Tradisi Islam
menggariskan bahwa ilmu pengetahuan tiba melalui berbagai sumber, yaitu pancaindera (al-ÍawÉss
al-khamsah), akal fikiran sehat (al-‘aql al-salÊm), berita yang
benar (al-khabar al-ÎÉdiq), dan intuisi (ilhÉm).[1]
Pandangan seperti ini adalah suatu cerminan dan pengakuan yang adil terhadap berbagai
tingkat realitas. Hal ini sependapat
dengan Iqbal, bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang pada
dasarnya merupakan sumber yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan
tentang realitas empiris.[2]
Indera berfungsi sebagai instrumen pokok bagi jiwa dalam mengetahui aspek-aspek
tertentu dari Sifat dan Nama Allah Swt melalui alam ciptaanNya.[3] Istilah pengalaman dalam bahasa Melayu,
yang diambil dari bahasa Arab, ‘Élam, artinya alam semesta, dan ‘ilm
artinya ilmu pengetahuan, secara langsung menunjukkan bahwa mengalami kehidupan
alam ini adalah sama artinya dengan memiliki ilmu pengetahuan tentang alam,
yaitu pengilmuan. Sebab, umat Islam mengetahui bahwa Islam menganggap pengalaman
sebagai sumber ilmu pengetahuan yang absah.[4]
Demikian pula akal
fikiran sehat, sebagai aspek akal manusia, merupakan sumber penting yang
dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, yaitu masalah
yang dapat difahami dan dikuasai oleh akal, dan tentang sesuatu yang dapat
dicerap dengan indera. Akal fikiran manusia akan mengatur dan menemukan
hubungan yang sesuai dalam setiap ruang ilmu pengetahuan dan antara satu dengan
lainnya. Kata sifat “sehat” setelah perkataan akal (sound reason)
sebagai satu sumber ilmu, bukan saja karena fikiran manusia sering tidak betul,
berangkat dari premis yang salah atau dari kesimpulan yang salah, meskipun
berdasarkan premis yang betul, melainkan juga karena fikiran manusia kerap
dipengaruhi oleh ramalan dan imajinasi, yang mungkin salah, contohnya
ketika akal menafikan kemampuannya untuk memahami realitas spiritual melalui
intuisi, yaitu daya lain dari akal manusia.
Akal fikiran (al-‘Aql)
bukan hanya rasio, ia adalah “fakultas mental” yang mensistematisasikan dan
mentafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan
pengalaman inderawi menjadi sesuatu yang dapat difahami. Lebih dari itu, akal
fikiran adalah salah satu aspek dari akal dan bekerja bersama dengan akal. Akal
adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi
tempat intuisi. Dengan demikian, akal adalah perantara yang, khususnya oleh
para ahli sufi, menghubungkan akal-fikiran dengan intuisi.[5]
Oleh sebab itu, siapa saja yang membatasi fungsi akal-fikiran sebagai aspek
yang rasional dan dapat dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan akal
fikiran dari kualitas yang sebenarnya dan, dengan demikian, menjadikan akal
fikirannya tidak sehat. Perlu diketahui bahwa hati yang dikatakan sebagai sumber
intuisi bukanlah hati fisik, melainkan realitas yang terdapat di alam roh yang
menggunakan semua daya yang lain sebagai instrumen.[6]
Berita yang benar
adalah sumber lain ilmu pengetahuan yang terdiri dari dua jenis. Jenis yang
pertama adalah berita yang terbukti secara terus-menerus dan disampaikan oleh
mereka yang kebaikan akhlaknya tidak mengizinkan akal fikiran kita untuk
membayangkan bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawÉtir
adalah contoh yang sangat tepat tentang jenis berita ini. Kesepakatan umum para
ahli, ilmuwan, dan sarjana juga dianggap sebagai bagian dari jenis ini.
