikr al-’ArabÊ al-IslÉmÊ (Beirut: Markaz
al-ImÉ’ al-QaumÊ, 1986), p.65
[19]Robby
H Abror, Kritik Epistemologi Mohammed Arkoun dalam Listiyono Santoso,
Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media,2009), p.199
[20]Mohammed
Arkoun,Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama[Rethingking Islam
Today],terj. Ruslani(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),p.102
[21]
Ibid, p. 103
[22]
MukhtÉr al-FajjÉri, Ibid, h. 70
[23]Sholihan,Mohammed
Arkoun dan Kritik Nalar Islam, Mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan,
(Semarang: Walisongo Press, 2002),p.20
[24]Mohammed
Arkoun,Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama[Rethingking Islam
Today],terj. Ruslani(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),p.100
[25]Mohammed
Arkoun,Nahwa Taqyim wa Istilham Jadidayn li al-Fikr al-Islami, p. 86
[26]Sholihan,Mohammad
Arkoun dan Krtitik Nalar Islam Mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan,
… , p.84
[27]Mohammed
Arkoun,Nalar Islami dan Nalar Modern,…p. 81
[28]Mohammed
Arkoun,Memikirkan Islam Kembali Saat ini, dalam Azim Nanji (ed) Peta
Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, terj.Mapping
Islamic Studies:Geneology,Continuity and Change (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru,2003), p.339
[29]Mohammed
Arkoun, Al-Fikr al-Islamiy…,p. 232
[31]S.M.N,
al-AttÉs, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam SharÊfah
Shifa al-AttÉs ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the
inaugurAl-Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: HistoricAl-and
Contemporary Context, (Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994), ISTAC, Kuala
Lumpur, 1996, p. 29
[32]S.M.N,
al-AttÉs in his Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of
the FundamentAl-Element of the Worldview of Islam, Kuala Lumpur, ISTAC,
1995, p.ix.
[33]Mohammed
Arkoun,Islam Agama Sekular…, p.31-32
[34]
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Ssuatu Pengantar, (Rajawali Press, cet.
XXVI, 1990), h. 21
[35]
Ibid., 21-22
[36]
Hasyim Sholeh, MadkhÉl ilÉ al-TanwÊr al-Uruba, (DÉr al-Ahaliah, cet. I,
2005), h. 241-246
[37]
Ibid., h. 129-130
[38]
AlÊ Harb, al-MamnË’ wa al-MumtanÊ’, op.cit. h. 124
[39]
Ron Haleber, al-’Aql al-IslÉm amÉm TurÉts Ushru al-AnwÉr fi al-Gharb:
al-JuhËd al-Falsafiyah ‘inda Arkoun, cet. I,
Syria, Al-AhÉlÊ, 2001, h. 198
[40]
Ibid., h. 303
[41]
Ibid., h. 159
[42]
AlÊ Harb, al-MamnË’ wa al-MumtanÊ’, op.cit. h. 121