Selasa, 23 April 2013

Sumber Pengetahuan Dalam Islam


Tradisi Islam menggariskan bahwa ilmu pengetahuan tiba melalui berbagai  sumber, yaitu pancaindera (al-ÍawÉss al-khamsah), akal fikiran sehat (al-‘aql al-salÊm), berita yang benar (al-khabar al-ÎÉdiq), dan intuisi (ilhÉm).[1] Pandangan seperti ini adalah suatu cerminan dan pengakuan yang adil terhadap berbagai  tingkat realitas. Hal ini sependapat dengan Iqbal, bahwa Islam tidak pernah mengecilkan peranan indera, yang pada dasarnya merupakan sumber yang sangat penting dalam pencapaian ilmu pengetahuan tentang realitas empiris.[2] Indera berfungsi sebagai instrumen pokok bagi jiwa dalam mengetahui aspek-aspek tertentu dari Sifat dan Nama Allah Swt melalui alam ciptaanNya.[3] Istilah pengalaman dalam bahasa Melayu, yang diambil dari bahasa Arab, ‘Élam, artinya alam semesta, dan ‘ilm artinya ilmu pengetahuan, secara langsung menunjukkan bahwa mengalami kehidupan alam ini adalah sama artinya dengan memiliki ilmu pengetahuan tentang alam, yaitu pengilmuan. Sebab, umat Islam mengetahui bahwa Islam menganggap pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan yang absah.[4]
Demikian pula akal fikiran sehat, sebagai aspek akal manusia, merupakan sumber penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, yaitu masalah yang dapat difahami dan dikuasai oleh akal, dan tentang sesuatu yang dapat dicerap dengan indera. Akal fikiran manusia akan mengatur dan menemukan hubungan yang sesuai dalam setiap ruang ilmu pengetahuan dan antara satu dengan lainnya. Kata sifat “sehat” setelah perkataan akal (sound reason) sebagai satu sumber ilmu, bukan saja karena fikiran manusia sering tidak betul, berangkat dari premis yang salah atau dari kesimpulan yang salah, meskipun berdasarkan premis yang betul, melainkan juga karena fikiran manusia kerap dipengaruhi oleh ramalan dan imajinasi, yang mungkin salah, contohnya ketika akal menafikan kemampuannya untuk memahami realitas spiritual melalui intuisi, yaitu daya lain dari akal manusia.
Akal fikiran (al-‘Aql) bukan hanya rasio, ia adalah “fakultas mental” yang mensistematisasikan dan mentafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu yang dapat difahami. Lebih dari itu, akal fikiran adalah salah satu aspek dari akal dan bekerja bersama dengan akal. Akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi. Dengan demikian, akal adalah perantara yang, khususnya oleh para ahli sufi, menghubungkan akal-fikiran dengan intuisi.[5] Oleh sebab itu, siapa saja yang membatasi fungsi akal-fikiran sebagai aspek yang rasional dan dapat dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan akal fikiran dari kualitas yang sebenarnya dan, dengan demikian, menjadikan akal fikirannya tidak sehat. Perlu diketahui bahwa hati yang dikatakan sebagai sumber intuisi bukanlah hati fisik, melainkan realitas yang terdapat di alam roh yang menggunakan semua daya yang lain sebagai instrumen.[6]
Berita yang benar adalah sumber lain ilmu pengetahuan yang terdiri dari dua jenis. Jenis yang pertama adalah berita yang terbukti secara terus-menerus dan disampaikan oleh mereka yang kebaikan akhlaknya tidak mengizinkan akal fikiran kita untuk membayangkan bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawÉtir adalah contoh yang sangat tepat tentang jenis berita ini. Kesepakatan umum para ahli, ilmuwan, dan sarjana juga dianggap sebagai bagian dari jenis ini. Meskipun memiliki otoritas, kesepakatan tersebut masih dapat dipersoalkan menurut kaedah rasional dan empirikal, sebagaimana yang terjadi dalam kasus laporan sejarah, geografi, dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak, yang dibawa oleh Nabi berdasarkan wahyu. Jelasnya, semua otoritas yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan akhirnya merujuk pada pengalaman intuitif.[7]