Meskipun memiliki otoritas, kesepakatan tersebut masih dapat dipersoalkan
menurut kaedah rasional dan empirikal, sebagaimana yang terjadi dalam kasus laporan
sejarah, geografi, dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak, yang
dibawa oleh Nabi berdasarkan wahyu. Jelasnya, semua otoritas yang berkaitan
dengan ilmu pengetahuan akhirnya merujuk pada pengalaman intuitif.[7]
Satu aliran pemikiran
yang telah lahir dari masyarakat Islam abad pertengahan, terutama setelah
kejatuhan Baghdad ke tangan Mongol pada 1248 Masehi, berniat baik demi
menyucikan ajaran dan amalan Islam dari berbagai khurafat dan bid‘ah telah menimbulkan satu
akibat negatif sampingan yang telah mengikis konsep dan amalan tradisi mutawir.
Aliran ini didukung oleh kajian positif tentang isnÉd dalam pengajian ÍadÊth
nabawÊ. Penekanan yang berlebihan kepada kewibawaan isnad dalam menilai hadith
telah mengakibatkan berlakunya kekeliruan akan kedudukan hakiki sebilangan
besar dari para ulama besar dan ahli sufi yang berkaliber---seperti contohnya
AbË ÙÉlib al-MakkÊ, AbË ×Émid al-GhazÉlÊ, Ibn ‘ArabÊ, ‘Abd RaÍmÉn Jami, JalÉluddÊn
RËmÊ, ×amzah FansËrÊ, Shah Waliy AllÉh Dehlawi, NËruddÊn al-Raniri, Abdul Øamad
Palembani, Abdul Rauf Sinkel, Yusuf al-Makasari, Daud al-Fatani dll—dan semua
murid-murid dan pengikut mereka, karena kononnya mereka menggunakan hadis-hadis
yang lemah dalam menguraikan ajaran-ajaran metafisika, akhlak dan kerohanian
yang telah berperanan penting dalam penyebaran dan pengukuhan Islam di berbagai
tempat, terutamanya di Alam Melayu ini.
Padahal, mereka juga para pakar hadith. Bagi mereka yang secara ilmiah dan
akhlakiah dikira amat berwibawa, hadith-hadith tersebut diterima melalui
tradisi mutawatir, dari guru-guru mereka secara terus-menerus, yang mereka
kenali selama bertahun-tahun, adalah lebih menyakinkan bagi mereka dibandingkan
teknik para muhaddith lainnya.[8]
Menarik untuk
diketahui bahwa di antara pemikir Muslim modern, Iqbal dan Al-Attas termasuk di
antara sedikit yang menyuarakan peranan intuisi sebagai salah satu elemen
mendasar dalam pencarian ilmu pengetahuan. Dipengaruhi oleh pemikiran
cendekiawan sufi, Iqbal menganggap intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi
dari persepsi dan fikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi.
Meskipun pengalaman intuitif itu sendiri tidak dapat diberitahukan kepada orang
lain, pemahaman tentang kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal darinya
dapat merubah diri, dan sekitarnya. Intuisi terdiri dari berbagai jenis dan tingkat, yang terendah adalah yang
dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan mereka, sedangkan yang
tertinggi dialami oleh para nabi. Dalam konteks yang didefinisikan di atas,
semua ilmu pengetahuan, ketika untuk pertama kalinya diperhatikan oleh
pemerhatinya, adalah sesuatu yang dicapai melalui intuisi.[9]
Kedudukan al-Qur’an,
Sunnah, dan pribadi Nabi Muhammad Saw, tidak hanya sebagai penyalur kebenaran,
tetapi juga merupakan kebenaran itu sendiri, dalam arti bahwa otoritas mereka
tidak hanya sebatas message (pesan) yang dibawanya, tetapi juga dalam
cara-cara bagaimana message itu dibawa. Ini disebabkan al-Qur’an dan
Sunnah ditetapkan pada tingkat kognitif dan pengalaman spiritual tertinggi dan
tidak dapat dikurangi begitu saja pada tingkat rasional dan empiris biasa.[10]
Pemahaman yang benar tentang apa yang diinginkan oleh al-Qur’an dan Sunnah
tidak dapat dilakukan hanya dengan memahami arti yang terkandung dalam
istilah-istilah yang digunakan, tetapi juga dengan memahami bentuk, cara
penggunaan, dan susunan istilah tersebut. Umpamanya, karena Allah SWT saja yang
