Prof. Naquib al-Attas |
by
Adi Setia
Pendahuluan
Banyak persoalan epistemologi Islam yang masih perlu dibahas dan
dikembangkan. Yang akan diuraikan dibawah ini adalah rumusan epistemologi Islam
yang dikemukakan oleh Professor Syed
Muhammad Naquib al-Attas yang terdapat dalam Prolegomena dan beberapa karyanya yang lain. Uraian beliau ini
penting sebab di dalamnya terdapat gambaran umum tentang epistemologi Islam dan
perbedaan pokoknya dengan epistemologi Barat.
Epistemologi
dan psikologi
Epistemologi (faham ilmu) Profesor
Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan suatu teori psikologi (ilmu jiwa=‘ilm al-nafs) rasional atau teori
kognitif (cognitive theory) insan. Teori
kognitif bersangkut-paut dengan cara bagaimana manusia dapat tahu, tentang daya
dan upaya akal (cognitive facultives=quwwah
‘aqliyyah) yang mencapai ilmu. Maka epistemologi al-Attas merupakan suatu proses
akli dalam jiwa manusia yang membolehkannya mencapai ilmu. Beliau menerima
faham tradisional yang melihat akal sebagai faktor utama yang membedakan manusia
dari hewan. Faham tradisional ini disepakati oleh filosof, sufi dan mutakallim.
Karena akal merupakan ciri paling utama yang mentakrifkan insan sebagai insan,
maka psikologi atau faham tentang kejiwaan insan pada asasnya adalah kajian
tentang hakekat akal insan. Dengan itu maka insan mampu menjelaskan hubungannya
dengan Tuhan dan dengan alam, termasuk hubungan dengan dirinya sendiri dan
hubungan dengan sesama insan. Ini juga bermakna bahwa akal itu bersifat
refleksif dan introspektif (reflexive and
introspective), karena akal mampu melihat dan menghukumi dirinya sendiri.
Dari sudut pandang ini, maka boleh difahami bahwa sains Islam melibatkan
penggunaan pancaindera yang sehat (sound
senses) untuk mengalami kenyataan (reality=al-ÍaqÊqah) serta melibatkan penggunaan
akal sehat (sound mind) demi memahami
kebenaran (truth=al-Íaqq).[1] Apabila disebut sains
Islam, maka yang dimaksudkan ialah semua disiplin pengkajian yang tersusun (any systematic inquiry), termasuk sains alam,
sains insani dan sains akli (natural,
human and intellectual sciences).
Sesuai dengan
psikologi daya Islam (Islamic faculty
psychology) yang pernah diuraikan oleh ibn SÊnÉ, al-GhazÉlÊ dan ibn ‘Arabi,
al-Attas mengagas apa yang disebut sebagai epistemologi dalam kerangka
psikologi (psychological framework of
epistemology).[2]
Al-Attas berhujah bahwa karena filsafat tentang alam pancaindera (‘Élam
al-syahÉdah=world of sense and
sensible experience) difahami dan diuraikan oleh akal insan (man’s intellect), maka kita mula-mula
hendaklah memahami sedikit-banyak tentang akal dalam “melihat” kenyataan (ÍaqÊqah) dan kebenaran (Íaqq).[3]
Sumber-sumber ilmu[4]
Seperti yang telah dirumuskan
oleh al-Nasafi (w. 537/1142),[5] al-Attas menyatakan bahwa
ilmu yang datang dari Tuhan, merupakan sumber hakiki dan tertinggi (ultimate source) dari ilmu. Ilmu dari
Tuhan ini dicapai oleh insan melalui jalan atau saluran (channels) pancaindera yang sehat (sound senses=ÍawÉss salÊmah),
khabar yang benar dan otoritatif (authoritative
true reports=khabar ÎÉdiq), akal sehat (sound reason=aql salÊm)
dan ilhÉm (intuition=hads, wijdÉn). Epistemologi yang akan diuraikan
secara ringkas di bawah ini akan membuktikan bahwa akal sehat dan ilham itu terangkum
dalam satu kategori, yaitu intelek=intellect.[6]
Sumber dan kaedah ilmu dalam Islam
Ilmu yang datang
dari Tuhan itu diperoleh melalui jalan:
I.