Satu aliran pemikiran yang telah lahir dari masyarakat Islam abad pertengahan, terutama setelah kejatuhan Baghdad ke tangan Mongol pada 1248 Masehi, berniat baik demi menyucikan ajaran dan amalan Islam dari berbagai  khurafat dan bid‘ah telah menimbulkan satu akibat negatif sampingan yang telah mengikis konsep dan amalan tradisi mutawir. Aliran ini didukung oleh kajian positif tentang isnÉd dalam pengajian ÍadÊth nabawÊ. Penekanan yang berlebihan kepada kewibawaan isnad dalam menilai hadith telah mengakibatkan berlakunya kekeliruan akan kedudukan hakiki sebilangan besar dari para ulama besar dan ahli sufi yang berkaliber---seperti contohnya AbË ÙÉlib al-MakkÊ, AbË ×Émid al-GhazÉlÊ, Ibn ‘ArabÊ, ‘Abd RaÍmÉn Jami, JalÉluddÊn RËmÊ, ×amzah FansËrÊ, Shah Waliy AllÉh Dehlawi, NËruddÊn al-Raniri, Abdul Øamad Palembani, Abdul Rauf Sinkel, Yusuf al-Makasari, Daud al-Fatani dll—dan semua murid-murid dan pengikut mereka, karena kononnya mereka menggunakan hadis-hadis yang lemah dalam menguraikan ajaran-ajaran metafisika, akhlak dan kerohanian yang telah berperanan penting dalam penyebaran dan pengukuhan Islam di berbagai  tempat, terutamanya di Alam Melayu ini. Padahal, mereka juga para pakar hadith. Bagi mereka yang secara ilmiah dan akhlakiah dikira amat berwibawa, hadith-hadith tersebut diterima melalui tradisi mutawatir, dari guru-guru mereka secara terus-menerus, yang mereka kenali selama bertahun-tahun, adalah lebih menyakinkan bagi mereka dibandingkan teknik para muhaddith lainnya.[8]
Menarik untuk diketahui bahwa di antara pemikir Muslim modern, Iqbal dan Al-Attas termasuk di antara sedikit yang menyuarakan peranan intuisi sebagai salah satu elemen mendasar dalam pencarian ilmu pengetahuan. Dipengaruhi oleh pemikiran cendekiawan sufi, Iqbal menganggap intuisi sebagai pengalaman yang unik, lebih tinggi dari persepsi dan fikiran, yang menghasilkan ilmu pengetahuan tertinggi. Meskipun pengalaman intuitif itu sendiri tidak dapat diberitahukan kepada orang lain, pemahaman tentang kandungannya atau ilmu pengetahuan yang berasal darinya dapat merubah diri, dan sekitarnya. Intuisi terdiri dari berbagai  jenis dan tingkat, yang terendah adalah yang dialami oleh para ilmuwan dan sarjana dalam penemuan mereka, sedangkan yang tertinggi dialami oleh para nabi. Dalam konteks yang didefinisikan di atas, semua ilmu pengetahuan, ketika untuk pertama kalinya diperhatikan oleh pemerhatinya, adalah sesuatu yang dicapai melalui intuisi.[9]
Kedudukan al-Qur’an, Sunnah, dan pribadi Nabi Muhammad Saw, tidak hanya sebagai penyalur kebenaran, tetapi juga merupakan kebenaran itu sendiri, dalam arti bahwa otoritas mereka tidak hanya sebatas message (pesan) yang dibawanya, tetapi juga dalam cara-cara bagaimana message itu dibawa. Ini disebabkan al-Qur’an dan Sunnah ditetapkan pada tingkat kognitif dan pengalaman spiritual tertinggi dan tidak dapat dikurangi begitu saja pada tingkat rasional dan empiris biasa.[10] Pemahaman yang benar tentang apa yang diinginkan oleh al-Qur’an dan Sunnah tidak dapat dilakukan hanya dengan memahami arti yang terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan, tetapi juga dengan memahami bentuk, cara penggunaan, dan susunan istilah tersebut. Umpamanya, karena Allah SWT saja yang tahu tentang diri-Nya yang hakiki, perkataan yang digunakan umat Islam untuk menyeru-Nya adalah perkataan yang sesuai dengan keinginan-Nya, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi-Nya. Oleh sebab itu, umat Islam menyeru Allah SWT dengan menggunakan AsmÉ’ al-×usnÉ dan mengagungkanNya dengan panggilan yang sepatutnya.[11]