tahu tentang diri-Nya yang hakiki, perkataan yang digunakan umat Islam untuk
menyeru-Nya adalah perkataan yang sesuai dengan keinginan-Nya, sebagaimana yang
telah dicontohkan oleh Nabi-Nya. Oleh sebab itu, umat Islam menyeru Allah SWT
dengan menggunakan AsmÉ’ al-×usnÉ dan mengagungkanNya dengan panggilan yang
sepatutnya.[11]
Meskipun aspek-aspek
fisik dari al-Qur’an dan Nabi berada dalam alam yang selalu berubah ini, message
dan semangat mereka adalah abadi dan suci. Atas alasan inilah, umat Islam yang
taat, misalnya, tidak hanya mengungkapkan rasa cinta dan hormat mereka dengan
cara meneliti ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tetapi juga melakukan cara-cara
yang sesuai dalam menyeru atau berhubungan dengan keduanya.[12]
Umat Islam sejak generasi pertama sudah memahami bahwa otoritas Nabi Muhammad
saw tidak hanya terbatas pada apa yang disampaikan, tetapi juga termasuk
gerak-gerik fisik dan akhlaknya, yang kesemuanya didengar dengan penuh
kepercayaan, diteliti secara mendalam, didokumentasikan, disampaikan, difahami,
dan diikuti sebagai contoh. Baginda tidak hanya menjadi contoh bagi orang dewasa,
tetapi juga bagi semua umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, besar
maupun kecil; dan dengan demikian, isu-isu gender serta perpecahan antara
generasi yang sekarang terjadi di tengah-tengah komunitas Muslim yang
kehilangan prinsip tersebut di atas, dapat dihapuskan.[13]
Dari
perbincangan di atas, jelaslah bahwa tuduhan yang dilemparkan oleh kalangan
Muslim modernis kepada kaum sufi bahwa para ahli sufi merendahkan dan
menganggap proses belajar dan pemikiran akli sebagai sesuatu yang “jahat”, dan
bahwa mereka “merendahkan akal fikiran” karena hanya menganggap otoritas dan
intuisi sebagai cara yang benar dalam usaha mencapai ilmu pengetahuan tertentu[14]
adalah tuduhan yang salah dan tidak benar. Pada hakikatnya, apa yang telah
disebutkan oleh Fazlur Rahman bahwa “beberapa ahli filsafat penting setelah
abad ke-12”, seperti Al-Suhrawardi (w. 1191 M) dan Mulla Sadra, “dan
lain-lainnya, membela dan menganggap diri mereka mampu memadukan akal fikiran
dengan pengalaman intuisi”,[15]
secara logis, bertentangan dan memutarbalikkan semua tuduhan tersebut.
Seterusnya, kategori yang telah dibuat Rahman tentang Al-Suhrawardi, Mulla
Sadra, dan “yang lainnya” sebagai ahli filsafat adalah gambaran dari fakta
bahwa orang sudah terlebih dahulu memiliki pendapat yang berlawanan dengan para
ahli sufi, apa pun faktanya. Tambahan pula, persis sebagaimana adanya fuqaha
dan ahli filsafat yang salah, tentunya di sana
juga terdapat ahli sufi yang salah.[16]
Bahkan di antara fuqaha, ahli filsafat, dan ahli sufi yang benar pun terdapat
tingkat-tingkat yang membedakan mereka antara satu dengan yang lain.
[1] Commentary, hlm. 31; The Oldest Malay Manuscript, hlm.
53; IPS, hlm. 5. Al-TaftazÉni juga menjelaskan masalah yang sama, yang
sehaluan dengan pandangan Al-Attas. Lihat Mas’Ëd ‘Umar Al-TaftazÉni, SyarÍ
Al-‘AqÉ’id Al-Nasafiyah, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
pendahuluan oleh E.E. Elder, A Commentary on the Creed of Islam, 1950
(New York: Book for Libraries, 1980), Bab 2. Sebagai bahan perbandingan dengan
saluran-saluran atau “akar-akar ilmu pengetahuan” yang telah diterangkan oleh
Al-BaghdÉdi, lihat Wensinck, The Muslim Creed, hlm. 255–263. Untuk
mengetahui lebih dalam tentang analisis Imam Al-GhazÉli tentang indera,
intelek, hati, dan imajinasi, lihat tesis M.A. yang ditulis oleh Mohd Zaidi
Ismail, The Sources of Knowledge in Al-Ghazali: A Psychological Framework of
Epistemology (ISTAC, Agustus 1995).