Pancaindera sehat
(ÍawÉss salÊmah)
(i)
pancaindera eksternal:
peraba (touch), perasa (taste), pencium (smell), pendengaran (hearing),
penglihatan (sight)
(ii)
pancaindera internal:
indera bersama (common sense=al-Íiss al-musytarak), representasi (representation=al-khayÉliyyah), estimiasi
(estimation=al-wahmiyyah), rekoleksi (retention/recollection=al-ÍÉfiÐah/al-dhÉkirah), imaginasi (imagination=al-khayÉl/al-mutakhalliyyah)
II.
Laporan benar
(khabar ÎÉdiq) berdasarkan autoritas
(naql):
(i)
otoritas
mutlak (absolute authority)
(a)
otoritas
ketuhanan, yaitu al-Qur’an
(b) otoritas kenabian, yaitu Rasulullah
(ii)
autoritas nisbi
(relative
authority)
(a)
kesepakatan
alim ulama (tawÉtur)
(b) khabar dari orang terpercaya secara umum
III.
Intelek (intellect=‘aql)
(i)
akal sehat (sound reason=ratio)
(ii)
ilham (intuition=hads, wijdÉn)
Ilmu dari Tuhan yang melalui saluran
tersebut ditanggapi oleh akal (intellect),
yang merupakan realitas ruhani dalam kalbu (heart=qalb) insan. Kalbu ialah anggota ruhani
yang mengendalikan proses kognitif insan. Melalui kalbu, jiwa rasional (al-nafs al-nÉÏiqah) bisa membedakan
antara kebenaran (Íaqq) dengan
kepalsuan (bÉÏil).[7] Akal dalam arti kata ratio=reason tidak berlawanan dengan ilham=hads, wijdÉn, intuition. Malah keduanya, akal dan
ilham, saling berkaitan dan bersatu melalui pengantara intelek (intellect).[8] Dengan ini dapat difahami bahwa
akal sebenarnya adalah kesatuan ratio
dan intellectus.[9]
Kemampuan akal
Al-Attas menjelaskan bahwa kemampuan
akal dan ilham tidak terbatas kepada pentafsiran dan pengalaman hal-hal yang
berkaitan dengan alam pancaindera, atau hal-hal fisikal, material dan duniawi
semata-mata. Malah kemampuan akal dan ilham insan mampu juga meliputi pemahaman
secara langsung terhadap kebenaran-kebenaran agama, wujud Tuhan, dan segala
sesuatu yang wujud (mawjËdÉt=existences). Malah kekuatan akal dan
ilham insan mampu mencapai pemahaman langsung (direct apprehension=idrÉk mubÉsyir)
terhadap wujud (WujËd=Existence) itu sendiri, sebagai suatu
kenyataan mutlak (Ultimate Reality).
Melalui kekuatan intelek, bidang akal mampu juga meneliti secara tersusun
kebenaran-kebenaran ilhami ini (intuitive
truths). Melalui pencerahan ilhami (intuitive
insight), susunan kenyataan yang terpadu (sistem of integrated reality) ini menjadi jelas secara sepotong-spotong
(partially revealed) bagi saintis tetapi menjadi jelas secara keseluruhan (wholly revealed) bagi sufi. Jadi saintis
dan sufi memiliki pencerahan ilhami: yang satu bersifat serpihan, sedangkan yang
lain bersifat menyeluruh.[10]
Kejelasan
secara sepotong-sepotong terjadi karena saintis cuma terlatih untuk mengalami
dan berfikir pada tahap kesadaran berdasarkan pada kebiasaan, yaitu tahap kesadaran inderawi biasa. Sedangkan sufi
terlatih lebih dari itu, karena mereka mengembangkan disiplin terhadap daya-upaya
etika-ruhani internal yang mengalami dan menaggapi kebenaran mutlak secara
langsung.[11]
Abd al-KarÊm al-JÊli (w. 1408) berkata bahwa insan adalah penghubung antara
Tuhan dan Alam. Setiap insan melambangkan kesempurnaan Ilahi, karena itu setiap
insan mempunyai potensi (daya) menjadi insÉn
kÉmil, insan sempurna. Ini berarti bahwa, pada dasarnya, realitas mutlak
mampu dicapai oleh setiap insan.[12]
Saintis dan
sufi
Apa hubungan antara sufi dan
saintis sehingga keduanya dapat dan perlu dibandingkan? Sufi dan saintis