Meskipun aspek-aspek fisik dari al-Qur’an dan Nabi berada dalam alam yang selalu berubah ini, message dan semangat mereka adalah abadi dan suci. Atas alasan inilah, umat Islam yang taat, misalnya, tidak hanya mengungkapkan rasa cinta dan hormat mereka dengan cara meneliti ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tetapi juga melakukan cara-cara yang sesuai dalam menyeru atau berhubungan dengan keduanya.[12] Umat Islam sejak generasi pertama sudah memahami bahwa otoritas Nabi Muhammad saw tidak hanya terbatas pada apa yang disampaikan, tetapi juga termasuk gerak-gerik fisik dan akhlaknya, yang kesemuanya didengar dengan penuh kepercayaan, diteliti secara mendalam, didokumentasikan, disampaikan, difahami, dan diikuti sebagai contoh. Baginda tidak hanya menjadi contoh bagi orang dewasa, tetapi juga bagi semua umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil; dan dengan demikian, isu-isu gender serta perpecahan antara generasi yang sekarang terjadi di tengah-tengah komunitas Muslim yang kehilangan prinsip tersebut di atas, dapat dihapuskan.[13]
Dari perbincangan di atas, jelaslah bahwa tuduhan yang dilemparkan oleh kalangan Muslim modernis kepada kaum sufi bahwa para ahli sufi merendahkan dan menganggap proses belajar dan pemikiran akli sebagai sesuatu yang “jahat”, dan bahwa mereka “merendahkan akal fikiran” karena hanya menganggap otoritas dan intuisi sebagai cara yang benar dalam usaha mencapai ilmu pengetahuan tertentu[14] adalah tuduhan yang salah dan tidak benar. Pada hakikatnya, apa yang telah disebutkan oleh Fazlur Rahman bahwa “beberapa ahli filsafat penting setelah abad ke-12”, seperti Al-Suhrawardi (w. 1191 M) dan Mulla Sadra, “dan lain-lainnya, membela dan menganggap diri mereka mampu memadukan akal fikiran dengan pengalaman intuisi”,[15] secara logis, bertentangan dan memutarbalikkan semua tuduhan tersebut. Seterusnya, kategori yang telah dibuat Rahman tentang Al-Suhrawardi, Mulla Sadra, dan “yang lainnya” sebagai ahli filsafat adalah gambaran dari fakta bahwa orang sudah terlebih dahulu memiliki pendapat yang berlawanan dengan para ahli sufi, apa pun faktanya. Tambahan pula, persis sebagaimana adanya fuqaha dan ahli filsafat yang salah, tentunya di sana juga terdapat ahli sufi yang salah.[16] Bahkan di antara fuqaha, ahli filsafat, dan ahli sufi yang benar pun terdapat tingkat-tingkat yang membedakan mereka antara satu dengan yang lain.



[1]    Commentary, hlm. 31; The Oldest Malay Manuscript, hlm. 53; IPS, hlm. 5. Al-TaftazÉni juga menjelaskan masalah yang sama, yang sehaluan dengan pandangan Al-Attas. Lihat Mas’Ëd ‘Umar Al-TaftazÉni, SyarÍ Al-‘AqÉ’id Al-Nasafiyah, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan pendahuluan oleh E.E. Elder, A Commentary on the Creed of Islam, 1950 (New York: Book for Libraries, 1980), Bab 2. Sebagai bahan perbandingan dengan saluran-saluran atau “akar-akar ilmu pengetahuan” yang telah diterangkan oleh Al-BaghdÉdi, lihat Wensinck, The Muslim Creed, hlm. 255–263. Untuk mengetahui lebih dalam tentang analisis Imam Al-GhazÉli tentang indera, intelek, hati, dan imajinasi, lihat tesis M.A. yang ditulis oleh Mohd Zaidi Ismail, The Sources of Knowledge in Al-Ghazali: A Psychological Framework of Epistemology (ISTAC, Agustus 1995).
