Meski Ibn Rusyd sebagai seorang
filsuf, namun ia juga banyak melakukan kritik terhadap pemikiran para filsuf
yang ia pandang tidak benar. Dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, tidak
semua kritik ditujukan kepada Al-Ghazali, melainkan juga kepada filsuf yang
dikritik oleh Al-Ghazali; yakni Al-Farabi dan Ibn Sina, yang dinilai kurang
tepat dalam mengartikulasikan dan menginterpretasikan pemikiran Aristoteles.
Memang, Al-Ghazali memfokuskan
kritiknya terhadap Aristoteles, namun karena para penerjemah karya-karya
Aristoteles itu tak terlepas dari pelbagai kesalahan dalam interpretasi
sehingga banyak menimbulkan perbedaan yang sangat tajam. Dan, menurut
Al-Ghazali, di antara filsuf muslim yang terbaik dalam menyalin dan menyunting
pandangan Aristoteles adalah Al-Farabi dan Ibn Sina. Oleh karena itu, untuk
menolak dan mengkritik pandangan Aristoteles, cukup mengutipnya dari kedua
filsuf muslim tersebut.[1]
Di titik inilah, Ibn Rusyd menilai
Al-Ghazali telah melakukan generalisasi dalam menamai judul bukunya. Menurut
Ibn Rusyd, akan lebih tepat jika Al-Ghazali menamakannya Tahafut Al-Farabi,
atau Tahafut Ibn Sina. Sebab, yang dibaca dan kemudian dikomentari oleh
Al-Ghazali adalah apa yang bersumber dari Al-Farabi dan Ibn Sina, bukan dari
para filsuf yang disebutnya secara umum dalam bukunya tersebut. Padahal,
menurut Ibn Rusyd, banyak hal yang dikutip oleh Al-Ghazali tidak benar dari Ibn
Sina, yang pendapat tersebut disebutnya sebagai pendapat para filsuf, termasuk
kepada Aristoteles.[2]
Kritik juga ditujukan kepada Al-Farabi, karena beberapa kesalahan yang
dibuatnya terkait dengan pendapat para filsuf Yunani, seperti Plato dan
Aristoteles.
Kritik Ibn Rusyd kepada sesama
filsuf muslim tersebut dalam rangka memurnikan filsafat Aristoteles dari
infiltrasi dan distorsi gagasan inti yang mengaburkan, sehingga ia dapat
menampilkan filsafat Aristoteles secara genuine kepada dunia Islam.[3]
Yang ia maksud dengan pemurnian itu adalah ingin menunjukkan pelbagai kesalahan
yang terjadi selama proses penerjemahan, penyuntingan maupun penafsiran
pemikiran Aristoteles, sehingga mengaburkan antara pandangan filsafat
peripatetik dan filsafat Neo-Platonisme.
Dalam wujud Tuhan, Al-Farabi dan
Ibn Sina memunculkan pendapat dalil al-wajib wa al-mumkin. Bahwa yang
ada ini dibagi menjadi dua; wajib al-wujud (necessary being), dan mumkin
al-wujud (possible being).[4]
Wajib al-wujud lah yang menyebabkan mumkin al-wujud, sehingga
hubungan keduanya bersifat emanasionistis. Menurut Jamil Shaliba, pembagian di
atas tidak dijumpai di antara para filsuf selain Ibn Sina, sehingga karena
itulah Ibn Rusyd menilai negatif terhadapnya. Ibn Rusyd menilai, bahwa Ibn Sina
telah mengikuti metode teolog, khususnya Al-Juwaini, yang menyatakan bahwa alam
seluruhnya ini diliputi oleh pelbagai kemungkinan. Ibn Sina berpendapat bahwa
segala yang ada selain Allah, adalah mumkin dan jaiz.[5]
Ibn Rusyd menyatakan, jika dalam
teori tersebut dikatakan bahwa bisa saja terjadi keadaan yang berlawanan dengan