mencari hakekat (realitas) dibalik alam fenomenal yang tampak pada pancaindera
ini, yaitu suatu hakekat atau prinsip dibalik
yang tampak yang mampu menyatukan kebinekaan yang tampak ini. Hakekat yang
menyatukan ini memberi makna atau rujukan kepada pelbagai fenomena yang datang-pergi
serta muncul-tenggelam setiap saat. Tetapi epistemologi kebanyakan saintis terbatas,
karena mereka hanya menggunakan indera dan akal diskursif (discursive reason=ratio) dan lalai membina daya ilhami dan daya
etika-ruhani. Mengapa keterbatasan ini terjadi? Karena mereka terbatas
ontologinya; mereka terbatas dalam faham mereka tentang wujud. Mereka anggap
secara a priori bahwa yang wujud
hanya alam fisikal yang ditangkap indera, sekaligus menolak kemungkinan ilmu
yang sampai dari sumber yang mengatasi
alam fisik ini. Adapun sufi, mereka menerima hakekat Wahyu yang menyampaikan
ilmu tentang kedua alam, ‘Élam al-ghayb
dan ‘alam al-syahÉdah. Bagi mereka
ilmu itu amanah moral yang mengharuskan perhatian akal dan amal sekaligus, demi
mencari, memahami dan memelihara ilmu itu sendiri. Keran itulah mengapa
al-Attas berkata bahwa sufi mencapai pencerahan menyeluruh, sedangkan saintis menerima
pencerahan parsial.[13]
Takrif ilmu
Dari keterangan di atas, dapatlah
difahami bahwa akal atau intelek merupakan jembatan yang menghubungkan di
antara alam inderawi yang lebih rendah tahap wujudinya dengan alam ruhani yang
lebih tinggi tahap wujudinya serta yang menjadi sumber kepada alam inderawi.
Melalui akal, insan mampu mengalami (experience)
tahap wujudi yang lebih tinggi ini, dan melalui akal juga insan mampu memadukan
aspek jasmaninya dengan aspek ruhaninya. Dari sudut pandang wujudi terpadu ini (integrated ontological perspective) al-Attas
mentakrifkan ilmu (knowledge) atau
proses pengilmuan (knowing) sebagai
ketibaan makna ke dalam jiwa (arrival of
meaning to the soul). Takrif ini melihat kepada Tuhan sebagai pemberi aktif
dan insan sebagai penerima pasif. Apabila melihat insan sebagai penerima aktif
maka al-Attas mentakrifkan ilmu atau proses pengilmuan sebagai sampainya jiwa
kepada makna (arrival of the soul at
meaning).[14]
Dalam pengalaman keilmuan insani, kedua proses, pasif dan aktif, ini terjadi
dan dan saling merespon.
Dari
uraian atas dapat difahami juga bahwa akal insan mampu mencapai ilmu tentang phenomena dan noumena sekaligus. Insan adalah mercu ciptaan Ilahi, sedangkan akal
adalah mercu sifat keinsanannya, yaitu mercu yang menghubungkan insan dengan
hakekat, yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena,
simbol dengan makna, dalÊl dengan madlËl, makhlËq dengan khÉliq,
nisbi dengan mutlak, fanÉ’ dengan baqÉ’, jasad dengan jiwa. Maka kita
menolak gagasan Kant yang menklaim ilmu hanya mencakup fenomena dan gagal
mencapai noumena. Malah kita katakan: We
know the thing-in-itself, namely that the thing-in-itself is other than itself,
for it points to other than itself, and
that other than itself is God Who Alone is truly Itself.[15]
Bahasa dan
akal
Bahasa dan akal saling berkait erat
karena ilmu yang dikandung akal batin menjelma ke alam lahir untuk diketahui
bersama sesama insan. Al-Attas menarik perhatian kita kepada takrif tradisional
terhadap insan yaitu al-ÍayawÉn al-nÉÏiq=hewan
bertutur=hewan berfikir, karena tuturan waras mencerminkan akal waras. Dalam
kata lain, penuturan hanyalah merupakan pen-zahiran akal ke alam nyata.
