Selasa, 23 April 2013

Kritik Ibn Rusyd Terhadap Al-Farabi dan Ibn Sina


Meski Ibn Rusyd sebagai seorang filsuf, namun ia juga banyak melakukan kritik terhadap pemikiran para filsuf yang ia pandang tidak benar. Dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, tidak semua kritik ditujukan kepada Al-Ghazali, melainkan juga kepada filsuf yang dikritik oleh Al-Ghazali; yakni Al-Farabi dan Ibn Sina, yang dinilai kurang tepat dalam mengartikulasikan dan menginterpretasikan  pemikiran Aristoteles.

Memang, Al-Ghazali memfokuskan kritiknya terhadap Aristoteles, namun karena para penerjemah karya-karya Aristoteles itu tak terlepas dari pelbagai kesalahan dalam interpretasi sehingga banyak menimbulkan perbedaan yang sangat tajam. Dan, menurut Al-Ghazali, di antara filsuf muslim yang terbaik dalam menyalin dan menyunting pandangan Aristoteles adalah Al-Farabi dan Ibn Sina. Oleh karena itu, untuk menolak dan mengkritik pandangan Aristoteles, cukup mengutipnya dari kedua filsuf muslim tersebut.[1]

Di titik inilah, Ibn Rusyd menilai Al-Ghazali telah melakukan generalisasi dalam menamai judul bukunya. Menurut Ibn Rusyd, akan lebih tepat jika Al-Ghazali menamakannya Tahafut Al-Farabi, atau Tahafut Ibn Sina. Sebab, yang dibaca dan kemudian dikomentari oleh Al-Ghazali adalah apa yang bersumber dari Al-Farabi dan Ibn Sina, bukan dari para filsuf yang disebutnya secara umum dalam bukunya tersebut. Padahal, menurut Ibn Rusyd, banyak hal yang dikutip oleh Al-Ghazali tidak benar dari Ibn Sina, yang pendapat tersebut disebutnya sebagai pendapat para filsuf, termasuk kepada Aristoteles.[2] Kritik juga ditujukan kepada Al-Farabi, karena beberapa kesalahan yang dibuatnya terkait dengan pendapat para filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles.

Kritik Ibn Rusyd kepada sesama filsuf muslim tersebut dalam rangka memurnikan filsafat Aristoteles dari infiltrasi dan distorsi gagasan inti yang mengaburkan, sehingga ia dapat menampilkan filsafat Aristoteles secara genuine kepada dunia Islam.[3] Yang ia maksud dengan pemurnian itu adalah ingin menunjukkan pelbagai kesalahan yang terjadi selama proses penerjemahan, penyuntingan maupun penafsiran pemikiran Aristoteles, sehingga mengaburkan antara pandangan filsafat peripatetik dan filsafat Neo-Platonisme.

Dalam wujud Tuhan, Al-Farabi dan Ibn Sina memunculkan pendapat dalil al-wajib wa al-mumkin. Bahwa yang ada ini dibagi menjadi dua; wajib al-wujud (necessary being), dan mumkin al-wujud (possible being).[4] Wajib al-wujud lah yang menyebabkan mumkin al-wujud, sehingga hubungan keduanya bersifat emanasionistis. Menurut Jamil Shaliba, pembagian di atas tidak dijumpai di antara para filsuf selain Ibn Sina, sehingga karena itulah Ibn Rusyd menilai negatif terhadapnya. Ibn Rusyd menilai, bahwa Ibn Sina telah mengikuti metode teolog, khususnya Al-Juwaini, yang menyatakan bahwa alam seluruhnya ini diliputi oleh pelbagai kemungkinan. Ibn Sina berpendapat bahwa segala yang ada selain Allah, adalah mumkin dan jaiz.[5]