[2] Muhammad Iqbal, Reconstruction
of Religious Thought in Islam. Terbitan pertama 1937 (Lahore: Javed Iqbal,
1965) khususnya Bab 3, “The Spirit of Muslim Culture”; bdk. juga Isyrat
Hasan Enver, Metaphysics of Iqbal, cetakan ulang edisi revisi pada 1955
(Lahore : Sy.
Muhammad Asyraf, 1973), hlm. 2–4.
[3] Lihat juga AbË ×Émid Al-GhazÉli, Kimiya-e-Sa‘adah,
diterjemahkan dari bahasa India
oleh Claud Field, The Alchemy of Happiness (Lahore : Sy. Muhammad Asyraf, t.t.), hlm. 30.
[4] Risalah, para. 48, hlm. 158–159. Mengenai peranan indera dalam
menolong diri manusia mencapai ilmu-ilmu mengenai yang partikular, lihat S.M.
Naquib Al-Attas, The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1990) hlm 28–29 yang kemudian dijadikan bab keempat dalam Prolegomena.
Setelah ini disebut NMPHS; dan diskusi pribadi dengan Al-Attas pada 28
Januari 1993.
[5] Commentary, hlm. 31–32; IPS,
hlm. 10.
[6] Al-Ghazali, Alchemy, hlm.
21
[7] IPS, hlm. 12–13.
[8] Untuk kajian yang amat baik
tentang masalah ini, silahkan lihat Ismael Hussein Sengendo, Al-Ghazzali’s
Usage of Weak Hadith in His Writings, with Special Reference to His Attempt to
Revive Islamic Sciences. Tesis Doktor Filsafat dalam Pemikiran Islam.
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur , Oct. 2002,
terutama bab 3 dan 4.
[9] IE, hlm. l, yang di
dalamnya dinukil KitÉb Al-NajÉt, karya Ibn SÊnÉ. Iqbal, Reconstruction,
hlm. 18–27; Enver, Metaphysics, hlm. 5–9, 19–35; K G Saiyidain, Iqbal’s
Educational Philosophy. Terbitan pertama 1938 (Lahore: Sh Muhammad Asraf,
1971) Bab 6; dan Al-Attas, Commentary, hlm. 32. Perlu diketahui bahwa
yang dimaksud dengan perkataan diri di atas bukanlah diri fisikal, melainkan
diri dalam konteks spiritual yang, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-A’rÉf
(7): 172, mengenal dan mengakui Tuhan sebagai Penciptanya.
[10] IPS, hlm. 13
[11] Di antara ungkapan seruan yang
umumnya diamalkan oleh umat Islam dari dahulu hingga sekarang adalah subÍÉnallÉh
(Mahasuci Allah), alÍamdulillÉh (segala puji hanya untuk Allah), AllÉhu
Akbar (Allah Mahabesar), LÉ Íawla walÉ quwwata illÉ billÉh (tiada
daya dan tiada usaha selain kepunyaan Allah).
[12] Misalnya, orang yang
berpengetahuan dan saleh di antara umat Islam biasanya tidak menyebut Nabi
dengan perkataan “Ya Muhammad!”, tetapi dengan panggilan yang penuh dengan rasa
hormat. Mereka juga tidak mau menyentuh al-Qur’an tanpa wudhu dan senantiasa
meletakkannya pada tempat yang tinggi dan khusus.
[13] Risalah, para. 63, hlm.
227–233; IS, hlm. 121–124.
[14] Rahman, Islam and Modernity,
hlm. 39.
[15] Ibid.
[16] Lihat, misalnya, Al-Hujwiri, Kasyf,
hlm. 30–31 dan 35; Muhammad ‘Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazali,
cetakan ulang pada 1962 (Lahore :
Sy. Muhammad Asyraf, 1970), hlm. 205–207.