Melalui bahasa/penuturan yang bersifat obyektif/zahir, maka akal/ilmu yang
bersifat subjektif/batin menjadi nyata dan dapat diketahui umum. Pandangan ini didukung
juga oleh tokoh-tokoh bidang psikolinguistik seperti Noam Chomsky dan Ray
Jackendoff.[16]
Sains dan
bahasa
Intelek mencerminkan kenyataan, sedangkan
bahasa mencerminkan akal, maka secara tidak langsung bahasa ikut mencerminkan
kenyataan. Dalam hal ini al-Attas berkata bahwa pertuturan bahasa adalah pen-zahir-an
terhadap hakekat batin yang bernama akal.[17] Beliau berkata lagi bahwa
bahasa Arab sebagai bahasa Islam berfungsi memancarkan pandangan Islam tentang
kenyataan dan kebenaran.[18] Dalam arti kata lain,
bahasa mencerminkan kenyataan yang dipersepsi pancaindera, yang diilhami kalbu
dan yang disusun dalam akal. Ini berarti bahwa cara seseorang menggunakan
bahasa menunjukkan cara bagaimana dia mempersepsikan kenyataan. Secara khusus,
cara saintis membentuk rangkaian kata-kunci yang membentuk sistem makna untuk
memaparkan dan menyusun alam inderawi menguak status ontologi alam inderawi
dalam pandangan alam (worldview[19]) saintis tersebut. Ini juga
bermakna bahwa pemaparan sains terhadap alam inderawi bukanlah pemaparan yang
bebas-nilai (value-free), karena pemaparan
ini turut menghadirkan suatu hukum konsepsi yang bersifat subyektif terhadap hakekat
asli alam semesta. Jika demikian maka timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa tahu
bahwa sesuatu hukum konsepsi telah mampu menanggapi secara objektif, tepat dan
benar akan alam inderawi dan kemudian hakekat kewujudan di sebaliknya?
Wahyu, fitrah
dan ilmu
Bagi al-Attas, pertanyaan ini
terjawab apabila adanya iman kepada Wahyu dan tradisi yang terpancar dari Wahyu
sebagai sumber ilmu benar tentang Wujud Mutlak.[20] Ini berarti noumena wujud
dan kewujudannya dapat diketahui secara tak langsung (secara diskursif) melalui
kajian terhadap fenomena, serta dapat juga diketahui secara langsung (secara
ilhami, intuitive) melalui latihan intelekto-ruhani
seperti yang diuraikan dalam ilmu taÎawwuf
(atau ilmu tentang iÍsÉn=an ta‘buda AllÉha
ka annaka tarÉhu). Ilmu yang
diperolehi melalui kajian diskursif ini disahkan benar secara subjektif sebagai
benar melalui ilham/intuisi serta disahkan benar secara objektif melalui Wahyu,
Tradisi dan pengalaman intelekto-ruhani yang disepakati atau yang diketahui
bersama oleh ahli sufi. Maka konsepsi diskursif terhadap alam semesta adalah
benar kalau konsepsi itu sesuai dengan apa yang ditanggapi daya ilham dalam
jiwa insan dan dengan susunan kewujudan sebenarnya, yaitu al-fiÏrah, yang meliputi susunan alami dalam alam semesta serta
susunan alami dalam jiwa insan; dan fitrah ini tidak akan bertentangan dengan
Wahyu karena Wahyu diturunkan sesuai dengan fitrah insan dan fitrah alam.[21]
Epistemologi
Islam hanya sah bagi orang Islam?
Kita telah rumuskan empat prinsip
utama faham ilmu Islam, yaitu indera, otoritas,
akal dan intuisi, tetapi apakah ini prinsip epistemologi yang universal atau
hanya sah bagi orang Islam semata-mata? Agama Islam agama kebenaran mutlak dan universal,
maka prinsip-prinsip dasar epistemologinya sah juga bagi orang bukan Islam, baik
mereka sadari atau tidak, mereka kui atau tidak. Dalam sains modern pun,
keempat sumber ilmu ini diakui beroperasi dalam proses penemuan sains, dan hal
ini diakui oleh banyak saintis dan filosof sains. Peter Medawar,[22] sebagai contoh, mengakui
peranan intuisi dalam sains. Michael Polyanyi[23] mengakui peranan otoritas
dan tradisi, baik peranannya bersifat positif atau negatif. Konsep “science-forming
capacity” yang diutarakan oleh Noam Chomsky[24] jelas mempertimbangkan peranan
andaian latar????, tahap ilmu kontemporer dan pengalaman
inderawi dalam berinteraksi dengan akal untuk mencapai ilmu yang mendekati
benar tentang alam sekitar.
Yang
dikatakannya sebagai “lucky discovery” itu sebenarnya penemuan melalui
intuisi yang kemunculannya sulit difahami, namun bisa dialami saintis dan ahli
seni yang berdedikasi terhadap bidang permasalahan masing-masing. Riwayat hidup
para saintis terkenal penuh dengan cerita penemuan yang muncul tiba-tiba dalam
mimpi, dalam bar, ketika bercakap-cakap dan sebagainya setelah sekian lama menghadapi
jalan buntu.