Ibn Rusyd menyatakan, jika dalam teori tersebut dikatakan bahwa bisa saja terjadi keadaan yang berlawanan dengan keadaan alam saat ini, misalnya matahari terbit di barat dan terbenam di timur, air bergerak ke tempat yang tinggi, batu jatuh ke atas, maka hal itu baru sebatas retorika saja. Sebab secara aksiomatik, hal tersebut terbukti tidak benar dengan sendirinya. Sedangkan terhadap pandangan yang menyatakan bahwa yang jaiz itu adalah baru dan dibuat oleh pembuatnya, maka hal itu menurut Ibn Rusyd tidak jelas dan debatable. Kenyataannya, Plato membolehkan sesuatu yang jaiz secara azali, sementara Aristoteles menolaknya. Maka, hal itu merupakan masalah yang sangat niscaya dan mungkin terjadi.[6]

Jika dikatakan bahwa yang jaiz itu terjadi karena disengaja oleh pembuat yang menghendakinya, sedangkan yang terjadi karena kehendak adalah sesuatu yang baru, maka disimpulkan bahwa yang jaiz itu terjadi karena kehendak pembuatnya. Sebeb, setiap aktivitas dapat berlangsung karena proses alamiah atau karena adanya kehendak. Maka, Ibn Rusyd mengambil kesimpulan bahwa alam ini terjadi karena sesuai dengan kehendak-Nya.[7] Ibn Rusyd juga menilai bahwa orang yang berpandangan seperti yang disebutkan di atas adalah orang-orang yang tidak mengerti hukum alam. Hal itu terjadi karena mereka menyerupakan atau paling tidak menganalogikan pengetahuan Allah dengan pengetahuan makhluk yang amat terbatas dan lemah ini.[8]

Teori emanasi yang banyak diusung oleh para filsuf, juga tidak luput dari kritik Ibn Rusyd. Teori emanasi yang menyatakan bahwa alam ini diciptakan bukan dari ketiadaan melainkan melimpah atau keluar dari Wujud Pertama, mendapat kritik tajam dari Ibn Rusyd. Menurut Ibn Rusyd teori ini dibangun atas pemikiran yang berasal antara lain dari buku Theologia Aristoteles dan Liber de Causis yang dinisbahkan secara gegabah kepada Aristoteles oleh kaum Neo-Platonis. Ironinya, di kalangan filsuf muslim, semacam Al-Farabi dan Ibn Sina justru mengikuti dan mengembangkannya.

Tak berlebihan jika dikatakan, hampir tidak dijumpai dalam sejarah filsafat Islam ada seorang filsuf yang dengan gencar dan secara tajam melancarkan kritik dalam masalah emanasi melebihi Ibn Rusyd. Kegigihannya dalam masalah tersebut adalah dalam rangka mengembalikan dan memurnikan pendapat Aristoteles yang sebenarnya. Karena, menurut Ibn Rusyd, filsuf Yunani tersebut sama sekali tidak pernah berpendapat demikian, dan tidak pernah dijumpainya dalam karya-karyanya.[9] Dikatakan dalam teori emanasi bahwa wujud-wujud yang melimpah itu muncul dari Sebab Pertama, dan melalui satu daya yang melimpah itu alam seluruhnya adalah satu, sehingga setiap bagian alam mempunyai kaitan yang utuh, tak ubahnya seperti bagian-bagian tubuh makhluk yang bermacam-macam dengan fungsi masing-masing, namun tetap merupakan satu kesatuan. Maka, dikatakan , dari yang Satu hanya keluar satu juga.

Ibn Rusyd menilai bahwa teori emanasi tersebut sebagai teori yang tidak dibangun atas proposisi-proposisi yang akurat dan meyakinkan, melainkan didasarkan pada praduga yang tidak valid. Maka, ia menyatakan bahwa Al-Farabi dan Ibn Sina dituding sebagai “yang paling bertanggung jawab” atas munculnya teori “khurafat” tersebut, lalu diikuti oleh banyak orang, dan dikatakan bahwa hal itu merupakan pandangan para filsuf.[10]