[2] Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam. Terbitan pertama 1937 (Lahore: Javed Iqbal, 1965) khususnya Bab 3, “The Spirit of Muslim Culture”; bdk. juga Isyrat Hasan Enver, Metaphysics of Iqbal, cetakan ulang edisi revisi pada 1955 (Lahore: Sy. Muhammad Asyraf, 1973), hlm. 2–4.
[3] Lihat juga AbË ×Émid Al-GhazÉli, Kimiya-e-Sa‘adah, diterjemahkan dari bahasa India oleh Claud Field, The Alchemy of Happiness (Lahore: Sy. Muhammad Asyraf, t.t.), hlm. 30.
[4]    Risalah, para. 48, hlm. 158–159. Mengenai peranan indera dalam menolong diri manusia mencapai ilmu-ilmu mengenai yang partikular, lihat S.M. Naquib Al-Attas, The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (Kuala Lumpur: ISTAC, 1990) hlm 28–29 yang kemudian dijadikan bab keempat dalam Prolegomena. Setelah ini disebut NMPHS; dan diskusi pribadi dengan Al-Attas pada 28 Januari 1993.
[5] Commentary, hlm. 31–32; IPS, hlm. 10.
[6] Al-Ghazali, Alchemy, hlm. 21
[7] IPS, hlm. 12–13.
[8] Untuk kajian yang amat baik tentang masalah ini, silahkan lihat Ismael Hussein Sengendo, Al-Ghazzali’s Usage of Weak Hadith in His Writings, with Special Reference to His Attempt to Revive Islamic Sciences. Tesis Doktor Filsafat dalam Pemikiran Islam. International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Kuala Lumpur, Oct. 2002, terutama bab 3 dan 4.
[9] IE, hlm. l, yang di dalamnya dinukil KitÉb Al-NajÉt, karya Ibn SÊnÉ. Iqbal, Reconstruction, hlm. 18–27; Enver, Metaphysics, hlm. 5–9, 19–35; K G Saiyidain, Iqbal’s Educational Philosophy. Terbitan pertama 1938 (Lahore: Sh Muhammad Asraf, 1971) Bab 6; dan Al-Attas, Commentary, hlm. 32. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkataan diri di atas bukanlah diri fisikal, melainkan diri dalam konteks spiritual yang, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-A’rÉf (7): 172, mengenal dan mengakui Tuhan sebagai Penciptanya.
[10] IPS, hlm. 13
[11] Di antara ungkapan seruan yang umumnya diamalkan oleh umat Islam dari dahulu hingga sekarang adalah subÍÉnallÉh (Mahasuci Allah), alÍamdulillÉh (segala puji hanya untuk Allah), AllÉhu Akbar (Allah Mahabesar), LÉ Íawla walÉ quwwata illÉ billÉh (tiada daya dan tiada usaha selain kepunyaan Allah).
[12] Misalnya, orang yang berpengetahuan dan saleh di antara umat Islam biasanya tidak menyebut Nabi dengan perkataan “Ya Muhammad!”, tetapi dengan panggilan yang penuh dengan rasa hormat. Mereka juga tidak mau menyentuh al-Qur’an tanpa wudhu dan senantiasa meletakkannya pada tempat yang tinggi dan khusus.
[13] Risalah, para. 63, hlm. 227–233; IS, hlm. 121–124.
[14] Rahman, Islam and Modernity, hlm. 39.
[15] Ibid.
[16] Lihat, misalnya, Al-Hujwiri, Kasyf, hlm. 30–31 dan 35; Muhammad ‘Umaruddin, The Ethical Philosophy of Al-Ghazali, cetakan ulang pada 1962 (Lahore: Sy. Muhammad Asyraf, 1970), hlm. 205–207.

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...