Kesimpulan:
Perbedaan epistemologi Islam dengan epistemologi barat moden
Jadi yang sebenarnya membedakan
epistemologi Islam dengan epistemologi Barat modern ialah faham tentang skop
atau kemampuan inderawi, autoritas, akal dan intuisi. Perbedaan faham ini akhirnya
menjadi titik-tolak keyakinan wujudi (ontological
commitment) masing-masing. Bagi kita Wujud meliputi alam yang tampak (‘Élam al-syahÉdah) dan alam tak tampak (‘Élam al-ghayb), dan kedua alam ini
bersepadu dalam genggaman al-dhÉt al-WÉjib
al-WujËd, dan insan mampu mencapai ilmu sekedar kemampuannya tentang ketiga
kategori wujudi ini.
Bagi saintis
modern, Wujud dibatasi pada alam yang nampak, yaitu alam phenomena ini
semata-mata, maka ilmu insan hanya mencapai alam tampak karena itu sajalah yang
wujud. Tetapi kini, pembatasan dogmatik terhadap bidang kemampuan ilmu insan ini
menimbulkan banyak masalah, karena sains empiris sendiri sedang berhadapan
dengan hakekat yang melampaui dan mengatasi alam yang nampak.
Permasalahan
ini boleh dikatakan permasalahan “materialism
transcends itself”[25] (materialisme mengatasi
dirinya sendiri), suatu istilah dalam bidang ilmu jiwa, ataupun “the dematerialization of materialism” (penghapusan material pada materialisme) dalam bidang fisika.[26] Permasalahan ini timbul ketika
semakin mendalam penyelidikan terhadap ‘matter’
yang “solid” ternyata semakin tak solid. Permasalahan yang agak
rumit ini memaksa saintis barat merombak ontologi, sekaligus epistemologi
mereka, sehingga semakin hari semakin mirip kepada ontologi dan epistemologi
keagamaan dan keruhanian.[27]
[1] Syed Naquib
al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics
of IslÉm (Kuala Lumpur: ISTAC, 2002), 112.
[2] Moha Zaidi
Ismail, The Sources of Knowledge in
al-GhazÉli’s Thought: A Psychological Framework of Epistemology (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2004).
[3] Syed Naquib
al-Attas, The Positive Aspects of
Tasawwuf (Kuala Lumpur: ASASI, 1981), 3.
[4] Bandingkan dengan makalah
Syamsuddin Arif, “Prinsip-Prinsip Dasar Epistemologi Islam,” dalam Islamia, thn 2 no. 5 (2005).
[5] Syed Naquib
al-Attas, The Oldest Known Malay
Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the Aqa‘id of
al-Nasafi (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1988).
[6] Diringkaskan
daripada Prolegomena, 118—23 dan
149—154 passim.
[7] Syed Naquib
al-Attas, The Concept of Education in
Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 14.
[8] Prolegomena, 119.
[9] Positive Aspects of Tasawwuf, 3.
[10] Prolegomena, 119--120, 177—215 passim.
[11] Prolegomena, 120.
[12] Syed Naquib
al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri
(Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), 92.
[13] Prolegomena, 120.
[14] Prolegomena, 133.
[15] Mysticism, 92n157, 103—110, 194—195;
[16] Lihat makalah
saya, “Hakikat Bahasa Menurut Chomsky dan al-Attas,” dalam Islamia, thn. 1 no. 2 (2004).
[17] Prolegomena, 122.
[18] Concept of Education, 1—13 passim.
[19] Untuk uraian
lanjut lihat tentang istilah ‘worldview’, lihat makalah Hamid
Fahmy Zarkasyi, “Worldview sebagai Asas Epistemologi Islam,” Islamia thn. 2 no. 5 (2005).
[20] Prolegomena, 117—18, 140—41.
[21] Prolegomena, 41, 51-52, 130—31, 144.
[22] Induction and Intuition in Scientific
Thought (Philadelphia: American Philosophical Society, 1969), 42—59.
[23] Personal Knowledge (London: Routledge,
1998), 53—54; idem, Science, Faith and
Society (Chicago: University of Chicago Press, 1964), 42—62.
[24] Language and Problems of Knowledge
(Cambridge, MA: MIT, 1989), 156—60.
[25] Karl Popper dan Charles Eccles, The Self and Its Brain (London : Routledge, 2003),
3—35.
[26] Gaston Bachelard, The New Scientific Spirit (Boston:
Beacon Press, 1984), 69.
[27] Antara contoh paling ketara, David
Bohm, Wholeness the Implicate Order (London : Routledge, 2002).