Dengan munculnya teori emanasi tersebut, jelas Ibn Rusyd menolaknya. Menurutnya, mungkin saja dari yang Satu itu muncul multiplisitas (wujud yang banyak), yang berbeda dalam materi, bentuk, dan jaraknya dari yang Satu itu. Ibn Rusyd juga menegaskan bahwa terori emanasi yang dibawa oleh Al-Farabi dan diikuti oleh Ibn Sina itu sama sekali bukan berasal dari Aristoteles atau para filsuf peripatetik lainnya. Pandangan tersebut berasal dari Porphyre, yang bukan seorang peripatetic sejati melainkan seorang Neo-Plotinus.[11]

Menurut Ibn Rusyd, Aristoteles telah menggabungkan antara wujud sensible (al-mahsus, empirik) dan wujud rasionabel (al-ma’qul, ideal), lalu mengatakan bahwa “alam ini satu dan keluar dari Yang Satu”. Yang Satu itu dari satu sisi merupakan sebab bagi kesatuan dan dari sisi lain yang menjadi sebab bagi adanya keberagaman. Namun, banyak yang kesulitan memahami pengertian pernyataan tersebut. Maka, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa dari yang Satu itu muncul “satu daya”, dan karena daya itulah terjadi semua wujud sesuai ragam dan bentuknya.[12]

Dalam penjelasannya, Ibn Rusyd menegaskan bahwa proses munculnya wujud yang banyak itu dari Allah. Bahwa alam dan seluruh isinya terkait antara satu dengan lainnya, dan kaitan itulah yang menjadikan adanya bagian-bagian itu saling mempengaruhi dan menggantungkan antara satu dengan lainnya, dan akhirnya secara keseluruhan alam tergantung pada Sebab Pertama.[13] Oleh karena itulah diyakini bahwa alam seisinya yang beraneka ragam ini merupakan karya Allah, dan muncul sebagai ciptaan-Nya, karena Dia yang membuat adanya keterkaitan tersebut sehingga menjadi satu kesatuan. Menurut Ibn Rusyd “Pembuat kaitan-kaitan tersebut adalah Pembuat Wujud” Demikianlah Ibn Rusyd memahami pengertian perkataan Aristoteles bahwa “ala mini satu dan keluar dari Yang Satu”.

Dari pernyataan itu Ibn Rusyd yakin bahwa Allah menciptakan alam dengan kehendak dan kemauan-Nya secara hakiki bukan simbolik dan manipulatif. Ini adalah bentuk penolakan yang tegas terhadap teori emanasi yang menyatakan bahwa penciptaan ala mini terjadi secara simbolik, karena ia berlangsung melalui pemancaran dari satu wujud ke wujud berikutnya.



[1] Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, p. 77-78
[2] Al-Iraqi, Al-Manhaj al-Naqdi fi Falsafah Ibn Rusyd, p. 200
[3] Al-Iraqi, Al-Naz’ah al-Aqliyyah fi Falsafah Ibn Rusyd, p. 47
[4] Shaliba, Jamil, Min Aflathin ila Ibn Sina, p. 85-86.
[5] Ibn Rusyd, Manahij al-Adillah, p. 146. Lihat juga Al-Juwaini,  Abd. Malik, Al-Irsyad ila Qawati’ al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, Edisi As’ad Tamim, (Beirut: Mu’assasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, 1985) , p. 49.
[6] Ibn Rusyd, loc.cit.
[7] Ibn Rusyd, op.cit, p. 147
[8] Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, p. 123
[9] Al-Uwaidah,  Kamil Muhammad, Ibn Rusyd Al-Andalusy, Failasuf al-‘Arab wa al-Muslimin (Beirut: Dar al-Kutub Al-Islamiyyah, 1993),  p. 61
[10] Badawi, Abdurrahman, Mausu’ah al-Falsafah, p. 31
[11] Badawi, Abdurrahman, ibid, p. 33
[12] Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, op.cit, p. 303
[13] Jam’ah, Muhammad Luthfi, Tarikh Falasifah al-Islam fi Al-Masyriq wa Al-Maghrib (Mesir: Najib Mitri, 1926), p. 178

Jalaluddin Rumi, Penyair Sufi Terbesar dari Konya-Persia

          Dua orang bertengkar sengit di suatu jalan di Konya. Mereka saling memaki, “O, laknat, jika kau mengucapkan sepatah makian terh...