keadaan alam saat ini, misalnya matahari terbit di barat dan terbenam di timur,
air bergerak ke tempat yang tinggi, batu jatuh ke atas, maka hal itu baru
sebatas retorika saja. Sebab secara aksiomatik, hal tersebut terbukti tidak
benar dengan sendirinya. Sedangkan terhadap pandangan yang menyatakan bahwa
yang jaiz itu adalah baru dan dibuat oleh pembuatnya, maka hal itu menurut Ibn
Rusyd tidak jelas dan debatable. Kenyataannya, Plato membolehkan sesuatu
yang jaiz secara azali, sementara Aristoteles menolaknya. Maka, hal itu
merupakan masalah yang sangat niscaya dan mungkin terjadi.[6]
Jika dikatakan bahwa yang jaiz itu
terjadi karena disengaja oleh pembuat yang menghendakinya, sedangkan yang
terjadi karena kehendak adalah sesuatu yang baru, maka disimpulkan bahwa yang
jaiz itu terjadi karena kehendak pembuatnya. Sebeb, setiap aktivitas dapat
berlangsung karena proses alamiah atau karena adanya kehendak. Maka, Ibn Rusyd
mengambil kesimpulan bahwa alam ini terjadi karena sesuai dengan kehendak-Nya.[7]
Ibn Rusyd juga menilai bahwa orang yang berpandangan seperti yang disebutkan di
atas adalah orang-orang yang tidak mengerti hukum alam. Hal itu terjadi karena
mereka menyerupakan atau paling tidak menganalogikan pengetahuan Allah dengan
pengetahuan makhluk yang amat terbatas dan lemah ini.[8]
Teori emanasi yang banyak diusung
oleh para filsuf, juga tidak luput dari kritik Ibn Rusyd. Teori emanasi yang
menyatakan bahwa alam ini diciptakan bukan dari ketiadaan melainkan melimpah
atau keluar dari Wujud Pertama, mendapat kritik tajam dari Ibn Rusyd. Menurut
Ibn Rusyd teori ini dibangun atas pemikiran yang berasal antara lain dari buku Theologia
Aristoteles dan Liber de Causis yang dinisbahkan secara gegabah
kepada Aristoteles oleh kaum Neo-Platonis. Ironinya, di kalangan filsuf muslim,
semacam Al-Farabi dan Ibn Sina justru mengikuti dan mengembangkannya.
Tak berlebihan jika dikatakan, hampir
tidak dijumpai dalam sejarah filsafat Islam ada seorang filsuf yang dengan
gencar dan secara tajam melancarkan kritik dalam masalah emanasi melebihi Ibn
Rusyd. Kegigihannya dalam masalah tersebut adalah dalam rangka mengembalikan
dan memurnikan pendapat Aristoteles yang sebenarnya. Karena, menurut Ibn Rusyd,
filsuf Yunani tersebut sama sekali tidak pernah berpendapat demikian, dan tidak
pernah dijumpainya dalam karya-karyanya.[9]
Dikatakan dalam teori emanasi bahwa wujud-wujud yang melimpah itu muncul dari
Sebab Pertama, dan melalui satu daya yang melimpah itu alam seluruhnya adalah
satu, sehingga setiap bagian alam mempunyai kaitan yang utuh, tak ubahnya
seperti bagian-bagian tubuh makhluk yang bermacam-macam dengan fungsi
masing-masing, namun tetap merupakan satu kesatuan. Maka, dikatakan , dari yang
Satu hanya keluar satu juga.
Ibn Rusyd menilai bahwa teori
emanasi tersebut sebagai teori yang tidak dibangun atas proposisi-proposisi
yang akurat dan meyakinkan, melainkan didasarkan pada praduga yang tidak valid.
Maka, ia menyatakan bahwa Al-Farabi dan Ibn Sina dituding sebagai “yang paling
bertanggung jawab” atas munculnya teori “khurafat” tersebut, lalu diikuti oleh
banyak orang, dan dikatakan bahwa hal itu merupakan pandangan para filsuf.[10]
Dengan munculnya teori emanasi
tersebut, jelas Ibn Rusyd menolaknya. Menurutnya, mungkin saja dari yang Satu
itu muncul multiplisitas (wujud yang banyak), yang berbeda dalam materi,
bentuk, dan jaraknya dari yang Satu itu. Ibn Rusyd juga menegaskan bahwa terori
emanasi yang dibawa oleh Al-Farabi dan diikuti oleh Ibn Sina itu sama sekali
bukan berasal dari Aristoteles atau para filsuf peripatetik lainnya. Pandangan
tersebut berasal dari Porphyre, yang bukan seorang peripatetic sejati melainkan
seorang Neo-Plotinus.[11]
Menurut Ibn Rusyd, Aristoteles
telah menggabungkan antara wujud sensible (al-mahsus, empirik) dan wujud
rasionabel (al-ma’qul, ideal), lalu mengatakan bahwa “alam ini satu dan
keluar dari Yang Satu”. Yang Satu itu dari satu sisi merupakan sebab bagi
kesatuan dan dari sisi lain yang menjadi sebab bagi adanya keberagaman. Namun,
banyak yang kesulitan memahami pengertian pernyataan tersebut. Maka, Ibn Rusyd
menjelaskan bahwa dari yang Satu itu muncul “satu daya”, dan karena daya itulah
terjadi semua wujud sesuai ragam dan bentuknya.[12]
Dalam penjelasannya, Ibn Rusyd
menegaskan bahwa proses munculnya wujud yang banyak itu dari Allah. Bahwa alam
dan seluruh isinya terkait antara satu dengan lainnya, dan kaitan itulah yang
menjadikan adanya bagian-bagian itu saling mempengaruhi dan menggantungkan
antara satu dengan lainnya, dan akhirnya secara keseluruhan alam tergantung
pada Sebab Pertama.[13]
Oleh karena itulah diyakini bahwa alam seisinya yang beraneka ragam ini
merupakan karya Allah, dan muncul sebagai ciptaan-Nya, karena Dia yang membuat
adanya keterkaitan tersebut sehingga menjadi satu kesatuan. Menurut Ibn Rusyd
“Pembuat kaitan-kaitan tersebut adalah Pembuat Wujud” Demikianlah Ibn Rusyd
memahami pengertian perkataan Aristoteles bahwa “ala mini satu dan keluar dari
Yang Satu”.
Dari pernyataan itu Ibn Rusyd yakin
bahwa Allah menciptakan alam dengan kehendak dan kemauan-Nya secara hakiki
bukan simbolik dan manipulatif. Ini adalah bentuk penolakan yang tegas terhadap
teori emanasi yang menyatakan bahwa penciptaan ala mini terjadi secara
simbolik, karena ia berlangsung melalui pemancaran dari satu wujud ke wujud
berikutnya.
[1] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah,
p. 77-78
[2] Al-Iraqi, Al-Manhaj al-Naqdi fi
Falsafah Ibn Rusyd, p. 200
[3] Al-Iraqi, Al-Naz’ah al-Aqliyyah fi
Falsafah Ibn Rusyd, p. 47
[4] Shaliba, Jamil, Min Aflathin ila Ibn
Sina, p. 85-86.
[5] Ibn Rusyd, Manahij al-Adillah, p.
146. Lihat juga Al-Juwaini, Abd. Malik, Al-Irsyad
ila Qawati’ al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, Edisi As’ad Tamim, (Beirut:
Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, 1985) , p. 49.
[6] Ibn Rusyd, loc.cit.
[7] Ibn Rusyd, op.cit, p. 147
[8] Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, p.
123
[9] Al-Uwaidah, Kamil Muhammad, Ibn Rusyd Al-Andalusy,
Failasuf al-‘Arab wa al-Muslimin (Beirut: Dar al-Kutub Al-Islamiyyah,
1993), p. 61
[10] Badawi, Abdurrahman, Mausu’ah
al-Falsafah, p. 31
[11] Badawi, Abdurrahman, ibid, p. 33
[12] Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut,
op.cit, p. 303
[13] Jam’ah, Muhammad Luthfi, Tarikh Falasifah al-Islam fi
Al-Masyriq wa Al-Maghrib (Mesir: Najib Mitri, 1926), p. 178